bab yang 1 nya yah akak semuanya 🤗 apakah kalian sudah mendapat pandangan? hari saat Liora masuk ke dalam mobil Kayden itu adalah malam saat Kayden harus tunangan sama Julia.. sampai jumpa besok lagi 😶🌫️😶🌫️
Kayden membalas remasan tangan Liora, gemetar, dingin, kata habis tanpa bisa terucap. Saat Kayden berjuang di antara hidup dan matinya, Liora pun ternyata sama. Ia melahirkan, tanpa Kayden di sisinya. Mereka menghadapi kesulitan yang berbeda, dengan rasa sakit yang berbeda dan ketakutan yang berbeda pula. Kayden bersyukur bahwa bayangan masa depan yang singgah berlalu-lalang sesaat sebelum ia menutup matanya itu tidak benar .... Ia masih hidup, ia bisa melihat Liora, dan nanti, ia akan melihat anak-anaknya juga. Rindunya telah berlabuh. Setelah hening merasuk lebih dari beberapa menit berlalu, barulah Kayden memiliki kekuatan untuk bicara. "Tapi, kamu baik-baik saja, 'kan?" tanyanya. "Tidak ada hal buruk yang terjadi padamu?" Liora menggeleng, "Tidak, rasa sakitnya sudah hilang saat mereka lahir. Yang menakutiku adalah kamu yang tidak kunjung bangun, Kayden. Padahal dokter mengatakan kalau pasien umumnya membutuhkan waktu kurang dari delapan jam untuk bangun pasca operasi rup
.... Kayden membuka mata saat merasa cahaya putih menyilaukan menyelinap di sela-sela kelopak matanya yang berat. Bau obat-obatan menyinggahi indera pembaunya, menggantikan aroma hujan dan bunga yang terakhir kali ia ingat. Suara detak mesin—monitor detak jantung—berdenyut pelan, konstan, seakan mencoba menenangkan luka. Ia mengerjap perlahan, dalam pandangannya yang buram, lambat laun ruangan itu menjadi jelas—langit-langit putih pucat, tirai krem yang bergoyang lembut diterpa pendingin ruangan, dan tiang infus berdiri di samping ranjang seperti penjaga sunyi. 'Aku ... masih hidup?' tanyanya pada diri sendiri. Ia merasakan seseorang menggenggam tangannya. Maniknya bergerak ke samping kanan, dan tanpa sadar air matanya menetes begitu saja saat melihat seseorang yang ada di sana, pada kursi yang entah sejak kapan didudukinya Ia terlihat tak bisa menahan tangis saat memanggilnya. "Kayden ...." Kayden tak bisa menjawab, jantungnya seperti mengalami henti detak saat suarany
“Kamu yakin itu anakku?” tanya Adrian setelah ketegangan berlalu lebih dari enam puluh detik. “Kenapa kamu tanya begitu, Adrian?” “Kenapa lagi memangnya? Kamu tidak hanya tidur denganku selama ini, Irina!” “Adrian!” “Tidak ada yang menjamin itu anakku, atau anak para pria yang bergantian menidurimu.” Adrian tertawa di depan wajahnya yang tampak kalut. “Kamu sama jalangnya dengan ibumu ternyata.” “ADRIAN!” Adrian berlalu, mengabaikannya begitu saja, meninggalkan Julia yang bergeming di tempatnya, baru tahu jika pasangan itu sedang mengalami guncangan di hubungan mereka. Dan tampaknya itu lebih pelik dari yang terlihat. Di luar The Quiet Flame, langkah Adrian sekali lagi kembali terhenti. Tangannya ditarik kuat-kuat oleh Irina yang memohon agar ia tidak meninggalkannya. “Adrian, tolong dengarkan aku!” pintanya. “Apa lagi yang harus aku dengar, Irina? Apa ada yang salah dengan ucapanku?” “Dari mana kamu tahu kalau aku—“ “Apa penting sekarang darimana aku tahu itu?”
Kayden tersenyum, ia tak bisa menyembunyikannya. Tangannya yang menggenggam kertas kecil dari Liora itu gemetar. Matanya mendadak basah oleh rasa senang. Seperti inikah rasanya rindu yang telah menemui penghujungnya? Hari Minggu, pukul sepuluh pagi... apakah itu masih lama? Sial! Kemarin baru saja Minggu! Jadi Kayden harus menunggu lagi? “Kamu menakuti Papa,” ucap Tuan Owen yang membuat Kayden mengangkat wajahnya. “Ya?” “Kenapa tersenyum sendiri? Apa yang diberikan oleh Royan padamu?” Kayden menunjukkannya pada Tuan Owen, “Liora bilang kita bisa bertemu Minggu ini, Pa.” Tuan Owen yang mendengarnya ikut tersenyum. Percayalah ... Kayden baru saja mengatakannya seperti seorang anak lelaki yang sedang jatuh cinta untuk pertama kalinya. Sosok yang sangat jauh berbeda dengan yang beberapa malam lalu membuatnya takut—saat Kayden menguliti kesalahan Adrian di ruang makan. “Ah, syukurlah ....” balas Tuan Owen seraya menerima kertas kecil itu dari Kayden. Ikut membaca apa yang tertuli
Ternyata ... Liora jauh lebih cantik saat dilihat dalam keadaan gadis itu sadar seperti ini. Tidak dalam pengaruh alkohol, apalagi meracaukan nama Adrian seperti yang dilakukannya semalam. Berhadapan dengan Liora dan melewati perbincangan yang sedikit alot ... Kayden tahu bahwa gadis itu sedikit ... keras kepala. Bahkan setelah ia keluar pun, sisa-sisa kemarahannya karena Kayden meminta agar Liora melakukan press conference pun masih tertinggal, mengganggunya dan tanpa sadar membuatnya tersenyum. “Jadi apa rencana Anda?” tanya Evan saat pemuda itu kembali masuk ke ruang kerja Kayden. “Tidak ada, dan tidak perlu merencanakan. Karena kita akan memanfaatkan rencana orang lain dan mengambil kesempatan dari sana.” “Ya?” Evan terangkat kedua alisnya. “Dari perangai Adrian yang sepertinya mengidap NPD, aku yakin dia akan merusak pesta penyambutanku nanti. Dia akan mempermalukan Liora di sana, Evan. Tandai kalau aku salah!” Tapi mana mungkin perhitungan Kayden salah! Evan ta
“Lalu—Anda—pertunangannya—“ Kalimat Evan tersendat-sendat. Ia memandang Kayden yang salah satu alisnya terangkat, menunggunya selesai bicara. Tapi setelah beberapa detik berselang, Evan akhirnya mengangguk, tanpa mengatakan apapun lagi. Ia menundukkan kepalanya di hadapan Kayden dan benar-benar pergi setelah membantu Kayden membukakan pintunya. Kayden yang sedang membawa Liora pun masuk ke dalam kamar, menutup pintu dengan menggunakan kakinya, membaringkan gadis itu di atas ranjang. Karena sedang mabuk, beban tubuhnya bertambah menjadi dua kali lipat, membuat Kayden juga turut tertarik dan jatuh nyaris menimpanya. Kayden melihat wajahnya yang memerah, berulang kali Liora menggosok lehernya sehingga gaun yang dikenakannya itu berantakan, terutama pada bagian bahunya. Aksi yang dilakukannya itu membuat bahu mulusnya terlihat, wajahnya yang memerah membuat Kayden menelan ludah dengan susah payah. Ia terlalu sempurna dalam wujud seorang perempuan. Entah apa yang dicari oleh Adrian d