Share

Married With Boss
Married With Boss
Author: Eleena Edeline

Bukan Pernikahan Impian

Benar kata orang, waktu berlalu begitu cepat tanpa disadari. Sama halnya seperti yang dialami Isna saat ini, tepat pada hari ini statusnya akan berubah. Ia akan melepas masa lajangnya beberapa jam lagi. Isna menatap pantulan dirinya di cermin, kebaya putih gading dengan riasan siger sunda membuat aura kecantikannya semakin bertambah. Siapapun yang melihat kecantikan Isna pasti akan terpana. Namun Isna sadar, apa yang ia lakukan hanya karena keluarganya. Jika bukan karena keluarganya, ia tak akan mau menikah dan menjadi istri kedua dari bosnya sendiri. Bukan ini pernikahan yang diimpikannya, apalagi menikah dengan atasannya sendiri.

Tak ada teman kantor Isna yang datang, karena memang Isna tak ingin ada orang kantor yang mengetahui pernikahannya ini. Sedangkan Aswin teman kantornya, sibuk menggantikan Indra mengurus berbagai urusan kantor. Hanya ada Nina, temannya sedari kecil yang datang untuk menemani serta menguatkan Isna.

Isna yang sedari duduk termenung bersama Nina di kamar, kini tiba saatnya ia harus turun ke bawah karena pihak dari keluarga mempelai laki-lakinya sudah tiba. Isna turun dengan diapit oleh Mama dan neneknya, Nina mengekor di belakang bersama para bridesmaid. Setibanya di lantai bawah, ia melihat Indra yang terlihat berbeda dari yang biasanya ia temui di kantor. Indra mengenakan setelan dengan warna yang senada dengan kebaya Isna

Isna duduk di samping Indra, berhadapan langsung dengan seorang Ayah yang menjadi cinta pertamanya. Mata Isna terpejam tatkala mendengar dengan lantang saat Indra mengucapkan kalimat sakral yang menjadikan Isna sah sebagai seorang istri dari  Indranu Pratama Mahardika. Mengikuti prosesi adat sunda karena Isna memiliki garis keturunan sunda, Isna dan Indra telah selesai menjalani berbagai prosesnya.

Malam harinya, resepsi langsung diadakan di hotel bintang lima di daerah Jakarta Barat. Tak sedikit yang datang menghadiri resepsi mereka, namun kebanyakan tamu yang diundang adalah para kolega bisnis. Isna bahkan tak mengundang teman kuliahnya dulu, atau bahkan teman kantor. Hanya Nina yang hadir. Begitu juga dengan Indra, sejak tadi hanya diam dan menampilkan wajah dinginnya.

"Lelahnya," ucap Isna saat tiba di kamar hotel. Tubuh dan batinnya lelah, ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Isna melirik ponselnya yang berada di atas nakas, pukul satu dini hari. Pantas saja dirinya merasa sangat mengantuk.

Sebelum terlanjur malas bergerak, Isna segera bangkit dari tempat tidur dan membersihkan diri. Meskipun terlihat kesulitan melepas gaun pengantin yang ia kenakan saat resepsi tadi.

Selesai melepas gaunnya, ia  menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Dalam benaknya ia ingin segera berendam ke dalam bathub untuk berendam.

Pukul dua kurang lima belas menit, Isna selesai berendam dan membersihkan diri. Tubuhnya sekarang rileks, ia segera membongkar koper dan mengambil piyama tidur. Isna menghela napas pelan, ia tak melihat kehadiran Indra sejak tadi.

Isna tak kaget, bisa saja Indra memilih pergi ke tempat lain atau tidur bersama Arini. Isna lebih memilih bodoamat, lagi pula ini bukan pernikahan yang ia inginkan.

****

Pagi menyambut, Isna bangun dari tidurnya dan menatap sekeliling. Benar pemikirannya, Indra tak akan datang menemuinya. Lebih baik ia segera bersiap untuk check out dari hotel. Terlalu berlama-lama di hotel membuatnya bosan.

"Kamu mau ke mana?"

Isna tersentak, kegiatannya membereskan barang-barangnya langsung terhenti saat mendengar suara dingin yang sudah ia hafal.

"Pak Indra." Isna segera berbalik dan menatap Indra yang bertanya padanya.

"Lebih baik ke rumah dan melanjutkan pekerjaanku, di sini hanya membosankan," jawabnya dengan tatapan seperti biasanya. Isna tau bagaimana harus menghadapi bosnya itu, ah! Sekarang telah menjadi suaminya juga.

"Kamu tidak bisa pulang sekarang! Mama telah menyiapkan tiket liburan ke Bali. Jika kamu pulang sekarang, apa yang akan kamu katakan pada Mama, heh!"

Mata Isna memicing mendengar ucapan Indra yang sangat menjengkelkan. Ia memutar bola matanya malas. "Aku tidak mau!"

Begitu mendapat penolakan, Indra merasa tak terima. Ia berjalan mendekati Isna yang berdiri tak jauh darinya. "Kamu tidak bisa menolak, kamu sudah menyetujui untuk menikah. Jadi segera laksanakan tugasmu untuk memberikan keturunan keluargaku!"

Isna terkejut, ia menggelengkan kepalanya menandakan bahwa ia tak setuju. "Kamu tidak bisa seenaknya begitu, kamu—"

"—Tidak bisa Isna! Kamu sudah menyetujui pernikahan ini dan membuat saya semakin membencimu. Jadi kamu harus melakukan tugasmu!"

Isna meringis pelan saat bahunya dicengkeram kuat oleh Indra. "Lepaskan!"

Sekuat apapun ia mencoba untuk lepas dari cengkeraman Indra, tenaganya yang jauh berbeda dari Indra membuatnya sia-sia.

"Lakukan tugasmu sekarang!"

Indra mendorong Isna dengan kasar sehingga Isna menabrak tepi ranjang.

"Bereskan barangmu sekarang, kita akan ke bandara jam sembilan nanti. Kamu harus sudah siap saat saya masuk lagi ke sini!"

Setelah itu Indra langsung keluar dari kamar hotel tanpa mengatakan apapun lagi. Melihat kepergian Indra, Isna menangis tergugu.

"Kakek, inikah laki-laki yang Kakek janjikan akan selalu menjagaku?" Isna menyeka airmatanya. Menyesal pun tak ada gunanya, jika saja ia tetap menolak permintaan sang Kakek, ia pasti masih memiliki kesempatan untuk mencari pendamping yang ia inginkan.Tak ingin berlarut dalam kesedihan, Isna segera mandi dan bersiap. Ia tak ingin mendapat amarah dari Indra. Bukan karena takut, hanya saja ia malas untuk berdebat dengan Indra.

Pukul sembilan kurang, Indra kembali ke dalam kamar dengan setelan kemeja dan penampilan yang sudah rapi. Isna mengenakan dress selutut yang berwarna pastel dengan lengen pendek. Rambut panjang yang ia kepang memperlihatkan bahu putihnya. Hal yang tak pernah Ibdra lihat sebelumnya, membuat Indra terkejut karena penampilan Isna tak seperti ketika di kantor. Namun Indra segera menetralkan keterkejutannya.

"Kita berangkat sekarang." Indra menarik koper milik Isna, sedangkan Isna mengambil slimbag miliknya dan segera menyusul Indra yang berjalan lebih dulu.

Isna menghela napas pelan, menatap punggung tegap Indra yang berjalan mendahuluinya. Isna tak memperdulikan dirinya. Ia tak kaget, karena memang dirinya tak pernah menginginkan kehadiran Isna dalam rumah tangganya, ia hanya menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Indra dan Arini.

"Cepat jalan! Jangan lelet!" titah Indra.

Isna kesal, ia mempercepat jalannya supaya menyamai langkah Indra yang lebar. "Menyebalkan!" gerutu Isna.

Menjelang siang, mereka baru tiba di bandara. Langsung saja mereka naik ke pesawat. Setelah mendapat posisi yang nyaman, Isna mencoba untuk tidur kembali karena ia masih ngantuk. Namun perutnya yang sejak semalam belum terisi membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak.

Isna menoleh ke samping melihat Ibdra yang sibuk dengan tabnya, Isna mendengus kesal. Tidakkah ia peka bahwa dirinya sangat lapar karena belum makan sejak semalam.

"Pak Indra, saya lapar karena sejak semalam belum makan," ucap Isna, namun Indra hanya diam.

Sekian menit menunggu, tak mendapat respon dari Indra membuat Isna semakin kesal. Ia memutuskan untuk mencoba tidur sebisanya. Isnadari Puspita Rakabamui, perempuan yang baru saja menikmati pekerjaan di kantor milik teman orangtuanya itu harus menjalani takdir yang mengubah seluruh rencana hidupnya. Jika bukan karena perjodohan konyol hasil perjainjian kakek mereka, Isna tak akan mau menerima perjodohan seperti ini.Menjadi istri kedua tak pernah masuk dalam kamus hidupnya, keadaanlah yang sudah membuatnya harus mengalami hal ini. Isna tak pernah membayangkan dirinya akan menjadi istri dari bosnya sendiri, apalagi istri kedua. Lihatlah sekarang, bahkan Indra pun membencinya. 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status