Share

Menjadi Prioritas

Setelah kepergian Bu Bertha, Isna justru merebahkan tubuhnya di sofa. Sedangkan Indra juga bersantai bersama Isna, Indra duduk dan memijat kaki Isna.

"Sekarang aku tahu kenapa akhir-akhir ini sering tak semangat bekerja Isna." Indra tertawa pelan, ia masih ingat beberapa kekeliruan dari laporan yang dibuat Isna. Indra sengaja memberitahunya dan meminta Aswin memperbaiki laporan tersebut. Indra juga meminta Aswin untuk tak memberitahu Isna tentang hal ini.

"Boleh aku meminta sesuatu?"

Indra menatap Isna, melihat wajah Isna yang seperti ini membuatnya ingin mencubit pipi Isna yang mulai berisi.

"Apa itu Isna, katakan apa yang kamu mau?"

"Aku mau diutamakan, Mas harus banyak menghabiskan waktu denganku. Aku juga tidak suka melihat saksi Mas Indra dan Mbak Arini beberapa waktu lalu, seharusnya kalian bisa melakukannya di kamar, aku-"

Isna terkejut saat tiba-tiba Indra langsung menciunnya sekilas. "Menyebalka!"

Indra tertawa pelan melihat kekesalan Isna. "Baiklah, dirimu adalah prioritasku. Apapun untukmu dan anak kita."

Hal itu membuat Isna tertawa pelan, saat mereka sedang sibuk dengan kebahagiaan mereka berdua, tiba-tiba ponsel Isna berdering. Nama Mama Sukma tertera di layar ponselnya.

[Halo, Ma.]

[Isna sedang di mana kamu? Mana ke rumah kalian tapi Arini bilang kamu kerja? Mama kan sudah bilang kalau kamu hamil, kamu gausah kerja lagi sayang.]

Isna bingung harus menjawab apa, ia juga akan berhenti kerja setelah memberitahu kehamilannya pada Indra.

Tiba-tiba Indra langsung mengambil ponsel dari tangan Isna.

[Halo Ma. Mama tenang saja, Indra akan mengurus semuanya, Mama jangan khawatir ya.]

Terdengar helaan napas di seberang sana.

[Baiklah Ndra, Mama percaya sama kamu. Tolong jaga Isna dan calon cucu Mama ya.]

[Pasti Ma.]

Sambungan terputus, Indra beralih menatap Isna yang sedari tadi diam memperhatikan dirinya. Indra mengikis jarak diantara mereka berdua, dengan gerakan cepat Indra langsung membawa Isna kepangkuannya. Indra menangut bibir Isna yang baginya rasanya sangat manis, kecapan demi kecapan yang berasal dari mereka menecah kesunyian ruang kerja Indra.

Indra berdiri kemudian menggendong Isna, Isna yang sudah larut dengan dunianya refleks mengalungkan kedua tangannya ke leher Indra. Indra menggendongnya seperti koala, Indra merebahkan tubuh Isna di ranjang yang ada di sisi lain ruang kerja Indra.

"Mau melanjutkan?"

Rasanya Indra ingin tertawa melihat respon Isna yang terlihat tak senang mendengar pertanyaan yang diajukan Indra. Indra melanjutkan aksinya, namun ia harus tetap berhati-hati karena situasinya sekarang berbeda. Indra tak mungkin melampiaskan hasratnya terlalu berlebihan pada Isna, Isna sedang hamil. Ia tak ingin membahayakan Isna dan kandungannya.

****

Indra mengelus surai hitam milik Isna, entah sampo apa yang digunakan Isna karena baunya sangat harum. Membuat Indra selalu ingin berasa di dekatnya. Indra menarik selimut guna menutupi tubuh Isna, kemudian pergi ke bilik mandi dan membersihkan diri.

Indra keluar dari bilik dengan kondisi lebih besar, ia melihat ke arah Isna yang masih tertidur. Mengingat kejadian beberapa saat lalu, entah mengapa hatinya terasa menghangat. Indra keluar menemui Aswin untuk membicarakan tentang pengganti Isna.

Aswin yang sudah duduk di sofa langsung berdiri menatap Indra keheranan.

"Bos, siang-siang gini mandi? Nggak biasanya."

Pertanyaan Aswin hanya dibalas senyum tipis dari Indra, mereka duduk berhadapan. Aswin merekomendasikan beberapa kandidat yang sepertinya sesuai untuk menempati posisi sekretaris.

"Bos kalau boleh tau kenapa kok Isna tiba-tiba bilang mau resign? Dia gaada cerita sama saya soal keinginannya untuk resign."

Di tengah kebingungan Aswin, Indra tiba-tiba memperlihatkan gambar yang mana itu adalah foto pernikahan mereka berdua. Membuat Aswin terkejut bukan main, jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak.

"Bos, ini."

"Saya ngasih tahu kamu setelah beberapa pertimbangan, dan ya kamu jangan pernah berpikiran buruk tentang pernikahan kami. Isna orang baik, dia bukan perebut suami orang. Kamu jangan berpikir aneh-aneh, kamu juga tidak boleh menanyakan hal ini pada Isna. Bantu saya menjaga Isna dan calon anak kami."

Aswin diam mematung, kejutan yang benar-benar membuatnya hampir jantungan. Bagaimana tidak, barusan bosnya menghubungi untuk mencari pengganti Isna, sekarang ia baru tahu kalau Isna adalah istri kedua Indra dan sekarang sedang mengandung pewaris Mahardika.

"Beruntung banget ya Isna. Anaknya konglomerat, mana sekarang tambah beruntung lagi." Batin Aswin.

Setelah mengetahui tugas apa saja yang harus dikerjakan Aswin, Aswin beranjak dari sana. Ia segera menjalankan tugas yang diberikan untuknya. Meskipun sedikit berat hati, tapi ia belum ingin diberhentikan dari perusahaan yang sudah menaungi dirinya.

Indra menatap sekitar, setelah kantornya. Barulah dirinya keluar bersama Isna, Isna masih tidur nyenyak setelah tadi terbangun dan membersihkan diri. Namun dikarenakan tubuhnya masih terlihat lelah akhirnya Isna tidur lagi.

Setibanya di rumah Arini terkejut melihat Isna yang berada dalam gendongan Indra. Arini berlari menghampiri Indra guna bertanya apa yang terjadi.

"Mas kenapa Isna?"

"Bawakan tasnya Isna."

Arini terlihat kesal, kemudian mengambil tas yang tadinya dipegang asisten rumah tangga. Berjalan mengikuti Indra menuju kamar Arini. Dalam benak Arini, Arini merasakan kebingungan yang mendalam, ia bahagia karena pada akhirnya Indra akan mendapatkan keturunan. Namun dirinya juga sedih karena harusnya yang melahirkan penerus keluarga Mahardika adalah anaknya.

Lagi-lagi dirinya hanya bisa menyesalinya, kalau saja dulu ia tidak egois menggugurkan kandungannya demi karir, pasti sekarang anaknya sudah masuk taman kanak-kanak. Dirinya juga tak perlu berbagi suami seperti ini.

Melihat perlakuan Indra yang sangat lembut pada Isna, terbesit rasa cemburu dalam diri Arini. Lihatlah bagaimana Indra menciumi seluruh wajah Isna, dan beralih mencium bagian perut.

Setelah memastikan Isna nyaman, barulah Indra beranjak dari sana. Indra mengajak Arini ke kamar mereka.

"Mas, aku turut bahagia dengan kehamilan Isna, selamat Mas, kamu akan menjadi seorang Ayah setelah penantisn lamamu. Mama tadi ke sini dan membawa beberapa asisten lagi. Papa juga menperkerat keamanan rumah kita."

Indra memeluk Arini, benar memang, dirinya sangat bahagia. Seperti inikah rasanya saat mendapatkan kabar yang sudah lama ia tunggu. Bahkan kebahagiaan ini lebih besar dari rasa bahagia saat dirinya menang tender.

"Terima kasih Arini, selamat untukmu juga. Anakku anakmu juga. Anak kita bersama."

"Aku janji Mas, aku akan membesarkan anak kita dan menganggapnya seperti anak kandungku sendiri."

Mereka berpelukan, saling menyalurkan kebahagiaan dan kehangatan.

"Oh ya, Ar. Kalau beberapa waktu ini aku fokus Isna kamu gapapa'kan?"

"Gapapa Mas, Isna lebih membutuhkanmu saat ini. Aku sama sekali nggak masalah soal itu."

"Baiklah, aku pergi dulu ya." Indra mengecup kening Isna dan pergi dari sana.

Setelah kepergian Indra, tanpa sadar bulir bening keluar dari pelupuk matanya. Dalam hatinya terbesit rasa iri karena apa yang dimiliki Isna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status