Share

Bab 8

Mas Andra membawa Bu Rosa keluar. Aku tahu, ia pasti tak ingin bertengkar di hadapan anaknya.

"Mama, tadi itu siapa?" tanyanya.

Aku menatap Bu Mega. Bingung harus menjawab apa? Karena memang seusianya pasti belum mengetahui apa itu ibu kandung dan juga ibu tiri?

"Nanti kita kasih tahu. Keysha sudah sarapan?" tanya Bu Mega.

"Belum, Oma. Kan mau sarapan bareng Papa, Mama, sama Oma."

Bu Mega tersenyum, kemudian pamit keluar. Beliau pasti ingin tahu alasan Bu Rosa ke mana saja selama ini.

Setelah mengikat rambut Keysha, aku membawa anak itu naik ke atas ranjang. Untung, semalam sprei ini sudah kuganti dengan yang bersih.

"Key, mau dibacain dongeng, nggak?" tawarku.

"Mau dong, Ma."

Karena tak ada buku di sini, maka aku mengambil koran. Dulu, biasanya di halaman tengah suka ada dongeng atau cerita yang dikirimkan oleh penulis ke perusahaan koran tersebut.

Key ikut duduk di sofa, lalu tubuhnya memelukku. Ya Allah, aku memang belum punya anak, tapi melihatnya begini, aku sudah merasa menjadi ibu yang sesungguhnya.

Masih terdengar perdebatan dari kamar kosong di sebelah. Sepertinya memang Pak Andra membawa Bu Rosa ke sana.

Aku sampai tak fokus membacakan cerita tentang bawang merah dan bawang putih ini pada Keysha.

"Mama, jadi kita itu tidak boleh merebut milik orang lain, ya?" tanya Key setelah selesai kubacakan cerita.

"Iya, Sayang. Karena itu perbuatan yang tidak baik. Jika kita menginginkan sesuatu, maka kita harus mencari dan mencapainya sendiri."

Keysha mengangguk-angguk. Kemudian melihat kembali gambar di koran itu.

"Ini apa, Ma?"

"Itu ikan Mas. Oh iya, Key suka makan Ikan, nggak?"

Keysha mengangguk.

"Ya sudah, bilang sama Mbak Citra untuk beli ikan Mas, ya?" Citra adalah nama asisten rumah tangga yang baru di sini.

Setelah mengantar Key ke bawah, aku langsung masuk ke kamar sebelah. Kurasa, memang seharusnya ikut bicara karena bagaimanapun, hidupku akan bertaruh.

Saat membuka pintu, pemandangan menyesakkan hati lagi-lagi terlihat. Mas Andra tengah memeluk Bu Rosa. Wajar memang, tapi hatiku sakit.

"Ning."

Ning, panggilan itu sudah lama dia tak ucapkan, kini kembali terdengar.

"Mas..." Aku menggigit bibir bawahku. Jangan menangis, Ning! Kamu harus kuat!

"Duduk di sini, Ning!" Kali ini, Bu Mega menepuk sofa di sampingnya.

Aku menuruti dan duduk. Bu Rosa sudah melepaskan pelukannya dari suamiku, yang juga suaminya.

"Jadi gimana ini, Ndra?"

"Andra juga ga tau, Bu."

"Pokoknya aku nggak mau tahu ya, Mas, kamu harus mengusir dia!" ucap Bu Rosa sambil menunjuk ke arahku.

Aku menundukkan kepala. Akhirnya, kata-kata yang kutakutkan itu keluar dari bibir wanita yang sudah melahirkan Keysha.

"Tidak bisa, Rosa. Dia sangat dekat dengan anakmu."

"Tapi, Rosa sudah kembali, Bu," ucap Bu Rosa.

Mas Andra terlihat frustasi. Ia menjambak rambutnya, aku jadi tak tega.

"Ya sudah, Mas, biarkan aku saja yang pergi dari rumah ini."

Mas Andra tak menjawab sepatah katapun, ia hanya menatapku sendu. Apakah ini artinya, ia akan mengabulkan permohonanku kali ini?

--

Aku tengah mengemas pakaian. Mas Andra memang hanya diam saja saat tadi bersama di kamar sebelah. Tapi, melihat kebimbangan di hatinya, sepertinya aku harus tahu diri. Biarlah Mas Andra hidup seperti dulu lagi. Bersama dengan keluarga lengkapnya.

"Kamu mau ke mana, Dek?"

Sebuah suara mengagetkanku. Sepasang tangan melingkar di pinggang ini.

"Sepertinya, aku memang harus pergi dari sini, Mas," ucapku.

Mas Andra membalikkan badan, kemudian memelukku erat.

"Nggak, Dek. Kamu jangan pergi."

Kuurai pelukan itu, tapi tangan Mas Andra seakan kuat memeluk.

"Mas, bagaimana dengan Bu Rosa? Aku tak mau disebut sebagai perempuan penggoda suaminya. Biarkan kalian hidup bahagia."

Mas Andra menatapku, ada perasaan kecewa di sepasang maniknya. Ya Allah, aku juga tak ingin pergi, tapi bagaimana lagi? Aku tak mungkin terus berdiam di sini.

Mas Andra mengamit tanganku, lalu berjalan ke luar.

"Mas, mau ke mana?"

"Ikut aja."

Mau ke mana ia membawaku?

Kami masuk ke kamar sebelah, tempat Bu Rosa ada. Atau, akankah lebih baik kupanggil Mbak saja?

"Rosa!" panggil Mas Andra. Yang dipanggil sedang tiduran. Enak betul, aku sudah remuk jiwa, dia malah begitu.

"Apa, Mas?" tanya Mbak Rosa sambil berusaha bangun.

Aku bisa melihat dengan jelas tadi saat Mbak Rosa tiduran, wajahnya sangat cerah, senyum terukir di wajahnya. Namun, apa-apaan ini? Apakah dia ingin mengajakku bermain akting?

Mas Andra menghampiri. Ada raut khawatir di sana.

"Aku sedikit pusing, Mas."

Hilih, paling cuma pura-pura. Loh, kok sekarang aku pinter nyinyir? Wah, gak beres ini.

"Ada apa kamu ke sini, Mas?"

Mas Andra tampak menggaruk kepalanya. Iya, ada apa dia sampai hampir menyeretku ke sini?

"Sebenarnya, aku pusing. Aku tak ingin Nining pergi," ucapnya lirih.

Mbak Rosa menatap ke arahku, benci itu semakin jelas terlihat.

"Kenapa? Kamu sudah tidak mencintainya, malah pindah hati dengan pelakor itu?" tanyanya secara menuding ke arahku.

Apa? Aku, pelakor? Jika saja bukan karena Ibu dan juga Keysha, aku pun tak mau dalam posisi seperti ini. Tak mungin juga aku mau mengubur rapat-rapat harapanku untuk menikah dengan lelaki pilihanku sendiri.

Aku sadar, mungkin dalam hati memang sudah ada ras cinta pada Mas Andra. Tapi jika dihadapkan pada kenyataan seperti ini, aku pun tak mau.

Pelakor. Siapa yang mau dapat gelar serta julukan seperti ini? Apalagi memang betul aku tak pernah merebut suaminya itu.

"Bukan begitu, Rosa. Tapi bagaimana dengan Keysha?" Akhirnya suami kami itu mulai membuka mulutnya.

Suami kami? Sangat lucu. Aku bahkan tak pernah bermimpi menjadi istri kedua, sekalipun itu dari seorang pengusaha sukses.

Kenapa aku tak memikirkan ini sedari awal? Kenapa baru sadar sekarang? Kenapa aku tak pernah berpikiran bahwa mungkin saja suatu hari nanti, istri suamiku itu datang?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status