"Selamat pagi, Pak Amar. Saya ingin mengabarkan bahwasanya persidangan baru saja selesai. Anda sudah resmi bercerai. Selamat.."
Amar menerima telpon dari pengacara perceraiannya. Dia baru saja terbangun dari tidur. "Ya Tuhan.. sudah jam 10," Amar melirik jam yang ada di dinding kamarnya. Dia lalu menaruh ponselnya kembali ke atas nakas. "Persidangan? Bercerai?" Amar yang belum sadar secara penuh mencoba mengingat-ngingat semuanya. "Astagaa!! Hari ini adalah harinya!!" Hari ini adalah hari perceraian Amar dan Raina setelah menjalani biduk rumah tangga yang baru menginjak 6 bulan. Amar bertekad bulat untuk menceraikan Raina. Tak perlu mediasi. Cukup sidang satu kali saja dan tak ada pembagian harta gono gini. Raina tak berhak atas harta yang Amar miliki. Amar juga sudah mengutus pengacara perceraiannya untuk mengurus semuanya sehingga dia tidak perlu repot untuk hadir. Dia sudah muak dengan pernikahan ini!! Setelah ingatannya terkumpul sempurna, sontak Amar menoleh ke arah samping. Kosong. Sudah tak ada lagi wanita itu berbaring disana. Dia lalu menuju kamar mandi berharap wanita itu masih berada disana. Tapi, kosong. Amar lalu keluar menuju keluar kamarnya, menyelusuri ruang tamu, ruang keluarga dan berakhir di dapur tempat wanita itu biasanya menyepikan diri. Tapi raganya pun tak terlihat. Amar kembali mencoba mencari ke halaman belakang, mungkin saja wanita itu sedang menjemur pakaian. Tapi hanya ada mbok Darti, asisten rumah tangganya yang sedang disana. Dia lalu berlari ke halaman depan, berharap wanita itu sedang menyiram tanaman yang dirawatnya dengan sepenuh hati. Tapi, bunga-bunga tersebut tampaknya kering karena mulai dilumat sinar mentari. Amar terduduk di sofanya dengan lesu. Kemanapun dia berkeliling di rumah besarnya ini, wanita itu tak ditemukan. "Jadi, dia benar-benar sudah pergi..." ucap Amar lemah. Dia lalu mengacak-acak rambutnya dan berakhir mengusap wajah tampannya. Ingatannya kembali pada kejadian tadi malam... *** "Sepertinya kau sangat bahagia," ketus Amar mengejutkan Raina yang sedang mengelap gelas dan piring di meja makan. Padahal gelas dan piring itu sudah bersih. Tapi, Raina sangat suka mencuci dan mengelapnya kembali. Raina menatap suaminya itu dengan tatapan kosong. Enggan menjawab. "Aku sangat bahagia karena besok hari perceraian kita. Aku bisa bebas dari cengkramanmu!" Tak ada jawaban. Hening. Seperti biasa, Raina tak pernah menanggapi gerutuan Amar. Amar yang kesal dengan sikap Raina yang mengacuhkannya menjadi naik pitam. "Kau pasti juga merasa bahagia! Karena setelah ini kau akan kembali ke lelaki itu, kan?? Lelaki selingkuhanmu!!!" Geram Amar kepada Raina. Raina menaruh gelas yang baru dilapnya di atas meja dengan cukup keras lalu memandang Amar sekilas. Tapi, dia tak mau berdebat. Raina lebih memilih menyusun gelas yang sudah dibersihkannya itu di tatakan. Tak tahan dengan kesombongan Raina. Amar menarik tangan istrinya itu dengan kasar sampai gelas tersebut jatuh dari tangan Raina. Amar tak perduli gelas itu pecah atau tidak. Dia tetap menarik Raina dan menguncinya di dalam kamar. Kamar yang seharusnya menjadi kamar mereka tapi sayangnya Amar tak pernah mengizinkan Raina untuk masuk kedalamnya. Dengan kasar, Amar mendorong Raina sesampainya mereka di kamar itu. "Katakan padaku, Raina!! Apa kau senang sekarang??!!!!" Ucap Amar dingin. Dia kembali mengambil Raina yang hampir terdorong jatuh dan mencengkram lengannya dengan kasar. Raina menahan sakit karena cengkraman kuat dari Amar. Tapi dia tetap tak bersuara. "Kau pasti sangat bahagia karena besok kau akan bebas, kan??" Dinginnya suara Amar mengoyak-ngoyakkan hati Raina. Dengan kasar Amar mencengkram kembali lengan Raina dan menghempaskannya begitu saja ke sudut tempat tidur. Kepala Raina hampir saja terbentur dengan sudut tempat tidur yang lancip itu. "Wanita murahan!!!!" Hardik Amar. "Harusnya dari awal aku sudah menceraikanmu!! Ah tidak! Seharusnya kita memang tidak perlu menikah!! Kau telah menghancurkan hidupku, Rainaa!!!!" Air mata mulai jatuh dari pelupuk mata wanita malang itu. Dia lalu bangkit dan memandang suaminya. "Cukup, mas.. tolong jangan menghinaku lagi! Besok kita akan berpisah.. aku ingin berpisah dengan baik-baik..," lirih Raina. Amar terkekeh sinis. "Baik-baik?? Bagaimana kita bisa berpisah baik-baik sedangkan kau bukan wanita yang baik!!" Raina menatap sedih suaminya itu. "Katakan padaku, Raina?? Sudah berapa kali kau melayani lelaki itu? Sudah berapa kali kau menyerahkan tubuhmu pada lelaki itu??? Kau memang jalang!!" "Astaghfirullah..." Raina terpekik sedih. "Cukup, mas! Aku mohon jangan hina aku lagi!! Aku sudah tidak sanggup!" Pinta Raina. Amar menggeleng dengan tatapan dinginnya. "Kau memang sudah hina di mataku, Raina!!" "Terserah apa katamu, mas..," jawab Raina yang batinnya sudah lelah. "Apa yang aku katakan kamu pasti tidak akan percaya..," Raina lalu pergi melewati Amar namun lengan wanita itu kembali di tahan dan tubuhnya di hempaskan begitu saja di atas tempat tidur. Amar lalu menelungkup di atas tubuh wanita yang masih menjadi istri sahnya itu. Kedua tangannya mencengkram tangan Raina. "Aku sangat membencimu, Raina!!" Amar menatap tajam Raina.. dengan amarah bercampur rasa jijik yang luar biasa. Raina meronta untuk dilepaskan tapi tangannya di cengkram dengan kuat. "Lepaskan aku, mas!! Kamu menyakitiku..," pinta Raina memelas. Air mata kembali mengalir di wajahnya.. ikut membasahi hijab biru muda yang sedang dipakainya. "Aku menyakitimu??" Tanya Amar sambil mengernyitkan dahinya. "Kau yang menyakitiku, Raina!!! Sekarang coba ceritakan! Apakah kau menikmati saat berhubungan dengan lelaki itu??!! Kau kejam sekali padaku, Raina!! Apa kurangnya aku untukmu!!!" Hardik Amar tepat di depan wajah Raina. Raina terperangah melihat kemarahan suaminya. Ia ingin membantah, tapi ia tau semua tidak akan gunanya. Amar tak akan mempercayainya. "Dan malam ini.. malam terakhir kita.. aku ingin mengambil apa yang harusnya menjadi hakku!!" Ucap Amar dingin. Raina terkejut dengan ucapan suaminya. Amar ingin mengambil haknya dari Raina. Tepat di malam perpisahan mereka. "Jangan, mas.." pinta Raina menahan tangis sambil mencegah Amar merobek bajunya. Amar mendesis dingin. "Kenapa? Kau lebih suka disentuh oleh selingkuhanmu itu dibanding aku?!" Amar menepis tangan Raina dengan kasar. Dia mengambil haknya dengan kejam. Setiap Raina meronta untuk melawan, Amar akan memukulinya. Tidak ada kelembutan. Raina menangis tersedu-sedu karena perlakuan yang ia dapatkan. Ia tak menyangka malam pertama melayani suaminya menjadi seperti ini. Amar begitu kasar padanya. Entah berapa ratus kali cacian dilontarkan pada wanita itu. Dia merasa sudah diperkosa oleh suaminya sendiri, walaupun di pertengahan ia merasa Amar mulai melunak kepadanya. Raina lalu memiringkan tubuhnya ketika semua selesai. Ia menutup matanya sambil menangis dengan lirih.. badannya terasa remuk. Entah luka seperti apa lagi yang muncul ditubuhnya. Rasanya tamparan Amar waktu itu masih ada bekasnya. Dan dia yakin, tubuhnya saat ini pasti banyak lebam. Karena barusan Amar menyiksanya seperti seekor binatang. Raina menutup matanya dengan rapat.. berharap waktu cepat berjalan.. agar ia bisa terpisah dari lelaki ini.. Lelaki yang dulu sangat mencintainya, tapi kini berubah menjadi monster yang mengerikan karena kesalahan yang tak pernah Raina lakukan.. #Bersambung"Aku tidak mau di operasi."Raina menatap Amar dengan penuh kesungguhan. "Kenapa?""Apa mas tidak melihat mereka tadi? Mereka sangat bersedih karena kehilangan bayinya.. dan aku tidak mau itu terjadi padaku..""Raina..." ucap Amar mencoba membujuk Raina."Tidak, mas! Keputusanku sudah bulat. Aku tidak akan dioperasi sampai anak ini lahir!" Ucap Raina tegas dengan mata yang mulai berembun"Raina.. apa yang terjadi pada mereka dan padamu itu berbeda.." jelas Amar."Apanya yang beda, mas?" Tanya Raina sedih."Aku bahkan mengidap penyakit yang lebih parah! Aku tidak mau egosi, mas! Jangan sampai karena ingin menyelamatkanku lalu kita membunuh anak ini! Lagipula hasilnya akan sama saja bagiku!Operasi atau tidak di operasi, aku akan tetap mati!""Raina!" Kata Amar dengan intonasi yang mulai tinggi."Apa kamu sadar yang sudah kamu ucapkan??"
Tak ada yang berubah dari Amar.Hanya saja dia tak mau membebani Raina dengan perasaannya. Apalagi Raina pasti masih merasakan trauma akibat penyiksaan Amar ketika mereka menikah dulu.Oleh karena itu, Amar tak mau egois. Dia tidak ingin memaksakan Raina menerima perasaannya. Baginya, Raina sehat dan bahagia saja sudah cukup. Apalagi sekarang benih yang ditabur Amar dalam perut Raina sudah menginjak 7 bulan.Perhatian Amar juga masih sama saja.Amar rutin mengajak jandanya itu untuk memeriksakan kehamilan. Dia juga setia menemani Raina yang harus mendapatkan transfusi zat besi di rumah sakit.Raina menderita anemia defisiensi zat besi, nutrisi untuk janinnya di serap oleh sang penyakit. Raina sering kelelahan bahkan dua kali sempat jatuh pingsan.Raina terbaring di ranjang observasi sambil menunggu transfusinya selesai.Samar-samar ia kembali melihat wanita paruh baya itu lagi. Kini seperti bersembunyi di balik
Tak ada suara dari ketiganya.Baik Amar, Erlina dan Raina diam membisu selama perjalanan pulang ke rumah. Apa yang mereka dengar hari ini bak petir yang menyambar otak mereka. Terasa sakit dan kosong.Raina terpekur duduk di kursi belakang menatap nanar keluar.Cobaan apalagi ini ?Apakah Tuhan benar-benar menyayanginya sehingga cobaan tak berhenti selalu mendatanginya?Apa ini sebagai ujian untuk menggugurkan dosa-dosanya?Sesampainya di rumah, ketiganya tak banyak bicara dan memilih masuk ke kamar masing-masing. Kecuali Erina yang menyempatkan dirinya mengantar Raina sampai ke kamarnya.Sedangkan Amar, masuk dan mengunci pintu kamarnya.Ia masuk ke kamar mandi dan menghidupkan shower dan menjerit sepuasnya.Air matanya luruh bersama dengan air yang jatuh dari atas kepalanya."Kenapa bukan aku saja, Tuhan??Kenapa Kau tidak hukum aku saja???Aku
Sudah hampir 2 bulan Raina tinggal di rumah ini, ia mulai terbiasa dengan tempat yang ia tinggali.Ia juga tak segan kembali lagi ke dapur walaupun sakit kepala dan mual sering kali menderanya.Seperti hari ini, Raina merasa kepalanya sakit sekali.. tapi ia ingin sekali memasak. Ia ingin memasak donat seperti dulu.Tak butuh waktu lama, Raina dengan cekatan bertempur di dapur membuat donat-donat tersebut.Erina dan mbok Darti pun dengan setia menemani Raina memasak di dapur."Rasanya enak sekali.." puji Erina sambil mencicipi satu donat coklat buatan Raina."Iya bu.. donat mbak Raina rasanya mirip seperti donat yang sering mas Amar beli dulu.." cetus mbok Darti."Oh ya? Amar sering membeli donat?" Tanya Erina tak percaya."Iya bu.. mungkin dua bulan lebih yang lalu lah.. pokoknya mas Amar sering beli donat dan hampir tiap hari. Jumlahnya juga banyak. Kadang sampai 30 donat sampai mbok bi
Raina menyendokkan satu butir bakso kecil ke mulutnya. Rasa hangat dan nikmat melumuri mulutnya, perutnya yang terasa lapar seperti menemukan maksud makanan yang cocok dengan rasa mualnya."Apakah enak?" Tanya Amar yang memperhatikan mantan istrinya itu memakan baksonya dengan perlahan.Raina mengangguk. "Enak, mas."Amar mengajak Raina untuk menyantap semangkuk bakso itu di meja makan saja. Tapi, Amar tetap menjaga jarak aman supaya Raina tak ketakutan."Mas tidak makan?" Tanya Raina pelan ketika ia melihat lelaki di sebrangnya itu hanya diam saja.Amar tersenyum. "Tadi mas sudah makan.."Raina mengangguk dan kembali menyantap makanannya."Apa mualnya masih begitu parah?" Tanya Amar akhirnya."Iya.."Amar ingin bertanya lagi tapi karena mendengar jawaban Raina yang singkat, ia tak mau merusak mood wanita yang dicintainya itu.Raina berhasil mem
Raina tercengang mendengar perintah Wijaya.Lelaki paruh baya itu menginginkan Amar untuk tinggal disini. Satu rumah dengannya.Sebenarnya tak ada yang salah, mengingat Amar juga tuan rumah di rumah ini.Tapi untuk tinggal satu atap lagi dengan lelaki itu?Rasanya Raina belum sanggup..Trauma itu belum hilang..Apalagi keduanya sudah berstatus menjadi mantan suami istri."Tidak apa-apa, pa. Aku tinggal disana saja.." jawab Amar."Lalu bagaimana kamu akan membayar operasional rumah itu? Kamu mau menghabiskan tabunganmu?Pikirkan mengenai listrik, air dan juga perawatan lainnya! Apalagi rumah itu dua kali lebih besar daripada rumah ini.." kata Wijaya dengan tegas."Papa tenang saja, insya Allah dalam waktu dekat aku akan mendapatkan pekerjaan.." jawab Amar mulai merasa tak enak karena papanya menggerutuinya di depan Raina.Raina tertunduk sambil memikirkan sesuat
Erina dan suaminya berhasil membawa Raina kembali ke rumahnya. Entah bagaimana caranya, wanita hamil itu sekarang berada dalam perlindungan mantan mertuanya.Erina juga mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Ayu yang sudah menampung dan merawat Raina selama ini.Sebenarnya, Raina menolak untuk tinggal bersama Erina dan Wijaya. Ia terlalu banyak merepotkan. Tapi melihat ketulusan dan kasih sayang yang Erina tunjukkan dan ketegasan Wijaya. Raina tak punya pilihan. Akhirnya ia mengikuti keduanya.Raina tiba di rumah kedua orang tua baik hati itu.Rumah berasitektur belanda. Terlihat sederhana tapi sangat luas.Rumah itu dibuat menanjak seperti bukit ketika akan masuk ke halamannya. Terdapat beberapa pohon yang lebat tertanam di halaman serta taman yang begitu terawat.Dulu, Raina suka sekali duduk di taman itu. Sangat teduh meskipun terik matahari menyapa.Rumah tersebut terdiri dari tiga kama
"Bukan. Ini bukan anakmu!" Ucap Raina tegas.Amar menatap wanita itu dengan kebingungan."Raina....." panggil Amar lembut."Ini bukan anakmu! Ini anak selingkuhanku! Aku hanya wanita kotor dan pezinah."Raina memalingkan wajahnya saat mengatakan hal itu, air mata tak bisa dibendungnya.Amar sangat sedih mendengar ucapan Raina. Ia sama seperti Raina, menahan tangisnya.Perlahan, Amar menarik kursi yang berada di samping tempat tidur dan duduk di samping Raina."Maafkan aku, Raina..." ucap Amar lirih."Aku sudah mengetahui semuanya, Wira sudah menceritakan semuanya padaku..Maafkan kebodohanku saat itu yang tak mempercayaimu.. aku benar-benar menyesal."'Jadi, mas Amar sudah mengetahui kebenarannya?' Ucap Raina dalam hati."Raina.. aku tahu luka yang kuberikan kepadamu begitu dalam.. aku mohon dengan sangat kepadamu tolong maafkan aku..Aku rela ber
Suara gemuruh terdengar kembali dari atas langit. Awan yang menggumpal hitam semakin menunjukkan tanda-tanda tangisan hebatnya."Ayo semuaa bereskan dagangan kalian! Sebentar lagi akan hujan!" Seru pria yang juga merupakan pedagang.Raina membereskan kotak donat terakhirnya dan menaruhnya di sebuah kantong besar.Namun rasa sakit kepala kembali mendera hingga mau tak mau tangannya harus kembali berpegangan kepada meja."Ya Allah.. mampukan aku untuk bertahan.." bisik Raina. Kepalanya benar-benar sakit. Tapi dia harus pergi.Karena saat ini bukan hanya gemuruh, tapi rintik gerimis sudah mulai turun.Dengan tertatih, Raina menyusuri jalan mencari ojek yang biasanya memangkal tak jauh dari taman rekreasi itu."Dimana mereka?"Tempat pangkalan ojek itu tampak kosong. Mungkin karena hujan, mereka mencari tempat yang aman untuk berteduh.Raina memutuskan untuk berjalan