Share

5. Kematian

Wanita itu menatap pria mesum yang baru saja melecehkannya dengan mata memerah, manik hijau zamrudnya di penuhi air mata. Helena merogoh sakunya dengan sisa tenaga yang ia miliki, mengambil sesuatu yang bisa menjadi senjata terakhir untuk melindungi diri.

“ARGHHH!!!” erang Hans sambil menutup matanya. Pria itu bahkan menabrak langit-langit mobilnya sendiri. “Apa yang kau lakukan, Jalang!” makian Hans di sela-sela jerit kesakitannya.

Helena baru saja menyemprotkan cairan desinfektan yang selalu ia bawa ke mata Hans. Seolah mendapatkan tenaga dari raungan kesakitan pria tua itu, Helena langsung menendang Hans hingga tersungkur di dekat kemudi mobil, selanjutnya dengan sigap gadis bertubuh kurus itu membuka pintu mobil dan segera berlari keluar.

Helena berusaha berlari sejauh mungkin dari mobil bugatti yang baru saja ditumpanginya, sumpah serapah semakin frontal Hans lontarkan ketika tahu Helena pergi menjauhinya.

“Kau akan mati di hutan, tak ada satupun yang melewati jalan ini, Pelacur! Kembali ke sini, tak ada seorangpun yang akan mencarimu di sini, tak ada seorang pun yang peduli padamu!”

Helena tak mempedulikan ucapan Hans, ia terus berlari dengan terseok-seok ke dalam hutan untuk menghindari pria itu. Helena duduk bersandar di bawah pohon besar setelah dirasa aman dari kejaran pria mesum yang berani bertindak macam-macam dengannya itu. Deruman mobil Bugatti baru saja terdengar melewati tempat Helena bersembunyi itu. Helena yakin itu adalah mobil milik Hans, karena satu-satunya kendaraan yang lewat jalan ini cuma hanya mobil mewah milik keluarga Diggory itu.

“Sepertinya ia sudah tak mengejarku lagi,” gumam Helena tampak lega. Ia memaksa kakinya yang gemetar untuk berdiri dan melangkah lagi. “Adikku menungguku, aku harus cepat.” Helena melihat jam di pergelangan tangannya, ia benar-benar tak punya banyak waktu.

***

Waktu tampak tak berjalan bagi Helena tapi begitu ia melihat jam di pergelangan tangannya, ia sudah menghabiskan lima setengah jam untuk sampai di rumah sakit ini. Helena bahkan tak sempat mengatur napasnya setelah empat jam terus berjalan dan akhirnya menemukan bus tumpangan. Wanita bertubuh kurus itu harus menaiki kendaraan selama dua setengah jam sampai akhirnya ia sampai di lorong kamar inap rumah sakit ternama itu.

Langkahnya sudah sangat berat, keletihan yang teramat sangat mendera wanita berambut hitam itu. Peluh bercampur air mata menetes turun di kedua sisi pipinya. Helena tahu, ia sudah terlambat, sudah amat sangat terlambat.

"Nona Helena, akhirnya Anda datang,” ujar seorang perawat dengan ekspresi kesal, tampaknya ia adalah perawat yang ditugaskan untuk menghubungi Helena sedari tadi.

“Adikku?” tanya Helena di sela napasnya yang terputus-putus.

"Kami telah berusaha semaksimal mungkin, tapi keadaan adik Anda sungguh–." Perawat itu menghentikan kalimatnya, tampak bingung hendak berkata apa, terutama ketika melihat keadaan wanita di hadapannya begitu buruk. Sambil menepuk pundak Helena, wanita dengan seragam serba putih itu melanjutkan perkataannya,  “adik Anda telah meninggal dua setengah jam yang lalu, dan–."

Selanjutnya ucapan perawat itu bagai tak terdengar di telinga Helena. Dengungan keras terngiang di kepalanya, seakan lantai yang ia pijak amblas, Helena sekarang jatuh bersimpuh sambil menangis keras. Wanita itu bahkan tak sadar ia menangis begitu keras hingga orang-orang melihatnya dengan tatapan penasaran.

Perawat di hadapan Helena langsung memapahnya, beberapa orang tampak terganggu dengan raungan kesedihan wanita itu sekarang, walau ada juga yang menatap iba.

“Nona Helena, kendalikan diri Anda,” ujar perawat itu mencoba menenangkan wanita berambut panjang itu. “Anda mengganggu ketenangan rumah sakit ini, saya bisa memerintah petugas keamanan untuk mengeluarkan Anda.”

Mendengar hal itu, Helena menahan isak tangisnya dengan menekukkan tubuh dan memeluk lutut sambil bersandar di lorong rumah sakit. Melihat keluarga pasien yang ditanganinya sudah lebih tenang, perawat itu menghela napas. Wanita berpakaian serba putih itu kemudian menuntun Helena ke kamar rawat inap adiknya.

Di atas brankar, tampak sosok jasad yang ditutupi kain putih. Helena menatap hampa pemandangan itu, ia bahkan tak percaya apa yang sedang dilihatnya sekarang, walau di alam bawah sadarnya pernah memimpikan kejadian ini berkali-kali, tetapi menghadapi mimpi paling buruknya menjadi kenyataan, Helena seakan tercekik walau organ pernapasannya masih berfungsi dengan baik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status