 تسجيل الدخول
تسجيل الدخولNoah berlari menuruni anak tangga dengan tergesa begitu bel terus dibunyikan. Ia membawa kedua kakinya bergerak secepat yang ia bisa ke teras samping rumah di mana baju miliknya dan Tiana dijemur.
"Gawat!" Ia mengambil satu per satu pakaian milik Tiana dan menaruhnya dengan asal ke belakang sofa karena di sanalah tempat terdekat yang bisa ia temukan dan terpikirkan olehnya saat itu. "Sebentar!" katanya sambil mengecek seluruh penjuru rumah dengan kedua matanya. Setelah memastikan kalau semuanya aman, Noah segera pergi menuju pintu utama. Ia berdiri sejenak dan merapikan pakaiannya, kemudian membuang napas. Perlahan dibukanya pintu dan kedua orang tuanya masih berada di sana. "Kenapa kau malah menutup pintunya lagi? Kami jadi lama menunggu," kata ayahnya. "Apa mungkin kau tidak suka dengan kedatangan kami?" "Tidak, bukan begitu. Itu, tadi—" Noah menelan ludah, menatap kedua orang tuanya bergantian. "Masih agak berantakan di dalam," imbuhnya seraya tertawa pelan. Padahal dalam hati ia berharap kalau orang tuanya tak akan menaruh curiga. "Itu karena kau terlalu sering bermain game." Kini ibunya yang berujar. "Kami mau pergi, jadi mampir ke sini. Ibu bawakan beberapa makanan untukmu," katanya sambil mengangkat satu kantung yang ada di tangan. Noah dan orang tuanya sudah hidup berpisah sejak pria itu masih kuliah. Meski bukan termasuk golongan keluarga super kaya bak di novel-novel, tapi keluarganya masih tergolong keluarga yang berada. Rumah yang saat ini Noah tempati pun dibeli dengan tabungannya sendiri dan juga bantuan dari uang orang tuanya. "Kau sedang masak, ya?" Ayahnya berujar dengan hidung yang sudah mengendus-endus bak anak anjing dan berjalan menuju dapur. Kedua mata Noah membulat dan baru ingat kalau pagi ini Tiana sedang membuat menu sarapan. "Sejak kapan kau bisa membuat ini?" tanya ayahnya begitu menatap dua piring di atas meja. "Kenapa ada dua piring? Kau masak untuk dua orang?" "Kau tinggal dengan seseorang?" Pertanyaan dari ibunya seketika membuat lidah Noah kelu, apalagi sekarang kedua orang tuanya beralih menatapnya intens menanti jawaban. Buru-buru Noah segera menjawab, "T-tidak kok. itu ... aku sedang ingin masak sekalian untuk makan siang nanti!" Tangannya bergerak-gerak seolah sedang memperagakan ucapannya. "Kalian tahu sendiri kan, aku lebih sering makan di luar atau memesan dari rumah. Ini untuk jaga-jaga saja jika nanti aku malas melakukan keduanya." Ia terkekeh pelan, padahal aslinya panik setengah mati. Sungguh, Noah sama sekali tak berniat menyembunyikan keberadaan Tiana seumur hidupnya dan akan memberitahu orang tuanya—tapi tidak secepat ini dan kedatangan mereka juga terlalu mendadak, jadi ia belum siap. Setidaknya biarkan ia melakukan pemanasan dulu. Sementara itu, Tiana yang masih berada di dalam kamarnya hanya bisa menurut saja. Wanita itu samar-sama bisa mendengar adanya suara wanita lain dan juga pria dewasa di luar sana. Mereka terdengar seperti menginterogasi Noah seakan-akan putra mereka itu menculik anak orang dan mengurungnya di sana. Kemudian, suara mereka terdengar mendekat. Sepertinya mereka mulai menaiki anak tangga. Tiana menatap handle pintu dengan was-was meski pintu di hadapannya telah ia kunci sesuai perintah Noah tadi. "Tidak ada siapapun di sini, Ayah!" Noah berusaha menghalangi langkah ayahnya. "Katakan saja siapa dia. Kau sudah dewasa jadi tidak perlu menyembunyikannya seperti kau sedang menyandera bocah di bawah umur!" Kedua tangan ayah Noah telah ditaruh di pinggang. Sikap panik putra semata wayangnya malah membuatnya curiga. Semakin Noah menyangkal, ia justru semakin yakin. Sementara sang ibu kini masih berada di bawah dan sibuk 'menggeledah'. Mereka seolah sedang berbagi tugas. Noah hanya bisa berdoa semoga ibunya tak menemukan apapun di bawah sana, termasuk pakaian milik Tiana yang disumpal di belakang sofa—yang pastinya akan mendatangkan kemurkaan dari si pemilik pakaian. "Masalahnya, aku sampai hamil," batin Tiana. Ia bisa mendengar dengan cukup jelas percakapan Noah dan ayahnya. Wanita itu menelan ludah, bisa mati juga dia jika orang tua Noah tahu. Namun, itu kan bukan kesalahannya? Noah saat itu sedang mabuk! Langkah kaki di luar terdengar semakin dekat, lalu disusul dengan suara pintu yang dibuka hingga jantung Tiana terasa nyaris lompat ke luar. "Sudah kubilang tidak ada!" Noah menegaskan. Ayahnya tak memberikan jawaban, kedua matanya memeriksa seluruh isi kamar anaknya dengan saksama. Kemudian, pria itu berbalik dan pergi ke arah pintu lain yang bersebelahan dengan kamar Noah—kamar di mana Tiana berada. "K-kamarnya berantakan dan kotor! Kuncinya juga hilang!" Noah mengadang sang ayah tepat di depan pintu, tapi kemudian ayahnya dengan segera mendorong Noah agar menjauh. Di dalam, Tiana refleks mundur saat handle pintu bergerak-gerak. "Berikan aku kuncinya, Noah!" "Sudah kubilang kuncinya hilang, Ayah!" jawab Noah. Pemandangan seperti ini lebih pantas untuk remaja sekolah menengah yang diam-diam membawa pacarnya ke rumah. "Jawabanmu itu malah semakin membuatku yakin kalau kau memang sedang menyembunyikan seorang wanita di sini. Katakan saja siapa dia, Noah. Apa dia Clara?" Tiba-tiba suasana di depan pintu mendadak hening selama beberapa saat. "Bukan," jawab Noah. "Lalu siapa?" Namun, di saat yang sama, suara lain terdengar menyusul mereka ke atas. Tampak ibunya Noah datang dengan kedua alis yang saling bertaut, wajah nyaris merah padam. Perasaan Noah semakin tidak tenang, sampai akhirnya kedua matanya membulat saat melihat apa yang dibawa oleh ibunya ke sana. "Pakaian dalam siapa ini? Sudah jelas ini milik wanita karena pria itu tidak memakai bra!" Habis sudah Noah kali ini. Ibunya mungkin tak berhasil menemukan gundukan pakaian yang disembunyikan, tapi malah ... bra?! Dari mana ibunya menemukan benda sialan itu? Damn! Di dalam, Tiana yang masih menguping pembicaraan mereka pun mengerutkan dahi. Ia membatin, "Pakaian dalam? Bra? mungkinkah itu ...." Wajah Tiana langsung memanas dengan warna kulit yang langsung berubah bak kepiting rebus. Malu, sangat malu! "Astaga, apa yang sebenarnya pria itu lakukan sampai pakaian dalamku dijadikan barang bukti begini?!" batin Tiana kesal—sekaligus malu bukan main. "Dari mana Ibu mendapatkan itu?!" "Ibu menemukannya di dekat pintu teras. Katakan di mana dia?" Noah ingin menghilang dari sana di detik itu juga. Ia terlalu fokus menyembunyikan pakaian milik Tiana sampai tak sadar kalau ia telah menjatuhkan benda keramat itu. "Apa itu milik Clara?" Sang ayah kembali menatap Noah. "Clara? Kalian berbaikan lagi?" Suasana kembali hening setelah nama itu disebut untuk yang kedua kali. "Sudah kubilang bukan!" Noah langsung merebut bra itu dari tangan ibunya. "Salah satu temanku menginap. Sudahlah, aku harus pergi sekarang!" Ia membuang napasnya kasar. Mendadak, suasana hatinya jadi tak keruan. Padahal ia sama sekali tak ingin mendengar nama itu lagi. Kedua orang tuanya menatap satu sama lain selama beberapa saat, kemudian sang istri mengangguk. "Baiklah, tapi kau harus memberitahukannya kepada kami. Jangan membuat masalah selama kami pergi," ujar ayah Noah. Mereka pun segera berpamitan dari sana dan menuruni tangga. Tak lama setelahnya, pintu utama terdengar ditutup. Mereka pergi. "Kau bisa keluar. Mereka sudah tak di sini," kata Noah. Perlahan, Tiana membuka pintu. Ia sempat mengintip keadaan di luar dan setelah dipastikan aman, ia pun memberanikan diri keluar dari kamar. Wajahnya semakin memerah saat melihat bra miliknya yang ada di tangan Noah. Noah yang menyadari itu pun kembali gugup, lalu memberikan benda itu kepada pemiliknya. "I-ini, maaf," katanya lirih, kemudian membuang pandangannya ke arah lain. "Kau ... mendengar semuanya?" Tiana mengangguk. Suasana di antara mereka mendadak terasa canggung. "Aku akan pergi bekerja. Ini sudah telat," tulis Tiana di sticky note yang ada di kantung celananya. "Ambil saja piring bagianku, aku bisa makan di kafe," lanjutnya di halaman baru usai memastikan kalau Noah membacanya. Noah mengangguk. "Maaf karena membuatmu terlambat." Tiana tersenyum, lalu mengibas-ngibaskan tangan pelan. "Tidak apa-apa." Ia sudah nyaris berbalik hendak kembali masuk ke kamar untuk bersiap-siap, tapi suara seseorang membuatnya berhenti. "Ternyata memang seorang wanita, ya." Tiana tertegun. Itu ... tidak terdengar seperti suara Noah. Sementara Noah sendiri saat ini membatu di tempatnya. "Tidak mungkin. Bukankah mereka sudah pergi?" batin Noah. "Jangan-jangan mereka—menipuku?!" Perlahan, Tiana dan Noah memberanikan diri untuk berbalik. Dilihatnya kedua orang tua Noah yang sudah berdiri di anak tangga paling atas. "Kebohongan harus dibalas dengan kebohongan, Nak." Ayahnya melipat kedua tangan di depan dada.
Noah berlari menuruni anak tangga dengan tergesa begitu bel terus dibunyikan. Ia membawa kedua kakinya bergerak secepat yang ia bisa ke teras samping rumah di mana baju miliknya dan Tiana dijemur. "Gawat!" Ia mengambil satu per satu pakaian milik Tiana dan menaruhnya dengan asal ke belakang sofa karena di sanalah tempat terdekat yang bisa ia temukan dan terpikirkan olehnya saat itu. "Sebentar!" katanya sambil mengecek seluruh penjuru rumah dengan kedua matanya. Setelah memastikan kalau semuanya aman, Noah segera pergi menuju pintu utama. Ia berdiri sejenak dan merapikan pakaiannya, kemudian membuang napas. Perlahan dibukanya pintu dan kedua orang tuanya masih berada di sana. "Kenapa kau malah menutup pintunya lagi? Kami jadi lama menunggu," kata ayahnya. "Apa mungkin kau tidak suka dengan kedatangan kami?" "Tidak, bukan begitu. Itu, tadi—" Noah menelan ludah, menatap kedua orang tuanya bergantian. "Masih agak berantakan di dalam," imbuhnya seraya tertawa pelan. Padahal dalam
"Kirimkan aku uang." Tiana membuang napasnya kasar dan memilih memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Ia tak mau bersusah payah mentransfer sejumlah uang pada sosok pria tua brengsek yang selama ini merawatnya, apalagi dengan kondisinya sekarang di mana ia lebih membutuhkan uang dan mulai menabung lebih lagi. Toh sia-sia saja ia mengirimkan uang itu jika hanya berjudi dan mabuk-mabukan. Kelakuan ayah angkatnya sudah membuatnya muak hingga ia memilih untuk meninggalkan rumah kedua orang tua angkatnya dan pergi ke Berlin untuk hidup sendiri apalagi setelah kematian ibu angkatnya karena sakit. "Hey, kau mendengarku tidak?" Suara Noah kembali terdengar, kali ini pria itu mungkin agak kesal karena ia seperti seolah sedang diabaikan. Tiana hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Noah tak terdengar berbicara lagi, sampai beberapa detik setelahnya ia kembali berujar, "Jadi selama ini kau bekerja di kafe itu? Artinya kau sudah beberapa kali melihatku, kan? Berarti kita sudah
Satu gigitan mendarat di piadina yang beberapa saat lalu disajikan oleh seorang pelayan. Roti pipih yang dibuat dari tepung, air, serta lemak seperti minyak zaitun atau minyak babi. Dibuat tanpa ragi, bisa dipanggang tanpa menggunakan oven. Digulung, diisi dengan sayuran, daging, atau bahkan keju dan isian manis seperti selai cokelat, menyapa lidah milik Noah hingga pria itu terbuai selama beberapa detik. Salah satu menu baru di Hasty Pastry yang saat ini digemari oleh para pelanggan untuk teman mengobrol atau makanan ringan, hingga dipilih untuk menu makan siang bagi beberapa orang. Namun, cita rasa khas dari piadina kali ini hanya bertahan beberapa saat saja bagi Noah apalagi saat fokus pria itu terbagi. Sesekali ia melirik seorang wanita yang sedari tadi berada di belakang meja kasir dan melayani para pelanggan yang melakukan pembayaran. "Kenapa aku bisa tidak menyadarinya dan kenapa dia tak pernah mengatakannya padaku kalau dia bekerja di sini—sejak kapan?" batin Noah. Si
"Kau harus gunakan payung lain kali atau pesan taksi langsung dari tempat tinggalmu." Seorang wanita dengan rambut ponytail berjalan menghampiri Tiana yang sudah duduk di belakang meja kasir usai mengantar dua cangkir espresso milik pelanggan yang datang. "Aku agak kesiangan." Tiana nyengir tepat setelah membuat isyarat dengan kedua tangannya. Ya, bukan kebiasaannya berbohong terutama di pagi hari. Aslinya ia juga tak mau basah-basahan. Sebuah payung tentu saja ia miliki, tapi benda itu ada di apartemen lamanya, dan ia juga tak mungkin mengatakan semuanya kepada Sofia—wanita tadi, soal kepindahannya yang terbilang mendadak ke rumah pria yang bernama Noah. Tiana sendiri telah bekerja di sana selama kurang lebih empat tahun. Hasty Pastry, nama dari sebuah kafe yang selama ini membantu finansialnya, berlokasi di Bayreuther, Berlin. Tempat yang juga menjadi rumah kedua baginya, bertemu dengan orang-orang baru seperti Sofia yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri. Selam
Sudah lebih dari dua jam lamanya sejak Noah mendaratkan bokongnya di kursi yang biasa ia gunakan untuk melakukan live streaming sebuah game. Ia sengaja mematikan lampu kamarnya dan membiarkan cahaya dari layar komputernya mendominasi ruangan itu. Jari tangan kirinya aktif menekan-nekan beberapa tombol di keyboard dengan penuh ambisi, sementara jari telunjuk kanannya bertugas menekan mouse dan menggesernya di atas permukaan mousepad.“Pergi dari tempat itu dan bantu aku di sini!” katanya dengan penuh semangat. Sebuah headphone terpasang di kepalanya lengkap dengan mikrofon untuk memudahkannya berkomunikasi dengan teman-temannya yang lain. Keningnya mengkerut, kedua alis sesekali saling bertaut, serta pandangannya yang tak lepas dari layar komputer di depannya barang sedetik pun.Musuh berhasil disudutkan berkat kerja sama tim yang kompak. Jarinya nyaris kembali menekan tombol keyboard sebelum sebuah tepukan pelan mendarat di salah satu bahunya. Noah menggeram pelan, kemudian ia mematik








