Mas Andra membawa Bu Rosa keluar. Aku tahu, ia pasti tak ingin bertengkar di hadapan anaknya.
"Mama, tadi itu siapa?" tanyanya.Aku menatap Bu Mega. Bingung harus menjawab apa? Karena memang seusianya pasti belum mengetahui apa itu ibu kandung dan juga ibu tiri?"Nanti kita kasih tahu. Keysha sudah sarapan?" tanya Bu Mega."Belum, Oma. Kan mau sarapan bareng Papa, Mama, sama Oma."Bu Mega tersenyum, kemudian pamit keluar. Beliau pasti ingin tahu alasan Bu Rosa ke mana saja selama ini.Setelah mengikat rambut Keysha, aku membawa anak itu naik ke atas ranjang. Untung, semalam sprei ini sudah kuganti dengan yang bersih."Key, mau dibacain dongeng, nggak?" tawarku."Mau dong, Ma."Karena tak ada buku di sini, maka aku mengambil koran. Dulu, biasanya di halaman tengah suka ada dongeng atau cerita yang dikirimkan oleh penulis ke perusahaan koran tersebut.Key ikut duduk di sofa, lalu tubuhnya memelukku. Ya Allah, aku memang belum punya anak, tapi melihatnya begini, aku sudah merasa menjadi ibu yang sesungguhnya.Masih terdengar perdebatan dari kamar kosong di sebelah. Sepertinya memang Pak Andra membawa Bu Rosa ke sana.Aku sampai tak fokus membacakan cerita tentang bawang merah dan bawang putih ini pada Keysha."Mama, jadi kita itu tidak boleh merebut milik orang lain, ya?" tanya Key setelah selesai kubacakan cerita."Iya, Sayang. Karena itu perbuatan yang tidak baik. Jika kita menginginkan sesuatu, maka kita harus mencari dan mencapainya sendiri."Keysha mengangguk-angguk. Kemudian melihat kembali gambar di koran itu."Ini apa, Ma?""Itu ikan Mas. Oh iya, Key suka makan Ikan, nggak?"Keysha mengangguk."Ya sudah, bilang sama Mbak Citra untuk beli ikan Mas, ya?" Citra adalah nama asisten rumah tangga yang baru di sini.Setelah mengantar Key ke bawah, aku langsung masuk ke kamar sebelah. Kurasa, memang seharusnya ikut bicara karena bagaimanapun, hidupku akan bertaruh.Saat membuka pintu, pemandangan menyesakkan hati lagi-lagi terlihat. Mas Andra tengah memeluk Bu Rosa. Wajar memang, tapi hatiku sakit."Ning."Ning, panggilan itu sudah lama dia tak ucapkan, kini kembali terdengar."Mas..." Aku menggigit bibir bawahku. Jangan menangis, Ning! Kamu harus kuat!"Duduk di sini, Ning!" Kali ini, Bu Mega menepuk sofa di sampingnya.Aku menuruti dan duduk. Bu Rosa sudah melepaskan pelukannya dari suamiku, yang juga suaminya."Jadi gimana ini, Ndra?""Andra juga ga tau, Bu.""Pokoknya aku nggak mau tahu ya, Mas, kamu harus mengusir dia!" ucap Bu Rosa sambil menunjuk ke arahku.Aku menundukkan kepala. Akhirnya, kata-kata yang kutakutkan itu keluar dari bibir wanita yang sudah melahirkan Keysha."Tidak bisa, Rosa. Dia sangat dekat dengan anakmu.""Tapi, Rosa sudah kembali, Bu," ucap Bu Rosa.Mas Andra terlihat frustasi. Ia menjambak rambutnya, aku jadi tak tega."Ya sudah, Mas, biarkan aku saja yang pergi dari rumah ini."Mas Andra tak menjawab sepatah katapun, ia hanya menatapku sendu. Apakah ini artinya, ia akan mengabulkan permohonanku kali ini?--Aku tengah mengemas pakaian. Mas Andra memang hanya diam saja saat tadi bersama di kamar sebelah. Tapi, melihat kebimbangan di hatinya, sepertinya aku harus tahu diri. Biarlah Mas Andra hidup seperti dulu lagi. Bersama dengan keluarga lengkapnya."Kamu mau ke mana, Dek?"Sebuah suara mengagetkanku. Sepasang tangan melingkar di pinggang ini."Sepertinya, aku memang harus pergi dari sini, Mas," ucapku.Mas Andra membalikkan badan, kemudian memelukku erat."Nggak, Dek. Kamu jangan pergi."Kuurai pelukan itu, tapi tangan Mas Andra seakan kuat memeluk."Mas, bagaimana dengan Bu Rosa? Aku tak mau disebut sebagai perempuan penggoda suaminya. Biarkan kalian hidup bahagia."Mas Andra menatapku, ada perasaan kecewa di sepasang maniknya. Ya Allah, aku juga tak ingin pergi, tapi bagaimana lagi? Aku tak mungkin terus berdiam di sini.Mas Andra mengamit tanganku, lalu berjalan ke luar."Mas, mau ke mana?""Ikut aja."Mau ke mana ia membawaku?Kami masuk ke kamar sebelah, tempat Bu Rosa ada. Atau, akankah lebih baik kupanggil Mbak saja?"Rosa!" panggil Mas Andra. Yang dipanggil sedang tiduran. Enak betul, aku sudah remuk jiwa, dia malah begitu."Apa, Mas?" tanya Mbak Rosa sambil berusaha bangun.Aku bisa melihat dengan jelas tadi saat Mbak Rosa tiduran, wajahnya sangat cerah, senyum terukir di wajahnya. Namun, apa-apaan ini? Apakah dia ingin mengajakku bermain akting?Mas Andra menghampiri. Ada raut khawatir di sana."Aku sedikit pusing, Mas."Hilih, paling cuma pura-pura. Loh, kok sekarang aku pinter nyinyir? Wah, gak beres ini."Ada apa kamu ke sini, Mas?"Mas Andra tampak menggaruk kepalanya. Iya, ada apa dia sampai hampir menyeretku ke sini?"Sebenarnya, aku pusing. Aku tak ingin Nining pergi," ucapnya lirih.Mbak Rosa menatap ke arahku, benci itu semakin jelas terlihat."Kenapa? Kamu sudah tidak mencintainya, malah pindah hati dengan pelakor itu?" tanyanya secara menuding ke arahku.Apa? Aku, pelakor? Jika saja bukan karena Ibu dan juga Keysha, aku pun tak mau dalam posisi seperti ini. Tak mungin juga aku mau mengubur rapat-rapat harapanku untuk menikah dengan lelaki pilihanku sendiri.Aku sadar, mungkin dalam hati memang sudah ada ras cinta pada Mas Andra. Tapi jika dihadapkan pada kenyataan seperti ini, aku pun tak mau.Pelakor. Siapa yang mau dapat gelar serta julukan seperti ini? Apalagi memang betul aku tak pernah merebut suaminya itu."Bukan begitu, Rosa. Tapi bagaimana dengan Keysha?" Akhirnya suami kami itu mulai membuka mulutnya.Suami kami? Sangat lucu. Aku bahkan tak pernah bermimpi menjadi istri kedua, sekalipun itu dari seorang pengusaha sukses.Kenapa aku tak memikirkan ini sedari awal? Kenapa baru sadar sekarang? Kenapa aku tak pernah berpikiran bahwa mungkin saja suatu hari nanti, istri suamiku itu datang?Sekarang, kalau sudah begini, mau bagaimana lagi? Aku menghela napas panjang, menghampiri suami yang masih duduk di sisi ranjang Mbak Rosa. "Biarkan aku yang pergi, Mas. Aku sadar diri. Memang sebaiknya, dari awal aku tak pernah menyetujui pernikahan ini," ucapku. Mas Andra mendongak, kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak, Dek. Kamu tak perlu pergi. Apa kalian tak bisa hidup satu atap bersama? Atau, Rosa, bagaimana jika kamu pergi dari sini?" Mata Mbak Rosa melebar. Ia pasti tak menyangka akan diusir oleh suaminya. "Nggak, Mas! Suamiku ada di sini, begitupula dengan anakku. Kenapa nggak pelakor itu aja?!" "Mbak, aku ini bukan pelakor! Kenapa selalu saja memanggilku dengan sebutan itu?!" "Karena kamu memang pelakor." Aku tersenyum sinis. Kesabaranku benar-benar diuji oleh wanita itu. "Ya, katakanlah aku pelakor. Setidaknya, aku tak akan pernah meninggalkan anak dan suamiku, aku mengurus anak yang ditinggalkan oleh orang yang menuduhku pelakor. Aku mengurus suami oleh oran
Andra mendongak, kedua matanya terus memandangi wanita di hadapannya itu. "Apa maksudmu?" "Kamu memang lebih mencintai wanita itu, kan? Jawab, Mas! Kamu memang telah berubah. Hiks." Andra termenung. Benarkah ia sudah mencintai Nining? Gadis desa yang terpaksa dinikahinya itu? Rosa mulai menangis. Awalnya hanya isakan saja, tapi lama kelamaan berubah menjadi kencang. Andra pusing mendengarnya. Ia sudah mengorbankan waktunya, seharusnya ia sudah berangkat kerja tadi pagi. "Argh!" Andra bangkit dan keluar. Tak mempedulikan Rosa yang mencoba menarik perhatiannya lewat tangisan. "S*al!" Rosa memukul ranjang, rahangnya mengeras. Baru kali ini, ia merasa diremehkan. Andra, memang sudah berubah padanya. Sebuah seringai jahat, terbit di bibir seksi milik Rosa. Wanita itu mulai menggumam."Lihat saja, Mas. Apa kamu masih dapat membela Nining dan cuek padaku nantinya?"-Pov Nining Beberapa hari setelah insiden kedatangan Mbak Rosa, akhirnya diputuskanlah kalau aku dan Mbak Rosa akan ti
"Key, nanti dulu, kan belum sisiran." Citra datang dengan napas tersengal-sengal. Aku menatap ke arah Keysha. "Key, tadi pakai bajunya sambil lari-larian, ya?" tanyaku dengan nada tegas."Iya, Ma."Kulepaskan pelukan ditubuhya, lalu menatap manik berwarna cokelat itu. "Kan sudah Mama bilang, jangan seperti itu. Kasihan Mbak Citra." Key hanya mengangguk, detik kemudian aku dan dia tertawa. Selalu seperti ini, aku tak bisa marah padanya. S*al emang. "Sini, Cit, biar saya aja yang nyisirin rambutnya. Kamu istirahat aja."Tak sengaja, aku melihat Mbak Rosa tengah menatapku tajam. Aku hanya melengos. Jika dibiarkan, wanita itu bisa saja terus memperlakukanku begitu. "Mas ikut ke sekolahan, Ning."Aku menoleh padanya yang sedari tadi fokus makan. Begitupun dengan Mbak Rosa. "Baik, Mas," jawabku sambil tersenyum. "Ehm, kan ibu kandungnya Keysha itu saya, jadi biar saya saja yang pergi. Kamu di rumah," ucap Mbak Rosa tiba-tiba. Aku dan Mas Andra sama-sama terkejut, apalagi lelaki itu
Genggaman tangan Mas Andra padaku tiba-tiba terlepas. Apa ini? Kenapa aku memiliki firasat buruk? "Mas?" Aku memanggil, namun ia hanya diam dan memandang lurus ke arah Mbak Rosa. "Bisa tidak, jangan menyulut pertengkaran pagi-pagi, Ros?" Kali ini Mas Andra berbicara pada Mbak Rosa. Wanita itu memandang ke arahku, lalu ke arah Ibu. Senyum sinis tersungging di wajahnya. "Harusnya kamu sadar, Mas, melek! Yang bikin kita bertengkar itu ibumu. Kamu lupa, kalau dia yang mengusulkanmu untuk menceraikanku? Kenapa jadi aku yang salah?" Kali ini Mas Andra diam. Ia seperti kena skak mat oleh Mbak Rosa. Ibu hanya menghela napas sembari mengelus dadanya. "Sudah, Mas, lebih baik kita keluar, biarkan Ibu istirahat."Aku mendorong Mas Andra keluar, sementara Mbak Rosa mendengus melihatku yang melewatinya. Aku harus belajar untuk tak mempedulikan wanita itu. Bisa-bisa, aku yang stress. "Eh, mau ke mana kalian?" tanya Mbak Rosa saat aku sudah mengambil tas."Aku akan pergi dengan Rosa saja, Nin
Mendengar nama anak bungsunya kusebut, Ibu segera menghampiri. Bukannya memeluk, beliau malah memukul kepala adik iparku itu. "Aw, Ibu!" sungutnya. "Dasar! Ke mana saja kamu selama ini? Kenapa nggak ada kabar?" Mas Kino meringis, kemudian memeluk erat ibunya. Ibu memang selalu bercerita bahwa ia merindukan anak bungsunya itu. Ditambah nomor Mas Kino memang jarang aktif. Tak ada signal, alasannya. Aku tersenyum melihat pasangan anak dan ibu itu melepas kerinduan. Aku segera ke belakang, berniat membuatkan minum untuk mereka. "Bu, mau ngapain?" tanya Mbok Minah saat melihatku tengah di dapur. "Ini, Mbok, mau bikin minum. Mas Kino pulang." Desi yang sedari tadi di dalam kamar, terlihat buru-buru keluar. Ia celingukan melihat ke depan. "Ada Mas Kino, Ning?" "Desi, panggil yang betul!" hardik Mbok Minah. "Sudah, nggak papa, Mbok. Lagipula memang Nining yang meminta. Risih dipanggil Ibu sama Desi. Mbok juga kalau mau manggil nama juga gapapa, tapi kalau di depan Ibu jangan, ya," u
"Hah?" Ibu bertanya. "Nggak, Bu. Kino mau ke kamar dulu. Capek, Bu," ucap Mas Kino sambil mengangkat tasnya dan masuk ke dalam kamarnya yang tepat berada di sisi ruang tamu. Tak lama kemudian, terdengar deru suara mobil masuk ke halaman. Aku tak berniat untuk membukakan pintu, biar saja. Benar saja, pintu terbuka kemudian terlihat Keysha masuk sambil cemberut. Kenapa anak itu? "Mama!" Keysha datang padaku dan langsung memeluk. Mbak Rosa dan Mas Andra datang bersamaan di belakangnya. Melihat Keysha yang memelukku, Mbak Rosa segera mengambil Keysha. "Lepas!" Keysha menghentakkan tangan ibu kandungnya itu. "Lihat, Ning! Apa yang sudah kamu lakukan pada anakku? Kenapa dia jadi membangkang begini?!" Aku yang tak mengerti, hanya menoleh pada Mas Andra. Berharap ia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi? "Sudahlah, Rosa. Lagipula, ini salahmu juga. Kenapa kamu pergi ninggalin kami selama ini? Inilah akibatnya. Anakmu malah dekat dengan orang lain daripada dirimu sendiri!" ucap Mas
Mas Kino membawaku ke sebuah danau. Terhampar luas, indah, namun sepi. Tak ada seorang pun. Hanya aku dan Mas Kino di sini. Kuhela napas barang sebentar. Menikmati semilir angin yang terasa menyejukkan, meskipun hatiku tengah berkemelut hebat. "Bagaimana bisa kamu menikah dengan Mas Andra, Ning? Kamu tahu sendiri, dia itu masih punya istri."Aku bergeming. Bingung harus memulai dari mana cerita yang bahkan aku sendiri tak memiliki kendali di dalamnya. "Ning?" "Nining juga nggak tahu, Mas. Semuanya terjadi begitu saja. Karena kebaikan Bu Mega dan kasih sayangku pada Keysha, aku nggak bisa menolak, Mas."Mas Kino menghela napas. Kupindai raut wajahnya, ada setitik rasa kecewa di dua manik itu. "Kenapa?" tanyanya. Aku menoleh, tak paham dengan pertanyaannya. Apanya yang kenapa? "Maksudnya?""Kenapa harus Mas Andra?" Aku terdiam, juga bingung harus menjawab apa. Mungkin memang sudah takdirnya aku bersama Mas Andra, kan? "Kenapa nggak sama aku aja, Ning?" Lagi, ia berbicara seaka
Andra!" Ibu datang dengan tergopoh-gopoh, padahal kondisi beliau tengah tak baik. "Bu!" Aku mengamit lengan beliau. "Mas, apa-apaan ini? Kenapa kamu pukul Mas Kino?" "Mas? Ning, dia ini adik iparmu! Dan kamu, Kino, Nining itu bukanlah pembantu lagi di sini, tapi istriku! Seenaknya saja kamu membawanya begitu saja tanpa izin dariku!" teriak Mas Andra. Aku dapat melihat dari ekor mata, Mbak Rosa keluar dari kamar mengunakan piyama kurang bahan, sementara Keysha menyusul di belakangnya namun ditahan oleh Sinta. Bagus, jangan sampai anak kecil melihat perkelahian orang dewasa. "Mas, ada apa?" Aku menilik tampilannya. Bahkan di depannya kini ada Mas Kino, apa dia tak malu auratnya dilihat oleh orang lain?"Gapapa!" Mbak Rosa menghampiri Mas Andra dan memeluk lengannya. Aku tersenyum kecut. Bahkan kini Mas Andra sudah tak segan lagi untuk bermesraan di depanku. Ah, siapalah aku? "Mas, sepertinya besok aku akan pulang ke rumah Bapak," ucapku. "Benarkah? Bagus, dong!" Kali ini Mbak