Beranda / Mafia / Mantan Kakak Tiri / Bab 1 Aku Tudak Akan Membiarkanmu Pergi Lagi

Share

Mantan Kakak Tiri
Mantan Kakak Tiri
Penulis: Silentia

Bab 1 Aku Tudak Akan Membiarkanmu Pergi Lagi

Penulis: Silentia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-19 16:01:41

Cahaya lampu toko bunga itu menembus kaca jernih, memantul pada kelopak mawar merah yang baru saja disiram. Aroma lembutnya memenuhi udara, bercampur dengan wangi hujan yang masih menetes di luar. Elara menunduk, mengatur satu per satu batang bunga dengan hati-hati seolah dengan begitu ia bisa menjaga hatinya tetap tenang.

Hari-hari terakhir terasa damai. Tak ada mimpi buruk. Tak ada bayangan masa lalu. Setidaknya, itu yang ia kira.

Suara bel kecil di atas pintu berbunyi. Langkah sepatu kulit menjejak lantai marmer. Lembut, namun berat, seolah setiap hentakan membawa ancaman.

Hatinya berdetak tak wajar.

Ia tahu suara itu. Ia tahu langkah itu.

Tidak. Tidak mungkin.

“Elara.”

Satu kata cukup untuk menghancurkan semua ketenangan yang ia bangun selama tiga tahun terakhir.

Suara bariton yang dalam, sedikit serak, tetapi berwibawa. Suara yang dulu pernah memanggil namanya dengan lembut di lorong rumah keluarga mereka. Suara yang sama yang kemudian mengutuknya dengan dingin sebelum menghilang tanpa jejak.

Elara perlahan memberanikan diri untuk menatap dan di sana, di ambang pintu toko bunga mungilnya, berdiri pria yang dulu pernah menjadi kakak tirinya.

Damian Morreti.

Setelan hitam membungkus tubuh tegapnya. Rambutnya disisir rapi ke belakang, menyisakan beberapa helai yang jatuh di dahi. Mata kelam itu menatapnya tanpa senyum, tanpa ragu. Tatapan yang dulu membuatnya merasa aman, kini membuatnya gemetar.

“Kamu? apa yang kamu lakukan di sini?” suara Elara bergetar, hampir tak terdengar.

Sudut bibir Damian terangkat tipis, tapi itu bukan senyum. Itu peringatan.

“Aku hanya mengambil kembali apa yang dulu seharusnya tidak kubiarkan pergi.”

Elara mundur selangkah. “Kamu salah tempat. Hidupku bukan urusanmu lagi.”

Damian melangkah mendekat, langkahnya terukur, terencana. Jarak di antara mereka menyusut cepat.

“Sayangnya, kamu selalu menjadi urusanku, Elara.” Ia berhenti tepat di depan meja kayu, menatapnya dengan intensitas yang membuat napas Elara tercekat. “Aku mencarimu ke seluruh Eropa dan sekarang kamu di sini, berpura-pura jadi gadis biasa?”

“Pergi!” Suaranya tegas, tapi tangannya gemetar.

“Kamu pikir aku datang sejauh ini hanya untuk pergi?” Damian mencondongkan tubuhnya, suaranya nyaris seperti bisikan yang membakar udara di antara mereka. “Kamu milikku. Sejak dulu, dan sampai kapan pun.”

Elara menatapnya dengan mata yang mulai berkaca. Ia tahu, Damian bukan pria yang bisa dibujuk dengan kata-kata. Dia adalah badai yang menuntut, menghancurkan, dan memiliki.

Hari ini, badai itu kembali. Mengguncang seluruh ketenangan Elara.

Elara menatap pria itu dalam diam. Semua yang ada di depannya terasa seperti mimpi buruk yang dulu pernah ia coba kubur dalam-dalam. Namun, seperti bunga yang tumbuh di antara reruntuhan, kenangan itu muncul lagi, pelan, menyakitkan, dan indah pada saat yang sama.

Dulu, rumah keluarga Morreti selalu dingin. Dindingnya tebal, marmer putihnya berkilau, tapi tak pernah ada kehangatan di dalamnya.

Elara masih ingat hari pertama ia datang ke sana. Ia baru berusia enam belas tahun, berdiri di ambang pintu besar itu bersama ibunya yang baru saja menikah dengan ayah Damian.

Semua orang menatapnya dengan dingin. Semua, kecuali satu orang.

Damian.

Saat itu, pria itu baru berusia dua puluh dua tahun, tinggi, berwibawa, dan nyaris tak tersentuh. Ia berjalan menghampiri Elara tanpa ekspresi, menatap gadis itu yang menunduk gugup sambil menggenggam koper kecil.

“Selamat datang,” katanya datar.

Namun entah mengapa, suara itu menenangkan.

Hari-hari berikutnya berjalan lambat. Damian jarang bicara, lebih sering berada di ruang kerjanya atau keluar malam tanpa penjelasan tapi setiap kali Elara ketakutan karena petir, atau kesepian di rumah yang sunyi itu, langkah Damian selalu datang. Dia mengetuk pintu kamar Elara tanpa bicara, menyalakan lampu kecil, lalu duduk di kursi dekat ranjang sampai Elara tertidur.

Dia tak pernah menjelaskan apa pun dan Elara tak pernah berani bertanya.

Namun malam demi malam, rasa takutnya berganti dengan sesuatu yang lain. Sebuah perasaan yang ia tahu terlarang, tapi tumbuh semakin dalam.

Damian berbeda. Dia tak pernah tersenyum, tapi Elara tahu ada luka yang tak pernah sembuh di balik matanya. Kadang, di balkon rumah besar itu, Damian berdiri sendirian dengan segelas anggur, menatap jauh ke kota. Elara selalu datang diam-diam, berdiri di sebelahnya tanpa suara.

“Kenapa kamu selalu di sini?” tanya Damian suatu malam, tanpa menoleh.

“Karena kamu sendirian,” jawab Elara pelan.

Damian hanya tertawa kecil. Tawa yang nyaris tak terdengar, tapi menusuk.

“Sendirian itu pilihan, Elara. Jangan pernah dekat dengan seseorang yang memilih kesepian karena mereka akan menelanmu bersamanya.”

Elara tidak mengerti saat itu.

Ia hanya tahu, jantungnya berdetak terlalu cepat setiap kali Damian menatapnya lebih lama dari seharusnya.

Dan suatu malam, ketika badai mengguncang kota, Elara berlari ke ruang Damian dengan tubuh gemetar karena suara petir. Ia mengetuk pintu berulang kali. Damian membuka, mengenakan kemeja hitam separuh basah, rambutnya acak, wajahnya lelah.

“Aku takut,” lirih Elara.

Pria itu menatapnya lama, terlalu lama.

Lalu tanpa sepatah kata pun, ia menarik Elara masuk, menutup pintu, dan membiarkannya duduk di sofa kulit dekat perapian. Ia duduk di seberang, menatap api yang menari di antara mereka.

Tak ada yang bicara tapi malam itu, batas antara adik tiri dan sesuatu yang lebih dari itu mulai kabur.

Kini, berdiri di hadapan Damian yang sama, namun lebih dingin, lebih berbahaya. Elara sadar, mungkin sejak malam itu segalanya sudah salah. Ia mencintai pria yang tak seharusnya ia cintai dan kini pria itu kembali, bukan untuk mengenang, tapi untuk menuntut apa yang dulu mereka langgar bersama.

“Elara,” suara Damian memecah lamunannya, rendah dan bergetar. “Kamu ingat, bukan? Aku sudah memperingatkanmu dulu, bahwa aku tak tahu caranya melepaskan.”

Elara menelan ludah. Tatapan itu sama seperti dulu. Hanya saja kini lebih gelap, seperti jurang yang siap menelannya bulat-bulat.

“Dan kali ini,” Damian berbisik, suaranya serak namun tegas, “aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mantan Kakak Tiri   Bab 8 Cinta Bukan Alasan Menghancurkan Seseorang

    Pagi di Firenze selalu punya caranya sendiri untuk menipu perasaan. Langit cerah, udara segar, burung-burung beterbangan di atas atap, tapi di dada Elara, selalu ada sisa mendung yang tak juga pergi.Ia bangun lebih awal dari biasanya. Menyalakan lampu toko, merapikan rambutnya yang sedikit kusut, dan mengecek serta menyiapkan pesanan besar untuk Hotel La Firenze supaya pemesan merasa puas mendapatkan bunga terbaik. Hari itu, bunga yang dipesan adalah mawar putih, bunga yang melambangkan kesucian dan kedamaian. Ironis, pikir Elara, karena dalam hidupnya, kedamaian sudah lama tak singgah.“Signorina, mobil pengantar sudah siap,” ujar Sofia sambil menenteng clipboard. “Terima kasih, Sofia. Kamu jaga toko, ya. Aku yang antar pesanan ini sendiri,” balas Elara sambil tersenyum kecil.Sofia sempat memprotes, “Tapi ini banyak sekali, kamu yakin sanggup sendiri?”Elara mengangguk, “Aku butuh udara pagi. Tak apa, anggap saja jalan-jalan singkat.”"Baiklah." Sofia tidak mau berdebat, ia takut d

  • Mantan Kakak Tiri   Bab 7 Aku Tidak Akan Jatuh Lagi

    Seperginya Damian dari toko, Elara berusaha menata napasnya. Udara malam di Firenze terasa lembap, aroma tanah basah masih tertinggal setelah hujan panjang yang mengguyur sejak pagi. Ia berdiri di balik meja kasir, menatap sekeliling toko bunganya yang kini dipenuhi mawar mawar, lili putih, lavender ungu, dan daisy kuning. Hari ini adalah hari kasih sayang. Hari di mana orang-orang datang membawa senyum, dan pulang dengan bunga di tangan. Namun bagi Elara, hari ini adalah hari sial, pengingat bahwa cinta tidak selalu indah, kadang cinta bisa melukai sedalam duri mawar yang tampak lembut dari jauh. Ia menyesal pernah menaruh hati pada Damian. Bel pintu berbunyi membuyarkan lamunan Elara. “Selamat sore!” seru sepasang kekasih muda yang masuk dengan tawa. Elara tersenyum ramah, seperti biasanya, seolah tidak ada badai yang pernah melewati hidupnya. “Mawar merah tiga tangkai, tolong dibungkus cantik ya, signorina,” kata pria itu sambil menatap pacarnya dengan tatapan penuh kasih. “Te

  • Mantan Kakak Tiri   Bab 6 Kamu Memang Neraka Bagiku

    Hujan deras mengguyur Firenze malam itu. Langit seperti sedang berduka, petir menyambar dengan suara menggelegar, dan setiap kilat yang menyinari kaca jendela memantulkan bayangan suram di dinding rumah keluarga Morreti.Elara berdiri di dapur sendirian, hanya ditemani cahaya temaram dari lampu kecil di sudut ruangan. Tangannya menggenggam gelas air yang dingin, menatap kosong ke luar jendela. Ia sudah terbiasa dengan malam-malam seperti ini. Malam di mana Damian belum pulang, Giovanni sibuk di ruang kerjanya, dan rumah itu terasa lebih seperti penjara daripada rumah.Namun malam itu berbeda.Ada sesuatu di udara, berat, lembab, dan menyesakkan.Suara pintu besar terbuka dengan keras dan kasar membuat Elara tersentak.Langkah kaki berat bergema di sepanjang lorong. Ia tahu langkah itu milik Damian tapi ia tak tahu, kenapa malam ini membuatnya merasa gemetar ketakutan. Biasanya, suara langkah itu membuatnya tenang tapi malam ini, ada nada aneh di sana, langkah yang terseret, berat, da

  • Mantan Kakak Tiri   Bab 5 Kamu Takut Padaku?

    Elara tidak bisa tidur meski hujan di luar sudah berhenti dan petir sudah tidak ada lagi, hanya ada kilatan cahaya di langit sesekali. Ia duduk di pojok kamar, menggenggam lutut, sementara pikirannya berputar tanpa henti, bayangan darah, suara tembakan, dan tatapan dingin Damian berulang dalam kepalanya.Ia tidak pernah menyangka, semua adegan dalam televisi, ia kini melihatnya secara langsung. Sangat mengerikan dan bau darah itu, membuatnya terus menerus-merasa mual. Ia menatap jendela, berharap pagi cepat datang tapi justru ketukan pintu yang terdengar. Jantungnya langsung berdegup keras. “Siapa?” suaranya serak, penuh waspada.“Elara.” Hanya satu kata, tapi cukup untuk membuat napas Elara tertahan. Ia berdiri perlahan, tangannya ragu memutar kenop pintu tapi ia tetap membukanya. Damian berdiri, tanpa jas, kemejanya masih sama seperti sebelumnya, hanya kini sedikit basah karena hujan yang baru berhenti. Wajahnya tenang, tapi matanya, mata itu menyimpan sesuatu yang gelap, sesuatu

  • Mantan Kakak Tiri   Bab 4 Kamu Membunuh Orang

    Malam itu, hujan turun deras.Langit bergemuruh, memantulkan cahaya petir di jendela besar rumah keluarga Morreti. Semua lampu di ruang bawah menyala terang, tapi rumah itu terasa lebih menyeramkan daripada gelap.Elara turun pelan dari kamarnya, menggenggam sweater di tubuhnya. Ia takut petir dan ia butuh Damian. Suara keras, seperti benda pecah terdengar dari ruang kerja ayah tirinya. Ia berhenti di tangga, jantung berdegup cepat.Biasanya, suara seperti itu artinya satu hal, Damian sedang marah dan setiap kali Damian marah, semua orang di rumah itu memilih diam. Semua takut dengan kemarahan Damian. Malam ini berbeda..Ada teriakan suara pria lain. Suara yang bukan berasal dari keluarga Morreti.Elara menelan ludah.Naluri menyuruhnya kembali ke kamar, tapi rasa penasaran dan entah kenapa, juga kekhawatiran mendorong langkahnya maju. Ia berjalan mendekati ruang kerja di ujung koridor. Pintu kayu besar itu sedikit terbuka. Ruang kerja ayah tirinya yang hampir tak pernah ia datangi se

  • Mantan Kakak Tiri   Bab 3 Aku Akan Menjadi Neraka Untukmu

    Suara lonceng kecil di atas pintu kembali berbunyi, disusul langkah seseorang yang terbiasa datang setiap sore. Elara menoleh dan tersenyum tipis.“Ah, kamu datang lagi, Arvid,” sapanya lembut sambil mengelap tangan di celemek. Ia meninggalkan Damian begitu saja. Pemuda itu, dengan rambut cokelat muda dan wajah yang selalu tampak gugup di hadapan Elara, tersenyum kikuk sambil memegang setangkai bunga matahari. “Aku ingin bunga ini, cantik dan cerah sepertimu," ucapnya bercanda sembari membetulkan letak kacamatanya. Elara terkekeh kecil. “Kamu pelanggan paling rajin yang pernah aku punya. Bahkan bunga-bunga di etalase hafal sama wajahmu dan candaanmu.”Arvid tertawa pelan, matanya menatap Elara sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Ada kekaguman yang jelas, tapi tidak berani diungkapkan.Namun sebelum Arvid sempat menjawab, suara berat memotong udara. Suara yang dalam, tenang, tapi membuat jantungnya langsung menegang.“Menarik,” ujar Damian datar dari sudut ruangan. “Jadi sekaran

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status