Di tempat lain, tepatnya di ruang Wakil Presdir Sagala Corporation.
“Halo?” nada datar dari Dimas terdengar pada polisi yang meneleponnya saat ini.
[Gila aja Elo, ya? Udah balik kampung tapi lupa telepon gue. Memangnya gue udah nggak Elo anggap sama sekali, mentang-mentang Elo udah jadi Presdir Sagala, ha?!]
Dimas yang mendengar suara berat pria yang lumayan ia kenali, hanya bisa tersenyum kekeh sambil menaikkan kedua alisnya.
“Gue nggak sombong. Cuma kemarin gue pikir Elo udah tinggal di barisan makam pahlawan, Jay,” Dimas menjawab santai dengan nada tenangnya. Tapi yang di seberang sana sudah kebakaran jenggot.
Polisi itu bernama Wijaya Ambarita atau lebih akrab dipanggil Jay. Dia adalah sahabat karib Dimas sejak SMA. Itu artinya teman Nissa juga. Jay kini menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah Bandung, yang malam ini kebetulan ikut dalam razia putih yang dil
“Nissa? Ini beneran Elo, kan?” itu Jay yang berpura-pura baru melihat Nissa. Padahal sejak awal ia sudah melirik Nissa yang datang ke sana dari kejauhan.“Jay? Ngapain Lo di sini? Ketangkep juga?” Nissa langsung mencibir. Entah kenapa Nissa merasa Jay merupakan pelampiasan kekesalan yang baik saat ini. Itu karena di mata Nissa, Jay adalah sosok sahabat yang baik. Hanya saja mereka memang baru kembali bertemu saat ini.“Enak aja, Lo! Mentang-mentang gue cuma pakai kaos biasa gini, terus Elo bilang gue juga ketangkep razia? Gue nggak bajingan banget kayak mereka itu juga kali!” Jay balik mencibir.“Parah banget Lo, Nes. Masa Elo nggak tau kalau gue sekarang udah jadi Kapolsek? Temen apaan Lo, Nes? Sedih gue,” Jay berakting sedih.“Nggak usah lebay, Jay. Akting Lo udah gue hapal luar kepala tau? Gue memang nggak pernah denger kabar temen-temen lain.
“Ya, ini aku. Memangnya siapa lagi yang bakalan biarin kamu jatuh?”Itu Dimas dengan tatapan sayu dan sedih melihat kondisi wanita yang disayanginya. Dan ketika ia melihat ke Zaky yang sedang bergolek di tanah tanpa merasakan sakit karena jatuh, tatapan Dimas berubah nyalang.“Laki-laki yang model beginian yang kamu belain? Cuma karena cowok nggak berguna gini kamu nolak balik sama aku? Cuma karena dia kamu tolak perasaan kamu yang juga rindu aku, Nis?” Dimas begitu geram.“Kamu tau nggak, Nis? Ngelihat kamu sebegini repot dan sakit cuma karena laki-laki nggak guna ini buat aku sakit. Aku nggak sanggup lihat kamu kayak gini. Kamu nggak boleh sedih karena orang lain, Nissa!” Dimas membentak Nissa saat itu.“Jadi aku cuma boleh nangis karena kamu? Itu yang kamu mau bilang, kan? Jangan gila, Dimas. Itu nggak penting banget buat kamu omongin sekarang!” Bent
Dimas yang baru masuk ke dalam mobil langsung menatap Nissa serius tanpa bicara, dan itu membuat kekesalan Nissa terabaikan sejenak, terlebih ketika Dimas yang tetap diam malah memajukan tubuhnya perlahan pada Nissa."Mau apa kamu?" Nissa sedikit panik. Ia takut jika Dimas akan melakukan hal semberono lagi seperti mencuri ciuman tiba-tiba.Dimas tetap diam dan terus menggerus jarak di antara wajah mereka dan itu jelas membuat Nissa gugup."Dimas, jangan macam-macam. Aku bisa teriak biar polisi di luar denger dan tangkap kamu, loh!"Peringatan Nissa tetap tidak membuat Dimas bergeming. Ia terus mendekatkan wajah dan tubuhnya pada Nissa, seakan ia ingin memangsa Nissa bulat-bulat, karena dari pantulan bola mata Dimas, hanya ada wajah Nissa yang cantik.Merasa Dimas saat ini tidak mendengarnya sama sekali, Nissa pasrah meskipun ia tidak mau. Nissa refleks menutup mata dengan ekspresi kakunya.Akan tetapi, ekspresi Nissa yang seperti itu malah langsung membuat Dimas tersenyum geli. Ia tid
Nissa yang merasakan sentuhan bibir dingin menempel di dahinya, mulai membuka mata perlahan. Sesaat ia terdiam sebelum menyadari kalau Dimas sedang memberi kiss padanya.Hati Nissa bahagia sekaligus sakit saat menyadari dunia ketika membuka mata tidaklah seindah mimpi. Ia ingin serakah menerima cinta Dimas yang ia rindukan, tapi tembok penghalang cinta mereka terlalu besar untuk dipanjat.“Aku udah bangun,”Dimas terkesiap mendengar suara Nissa juga pergerakannya. Ia menarik wajahnya dan memosisikan duduknya dengan benar.“Apa aku ganggu tidur kamu? Kalau masih ngantuk, tidur aja lagi,” Dimas bertanya lembut dan sedih, seperti tidak rela kiss curiannya berakhir dalam waktu singkat.“Aku harus kerja, kenapa nggak bangunin aku kalau udah sampai sini?” Nissa berucap lebih tenang dan mulai bersiap untuk turun, tanpa ingin menatap mata Dimas, &rdquo
Dia adalah Akbar Lesmana, putra pertama Badar Lesmana dari istri sahnya. Tapi Akbar bukan anak kandung, melainkan anak angkat yang diadopsi istri Tuan Badar sejak usianya 3 tahun. Itu tepat setelah kabar kalau Nyonya Gina sudah melahirkan Nissa.Akbar diangkat dan diakui menjadi putra sulung keluarga Lesmana karena peran ibu angkatnya—Juanita Halim yang menjadi penopang 30% keuangan PT. Lesmana Sampurna. Ditambah lagi dengan kinerja dan profesionalitas Akbar yang tidak bisa diragukan.Jadi, Tuan Badar tidak bisa menolak kalau istrinya menjadikan Akbar sebagai Wakil Presdir Lesmana Sampurna sejak awal. Akan tetapi, tidak banyak yang tahu kalau Tuan Badar tidak menyukai Akbar sedikitpun. Sama seperti pada Nyonya Juanita, pria hidung belang hingga tua bangka itu tidak pernah mencintai istrinya.Bisa dibilang kalau Akbar memiliki nasib yang hampir sama seperti Nissa, anak yang tidak diakui ayah mereka, dan ibu merekapu
Setelah menyelesaikan sarapan dan mengamankan warga kampung tengahnya, Nissa langsung menuju ke bagian ICU, di mana Arul dirawat. Tepat saat Nissa tiba, Dokter Fandy muncul keluar dari pintu masuk ICU.“Selamat pagi, Dokter Fandy? Bagaimana kabar adik saya, Dok?”“Pagi, Nissa. Pelan-pelan dong, tanyanya satu-satu dulu biar kamunya juga enak dengerin jawaban saya,” Fandy menjawab dengan tenang, “Ayo, duduk dulu. Atau ke kantin aja? Kamu udah sarapan?”Nissa mengangguk, “Udah, Dokter. Barusan aja selesai makan. Saya mau dengar kabar adik saya, Dokter,” Nissa langsung bertanya lagi.“Tapi saya belum makan dari tadi malam. Kamu temanin saya sarapan di kantin dulu, yuk, sambil kita bahas ibu dan adik kamu,” Fandy jelas mengulur waktu agar mereka dapat berdua lebih lama.Sesaat terdiam dan berpikir, Nissa merasa tidak ada yang salah jika membicar
Mendengar ucapan Fandy membuat Nissa menatap ke arahnya, “Dokter mau bantu saya? Terus gimana saya balikin uang Dokter nanti? Sementara saya memang udah nggak punya uang lagi. Untuk biaya operasi Arul tadi malam aja, saya udah pinjem duit temen saya, Dokter,”Nissa tidak repot menutupi ketidakmampuannya. Bukan untuk mendapatkan rasa iba, tapi Nissa berpikir realistis kalau dirinya memang membutuhkan banyak biaya. Ia memang sungguh tidak berdaya kali ini.“Tapi saya nggak akan nyerah buat cari biaya untuk adik dan ibu saya. Kira-kira operasinya kapan dilakukan, Dokter?”“Tergantung reaksi pasien, karena itu pasti akan sangat sakit. Operasi akan dilakukan segera setelah kamu menandatangani surat pengambilan tindakan. Kalau hari ini reaksi yang dialami adik kamu fatal, mungkin malam nanti operasi sudah akan dilakukan,”“Secepat itu?” Nissa semakin bingung.
Nissa masih membatu mendengar pernyataan cinta sekaligus lamaran di tengah kacaunya pikiran Nissa tentang biaya rumah sakit ibu dan adiknya yang tinggi.Mata Nissa bahkan tidak berkedip saat mendengar sambil memandang Fandy yang terus bicara.‘Nes, aku udah balik. Aku kangen sama kamu. Ayo kita nikah. Aku bakalan ganti semua penderitaan kamu dengan bahagia sampai kita tua nanti,’Alih-alih menjawab dan memikirkan tawaran Dokter Fandy, Nalar Nissa malah langsung memutar ulang kalimat Dimas yang terus ia simpan di benaknya. Ia pun melamun di depan Dokter Fandy.“Nissa, kamu bisa dengar apa yang saya bilang, kan?” panggilan Dokter Fandy kali ini berhasil membuat Nissa terbangun dari lamunannya.“Ah, iya, Dokter?”“Kamu dengar semua yang saya bilang ke kamu, kan?” Dokter Fandy mengulangi pertanyaannya.Nissa mengambil napas dalam sebelum menjawab, “Ya, saya dengar semua yang Dokt