LOGIN“Tolong berdiri.”
Daisy terkejut ketika tangan Jade menggenggam lengannya dan menarik gadis itu bangkit dari lantai. Tubuh Daisy limbung, tetapi genggaman Jade menjaga keseimbangannya. “Jangan pernah bersujud seperti itu lagi di hadapan saya,” pinta Jade sambil menahan napas. “Dan, saya setuju dengan permintaanmu. Rahasiamu aman.” Daisy mengangkat wajah. Ada sisa air mata di pelupuknya. "Terima kasih, Tuan." Masalah kesalahpahaman selesai, kini mereka sibuk menyiapkan agenda selanjutnya. Daisy membantu Jade merapikan berkas-berkas untuk rapat pagi. Sesekali Daisy merasakan debaran aneh tiap kali Jade berdiri terlalu dekat. “Kemeja saya mana?” tanya Jade sambil membuka lemari hotel. Pria itu lagi-lagi berjalan di sekitar Daisy hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Daisy menunjuk tanpa menatap. “Sudah saya setrika, Tuan. Bagian kanan.” Jade memperhatikan pipi Daisy yang memerah. “Jika kamu kurang sehat, kamu boleh istirahat.” “Saya baik-baik saja,” balas Daisy cepat. Jade menghela napas, setengah frustrasi, setengah kagum. “Kamu keras kepala.” “Terima kasih, Tuan,” sahut Daisy santai. “Itu bukan pujian.” Daisy justru tersenyum kecil. Jade segera memalingkan wajah saat menyadari senyum Daisy tidak sengaja membuat jantungnya berdegup keras. Saat Daisy masuk kamar mandi di kamarnya, Jade menelepon seseorang. "Saya ingin kamu mencari tahu tentang seorang pria bernama Andrew. Dia adalah kekasih asli Bianca. Apa mereka masih bertemu atau tidak?” “Baik, Tuan,” sahut pria di seberang telepon. Jade berdiri di depan jendela besar ketika telepon kedua masuk. “Tuan, Nona Bianca masih rutin bertemu dengan Tuan Andrew. Mereka baru saja keluar dari hotel.” Jade mendengkus kesal. “Oke,” ucap Jade datar. “Terus pantau Andrew.” Di ruang rapat, Daisy menunjukkan profesionalisme yang luar biasa. Gadis itu mengorganisir dokumen dengan presisi, mencatat setiap detail diskusi, dan memberikan saran-saran yang sangat relevan kepada Jade. Senyum Daisy terukir lebar saat dia membantu klien menemukan solusi terbaik untuk masalah bisnis mereka. Jade memperhatikan dari jauh, dan saat senyum yang memancar dari wajah Daisy mengarah padanya, dia langsung mengalihkan pandangan. “Sial,” gumam Jade. Sepanjang rapat, Daisy juga sangat memperhatikan apa yang Jade konsumsi. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Jade bingung melihat Daisy begitu sibuk. “Saya tidak ingin Tuan diberi obat perangsang lagi,” jawab Daisy polos sambil memeriksa minuman yang ada di depan meja Jade. Jade tersedak napasnya sendiri. Namun tanpa sadar, kedua sudut bibir Jade naik saat melihat wajah ceria Daisy. Acara makan malam di ruang VIP restoran ternama menjadi bagian dari rapat lanjutan. Jade, Daisy, dan beberapa klien utama berkumpul di sekitar meja yang megah dengan hidangan premium tersaji di depan mereka. Semuanya berjalan lancar sampai salah satu klien, seorang pria berumur sekitar 50-an dengan minuman whiskey di tangan, menarik kursi Daisy lebih dekat. Senyum di wajah Jade seketika memudar. "Gadis cantik seperti ini, sangat sayang jika tidak menggunakan kecantikannya," bisik pria itu sambil merangkul bahu Daisy. "Bagaimana kalau malam ini kamu ke kamar saya? Tuan Jade pasti tidak akan keberatan." Daisy memucat. Dia berusaha menyingkirkan tangan pria itu. Jade berdiri dari kursinya. “Asisten pribadi saya tidak akan pergi ke mana pun tanpa saya.” Mata Jade tampak gelap saat menghempaskan tangan kliennya dari bahu Daisy. “Ah, jangan kaku begitu. Saya hanya–” Jade menepuk bahu pria itu, lalu meremasnya hingga dia meringis. “Jika Anda nekat, saya pastikan kontrak Anda dibatalkan.” Udara dingin langsung terasa memenuhi ruangan. Jade menarik Daisy keluar tanpa menoleh. Di koridor yang sepi, Daisy berbisik, "Maaf, Tuan. Saya sangat minta maaf sudah mengacaukan acara makan malam ini. Semua karena saya–" "Hentikan," potong Jade tajam, tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Jangan sekali-kali meminta maaf untuk sesuatu yang bukan kesalahanmu." “Darah saya mendidih membayangkan pria itu menyentuhmu,” lanjut Jade, napasnya cepat seperti menahan amarah. Daisy mematung. Tiba-tiba, Jade menangkap dagu Daisy dan menunduk. Bibir Jade mendesak ke bibir gadis itu, menciumnya penuh gairah. Daisy membelalakkan mata, spontan mendorong Jade dengan kedua tangan di dadanya. “Tuan! Tuan diberi obat lagi?!” tanya Daisy panik, mencoba melepaskan diri. "Tidak," jawab Jade dengan suara berat. "Kali ini saya sangat sadar." Hening merayap di antara mereka. Deru napas mereka memberat. “Saya tidak tahu apa yang terjadi pada diri saya,” bisik Jade, “tapi yang jelas, saya menginginkanmu, Daisy.” Daisy merasakan jantungnya berdebar dengan kecepatan yang tidak normal dan pipinya memerah. Tidak bisa disangkal, sejak pertemuan mereka di pesta pertunangan, hubungan Daisy dan Jade seperti saling tarik-menarik hingga semakin dekat. “Tapi Tuan … Tuan adalah bos saya, dan tunangan kakak angkat saya.” Daisy menggigit bibirnya gugup. Jade menarik Daisy mendekat, memeluk gadis itu. "Kamu tidak menginginkan saya?" tanya Jade berbisik di telinga Daisy. Dada Daisy berdebar kencang saat napas panas Jade menyapu telinganya. Saat Jade menatap matanya lekat, Daisy tidak yakin bisa menahan dirinya lebih jauh. Bayangan Bianca melintas cepat di kepalanya, disertai dengan kata-kata hinaan untuk Daisy. "Tubuhmu itu hancur, jelek, dan rusak. Sangat tidak menarik!" Namun, tunangan Bianca terang-terangan mengatakan bahwa dia menginginkan Daisy. Dendam dan kemenangan berbaur dalam dada Daisy. Dalam sekejap, Daisy berbalik dan memeluk Jade, membalas ciuman pria itu yang sempat tertunda. Jade segera memperdalam ciuman itu. Tubuh Daisy terangkat ketika Jade merengkuhnya, membawanya masuk ke kamar. Jade menutup pintu dengan kaki sambil terus mencium gadis itu. Dalam remang-remang kamar hotel, Jade menatap Daisy seolah gadis itu adalah sesuatu yang harus dia lindungi sekaligus miliki. Ketika Jade melepas pakaian Daisy dan melihat memar yang hampir memenuhi tubuh mungil itu, matanya memerah. “Sial,” desis Jade lirih sambil menyentuh setiap memar dengan lembut. Namun Jade tidak menghentikan apa yang telah dia mulai. Sebaliknya, pria itu terus mengarahkan Daisy ke dekat ranjang sambil membisikkan pujian di telinganya. "Kamu cantik," bisik Jade dengan napas memburu, bibirnya menyentuh dahi Daisy. "Sangat sempurna." Daisy semakin memerah. Dia merasakan panas di seluruh tubuh. Kepercayaan dirinya pun ikut tumbuh. "Izinkan saya membahagiakanmu malam ini,” lanjut Jade saat melihat mata Daisy yang berkilat dengan keberanian. Daisy tersenyum sebagai balasan, sebelum Jade mendorongnya ke atas ranjang. “Jangan menyesal, Tuan,” goda Daisy, lalu menggigit bibir. “Tidak akan.” Jade melepaskan sendiri pakaiannya. Malam itu, untuk pertama kalinya, Daisy menyerahkan seluruh dirinya pada tunangan kakak angkatnya. Meski salah, Daisy juga tidak berniat untuk berhenti. Jade pantas mendapatkan yang lebih baik dari Bianca. “Oh, sial! Kau masih perawan?!” maki Jade di tengah permainan mereka.“Tolong berdiri.” Daisy terkejut ketika tangan Jade menggenggam lengannya dan menarik gadis itu bangkit dari lantai. Tubuh Daisy limbung, tetapi genggaman Jade menjaga keseimbangannya. “Jangan pernah bersujud seperti itu lagi di hadapan saya,” pinta Jade sambil menahan napas. “Dan, saya setuju dengan permintaanmu. Rahasiamu aman.” Daisy mengangkat wajah. Ada sisa air mata di pelupuknya. "Terima kasih, Tuan." Masalah kesalahpahaman selesai, kini mereka sibuk menyiapkan agenda selanjutnya. Daisy membantu Jade merapikan berkas-berkas untuk rapat pagi. Sesekali Daisy merasakan debaran aneh tiap kali Jade berdiri terlalu dekat. “Kemeja saya mana?” tanya Jade sambil membuka lemari hotel. Pria itu lagi-lagi berjalan di sekitar Daisy hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Daisy menunjuk tanpa menatap. “Sudah saya setrika, Tuan. Bagian kanan.” Jade memperhatikan pipi Daisy yang memerah. “Jika kamu kurang sehat, kamu boleh istirahat.” “Saya baik-baik saja,” balas Daisy cep
Jade menoleh, satu tangannya masih memegang koper yang terbuka.“Tidak bisakah kau mengetuk pintu dulu?” tegur Jade, kemudian menjawab, “supaya koordinasi lebih mudah, Daisy.”“Ah ya,” ucap Jade lagi, kali ini sambil merogoh sesuatu dari saku celananya dan mendekat. “Kunci khusus pintu penghubung ini, kamu yang pegang. Silakan kunci saja.”Daisy menerima uluran kunci itu, meski wajahnya masih tampak terkejut.“Baik, Tuan,” sahut Daisy kemudian.“Istirahat yang cukup,” tukas Jade sambil berjalan menjauh. “Besok jadwal kita padat.”Daisy mengangguk cepat, lalu menutup pintu penghubung dari sisinya.Walaupun sudah mandi dengan air dingin, jantung Daisy masih belum merasa tenang. Namun tubuhnya terasa sangat lelah.Baru hitungan menit sejak Daisy terlentang di kasur, kelopak matanya mulai terasa berat.Daisy hampir saja terpejam ketika ponsel di atas nakas berbunyi. Pesan masuk dari Bianca.Hanya membaca namanya saja, wajah Daisy memucat.[Di mana kamu, Jalang?]Daisy menegang. Dia membac
Daisy membuka blazernya sambil menahan debaran dalam dada yang semakin tidak terkendali.Ketika kain itu terbuka sepenuhnya, mata Jade menggelap dan rahangnya mengeras."Daisy," panggil Jade dengan suara rendah. "Siapa yang melakukan ini?"Daisy tetap diam, tidak berani menatap mata bosnya.Jade tiba-tiba merangkul bahu Daisy lebih dekat dan membawanya untuk duduk di tepi sofa yang ada di kamar."Tunggu di sini," perintah Jade.Sebelum Daisy sempat membalas, Jade pergi ke kamar mandi.Jade membawa kotak P3K saat kembali dan duduk di depan Daisy.Gadis itu tersentak."Tuan Jade, Anda harus berpakaian dulu," ucap Daisy gugup sambil melihat ke arah lain.Jade mengabaikan komentar itu dan membuka kotak P3K. Dia mencari salep memar dan mulai mengoleskannya dengan lembut ke setiap memar di lengan Daisy.Kali ini sentuhannya sangat hati-hati, seakan takut membuat memar Daisy bertambah parah."Dengarkan saya," ucap Jade sambil terus mengobati memar itu. "Apa pun yang terjadi dan siapa pun yan
"Tuan Jade,” panggil Daisy dengan suara yang mulai bergetar. “Tuan adalah pria baik yang tidak mungkin melecehkan wanita. Saya percaya Tuan, jadi tolong menjauh.”“Sialan!” Jade tiba-tiba memalingkan wajahnya dengan kasar, membuat Daisy terdorong mundur.Pria itu mengusap wajahnya frustasi dengan napas yang masih terengah-engah."Maaf," ucap Jade penuh penyesalan. "Maafkan saya, Daisy."Jantung Daisy masih berdetak seperti genderang perang, pipinya memanas. Dia tidak berani bergerak, mendekat, atau pun menjauh.Mobil akhirnya berhenti di depan rumah Jade yang megah. Daisy dapat melihat taman luas dengan kolam ikan mas di halaman depan."Kamar saya ada di lantai atas," instruksi Jade sambil berjalan tertatih-tatih, meraih pundak Daisy untuk menopang diri. "Bantu saya."Daisy merasa segan, tetapi ketika melihat kondisi Jade yang benar-benar memburuk, dia tidak memiliki pilihan lain.Dengan hati-hati, Daisy memandu pria itu naik tangga marmer yang lebar dan melewati koridor panjang denga
Pagi hari keesokannya, ponsel Daisy berdenting saat dia baru saja tiba di kantor Poseidon Exports Suri.Pesan masuk dari kontak dengan emotikon berbentuk es.[Ada rapat di luar, saya akan sampai di kantor saat siang. Kamu tangani urusan yang ada di kantor.]Daisy segera membalas dengan cepat, “Baik, Tuan Jade.”Waktu terus berlalu. Daisy menangani panggilan telepon, menjawab surel, dan mengatur jadwal Jade dengan baik.Jade tiba di kantor pada pukul dua siang."Selamat siang, Tuan Jade." Daisy segera berdiri dan menyambut kehadiran bosnya.Jade tidak membalas sapaan gadis itu. Matanya bergerak dari wajah ke lengan Daisy yang tertutup oleh blazer panjang berwarna biru tua.Pria itu ingin memastikan bahwa memar yang kemarin dia lihat, memang benar ada atau hanya salah lihat.Namun, lengan blazer Daisy kali ini lebih panjang daripada seragam pelayan kemarin."Masuk ke ruangan saya," perintah Jade akhirnya sambil berbalik dan melangkah menuju pintu yang mengarah ke ruang pribadinya.Daisy
Brak!Pintu toilet wanita terbuka dengan keras dan seseorang masuk.Sebelum gadis itu sempat mengerti apa yang terjadi, suara pukulan memecah keheningan, diikuti ringisan kesakitan dari Andrew.“Aarghh!” pekik Andrew yang terjatuh menghantam ubin lantai toilet sambil memegangi rahangnya.Daisy terhuyung-huyung ke samping sambil menghirup napas panjang yang membuatnya batuk.Mata Daisy kabur oleh air mata, tetapi dia bisa melihat sosok yang menolongnya dengan jelas.“Tuan Jade?” Daisy terisak pelan sambil mengusap kasar dadanya.Jade menatap Andrew dengan tajam, seperti siap meninju lagi jika pria itu mendekat.“Kau–” Andrew tersentak, mata merahnya membulat saat menyadari siapa yang memukul. “Aiiishh!”Daisy menelan ludah saat melihat Andrew perlahan bangkit.“Sialan!” maki Andrew sebelum berlari keluar toilet.Jade berbalik menghadap Daisy, dan ketegangan dalam wajahnya berubah menjadi kekhawatiran."Apa kamu baik-baik saja?" tanya Jade sambil memegang kedua bahu Daisy dan menelusuri







