Beranda / Romansa / Malam yang panas / Bab 5 - Yang belum selesai

Share

Bab 5 - Yang belum selesai

Penulis: Purple
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-29 17:07:21

Hampir dua bulan berlalu sejak malam itu. Malam ketika Nadia memilih melepaskan dua cinta dalam hidupnya demi menyelamatkan dirinya sendiri. Ia tak menyesali keputusan itu. Tapi rasa kehilangan masih seperti bayangan yang mengikuti ke mana pun ia pergi—tenang, sunyi, tapi selalu ada.

Hari-hari Nadia dipenuhi rutinitas. Kantor, apartemen, kafe langganan, dan sesekali kunjungan ke rumah ibunya. Ia mulai menulis jurnal, mencatat apa pun yang ia rasakan. Itu membantunya mengenali luka-luka lama yang selama ini ia tutupi dengan hubungan. Ia mulai merasa utuh, meski pelan dan tidak sempurna.

Namun, satu hal yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya adalah Reza.

Kadang ia membuka galeri foto secara tidak sadar dan menemukan potret-potret kebahagiaan mereka. Kadang ia menangis diam-diam sambil membaca ulang pesan-pesan Reza yang dulu. Bukan karena ia menyesal. Tapi karena cinta memang tidak selalu bisa selesai hanya dengan keputusan.

Sampai suatu sore, semuanya berubah.

---

Nadia sedang duduk di sudut kafe, sibuk mengetik proposal kerja ketika suara yang sangat ia kenal terdengar memesan kopi di depan. Ia menengadah perlahan, dan dadanya langsung mengencang.

Reza.

Masih dengan kemeja putih sederhana yang disukainya. Rambut sedikit lebih panjang, dengan ekspresi wajah yang lebih tenang dari sebelumnya. Ia tidak melihatnya. Belum.

Nadia ragu. Pergi? Tetap duduk? Menyapa?

Saat pikirannya berdebat, Reza berbalik dan pandangan mereka bertemu.

Waktu seakan berhenti.

Reza terpaku. Begitu pula Nadia. Untuk beberapa detik, hanya mata mereka yang berbicara—mengenang, bertanya, dan diam-diam berharap.

Lalu, Reza tersenyum kecil. Bukan senyum bahagia, melainkan semacam pengakuan bahwa takdir memang suka mempermainkan manusia. Ia mendekat perlahan, membawa kopinya.

"Sudah lama," katanya singkat.

Nadia mengangguk, berusaha tersenyum. "Dua bulan, kalau dihitung dari malam terakhir."

Reza menarik kursi dan duduk. Ia tidak bertanya boleh atau tidak. Seperti dulu. Seperti selalu merasa tempat itu memang miliknya juga.

"Bagaimana kabarmu?" tanyanya.

"Lebih baik," jawab Nadia jujur. "Aku banyak belajar."

Reza mengangguk. "Aku juga."

Mereka saling menatap, lalu terdiam lagi. Tidak ada keharusan untuk tergesa. Tidak ada tekanan seperti dulu. Hanya dua orang yang pernah saling mencintai, kini duduk bersama, mencoba memahami apa yang tersisa.

"Aku sempat ke apartemenmu dua minggu lalu," kata Reza akhirnya. "Hanya untuk memastikan kau baik-baik saja. Tapi kau tidak ada."

Nadia menatapnya. "Aku ke Bali waktu itu. Menyepi."

Reza tersenyum samar. "Itu bagus."

Lalu, diam lagi. Tapi kali ini bukan diam yang canggung, melainkan damai.

"Kau… masih marah padaku?" tanya Nadia pelan.

Reza menggeleng. "Tidak pernah marah. Hanya kecewa. Tapi itu bukan salahmu."

Nadia menggigit bibirnya. "Aku minta maaf."

Reza menghela napas. "Jangan. Kalau tidak ada malam itu, aku mungkin tidak pernah belajar melepaskan harapan yang menyakiti."

Nadia tersenyum kecil. "Kau terlihat lebih tenang sekarang."

"Aku belajar menyukai sepi," kata Reza. "Dan berdamai dengan yang tak bisa aku kendalikan. Termasuk kamu."

Nadia merasakan sesuatu menghangat di dadanya.

---

Pertemuan itu tidak diakhiri dengan janji atau air mata. Mereka hanya saling berpamitan, lalu berpisah seperti dua orang yang tahu bahwa waktu akan mempertemukan mereka lagi jika memang harus.

Namun sejak hari itu, komunikasi kembali terbuka. Pelan-pelan. Tanpa harapan besar. Hanya sapaan sesekali, tanya kabar, atau kiriman lagu seperti yang dulu mereka bagi.

Sampai suatu malam, Reza mengundang Nadia ke sebuah pameran seni kecil di galeri tempat sahabatnya bekerja.

Nadia datang.

Ia mengenakan gaun hitam sederhana. Reza menyambutnya dengan senyum yang lebih hangat dari yang biasa. Ada sesuatu dalam cara mereka saling menatap malam itu—bukan seperti dua orang yang jatuh cinta lagi, tapi dua jiwa yang akhirnya saling mengerti.

"Lukisan ini," kata Reza sambil menunjuk satu karya abstrak dengan warna merah dan biru saling bertabrakan, "diberi judul Yang Tak Pernah Selesai."

Nadia menatapnya, lalu melirik Reza. "Seperti kita?"

Reza tertawa pelan. "Mungkin."

Mereka berjalan menyusuri galeri, berbicara tentang seni, kehidupan, dan apa pun yang muncul di antara mereka. Semua terasa lebih ringan. Tak ada beban masa lalu. Hanya dua orang dewasa yang pernah hancur, kini mencoba membangun kembali percakapan.

Di akhir malam, Reza mengantar Nadia pulang. Tidak ada ajakan masuk. Tidak ada sentuhan. Hanya pelukan pelan di depan pintu.

Tapi pelukan itu lebih dalam dari apa pun.

"Terima kasih untuk malam ini," kata Nadia.

Reza mengangguk. "Terima kasih karena datang."

---

Hari-hari berikutnya membawa perubahan. Mereka mulai saling bertemu lagi. Bukan sebagai pasangan, bukan juga sebagai orang asing. Mereka menyebutnya “saling belajar ulang.” Belajar ulang tentang satu sama lain, tanpa ekspektasi.

Namun waktu tetap memainkan perannya.

Pada suatu sore yang mendung, Reza memutuskan untuk jujur.

"Aku masih mencintaimu," katanya pelan. "Tapi aku juga tidak ingin membangun hubungan yang baru di atas luka lama."

Nadia menatapnya. Ia tahu kata-kata itu bukan tekanan, melainkan pengakuan.

"Aku juga masih menyayangimu," jawabnya. "Tapi aku takut, Reza. Takut kalau kita hanya kembali karena kesepian."

Reza mengangguk. "Kalau begitu, mari kita tidak buru-buru. Tapi jangan menjauh. Karena kadang, yang perlu kita lakukan hanyalah tetap tinggal sampai yakin."

Nadia mengangguk. Malam itu, ia membiarkan Reza menggenggam tangannya untuk pertama kali sejak perpisahan.

Bukan karena cinta sudah utuh, tapi karena ada niat untuk kembali menumbuhkannya—bersama-sama.

Beberapa minggu setelah malam itu, hubungan Nadia dan Reza tumbuh perlahan. Tak lagi diwarnai ledakan emosi atau kata-kata manis yang terlalu manis. Semuanya lebih jujur sekarang—lebih tenang, lebih nyata.

Mereka mulai berbagi hal-hal kecil. Sarapan di kafe pojok, telepon larut malam ketika keduanya merasa kosong, atau hanya duduk berdua menatap jendela sambil saling diam.

Yang dulu tak sempat mereka pelajari, kini mereka jalani dengan perlahan: bagaimana caranya hadir untuk seseorang, tanpa harus menguasai. Bagaimana memberi tanpa meminta balasan. Bagaimana menerima bahwa orang yang kita cintai pun tetap bisa menyakiti—dan itu bukan akhir dari segalanya.

Suatu malam, Reza mengundang Nadia ke rumahnya. Bukan untuk makan malam romantis, bukan pula untuk membicarakan masa depan. Ia hanya ingin menunjukkan sesuatu.

"Aku sedang belajar menanam," katanya sambil memperlihatkan balkon kecilnya yang kini dipenuhi pot-pot tanaman.

Nadia tersenyum melihatnya. "Dulu kamu bahkan tidak tahu cara menyiram kaktus."

Reza tertawa. "Aku belajar, Nad. Karena aku butuh sesuatu untuk kuurus, selain pikiranku sendiri."

Nadia duduk di lantai balkon, memegang salah satu pot kecil yang berisi tunas tomat. “Tanaman ini mungkin lebih kuat daripada hati kita,” gumamnya.

Reza duduk di sampingnya. "Mungkin. Tapi setidaknya kita masih hidup. Masih bisa tumbuh."

Diam sejenak.

"Kau tahu?" kata Nadia. "Aku dulu takut sekali untuk kehilangan seseorang. Sampai akhirnya sadar, aku justru kehilangan diriku sendiri."

Reza menatapnya. “Sekarang kau sudah menemukan dirimu?”

Nadia berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Masih dalam proses. Tapi aku lebih jujur sekarang. Pada diriku. Pada apa yang aku butuhkan.”

Reza menatap matanya dalam-dalam. “Dan apa yang kau butuhkan?”

Nadia terdiam.

“Bukan orang yang membuatku merasa cukup,” jawabnya perlahan. “Tapi orang yang membuatku merasa ingin terus tumbuh.”

Mereka saling berpandangan cukup lama hingga angin malam terasa lebih hangat dari biasanya. Lalu Reza menyentuh tangan Nadia perlahan, kali ini tidak menuntut, hanya menawarkan. Nadia tak menepis.

Di tengah senyap malam, dengan cahaya balkon temaram dan aroma tanah basah, mereka saling mendekat—bukan untuk mengulang yang lama, melainkan membangun yang baru, meski dengan puing-puing yang sama.

---

Hubungan mereka berjalan pelan, seperti yang mereka janjikan. Tak ada pengumuman. Tak ada label. Hanya dua orang yang memilih saling hadir. Namun bukan berarti tak ada tantangan.

Suatu sore, Reza menerima tawaran pekerjaan dari luar negeri—sebuah peluang yang selama ini ia kejar.

“Aku ditawari posisi di Amsterdam,” katanya saat mereka duduk di bangku taman. “Tiga tahun kontrak. Mulai dua bulan lagi.”

Nadia menatapnya. Dadanya sesak, tapi ia menahan diri. Ia tahu, cinta sejati bukan menahan seseorang, tapi membiarkan mereka terbang saat waktunya tiba.

“Jadi?” tanyanya pelan.

“Aku belum jawab. Karena aku masih menimbang satu hal.”

“Yaitu?”

Reza menatapnya. “Kau.”

Nadia menunduk. Ia tahu jawaban klise yang biasa muncul di film: “Aku akan ikut.” Tapi hidup bukan film. Dan ia bukan wanita yang akan menyerahkan semua hanya demi cinta.

“Aku ingin kamu pergi,” katanya akhirnya.

Reza menatapnya, jelas kaget. “Apa?”

“Aku ingin kamu pergi. Kejar itu, Reza. Karena kamu butuh itu. Aku bisa melihatnya dari caramu bicara.”

“Tapi—”

“Aku tidak akan jadi orang yang membuatmu memilih antara mimpi dan cinta. Karena kalau cintaku membuatmu kehilangan mimpimu, maka cinta itu tidak layak dipertahankan.”

Reza diam lama. Sangat lama.

“Aku takut kehilanganmu lagi,” katanya jujur.

“Kau tidak akan kehilangan aku,” bisik Nadia. “Kalau kita memang ditakdirkan, waktu dan jarak tidak akan memutuskan apa pun. Tapi kalau tidak, setidaknya kita sudah pernah memperbaiki luka kita.”

Reza menggenggam tangannya. “Kalau begitu, bisakah kau tunggu aku?”

Nadia mengangguk, meski matanya mulai berkaca-kaca. “Asal kau pulang bukan karena merasa bersalah. Tapi karena kau benar-benar ingin kembali.”

---

Dua bulan kemudian, Reza berangkat. Tidak dengan tangis atau pelukan drama. Tapi dengan ciuman pelan di kening dan kata-kata sederhana:

“Kita tidak tahu akan seperti apa nanti. Tapi aku akan tetap mencintaimu, dengan caraku. Dan kalau nanti kita bertemu lagi, dan kau masih sendiri, aku akan kembali jatuh cinta padamu.”

Nadia tersenyum. “Kalau nanti kita bertemu lagi, dan kau sudah bersama orang lain, aku harap dia bisa mencintaimu lebih baik dariku.”

---

Waktu berlalu. Email, pesan, dan panggilan jarak jauh menjadi jembatan. Tapi mereka tidak menggantungkan harapan terlalu tinggi. Mereka belajar mencintai dengan melepaskan—dan tetap hadir dalam doa, bukan sekadar dalam genggaman.

Setahun kemudian, Reza pulang.

Bukan karena janjinya. Tapi karena ia tahu, hidup bukan hanya tentang pencapaian. Tapi tentang pulang ke tempat di mana hatinya merasa tenang.

Dan malam itu, ketika ia berdiri di depan pintu apartemen Nadia, membawa sebuket bunga matahari dan senyum yang tak pernah berubah—Nadia membukakan pintu dengan hati yang tak lagi retak.

Mereka tidak banyak bicara. Hanya saling menatap. Dan tahu, cinta mereka memang tak pernah selesai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Malam yang panas   Bab 86 - Saat Semua Menjadi Rumah

    Pagi itu, hujan turun pelan-pelan. Bukan hujan deras yang menakutkan, tapi rintik lembut yang menenangkan. Nadia menyeduh teh hangat di dapur, sementara Reza mengganti popok Aluna yang sedang tertawa-tawa di ranjang kecilnya."Dia makin pintar," ujar Reza sambil menoleh ke Nadia yang berdiri di ambang pintu, membawa secangkir teh untuknya."Dan makin cerewet. Tapi lucunya nggak hilang-hilang," balas Nadia.Setelah sarapan, mereka duduk di ruang tamu, memandangi jendela yang dihiasi embun. Di pelukan mereka, Aluna tertidur setelah kenyang bermain."Aku selalu suka suasana pagi kayak gini," kata Reza."Karena damai?""Karena kamu ada di sini. Karena kita ada di sini. Nggak peduli hujan, badai, atau apa pun, asalkan kita bertiga di tempat yang sama, semua terasa aman."Nadia tersenyum, menatap wajah Reza dengan rasa cinta yang masih sama seperti dulu, tapi kini lebih dalam. Cinta yang telah diuji waktu, jarak, konflik, bahkan tangis bayi di tengah malam.Hari-hari mereka dipenuhi tawa ke

  • Malam yang panas   Bab 85 - Di Antara Sunyi dan Rindu

    Aluna tumbuh cepat. Seperti waktu yang tak pernah menunggu. Baru kemarin mereka belajar mengganti popok, kini Aluna sudah bisa berjalan tertatih-tatih sambil tertawa, mengejar bayangannya sendiri di teras rumah."Jangan terlalu cepat besar, sayang," bisik Nadia suatu pagi sambil menyuapi bubur ke mulut kecil itu.Reza datang dari belakang, mengecup bahu Nadia, lalu mengelus kepala Aluna. "Tapi setiap langkah kecilnya, Nad, adalah bukti bahwa kita berhasil sejauh ini."Hari-hari berlalu, tapi tak semuanya mudah. Tantangan datang dalam bentuk yang berbeda. Reza mulai sibuk lagi dengan proyek seni, persiapannya untuk pameran di luar negeri membuatnya sering pulang malam. Nadia mulai merasa ada jarak yang perlahan tumbuh—bukan karena cinta berkurang, tapi karena fokus mereka terbagi.Malam itu, saat Aluna tertidur, Nadia duduk sendirian di ruang keluarga. Reza baru pulang, membawa laptop dan setumpuk berkas."Kamu belum makan?" tanya Reza sambil duduk di sampingnya.Nadia hanya menggeleng

  • Malam yang panas   Bab 85 - Surat untuk Masa Depan

    Musim hujan datang. Hujan deras turun hampir setiap sore, membawa aroma tanah basah dan nostalgia masa-masa awal Reza dan Nadia saling mengenal. Di dalam rumah mereka yang hangat, suasana dipenuhi suara-suara kecil Aluna yang mulai berceloteh. Ia belum bisa berkata-kata jelas, tapi gumamannya seperti musik bagi telinga Reza dan Nadia.Pagi itu, Nadia duduk di ruang kerja Reza sambil menggendong Aluna. Di hadapannya, terbuka sebuah buku kosong."Aku mau nulis surat buat Aluna. Untuk dibaca dia nanti saat usianya tujuh belas," kata Nadia.Reza yang sedang menyusun koleksi foto untuk pameran baru menghentikan pekerjaannya. "Itu ide bagus. Aku juga mau nulis. Kita bikin satu kotak waktu. Kita isi surat, foto, potongan baju bayi, semuanya. Buka bareng nanti."Nadia tersenyum. Ia mulai menulis.Untuk Aluna, saat kamu beranjak menjadi perempuan dewasa,Kamu mungkin sedang jatuh cinta, atau baru saja patah hati. Mungkin kamu sedang berjuang mencari tahu siapa dirimu. Apapun kondisimu, satu ha

  • Malam yang panas   Bab 83 - Rumah yang Bernyawa

    Hari-hari berlalu dengan ritme baru. Tangisan bayi, aroma susu, suara alat sterilisasi, dan malam-malam panjang tanpa tidur menjadi bagian dari keseharian Reza dan Nadia. Tapi di balik semua kelelahan, mereka menemukan jenis kebahagiaan yang belum pernah mereka kenal sebelumnya—kebahagiaan yang datang dari memberi, merawat, dan mencintai tanpa syarat.Pagi hari dimulai lebih awal dari biasanya. Nadia bangun sekitar pukul lima, lalu menyusui Aluna yang mulai merengek. Reza biasanya menyusul beberapa menit kemudian dengan secangkir teh hangat dan handuk kecil di tangan."Kita kayak kru sirkus," kata Nadia suatu pagi sambil tertawa kecil. Rambutnya berantakan, mata sembab, tapi senyumnya tak pernah hilang."Iya. Tapi kita sirkus yang cuma punya satu pemain bintang: Aluna," jawab Reza sambil menggendong putri mereka, lalu mengayunkannya pelan.Aluna mulai menanggapi suara dan wajah orang tuanya. Setiap kali Nadia menyanyi, ia menoleh. Setiap kali Reza

  • Malam yang panas   Bab 82 - Tanda-Tanda Kehidupan Baru

    Pagi itu mendung menggantung di atas Jakarta. Reza baru saja menyeduh teh hangat ketika mendengar panggilan dari kamar. "Reza... kayaknya air ketubanku pecah." Jantung Reza nyaris berhenti berdetak. Ia berlari menuju kamar, menemukan Nadia berdiri sambil memegangi perutnya. Ada tetesan bening di lantai. "Kita harus ke rumah sakit sekarang," katanya cepat sambil meraih jaket dan kunci mobil. Semuanya terasa begitu nyata. Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti mimpi. Nadia menggenggam tangan Reza erat di sepanjang jalan, berusaha tenang di tengah kontraksi yang mulai terasa. "Kita udah sampai di hari ini," bisik Nadia, napasnya terengah. "Iya. Hari di mana cinta kita lahir dalam wujud yang baru." Di ruang bersalin, waktu berjalan lambat dan cepat sekaligus. Para perawat dan dokter datang silih berganti. Kontraksi makin kuat. Reza tak pernah meninggalkan sisi Nadia, menggenggam ta

  • Malam yang panas   Bab 81 - Antara Harap dan Degup Waktu

    Memasuki trimester ketiga, Nadia mulai merasakan perubahan besar pada tubuhnya. Ia lebih cepat lelah, emosi mudah bergelombang, dan malam-malamnya sering kali diwarnai gelisah. Namun, dalam setiap peluh dan keletihan itu, ada Reza yang tak pernah beranjak jauh.Suatu malam, ketika angin berdesir lebih dingin dari biasanya, Reza memeluk Nadia dari belakang di tempat tidur. Ia bisa merasakan tubuh Nadia bergetar."Kamu mimpi buruk lagi?" bisiknya.Nadia mengangguk pelan. "Aku mimpi... kamu pergi. Aku panggil-panggil, tapi kamu nggak dengar. Rasanya sesak banget."Reza mengelus pelan perutnya, lalu menarik selimut lebih rapat. "Aku di sini. Dan aku nggak ke mana-mana. Kamu nggak harus kuat sendirian. Aku ada buat kamu."Nadia membalas pelukannya, air mata mengalir tanpa suara. Di balik rasa lelah dan nyeri, hatinya tetap berdebar karena cinta yang tak berubah.Hari-hari berikutnya mereka habiskan dengan lebih pelan. Reza mengambil c

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status