Share

Part 2 -- Penjelasan

Malam sudah tiba, pukul 19:30 KSL, Leera pulang dari rumah dengan raut wajah kelelahan. Mencari pekerjaan seharian di hari yang panas menyengat, benar-benar menghabiskan seluruh tenaganya. Namun, masih saja belum menemukan tempat kerja yang mau menampung dirinya.

Ia masuk ke rumah, dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Mengusap kepalanya menahan pusing yang membuat tubuhnya semakin lemah.

"Sudah pulang, Bu?" ucap Hera yang baru keluar dari kamarnya, menghampiri sang Ibu dan duduk di sampingnya. 

"Sudah mendapatkan pekerjaan?" tanyanya lagi.

"Diam. Ibu sedang pusing, jangan banyak bertanya. Lebih baik kau ambil pil pereda pusing dan air putih, Ibu tidak bisa mengambilnya sendiri."

Hera menuruti perintah Ibunya, sekesal-kesal dan semarah-marahnya Leera kepadanya, tetap saja Hera khawatir dengan keadaan Leera.

Setelah mengambil dua barang tadi, Hera memberikannya kepada Leera, lalu langsung diteguk dengan sedikit tergesa olehnya.

"Ibu ... aku akan memikirkan kembali tentang rencana pernikahanku dengan Kim Dante," ucapnya setelah menarik nafas dalam-dalam, dan menghembusnya perlahan.

"Baguslah, semoga kau memilih keputusan yang tepat."

"Ibu! Tidak bisakah Ibu sedikit lebih memberiku semangat, begitu? Tapi, apa-apaan itu jawaban Ibu, atas keputusan terbesar yang akan kupilih?!" Hera sedikit membentak, kesal dengan jawaban ibunya. Dia pikir, ibunya akan sangat senang dan mungkin saja memeluk, atau menciumnya? Tapi apa? Realitanya jauh sekali dari ekspektasi.

"Lalu, kau mau Ibu merespon seperti apa? Memeluk mu begitu?"

"Tidak. Tidak usah. Aku benar-benar membenci Ibu!" 

"Ibu tahu."

"Ibu, kau tidak waras, hah?! Ah, sudahlah. Lebih baik kau menceritakan semuanya sedetail mungkin, kapan dan bagaimana kau bisa bertemu dan berurusan dengan Kim Dante brengsek itu." 

Leera membetulkan posisi duduknya, menarik nafas, dan mulai bercerita. Serius.

"Enam tahun yang lalu, saat kau baru ingin memasuki jenjang Sekolah Menengah Atas, di saat keluarga kita tengah benar-benar terpuruk dalam ekonomi. Kau pasti tidak tahu, 'kan? Karena aku tidak ingin menceritakan masalah itu padamau. Saat itu, kau bilang ingin sekolah  di SMA favoritmu, 'kan? Ibu sempat menolak mentah-mentah waktu itu karena biayanya yang lumayan tinggi, tapi beberapa hari setelahnya, Ibu langsung menyutujui bahkan langsung menyuruhmu mendaftar hari itu juga."

Leera memberi jeda, kemudian melanjutkan. "Kau tahu darimana Ibu mendapatkan uang sebanyak, itu?"

"Berhutang di Kim Dante, benar?" jawab Hera.

"Tepat sekali, Ibu berhutang padanya, Ibu meminjam uang sebesar 20 juta won. Dengan bunga 0%, kesepakatan awal, membayar tiap bulan, dalam jangka waktu 20 bulan. Satu juta won perbulan tidak terlalu berat, Ibu dan Ayah berhasil melunasinya tepat waktu."

"Lalu, kalau sudah dilunasi, kenapa ditagih lagi?!"

"Ibu belum selesai bicara. Kau diam dulu!"

Hera tersentak, tidak menjawab lagi dan hanya memperhatikan cerita Ibunya.

"Lalu, dua tahun kemudian, saat kau sudah tamat Menengah Atas, dan memikirkan ke mana lagi kau akan melanjutkan studi mu, dan ... ya, jangan lupakan, Ibu juga melahirkan adikmu, Hero. Butuh banyak biaya untuk sekedar melahirkan, kau tahu? Biaya untuk masuk ke kampus favoritmu juga tidak sedikit. Jadi, Ibu meminjam lagi ke Kim Dante, sebanyak 50 juta won. Masih sama, tidak ada bunga. Ibu meminta jangka selam 5 tahun, pembayarannya 5 juta won setiap 6 bulan sekali, dan tahun ini ... sebenarnya menjadi tahun terkahir kita berurusan dengan Dante, namun, naas. Kemalangan menimpa kita, kita kerampokan."

"Luar biasa. Bravo!" Hera menepuk tangannya keras, ia tidak percaya ibunya akan merahasiakan sesuatu darinya sebesar ini, dan menanggungnya berdua bersama Taesik, ayahnya. Hera jadi semakin merasa bersalah karena sering menghamburkan uang, membeli barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkannya, padahal ibu dan ayahnya banting tulang mencari uang. Tak sadar, matanya mulai berkaca-kaca. Buliran air bening, mungkin saja mengalir deras jika Hera tidak menahannya dengan kuat.

"Seharusnya kau bersyukur memiliki orang tua seperti kami. Tidak membebankan sesuatu yang memang bukan tanggung jawabmu. Tapi, sepertinya kau ti--"

"Ibu!" Hera membentak, sudah tidak kuat, air mata pun mengalir bak air terjun. "Bagaimana ibu bisa setenang ini, bercerita padaku. Setelah menjalani semua ini?! Ibu tidak adil!" Hera menghapus air matanya, mencoba tegar seperti Ibunya, namun ia tidaklah setegar itu. "I-ibu, maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengecewakanmu, aku janji akan menikahi Kim Dante itu demi Ibu dan Ayah. Tapi, mohon, tolong tunjukkan jika kau juga sakit, batinmu juga tersisksa, jangan santai saja seperti ini. Itu membuatku frustasi," ucap Hera, melemah. Lalu memeluk Ibunya, erat sekali. Menangis di bawah ketiak Leera.

"Sudahlah, tidak perlu menangis. Ibu mengerti perasaanmu. Yang penting, sekarang kau sudah menyetujui pernikahan kalian." Leera mengusap rambut Hera, lembut. Matanya juga ikut berkaca-kaca, "maaf mengorbankan masa depanmu, Ibu tidak bermaksud untuk menyeretmu ke dalam masalah ini. Tapi, Dante brengsek itu yang menginginkanmu, Ibu dan Ayah tidak bisa menolak."

Hera mendongak, "maksudnya, Bu?"

"Konsekuensi. Kau ingat tentang pembicaraanku dengan Dante siang tadi? Tentang perjanjian atau persyaratan dalam kesepakatan kami, kau tahu tiap 6 bulan sekali, ia akan datang untuk menagih hutang--"

"Tunggu, benar. Jika ia selalu datang setiap 6 bulan, lalu kenapa aku tidak pernah bertemu dengannya? Mungkin, saat kalian sedang berbincang, atau apa membahas tentang hutang. Kenapa aku tidak pernah memergoki kalian? Dan seingat ku, Dante tidak pernah datang menagih ke rumah kita sebelumnya, atau ...," ucapannya terhenti. "Kalian bertransaksi diluar rumah? Wow." 

"Itu karena biar kau tidak curiga."

Hera berdecih, "lanjutkan yang tadi, Bu."

"Persyaratannya adalah, untukku; tidak boleh membayar terlambat dari tanggal yang sudah ditentukan, jika terlambat sekali, dapat dimaafkan, namun bulan selanjutnya harus sudah membayar dua kali lipat, yang awalnya cuma 5 juta won, dilipat gandakan menjadi 10 juta won. Atau bisa di sebut denda?"

"Gila. Seperti lintenir saja, dia pikir mencari uang seperti mengambil daun dari pohon, apa?"

"Baginya mungkin begitu, maklum saja. Dia pengusaha sukses, tapi tidak bagi kita, ya, walaupun ekonomi kita termasuk kelas menengah, namun tetap saja mencari uang sebanyak itu tidak mudah. Apalagi setelahnya kita mendapat musibah."

"Ok, aku tahu. Lanjut."

"Persyaratan bagi Dante; tidak boleh menagih dengan jalan kekerasan, hanya datang di tanggal yang ditentukan."

"Lalu, apa hubungannya pernikahanku dengan hutang? Bahkan, perjanjian dan persyaratan kalian saja tidak ada menyinggung tentang pernikahan."

"Awalnya begitu, namun bulan kemarin, saat kami bertemu lagi, dan dia ternyata tahu kalau aku punya anak perempuan. Dia mulai menambah persyaratannya, jika aku tidak bisa melunasi bulan itu juga, maka dia akan menikahimu."

"Sinting! Yang benar saja, Bu? Astaga, pria itu memang gila. Bagaimana bisa aku akan menjadi istrinya? Oh Tuhan, selamatkan hidupku selama menjadi istrinya nanti." Hera menyatukan kedua tangannya--berdoa.

"Jadi, kau sudah mau mengakui sebagai istri Dante, ya?" Leera mulai menggoda anaknya, berniat memecahkan ketegangan.

"Ah, Ibu. Jangan begitu, dan bukan itu maksudku." Hera merengek, dan dibalas tawa ringan dari Leera.

"Ngomong-ngomong, Bu. Kalian kenal Dante dari mana? Setahuku, dia tidak terkenal, bahkan tidak masuk TV. Tapi, di mana Ibu bisa tahu, seluk beluk tentang Dante si pengusaha sukses itu?"

"Kau masih ingat dengan Jane?"

"Teman SMA Ibu dulu, 'kan?"

"Tepat sekali. Ingatanmu boleh juga, padahal kalian baru bertemu sekali. Itupun hampir setahun yang lalu."

"Ok, ok. Aku tahu, ingatanku kuat. Jadi, bisa lanjutkan ceritamu, Bu?" 

"Hahaha. Iya, ini mau dilanjutkan. Jadi, Jane yang memperkenalkan Dante padaku, dia merekomendasikan Dante yang saat itu sebagai bosnya, untuk Ibu meminjam uang padanya saja. Awalnya Ibu enggan, namun keadaan terdesak, dan akhirnya Ibu mendatangi Dante."

"Oh, begitu? Aku heran, kenapa bisa bibi Jane betah bekerja dengan pria brengsek seperti Dante."

"Ibu tidak tahu kalau itu, tanya saja padanya."

"Memangnya bibi Jane bekerja sebagai apa?"

"Tidak tahu."

Hera hanya ber oh ria mendengar jawaban Leera. Lalu, mereka sama-sama terdiam untuk beberapa saat. Sampai sebuah suara menginterupsi mereka berdua.

"Ayah pulang," ucap Taesik sedikit pelan, dengan menggendong Hero yang sudah tertidur lelap.

Tiba-tiba saja, air muka Hera berubah masam. Ia masih kesal dengan Ayahnya. Lalu, ia pergi dari sana dan menghentakkan kakinya keras, membanting pintu sekencangnya. Membuat Hero sedikit tersentak kaget dalam tidurnya, namun tidak sampai membuatnya terjaga.

"Kenapa dengan anak itu?" tanya Taesik, bingung.

"Sudah mengetahui semuanya," jawab Leera.

"Dante datang ke rumah hari ini? Kurang ajar!"

"Sudahlah, lupakan. Yang penting sekarang kau harus mebujuk dan meminta maf padanya, dia pasti sangat marah padamu."

"Dante sudah kelewatan, dan apa itu ... hanya marah denganku saja? tidak adil."

"Tidak. Aku juga. Tapi, sepertinya kami sudah berdamai, sekarang giliranmu," kata Leera, dalam hati ia lega karena Hera tidak marah terlalu lama dengannya, "sebelum itu, tolong bawa Hero ke kamarnya," perintah Leera kepada Taesik.

Tanpa menjawab, Taesik langsung menjalankan perintah Leera. Kemudian, keluar dari kamar Hero, mendekati Leera sebentar di ruang tamu.

"Bagaimana keadaan Ibu?" tanya Leera, iya, Taesik dan Hero berkunjung ke rumah orang tua Taesik, dikarenakan Ibu beliau sedang sakit. 

"Syukurlah sudah mulai membaik," jawab Taesik, sambil menghidupkan TV, dan sibuk mencari saluran TV kesukaannya.

"Kenapa masih ada di sini? Sana hampiri Hera, dan minta maaf."

"Jangan dulu. Besok saja."

"Kenapa menunggu besok? Bagaimana jika dia semakin marah padamu?"

"Sepertinya lima buah coklat kesukaannya, mungkin bisa jadi bahan sogokan?"

"Kau ini, ada-ada saja. Terserah kau, jika dia semakin marah dan tidak dapat disogok. Baru tahu rasa."

"Anakku itu pasti tidak akan menolak pemberian Ayahnya," kata Taesik dengan angkuhnya.

"Sombong."

Diam-diam, Hera menguping pembicaraan kedua orangtuanya, tak sadar, senyuman tipis terbentuk di bibirnya. Hatinya menghangat. Sejenak, bersikap 'bodo amat' tentang pernikahan, yang penting ia harus bisa membalas budi kebaikan orangtuanya, sekalipun mereka tidak meminta.

Seketika, mereka bertiga melupakan dan tidak membahas lagi tentang Dante. Beristirahat dan menidurkan tubuh mereka setelah lelah beraktivitas seharian.

Bersiap-siap untuk menjalani hari esok yang masih menjadi misteri.

.

.

.

Bersambung~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status