Share

Part 3 -- Happy Family

"Selamat pagi jagoan Ibu!" ucap Leera pada Hero yang baru saja bangun dan langsung menghampiri ibunya di dapur.

"Ibu, aku lapar," katanya.

"Ayo cuci muka dulu, dan gosok gigimu. Makanan sebentar lagi siap."

"Baik, Bu."

Hero berjalan ke kamar mandi, walaupun masih bocah berusia tiga tahun, tapi Hero bukanlah anak manja seperti kebanyakan orang lain. Ia tidak harus selalu dibantu orangtua jika melakukan suatu hal, seperti halnya dengan mandi sendiri.

Hera yang mencium aroma masakan kesukaannya itu, langsung keluar dari kamar dan menghampiri Leera.

"Memasak makanan kesukaanku?"

"Iya, dalam porsi banyak. Supaya kau bisa puas memakannya."

"Sogokan, 'kah?" sarkas Hera.

Leera sedikit menahan tawa, "bisa dibilang juga seperti itu," jawabnya. "Sudah matang, Hera tolong bantu Ibu menata makanan ke meja."

"Iya."

Hera melakukan perintah Ibunya, menata makanan-makanan kesukaannya yang menggugah selera. Hampir saja liur Hera menetes, saking tidak sabar untuk menyantap sup seafood, dan makanan lainnya.

"Good morning, my beautiful daughter!" sapa Taesik, sambil melambaikan tangannya. Baru saja ingin menjawab, tapi Hera ingat jika ia sedang dalam mode silent dengan Ayahnya. Jadi, dia hanya melanjutkan pekerjaan, dan kemudian langsung makan tanpa mempedulikan yang lain.

"Hera, makannya harus bersama. Tidak baik seperti itu," tegur Leera.

Hera hanya mengedikan bahunya tidak peduli, Leera dan Taesik mengembuskan nafas. Berusaha sabar.

"Lho, kakak. Kenapa main makan-makan saja? Kenapa tidak menunggu yang lain, dan makan-makan bersama?"

Hero si bocah kecil itu, yang baru balik dari toilet dan langsung melangkahkan kakinya sedikit tergesa ke arah Hera.

"Iya, kakakmu sedang ngambek, biarkan saja," jawab Leera.

"Ngambek itu apa?"

"Sedang tidak ingin bicara," balas Taesik.

"Kenapa tidak ingin bicara? Kakak sedang kena sariawan, 'kah? Kalau begitu, kakak harus cepat-cepat minum obat supaya cepat sembuh, dan juga biar nafas kakak tidak bau, heheh," kata Hero, menyerocos panjang lebar sambil menutup hidungnya di akhir kalimat.

Hera hampir saja lepas kendali, dan mencubit pipi gembul adiknya. Hero ini cerewet sekali, bikin Hera gemas saja pengen nyubit dan gigit-gigit.

"Selesai." Hera bangkit dari duduknya, ia berjalan masuk ke kamar.

"Kenapa tidak dihabiskan? Ini sup seafood, lho."

"Tidak selera makan." Walau dalam hati, Hera berteriak-teriak ingin memakan semua sup seafood itu, tapi harga diri lebih penting saat ini.

"Kalau begitu Ayah habiskan saja, ayo Hero kita habiskan bersama!" ucap Taesik bersemangat.

"Cih." Hera pura-pura tidak peduli, dan melanjutkan jalannya.

****

Setelah sarapan, Taesik bersiap untuk pergi bekerja. Taesik bekerja di sebuah Cafe sebagai barista, profesi ini sudah dijalankannya selama hampir setahun.

Hari ini, Leera tidak diizinkan keluar rumah untuk mencari pekerjaan karena Taesik melarangnya. Leera heran, kenapa Taesik bisa tahu kalau dia sedang mencari pekerjaan, padahal dia tidak mengatakannya. Meskipun begitu, Leera tetaplah Leera. Dia tidak mendengarkan perkataan Taesik, jadi setelah Taesik berangkat kerja, ia pun mulai bersiap-siap juga untuk mencari pekerjaan lagi.

"Mau ke mana, Bu?" tanya Hera.

"Mencari pekerjaan, Ibu tidak mau membebani ayahmu terlalu banyak. Kasihan dia, sudah tua. Hahaha."

"Aku ikut!"

"Tidak. Jika kau ikut bersama Ibu siapa yang akan mengurus Hero?"

"Bawa saja dia."

"Mana bisa!"

"Ah, baiklah. Aku tidak akan ikut. Tapi berjanji, jika hari ini Ibu tidak dapat pekerjaan juga. Tidak usah lagi dicari, melelahkan diri saja. Lagian juga Dante akan memberikan kita keringanan."

"Walaupun begitu, kebutuhan sehari-hari kita juga harus dipenuhi. Sudah, Ibu berangkat dulu. Jaga Hero dengan baik."

"Iya, hati-hati di jalan, Bu."

Baru saja Leera mengangkatkan kakinya melangkah ke luar, dan membuka pintu. Tiba-tiba saja, ia terhenti dan terkejut atas kehadiran Dante yang baru saja datang, dan ingin memencet bel. Tapi tidak jadi karena pintu sudah dibukakan oleh Leera. Kali ini dia tidak datang dengan bodyguard, melainkan seorang diri. Hanya dirinya. Hera juga sama terkejutnya dengan Leera.

"Wow, kebetulan macam apa ini? Aku baru saja ingin memencet bel, tapi Ibu mertuaku sudah membuka pintu terlebih dahulu."

"Ada apa?"

"Tenang dulu. Aku datang bukan untuk menagih hutang. Lihat? Tidak ada bodyguard ataupun senjata," ucapnya sambil meraba semua tubuhnya--memastikan tidak ada senjata apapun yang disembunyikan. "Tidak bisa, 'kah calon menantumu ini dipersilakan masuk? Aku ingin menghampiri calon istriku," lanjutnya lagi.

"Silahkan masuk," kata Leera, bergeser sedikit ke samping, memberi akses untuk Dante masuk.

"Mertua yang baik. Hallo, calon istri!" katanya menyapa. Mendekati Hera, dan duduk di sofa--lagi.

"Mau apa kau kemari?!"

"Sudah ku bilang sebelumnya, aku datang untuk menentukan tanggal pernikahan kita berdua."

"Tidak perlu tergesa-gesa, lagian kita harus membicarakannya juga dengan Ayahku," kata Hera.

"Oh, jadi kau sudah menerima lamaranku? Sudah ku bilang, 'kan, bagaimana pun kau pasti akan menjadi istri Kim Dante. Menunggu Ayahmu? Tidak bisa, aku punya banyak jadwal pekerjaan hari ini, namun aku rela mengulurkan waktuku sebentar untuk ke sini."

"Ck. Kapan kau melamar? Memporak-porandakan rumahku seperti kemarin, itu yang kau sebut sebagai melamar? Gila! Dan, oh, tidak mau melibatkan Ayahku? Mending tidak usah saja!" kesal Hera.

"Aku tidak peduli. Jadi, kau ingin aku melamarmu dengan cara lain, begitu? Boleh." Dante bangkit, dan berjongkok di depan Hera.

"Lee Hera, mau 'kah kau menjadi istriku?" kata Dante, belum mendapat jawaban dari Hera, Dante kemudian bangkit, "seperti itu mau mu?"

"Sinting."

"Aku anggap sebagai pujian, terima kasih." Dante kembali duduk, Hera menatap sinis kepadanya. Menyalurkan emosi dengan tatapan yang seakan-akan ingin membunuh Dante.

"Ibu mertua, kenapa hanya berdiri di situ saja? Ayo sini, duduk, dan mulai membicarakan hal yang semestinya."

Leera berjalan mendekat, kemudian duduk di sofa single yang berada di sebelah Dante.

"Semuanya untukmu," kata Leera.

"Tapi, Ibu--"

"Ikuti saja."

"Kau juga duduk, calon istri. Dan ya, tidak baik menatap calon suamimu ini seperti itu. Aku tahu aku tampan dan mempesona, jangan sampai liur mu menetes karena memuja-muja wajah tampanku ini."

Hera memutar bola mata, malas meladeni Dante. "Cih, pede sekali." Kemudian ia duduk.

"Ok, bisa dimulai diskusinya? Baiklah, Hera, kita menikah dua hari lagi," ucap Dante to the point, tanpa basa-basi, ataupun meminta saran dari pihak mempelai wanita.

"Kau gila?!! Dua hari lagi?! Aku bahkan belum siap! Bagaimana bisa kau mengambil keputusan sebelah pihak, tanpa mendiskusikannya dahulu dengan pihak lainnya?! Ini bukan diskusi namanya, tapi pemaksaan dengan gaya pernikahan!"

"Terserah apa katamu, aku tidak butuh pendapatmu. Yang jelas, semuanya sudah mulai dipersiapkan, oh ya, sore nanti aku akan datang lagi dan menjemputmu, kita ke toko gaun pengantin dan cincin pernikahan. Itu saja, aku pergi," katanya lalu berlalu begitu saja.

"Tapi-- Ibu, cobalah memohon kepadanya untuk memberiku sedikit waktu."

"Terima saja, Hera. Kau bilang bahkan berjanji untuk menikahinya, 'kan?"

"Iya, tapi kan tidak terpikirkan akan secepat ini."

"Sudahlah, ikuti alur. Ibu sudah tidak ingin ambil pusing. Jika dia ingin pernikahan dilangsungkan dua hari lagi, maka kita tidak bisa memprotes apalagi menolak. Itu sudah menjadi konsekuensi kita."

"Ibu, sebenarnya anak Ibu aku atau Dante?! Ibu lebih memihak padanya daripada aku?!"

"Tidak. Ibu tidak memihak siapapun, namun ini demi keberlangsungan hidup kita agar lebih baik. Kau harus mengikuti semua perintahnya."

"Arghh, stop! Ini membuatku ingin gila, dasar Kim Dante sialan, brengsek, brengsek, brengsek! Tidak tahu malu, kurang ajar, tidak punya sopan santun, mati saja sana!" makian penuh emosi dari Hera akhirnya keluar juga.

"Iya, Dante memang brengsek. Ibu sedikit menyayangkan hal itu."

"Maksud Ibu?!"

"Tidak ada maksud apa-apa, namun, sayang saja, orang sukses seperti dia yang hidup bergelimang harta, tapi tidak tahu sopan santun."

"Itu yang membuatku semakin benci padanya, Bu."

"Kau harus kuat, pernikahan kalian tidak akan lama. Ibu dan ayah akan berusaha lebih keras, agar bisa melunasi hutang dan membebaskanmu dari pria brengsek itu."

"Buktikan dengan perbuatan, jangan cuma omong kosong belaka, Bu."

"Ibu berjanji."

"Ada apa ini ribut-ribut?" Hero yang sedang berada di kamarnya--belajar dan bermain, lantas langsung keluar saat mendengar keributan di ruang tamu. Jiwa keponya meronta-ronta ingin tahu.

"Tidak ada apa-apa. Hero sudah belajarnya?" jawab Leera, berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

"Sudah."

"Belajar apa saja hari ini? Maafkan Ibu tidak menemani Hero belajar hari ini, kakak juga minta maaf."

"Tidak apa. Aku kan sudah besar, dan tidak manja lagi. Oh ya, Ibu, hari ini aku belajar menggambar, hehehe."

"Menggambar? Benarkah? Coba Ibu lihat gambarmu."

Bocah berusia tiga tahun itu berlari dengan pipi gembulnya yang ke sana kemari, masuk ke kamar dan keluar dengan membawa gambarannya.

"Ini, Ibu," katanya sambil memberikan buku gambar miliknya ke Leera.

"Wah, bagus sekali. Ngomong-ngomong, ini siapa?"

"Ini ... Kakak. Bagus, 'kan, Bu?"

"Hahah. Bagus. Cocok. Kau sangat pintar menggambar. Persis seperti aslinya." Leera terkekeh geli.

"Makasih, Bu," balas Hero dengan tampang songongnya.

"Coba lihat." Hera yang penasaran juga, akhirnya melirik ke arah gambar adiknya.

"Apa-apaan ini?! Hero!!" teriakan menggelegar membuat Hero langsung berlari menyelamatkan diri. Berusaha untuk tidak tertangkap oleh kakaknya.

Kalian mau tahu apa yang di gambar Hero? Ia menggambar kakaknya, dengan sangat tidak berperi-kegambaran. Bagaimana tidak? Hera digambarkan sebagai gadis yang baru bangun tidur, dengan rambut yang berantakan, dan ... mengupil. Melihat itu, Hera dibuat naik pitam.

Leera yang melihat itu, hanya bisa tertawa kencang.

"Dapat!" Hera menangkap tangan adiknya, dan mengurung Hero dalam dekapan, "masih kecil jangan banyak tingkah, dasar gembul!" katanya sambil mengelitiki Hero. Sang adik hanya bisa tertawa, dan berusaha melarikan diri lagi. Namun, kekuatannya tidak lah sebesar kekuatan Hera. Rencana melarikan diri, sudah pasti gagal.

"Ampun, Kak. Ampuni aku," ucapnya seraya tersengal karena lelah habis digelitiki.

"Akan ku ampun kan jika kau menciumku."

Tanpa menunggu lama, Hero langsung bangkit dan menyerang Hera dengan ciuman.

"Sudah tidak marah lagi, Kak?"

"Heheh. Tidak, tapi tolong biarkan aku menyubit pipimu~" Hera langsung menangkup, dan memain-mainkan pipi gembul milik Hero. Seketika si empu pipi, tidak terima.

"Kakak, tidak adil!" katanya.

Leera semakin tertawa melihat interaksi keduanya, tidak berniat menghentikan mereka berdua. Tapi, malah menikmati kejadian.

"Dasar anak-anak," katanya.

.

.

.

.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status