Wanita itu menatap pria mesum yang baru saja melecehkannya dengan mata memerah, manik hijau zamrudnya di penuhi air mata. Helena merogoh sakunya dengan sisa tenaga yang ia miliki, mengambil sesuatu yang bisa menjadi senjata terakhir untuk melindungi diri.
“ARGHHH!!!” erang Hans sambil menutup matanya. Pria itu bahkan menabrak langit-langit mobilnya sendiri. “Apa yang kau lakukan, Jalang!” makian Hans di sela-sela jerit kesakitannya.
Helena baru saja menyemprotkan cairan desinfektan yang selalu ia bawa ke mata Hans. Seolah mendapatkan tenaga dari raungan kesakitan pria tua itu, Helena langsung menendang Hans hingga tersungkur di dekat kemudi mobil, selanjutnya dengan sigap gadis bertubuh kurus itu membuka pintu mobil dan segera berlari keluar.
Helena berusaha berlari sejauh mungkin dari mobil bugatti yang baru saja ditumpanginya, sumpah serapah semakin frontal Hans lontarkan ketika tahu Helena pergi menjauhinya.
“Kau akan mati di hutan, tak ada satupun yang melewati jalan ini, Pelacur! Kembali ke sini, tak ada seorangpun yang akan mencarimu di sini, tak ada seorang pun yang peduli padamu!”
Helena tak mempedulikan ucapan Hans, ia terus berlari dengan terseok-seok ke dalam hutan untuk menghindari pria itu. Helena duduk bersandar di bawah pohon besar setelah dirasa aman dari kejaran pria mesum yang berani bertindak macam-macam dengannya itu. Deruman mobil Bugatti baru saja terdengar melewati tempat Helena bersembunyi itu. Helena yakin itu adalah mobil milik Hans, karena satu-satunya kendaraan yang lewat jalan ini cuma hanya mobil mewah milik keluarga Diggory itu.
“Sepertinya ia sudah tak mengejarku lagi,” gumam Helena tampak lega. Ia memaksa kakinya yang gemetar untuk berdiri dan melangkah lagi. “Adikku menungguku, aku harus cepat.” Helena melihat jam di pergelangan tangannya, ia benar-benar tak punya banyak waktu.
***
Waktu tampak tak berjalan bagi Helena tapi begitu ia melihat jam di pergelangan tangannya, ia sudah menghabiskan lima setengah jam untuk sampai di rumah sakit ini. Helena bahkan tak sempat mengatur napasnya setelah empat jam terus berjalan dan akhirnya menemukan bus tumpangan. Wanita bertubuh kurus itu harus menaiki kendaraan selama dua setengah jam sampai akhirnya ia sampai di lorong kamar inap rumah sakit ternama itu.
Langkahnya sudah sangat berat, keletihan yang teramat sangat mendera wanita berambut hitam itu. Peluh bercampur air mata menetes turun di kedua sisi pipinya. Helena tahu, ia sudah terlambat, sudah amat sangat terlambat.
"Nona Helena, akhirnya Anda datang,” ujar seorang perawat dengan ekspresi kesal, tampaknya ia adalah perawat yang ditugaskan untuk menghubungi Helena sedari tadi.
“Adikku?” tanya Helena di sela napasnya yang terputus-putus.
"Kami telah berusaha semaksimal mungkin, tapi keadaan adik Anda sungguh–." Perawat itu menghentikan kalimatnya, tampak bingung hendak berkata apa, terutama ketika melihat keadaan wanita di hadapannya begitu buruk. Sambil menepuk pundak Helena, wanita dengan seragam serba putih itu melanjutkan perkataannya, “adik Anda telah meninggal dua setengah jam yang lalu, dan–."
Selanjutnya ucapan perawat itu bagai tak terdengar di telinga Helena. Dengungan keras terngiang di kepalanya, seakan lantai yang ia pijak amblas, Helena sekarang jatuh bersimpuh sambil menangis keras. Wanita itu bahkan tak sadar ia menangis begitu keras hingga orang-orang melihatnya dengan tatapan penasaran.
Perawat di hadapan Helena langsung memapahnya, beberapa orang tampak terganggu dengan raungan kesedihan wanita itu sekarang, walau ada juga yang menatap iba.
“Nona Helena, kendalikan diri Anda,” ujar perawat itu mencoba menenangkan wanita berambut panjang itu. “Anda mengganggu ketenangan rumah sakit ini, saya bisa memerintah petugas keamanan untuk mengeluarkan Anda.”
Mendengar hal itu, Helena menahan isak tangisnya dengan menekukkan tubuh dan memeluk lutut sambil bersandar di lorong rumah sakit. Melihat keluarga pasien yang ditanganinya sudah lebih tenang, perawat itu menghela napas. Wanita berpakaian serba putih itu kemudian menuntun Helena ke kamar rawat inap adiknya.
Di atas brankar, tampak sosok jasad yang ditutupi kain putih. Helena menatap hampa pemandangan itu, ia bahkan tak percaya apa yang sedang dilihatnya sekarang, walau di alam bawah sadarnya pernah memimpikan kejadian ini berkali-kali, tetapi menghadapi mimpi paling buruknya menjadi kenyataan, Helena seakan tercekik walau organ pernapasannya masih berfungsi dengan baik.
“Aku tak sanggup, kenapa kau tinggalkan Kakak sendiri, Rose?” gumam Helena ditengah isak tangisnya. Ia kembali jatuh terduduk di sebelah perawat yang bertuliskan “Brenda” di tag namanya.“Jasad adik Anda akan kami pindahkan ke kamar mayat dan menyiapkan pengkremasiannya jika Anda telah mengurus administrasi,” ucapnya seakan tanpa empati. Perawat itu tampak terlalu lelah menghadapi “tingkah” keluarga pasien.Helena masih tergugu sambil memeluk lututnya saat perawat itu pergi meninggalkannya di depan pintu kamar rawat inap mendiang adiknya. Helena menatap kosong ke arah mayat adiknya. Rose adalah satu-satunya alasan Helena untuk hidup. Wanita itu tak punya keluarga lain selain adiknya yang sekarang terbujur kaku di atas brankar. Rose dan Helena dibesarkan oleh orang tua yang abusive. Ayah mereka adalah seorang penjudi dan pemabuk, sedangkan ibu mereka adalah seorang pemarah yang melampiaskan rasa depresi akibat sikap buruk suaminya kepada kedua anaknya. Sejak kecil Rose dan Helena yang
Helena tak berani menatap balik pria yang sudah sah secara hukum dan agama sebagai suaminya. Wanita itu bahkan tak perlu mengangkat manik matanya hanya untuk melihat tatapan penuh kebencian dari suaminya. Tatapan yang dialamatkan kepadanya bahkan sebelum mereka membuat janji suci di altar pelaminan. Pandangan Helena sekarang hanya tertuju pada secarik kertas bertuliskan surat cerai di atas meja kayu jati yang tepat berada di depan Shane."Kenapa belum kau tandatangani juga? Kau ingin menunda dan mengatakan roh kakekku akan bangkit jika kau tandatangani surat cerai ini," sindir Shane sembari menggemeretakkan giginya kesal. Pria itu tak pernah menganggap Helena sebagai istri selama dua setengah tahun pernikahan mereka. Wanita di hadapannya itu tak lebih ia anggap sebagai benalu. Bahkan mungkin lebih dari itu. "Cepat tandatangani! Dan kau bisa bersenang-senang dengan semua selingkuhanmu!" "Baiklah," jawab Helena dengan suara tegas, menyembunyikan jari jemarinya yang bergetar. 'Kakek Gra
Tawa meremehkan keluar dari bibir milik pria tampan bersurai abu gelap itu. “Cih, kau benar-benar seorang hyper ya?” sindir Shane sambil menggelengkan kepalanya. ‘Apa ia tak punya malu sama sekali. Ia sudah bercinta dengan entah berapa pria sepanjang hari hingga malam ini, kemudian sekarang ia ingin bercinta denganku? Kupikir selama ini ia tak mau karena selalu ku rendahkan, ternyata ia hanya menunggu waktu yang tepat.’’“Kalau kau tidak keberatan, aku hanya ingin kau menemaniku malam ini, Shane,” ujar Helena dengan ekspresi dingin, manik matanya menatap ke jendela besar dengan pemandangan malam tepat di belakang suaminya itu. ‘Aku tak ingin sendiri malam ini, walau untuk hal itu aku harus menukarkan milikku yang paling berharga.’Helena dengan himpitan ekonominya tentu sudah sering untuk ditawari hal-hal semacam ini, mulai dari lelang keperawanannya, hingga menjadi simpanan pejabat. ‘Aku tak ingin melakukannya dengan sembarang orang. Lagipula aku penasaran bagaimana rasanya dipeluk s
Malam itu menjadi malam yang penuh keintiman tanpa romantisme bagi sepasang kekasih yang sedang bercinta di atas ranjang hingga pagi menjelang.Keesokan paginya Shane terbangun dengan keadaan segar bugar. Lelaki tampan dengan tubuh atletis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Tak ada seorang pun di atas ranjang selain dirinya, begitupun di dalam kamar mewah itu. Shane sekarang hanya sendiri di kamar tidurnya.'Bodoh sekali, kenapa aku bisa terlelap begitu nyenyak setelah bercinta dengannya!' umpat Shane dalam hati. Kehangatan dan aroma tubuh Helena masih tersisa di ranjang Shane. 'Ia pasti sudah kembali ke kamarnya dengan terburu-buru. Untunglah ia tahu diri. Tapi rasanya tak seburuk yang kukira untuk seorang wanita murahan, malah semalam benar-benar menyenangkan, ia seperti–.'"Perawan?" ujar Shane begitu terkejut hingga menyuarakan apa yang ada dipikirannya, melihat sebuah noda darah di tempat bekas Helena berbaring kemarin. Segera ia menyibak selimut yang menutup tubuh
Shane melihat ke sekitar kamar Helena. Rapi dan bersih. 'Sejak kapan ia pergi? Dan kemana? Ia tak pernah pergi pagi-pagi sekali. Ia selalu pergi setelah aku pergi.'Shane berkeliling mengamati kamar istrinya itu. Kamar itu sangat luas tapi dibanding kamar lain di kediaman milik Shane Digory, kamar yang ditempati Helena adalah yang terkecil. Kamar itu bernuansa putih cream dengan sebuah ranjang double bed yang tepat berada di tengah ruangan. Sebuah jendela besar dengan bingkai tebal seakan sofa, yang biasa Helena gunakan untuk duduk dan membaca di kamarnya. Jendela itu menghadap halaman luar. Sesekali Shane pernah melihat siluet istrinya yang duduk di sana saat ia terpaksa harus kembali ke rumah ini.Kamar itu hanya memiliki tiga tone warna saja, putih, cream dan broken white tanpa ada motif baik di sprei maupun gorden. Begitupun tanaman, tak ada bunga-bungaan dalam vas keramik ataupun sekedar lukisan di dinding bergambar pemandangan di kamar itu. Kamar itu benar-benar terlihat polos,
"Mau apa kau ke sini?" tanya pria dengan tatapan tajam dari manik coklat hazelnutnya. Walau bertanya seperti itu, Shane tahu benar siapa tamu yang baru saja memencet bel rumahnya itu. Di teras depan berdiri pria tua yang berusia dua kali umur Shane. Pria itu memiliki rambut putih panjang yang kusut dengan baju bermotif bunga dan coat bermotif garis horizontal. Belum cukup mengganggu mata dengan pakaiannya yang penuh dengan warna dan motif tak sesuai pakem fashion normal, pria tua itu juga memakai bawahan bermotif bunga-bunga berwarna cerah. Namun, Shane terlihat kesal dan menahan amarah kepada pria tua itu bukan karena penampilannya. Sama sekali bukan, tapi karena Shane tahu pria itu adalah salah satu dari sekian banyak pria simpanan lain milik Helena. Sebuah foto dikirimkan oleh Athena Ariana ke ponsel Shane beberapa waktu lalu yang memuat foto Helena sedang dirangkul oleh pria tua berambut putih itu. [Lihat apa yang dilakukan istrimu? Dia jelas sekali seorang hypersex. Pria itu
Tawa melengking Kimberly Ryder berbalut dengan suara lagu-lagu bernada cepat menunda jawaban dari pertanyaan Helena."Kau benar-benar akan menjual dirimu, wanita 'suci'?" ejek Kimberly Rider sambil menekankan kata 'suci' dan membentuk gestur tangan mengutip saat mengatakan kata itu.Helena kembali mengangguk, tapi kali ini ia membalas tatapan Kimberly Rider dengan penuh tekad. Helena tak punya jalan keluar lain."Ah kau betul-betul serius." Wanita berambut ungu terang itu menepuk kedua tangannya sebelum melanjutkan kalimatnya, tampak sangat antusias. "Kebetulan aku ada pekerjaan untukmu, dan aku merasa pekerjaan ini sangat cocok untukmu. Kau hanya perlu melakukan ini sekali saja, dan selanjutnya tak perlu menjajakan diri lagi. Selamanya kau akan dibayar sampai misi ini selesai, dan jika menurutmu bayarnya kurang, kau bisa meminta sesuka hatimu.” Helena mendelikan mata. "Jika bayarannya begitu menakjubkan, kenapa tidak kau ambil pekerjaan ini?"Kimberly tersenyum tipis. "Dari dulu kau
'Kenapa ia masih sadar? Bukankah ia sudah meminum obat biusnya.''Apakah ia akan membunuhku?'Posisi Helena sekarang berada di bawah Shane Digory, lelaki bersurai abu gelap itu mengukung tubuh Helena dengan kedua kakinya. Posisi mereka sekarang seakan sepasang kekasih yang siap bercinta dengan gaya misionaris.Tangan kanan Shane Digory masih berada di leher gadis berambut hitam itu, kemudian saat tangan kiri pria itu menyibak rambut hitam panjang milik Helena yang terurai menutupi wajah."Kau?" Sebuah kata dengan nada tanya, lolos dari bibir tipis pria tampan itu.Helena mulai meneteskan air mata dengan wajah memerah karena oksigen yang masuk ke tubuhnya mulai berkurang akibat cekikan dari Shane Digory.'Jika aku mati jika maka Rose akan sendirian!' Helena menjerit ketakutan dalam hatinya. Ketimbang kematiannya, Helena lebih takut kalau Rose akan hidup sebatang kara."Shane, apa yang kau lakukan?" tanya seorang pria yang tiba tiba sudah berada di dalam kamar. Memecah keheningan diantar