Home / Mafia / Mantan Kakak Tiri / Bab 2 Karena Aku Tidak Tahu Caranya Berhenti

Share

Bab 2 Karena Aku Tidak Tahu Caranya Berhenti

Author: Silentia
last update Last Updated: 2025-10-19 16:04:08

Matahari sore menyelinap di antara tirai besar ruang tamu keluarga Morreti. Cahaya keemasan menimpa lantai marmer, memantul pada pigura-pigura mahal yang berjejer di dinding. Namun di tengah kemewahan itu, hanya ada dua orang yang tampak hidup: Damian dan Elara.

Elara duduk di karpet, menatap buku catatan di pangkuannya dengan dahi berkerut. “Kenapa angka-angkanya tidak masuk akal begini?” gumamnya, menggigiti ujung pensil.

Damian, yang duduk di sofa sambil membaca koran, mengangkat alis. “Karena kamu menambahkan pajak dua kali.”

Elara mendongak cepat. “Apa?”

Damian menurunkan koran dan menatap catatannya. “Lihat. Kamu kalikan delapan belas persen di awal, lalu kamu tambahkan lagi di akhir. Itu sebabnya hasilnya aneh.”

Elara mengerucutkan bibirnya. “Aku benci ekonomi.”

“Tidak ada yang menyuruhmu mencintainya.” Damian menegakkan duduknya, lalu mengambil pensil dari tangan Elara. “Tapi kalau kamu ingin lulus, setidaknya jangan membunuh angka-angka ini dengan kebodohan.”

Elara menatapnya tajam, namun tidak marah. “Kamu terdengar seperti guru yang kejam.”

“Aku memang kejam,” jawab Damian datar, lalu menulis cepat di buku Elara. “Tapi efektif.”

Elara menatap tulisan tangannya yang rapi, garis tegas dan angka-angka yang lurus seolah tak bisa goyah. Ia tidak tahu kenapa setiap hal kecil tentang Damian selalu menenangkan, meski pria itu nyaris tak pernah tersenyum.

“Damian,” panggilnya pelan.

“Hm?”

“Kenapa kamu selalu pulang larut malam?”

Pria itu berhenti menulis. Lalu menutup buku perlahan. “Bisnisku tidak untuk anak enam belas tahun.”

Elara mendengkus. “Kamu bilang begitu setiap kali aku tanya.”

Damian menatapnya, kali ini lebih lembut dari biasanya. “Kamu terlalu penasaran.” Ia sengaja tidak memberitahukan pekerjaan aslinya di dunia gelap pada Elara. Ia hanya ingin Elara tahu kalau kakaknya seorang pembisnis hebat.

“Karena aku khawatir.”

Satu kalimat sederhana itu membuat Damian terdiam. Matanya bergerak kecil, seolah berusaha menyembunyikan sesuatu.

“Khawatir?” ia ulang pelan. “Kamu tidak perlu khawatirkan aku. Aku tahu bagaimana cara menjaga diriku.”

Elara menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Kalau begitu, apa aku boleh menunggu sampai kamu pulang nanti malam?”

Damian mendengkus kecil, tapi ada sesuatu di balik nada dinginnya. “Kamu tidak akan sanggup menunggu. Aku sering pulang lewat tengah malam. Kamu juga harus fokus sekolah. Aku tidak mau memiliki adik yang tidak lulus sekolah karena begadang.”

“Aku bisa tidur di sofa.”

Pria itu menatapnya, separuh tak percaya, separuh ingin menolak tapi saat Elara tersenyum, senyum polos, hangat, dan jujur, Damian menyerah.

“Terserah,” katanya, menatap ke arah jendela. “Tapi jangan menangis kalau kamu kedinginan atau tiba-tiba ada hujan petir.”

"Tidak akan," jawab Elara mantap.

∆∆∆

Malam itu, Elara benar-benar menunggu Damian pulang. Ia menikmati suasana rumah besar yang hening, hanya suara jam berdetak menemani. Hujan turun di luar, rintiknya mengenai kaca jendela seperti bisikan lembut yang meninabobokan. Membuat Elara mengantuk dan tertidur.

Jam sudah hampir menunjukkan pukul satu ketika pintu utama akhirnya terbuka. Damian masuk dengan mantel basah dan wajah lelah tapi begitu melihat Elara tergeletak di sofa dengan selimut menutupi separuh tubuh, langkahnya melambat.

Ia meletakkan mantel, lalu berdiri lama di depan gadis itu. Ada sesuatu yang menegang di dalam dadanya, sesuatu yang asing, yang bahkan ia sendiri enggan mengakuinya.

Dengan hati-hati, ia mengambil selimut yang hampir jatuh dari tubuh Elara dan menariknya kembali. Ujung jarinya menyentuh pipi gadis itu tanpa sengaja, kulitnya hangat, lembut membuat Damian menahan napas, menahan gejolak yang tak wajar.

“Kenapa kamu selalu menungguku?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. “Kamu tidak tahu, betapa berbahayanya aku, Elara.”

Elara menggeliat sedikit karena merasakan sentuhan dingin di pipinya, ia membuka mata lalu tersenyum mengantuk. “Kamu sudah pulang?”

Damian segera menarik tangannya, mundur setengah langkah. “Tidurlah.”

Elara mengangguk pelan, lalu menutup mata lagi.

Damian berdiri lama di sana, menatap gadis yang tertidur di bawah cahaya lampu hangat dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, rumah itu terasa tidak sepi. Ia merasa memiliki kehidupan sekarang.

Keesokan harinya, mereka sarapan bersama. Ibu Elara sudah berangkat lebih awal, dan ayah Damian pergi ke luar negeri. Hanya ada mereka berdua di meja panjang yang terlalu besar untuk dua orang.

Elara menyuap roti panggang sambil menatap Damian yang sibuk membaca koran seperti biasa. “Kamu selalu terlihat seperti orang tua,” ujarnya tiba-tiba.

Damian mengangkat kepala, menatapnya sekilas. “Dan kamu selalu berbicara seperti anak kecil.”

“Itu artinya kita seimbang,” sahut Elara cepat.

Damian hampir tersenyum. Hampir.

Namun sebelum bibirnya benar-benar melengkung, ia menunduk kembali ke koran.

Waktu berlalu. Hari demi hari terasa sama, tapi tanpa sadar, sesuatu di antara mereka berubah. Elara mulai menyadari bahwa setiap kali Damian pulang, ia selalu menunggu di tangga atau sofa. Setiap kali pria itu bicara, dunia di sekitarnya seakan mengecil, menyisakan hanya suara bariton itu di telinganya.

Ia tahu, perasaan itu tidak seharusnya ada. Namun, setiap kali Damian menatapnya dengan mata kelam yang tenang, Elara berpikir, mungkin terlarang bukan berarti tidak nyata.

Dan di suatu sore, ketika mereka berdiri di balkon, cahaya matahari senja menimpa wajah Damian, membuatnya tampak lebih manusiawi, lebih rapuh, lebih dekat. Elara ingin mengatakan sesuatu, tentang perasaan yang tak bisa ia kendalikan tapi sebelum satu kata pun terucap, Damian berbalik dan berkata pelan, tanpa menatapnya.

“Kalau aku melangkah terlalu dekat, kamu harus menjauh, Elara.”

Gadis itu terdiam. “Kenapa?”

“Karena aku tidak tahu bagaimana cara berhenti.”

Itulah masa yang dulu terasa seperti kebahagiaan, sederhana, hangat, tapi berujung pada kehancuran.

Kini, bertahun-tahun kemudian, setiap saat Elara menatap mata Damian yang dingin, ia sadar satu hal, cinta itu tidak pernah mati. Ia hanya berubah bentuk menjadi sebuah obsesi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mantan Kakak Tiri   Bab 8 Cinta Bukan Alasan Menghancurkan Seseorang

    Pagi di Firenze selalu punya caranya sendiri untuk menipu perasaan. Langit cerah, udara segar, burung-burung beterbangan di atas atap, tapi di dada Elara, selalu ada sisa mendung yang tak juga pergi.Ia bangun lebih awal dari biasanya. Menyalakan lampu toko, merapikan rambutnya yang sedikit kusut, dan mengecek serta menyiapkan pesanan besar untuk Hotel La Firenze supaya pemesan merasa puas mendapatkan bunga terbaik. Hari itu, bunga yang dipesan adalah mawar putih, bunga yang melambangkan kesucian dan kedamaian. Ironis, pikir Elara, karena dalam hidupnya, kedamaian sudah lama tak singgah.“Signorina, mobil pengantar sudah siap,” ujar Sofia sambil menenteng clipboard. “Terima kasih, Sofia. Kamu jaga toko, ya. Aku yang antar pesanan ini sendiri,” balas Elara sambil tersenyum kecil.Sofia sempat memprotes, “Tapi ini banyak sekali, kamu yakin sanggup sendiri?”Elara mengangguk, “Aku butuh udara pagi. Tak apa, anggap saja jalan-jalan singkat.”"Baiklah." Sofia tidak mau berdebat, ia takut d

  • Mantan Kakak Tiri   Bab 7 Aku Tidak Akan Jatuh Lagi

    Seperginya Damian dari toko, Elara berusaha menata napasnya. Udara malam di Firenze terasa lembap, aroma tanah basah masih tertinggal setelah hujan panjang yang mengguyur sejak pagi. Ia berdiri di balik meja kasir, menatap sekeliling toko bunganya yang kini dipenuhi mawar mawar, lili putih, lavender ungu, dan daisy kuning. Hari ini adalah hari kasih sayang. Hari di mana orang-orang datang membawa senyum, dan pulang dengan bunga di tangan. Namun bagi Elara, hari ini adalah hari sial, pengingat bahwa cinta tidak selalu indah, kadang cinta bisa melukai sedalam duri mawar yang tampak lembut dari jauh. Ia menyesal pernah menaruh hati pada Damian. Bel pintu berbunyi membuyarkan lamunan Elara. “Selamat sore!” seru sepasang kekasih muda yang masuk dengan tawa. Elara tersenyum ramah, seperti biasanya, seolah tidak ada badai yang pernah melewati hidupnya. “Mawar merah tiga tangkai, tolong dibungkus cantik ya, signorina,” kata pria itu sambil menatap pacarnya dengan tatapan penuh kasih. “Te

  • Mantan Kakak Tiri   Bab 6 Kamu Memang Neraka Bagiku

    Hujan deras mengguyur Firenze malam itu. Langit seperti sedang berduka, petir menyambar dengan suara menggelegar, dan setiap kilat yang menyinari kaca jendela memantulkan bayangan suram di dinding rumah keluarga Morreti.Elara berdiri di dapur sendirian, hanya ditemani cahaya temaram dari lampu kecil di sudut ruangan. Tangannya menggenggam gelas air yang dingin, menatap kosong ke luar jendela. Ia sudah terbiasa dengan malam-malam seperti ini. Malam di mana Damian belum pulang, Giovanni sibuk di ruang kerjanya, dan rumah itu terasa lebih seperti penjara daripada rumah.Namun malam itu berbeda.Ada sesuatu di udara, berat, lembab, dan menyesakkan.Suara pintu besar terbuka dengan keras dan kasar membuat Elara tersentak.Langkah kaki berat bergema di sepanjang lorong. Ia tahu langkah itu milik Damian tapi ia tak tahu, kenapa malam ini membuatnya merasa gemetar ketakutan. Biasanya, suara langkah itu membuatnya tenang tapi malam ini, ada nada aneh di sana, langkah yang terseret, berat, da

  • Mantan Kakak Tiri   Bab 5 Kamu Takut Padaku?

    Elara tidak bisa tidur meski hujan di luar sudah berhenti dan petir sudah tidak ada lagi, hanya ada kilatan cahaya di langit sesekali. Ia duduk di pojok kamar, menggenggam lutut, sementara pikirannya berputar tanpa henti, bayangan darah, suara tembakan, dan tatapan dingin Damian berulang dalam kepalanya.Ia tidak pernah menyangka, semua adegan dalam televisi, ia kini melihatnya secara langsung. Sangat mengerikan dan bau darah itu, membuatnya terus menerus-merasa mual. Ia menatap jendela, berharap pagi cepat datang tapi justru ketukan pintu yang terdengar. Jantungnya langsung berdegup keras. “Siapa?” suaranya serak, penuh waspada.“Elara.” Hanya satu kata, tapi cukup untuk membuat napas Elara tertahan. Ia berdiri perlahan, tangannya ragu memutar kenop pintu tapi ia tetap membukanya. Damian berdiri, tanpa jas, kemejanya masih sama seperti sebelumnya, hanya kini sedikit basah karena hujan yang baru berhenti. Wajahnya tenang, tapi matanya, mata itu menyimpan sesuatu yang gelap, sesuatu

  • Mantan Kakak Tiri   Bab 4 Kamu Membunuh Orang

    Malam itu, hujan turun deras.Langit bergemuruh, memantulkan cahaya petir di jendela besar rumah keluarga Morreti. Semua lampu di ruang bawah menyala terang, tapi rumah itu terasa lebih menyeramkan daripada gelap.Elara turun pelan dari kamarnya, menggenggam sweater di tubuhnya. Ia takut petir dan ia butuh Damian. Suara keras, seperti benda pecah terdengar dari ruang kerja ayah tirinya. Ia berhenti di tangga, jantung berdegup cepat.Biasanya, suara seperti itu artinya satu hal, Damian sedang marah dan setiap kali Damian marah, semua orang di rumah itu memilih diam. Semua takut dengan kemarahan Damian. Malam ini berbeda..Ada teriakan suara pria lain. Suara yang bukan berasal dari keluarga Morreti.Elara menelan ludah.Naluri menyuruhnya kembali ke kamar, tapi rasa penasaran dan entah kenapa, juga kekhawatiran mendorong langkahnya maju. Ia berjalan mendekati ruang kerja di ujung koridor. Pintu kayu besar itu sedikit terbuka. Ruang kerja ayah tirinya yang hampir tak pernah ia datangi se

  • Mantan Kakak Tiri   Bab 3 Aku Akan Menjadi Neraka Untukmu

    Suara lonceng kecil di atas pintu kembali berbunyi, disusul langkah seseorang yang terbiasa datang setiap sore. Elara menoleh dan tersenyum tipis.“Ah, kamu datang lagi, Arvid,” sapanya lembut sambil mengelap tangan di celemek. Ia meninggalkan Damian begitu saja. Pemuda itu, dengan rambut cokelat muda dan wajah yang selalu tampak gugup di hadapan Elara, tersenyum kikuk sambil memegang setangkai bunga matahari. “Aku ingin bunga ini, cantik dan cerah sepertimu," ucapnya bercanda sembari membetulkan letak kacamatanya. Elara terkekeh kecil. “Kamu pelanggan paling rajin yang pernah aku punya. Bahkan bunga-bunga di etalase hafal sama wajahmu dan candaanmu.”Arvid tertawa pelan, matanya menatap Elara sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Ada kekaguman yang jelas, tapi tidak berani diungkapkan.Namun sebelum Arvid sempat menjawab, suara berat memotong udara. Suara yang dalam, tenang, tapi membuat jantungnya langsung menegang.“Menarik,” ujar Damian datar dari sudut ruangan. “Jadi sekaran

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status