LOGIN"Kirimkan aku uang."
Tiana membuang napasnya kasar dan memilih memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Ia tak mau bersusah payah mentransfer sejumlah uang pada sosok pria tua brengsek yang selama ini merawatnya, apalagi dengan kondisinya sekarang di mana ia lebih membutuhkan uang dan mulai menabung lebih lagi. Toh sia-sia saja ia mengirimkan uang itu jika hanya berjudi dan mabuk-mabukan. Kelakuan ayah angkatnya sudah membuatnya muak hingga ia memilih untuk meninggalkan rumah kedua orang tua angkatnya dan pergi ke Berlin untuk hidup sendiri apalagi setelah kematian ibu angkatnya karena sakit. "Hey, kau mendengarku tidak?" Suara Noah kembali terdengar, kali ini pria itu mungkin agak kesal karena ia seperti seolah sedang diabaikan. Tiana hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Noah tak terdengar berbicara lagi, sampai beberapa detik setelahnya ia kembali berujar, "Jadi selama ini kau bekerja di kafe itu? Artinya kau sudah beberapa kali melihatku, kan? Berarti kita sudah pernah bertemu sebelumnya." Akhirnya pria itu mulai membahasnya. Tiana sempat berpikir kalau Noah mungkin tak akan tertarik dengan hal itu dan tak akan peduli juga. Lantas Tiana kembali mengangguk sebagai bentuk jawaban. "Kenapa tidak bilang padaku sejak awal?" tanya Noah sekali lagi. Namun, kali ini Tiana sampai memutar tubuhnya hingga ia berhadapan langsung dengan Noah. Ia kemudian mengeluarkan sticky note dari dalam tasnya dan tampak menuliskan sesuatu di sana. "Memang apa bedanya?" Noah terdiam. Tentu, memang tak ada bedanya antara Tiana memberitahunya dan tidak. "Setidaknya kita sudah bersikap tidak saling kenal, kan? Jadi kau tidak perlu khawatir orang-orang di sana tahu." Noah kembali membaca tulisan Tiana di halaman sticky note yang baru. Wanita itu benar, ia juga biasanya tak peduli, kan? Namun, empat tahun. Meski tak setiap hari, tapi Noah cukup yakin kalau mereka memang bertemu di sana bukan hanya sekali dua kali, atau mungkin mereka pernah bertemu di suatu tempat selain di kafe. Ke mana saja selama ini dirinya hingga tak sadar sama sekali? Ponsel Tiana kali ini berdering saat terdapat sebuah panggilan masuk. Meski tak begitu nyaring, tapi hal itu sudah cukup untuk memecah suasana di antara mereka berdua. Tiana menatap deretan angka yang ada di layar ponselnya. Wanita itu sudah cukup hapal siapa pemilik dari nomor itu. Maka dari itu, ia segera menggeser tombol merah tanpa ragu. Sayangnya, benda pipih itu kembali berdering selang beberapa detik setelahnya. Hal yang sama pun berulang, tombol merah tadi kembali Tiana geser. Sampai akhirnya nomor itu kembali memanggilnya. Karena tak tahan lagi, akhirnya Tiana memilih tombol berwarna hijau kali ini dan meletakkan ponselnya ke telinga. "Kau sama sekali tidak tuli dan jangan mengabaikanku! Jangan bersikap durhaka dan kirimkan segera aku u—" Panggilan suara itu dengan segera Tiana akhiri secara sepihak. Suara itu, ia sudah tak mau mendengarnya lagi. Suara yang membuat hidupnya menjadi tak keruan terutama sejak ibu angkatnya tiada. Meski ia sudah memblokir setiap nomor ayah angkatnya, tapi ia cukup hapal kalau pria itu pasti akan terus-menerus menerornya dengan nomor baru. Mungkin, Tiana sendiri yang harus segera ganti nomor. "Aku tak akan pernah sudi meminta maaf padamu meski aku benar-benar bersikap durhaka," batin Tiana. Noah yang masih berada di sana bisa melihat bagaimana perubahan di raut wajah wanita itu. Ia sama sekali tak ada niatan untuk bertanya dan hanya melihatnya, beranggapan kalau telepon tadi mungkin dari pacarnya atau bahkan mantannya saat masih sekolah menengah. "Baiklah, lupakan pertanyaanku tadi. Kita bersikap seperti tadi siang saat bertemu di luar," kata Noah. Ia sempat melirik Tiana yang sama sekali tak memberikan respon atas ucapannya barusan. Kemudian, ia memilih pergi kembali ke kamarnya hingga hanya Tiana yang ada di dapur. "Harusnya kau yang mati, bukan malah ibu," batin Tiana. ** Noah menuruni satu per satu anak tangga saat aroma roti panggang dan—mungkin daging, menyapa indra penciumannya. Ia membawa pergi kedua kakinya menuju dapur dan mendapati Tiana yang sedang sibuk dengan sesuatu yang sedang dibuat di atas kompor menyala. "Apa yang kau buat sampai terlihat begitu sibuk hanya untuk menu sarapan?" tanya Noah seraya menyandarkan tubuhnya di ambang pintu. Matanya sempat melirik ke arah meja makan di mana terdapat dua piring berisi roti gandum panggang yang mungkin baru saja matang. Tiana berbalik begitu ia mendengar suara Noah. Wanita itu tersenyum tipis seolah sudah melupakan argumen kecil mereka semalam. Ia sedikit menggeser tubuhnya agar Noah bisa melihat apa yang ia masak sekarang. Kini pandangan Noah tertuju pada sebuah teflon di mana terdapat ham di atasnya. Roti panggang dengan ham terdengar lumayan juga, pikirnya. Ia memperhatikan bagaimana Tiana memindahkan ham itu ke atas masing-masing roti tanpa mematikan kompor dan wanita itu melanjutkan kegiatannya dengan dua buah telur yang akan ia goreng sebagai tambahan. "Buat saja untukmu sendiri, aku bisa buat yang lain," katanya. Ia berkata begitu bukan berarti masakan Tiana tak enak, justru sebaliknya. Hanya saja ia cukup tahu diri untuk menikmati makanan yang bahan-bahannya dibeli dengan uang wanita itu. Kini isi kulkasnya bahkan tak hanya telur, air, atau makanan kaleng. Melainkan juga ada beberapa bahan lain seperti daging atau ikan, sayuran, buah, dan mungkin beberapa bumbu lain yang tak pernah Noah lihat selama hidupnya. "Aku sudah buat porsi yang cukup untuk kita berdua, tidak perlu khawatir." Noah membaca tulisan di sticky note yang disodorkan oleh Tiana. Kini ia jadi penasaran, apa mungkin wanita itu selalu membekali dirinya dengan sebuah sticky note dan pulpen bahkan saat ke toilet? Wanita yang baik, bahkan terlalu baik. Tiana sudah beberapa kali memasak, berbelanja, dan bahkan mencuci pakaian milik Noah—yang tentu saja pakaian mereka dipisah. Mesin cuci di rumah itu kini menjadi berguna karena Noah sendiri biasanya memilih untuk laundry di luar. Tiana melakukan semua itu tanpa diminta meski mereka tinggal bersama bahkan dalam kurun waktu kurang dari sebulan. "Baiklah, terserah." Noah membuka kulkasnya untuk mengambil sebotol air dan ia kembali terdiam. "Kau berbelanja terlalu banyak. Setidaknya lain kali beritahu aku, kita mungkin bisa berbagi tugas. Aku jadi seperti seorang gelandangan yang menumpang di rumahmu," tambahnya. Kemudian suara bel di pintu utama membuat keduanya menoleh secara serentak. Noah meletakkan botol di tangannya ke atas meja dan mendengkus. "Siapa yang datang sepagi ini?" katanya mulai kesal. Ia melangkah menuju pintu dan membukanya, tapi tubuhnya seketika membatu usai melihat sosok tamu tak diundang itu. Tampak seorang wanita dan pria berdiri di baliknya, tersenyum lebar hingga kerutan halus tercipta di sekitar mulut mereka begitu pintu dibuka. "Selamat pa—" Pintu ditutup bahkan sebelum kalimat itu selesai meluncur dari bibir wanita tadi. Noah kembali mengunci pintu dan berlarian ke dapur bak orang kesetanan. Tiana yang baru saja meletakkan telur goreng di atas roti pun terkejut saat Noah tiba-tiba merebut spatula di tangannya dan meletakkannya asal di meja. Pria itu lantas mengangkat tubuh Tiana dan membawanya menaiki anak tangga seolah berat badan wanita itu bukanlah masalah baginya. Tiana diturunkan di dalam kamar tamu yang ditempati selama ini selama tinggal di sana. "Kau diam di sini dan kunci pintunya. Jangan pernah keluar apapun yang terjadi, paham?" Noah berujar dengan napas yang tersengal. Kedua mata milik Tiana tampak berkedip-kedip menatap Noah yang kini tampak panik. Ia sama sekali tak paham dengan apa yang sedang terjadi. Siapa yang datang sampai pria yang biasanya tampak tenang itu kini panik setengah mati? "Orang tuaku datang!" Noah menjelaskan, seolah memahami tatapan Tiana. Kemudian di saat yang sama, bel kembali terdengar hingga pria itu mengumpat.Keadaan rumah agak gelap saat Tiana tiba. Ini baru jam delapan malam, apa Noah sudah tidur? Atau pria itu sedang pergi ke luar? Tiana perlahan melangkah menuju ke ruang tamu, meraba-raba permukaan dinding untuk menemukan posisi saklar yang ia ingat dan begitu lampu berhasil dinyalakan, wanita itu terdiam di posisinya. Di sana, ia menemukan Noah yang tertidur di sofa. Hal yang tak biasa ia jumpai saat pulang dari kafe. Biasanya, jam segini pria itu sedang sibuk-sibuknya main game bersama dengan teman-temannya yang lain. Mungkin pria itu agak kelelahan atau kalah dalam game, hanya itu yang Tiana pikirkan. Ia lalu melangkah ke dapur dan meletakkan satu kantung plastik berisi hash brown dan kentang goreng, lalu memindahkannya ke piring. Ia menelan ludah sejenak menatap hash brown yang seperti tengah menatapnya. Namun, ia menahan diri. "Aku akan mandi terlebih dulu sebelum memakannya," batin wanita itu, kemudian berlalu. Ia sempat melirik Noah yang masih bergeming di sofa da
‘Aku memesan waffle dan juga cokelat panas sebagai permintaan maaf. Kau jadi melewatkan sarapan karena kejadian tadi. Aku akan makan makanan buatanmu sebagai gantinya.’ Mulut Tiana agak terbuka begitu membaca pesan yang dikirimkan sekitar tiga puluh menit lalu dan baru ia buka sekarang. Permintaan maaf? Memakan makanan buatannya? Maksudnya memakan dua piring roti isi ham yang ada di meja makan tadi? Sepertinya, suasana hati Noah sedang cukup baik saat ini sampai pria itu mau repot-repot memesan makanan untuknya. Kunjungan dadakan orang tuanya tadi kini sudah berakhir, tapi kebohongan yang ia dan Noah ciptakan tak akan bisa selamanya bertahan dan harus diakhiri secepatnya juga. Hanya saja, apakah reaksi orang tua Noah akan sama seperti tadi? Atau sesuai yang Tiana bayangkan? Ia mungkin akan benar-benar dimaki nanti. “Kau banyak melamun hari ini, tidak biasanya.” Suara Hans menyapa indra pendengaran Tiana dengan lembut hingga wanita itu tersadar dari lamunannya dan buru-buru memasuk
Suara debaran jantung Noah dan Tiana saat ini seakan tengah berusaha memecah keheningan di ruang tamu rumah itu pagi ini. Tiana sama sekali tak sanggup untuk mengangkat wajahnya dan membiarkan tatapan dari kedua orang tua Noah menelanjangi dirinya di sana. Sementara Noah sendiri hanya bisa membuang napas kasar dan mengusap wajahnya sesekali.“Tidak aku sangka kau akan membawa wanita lain secepat ini,” kata sang ayah.Kedua mata Noah dan Tiana memelotot di saat yang sama.“Tidak—bukan begitu! Jangan sebut dia dengan wanita lain, Ayah!” Noah memprotes, meski dirinya tahu kalau ayahnya mungkin akan menendang kepalanya hingga terpental puluhan meter jika ia mengatakan tentang alasan Tiana tinggal di sana. Tentu saja, lebih parah dari sebutan ‘wanita lain’, karena Noah sampai membuat wanita malang itu hamil.Kedua mata Noah beralih pada Tiana yang kini mulai terlihat memberanikan diri untuk bergabung dalam pembicaraan mereka. Meski tangannya agak gemetaran, wanita itu tampak berusaha menul
Noah berlari menuruni anak tangga dengan tergesa begitu bel terus dibunyikan. Ia membawa kedua kakinya bergerak secepat yang ia bisa ke teras samping rumah di mana baju miliknya dan Tiana dijemur. "Gawat!" Ia mengambil satu per satu pakaian milik Tiana dan menaruhnya dengan asal ke belakang sofa karena di sanalah tempat terdekat yang bisa ia temukan dan terpikirkan olehnya saat itu. "Sebentar!" katanya sambil mengecek seluruh penjuru rumah dengan kedua matanya. Setelah memastikan kalau semuanya aman, Noah segera pergi menuju pintu utama. Ia berdiri sejenak dan merapikan pakaiannya, kemudian membuang napas. Perlahan dibukanya pintu dan kedua orang tuanya masih berada di sana. "Kenapa kau malah menutup pintunya lagi? Kami jadi lama menunggu," kata ayahnya. "Apa mungkin kau tidak suka dengan kedatangan kami?" "Tidak, bukan begitu. Itu, tadi—" Noah menelan ludah, menatap kedua orang tuanya bergantian. "Masih agak berantakan di dalam," imbuhnya seraya tertawa pelan. Padahal dalam
"Kirimkan aku uang." Tiana membuang napasnya kasar dan memilih memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Ia tak mau bersusah payah mentransfer sejumlah uang pada sosok pria tua brengsek yang selama ini merawatnya, apalagi dengan kondisinya sekarang di mana ia lebih membutuhkan uang dan mulai menabung lebih lagi. Toh sia-sia saja ia mengirimkan uang itu jika hanya berjudi dan mabuk-mabukan. Kelakuan ayah angkatnya sudah membuatnya muak hingga ia memilih untuk meninggalkan rumah kedua orang tua angkatnya dan pergi ke Berlin untuk hidup sendiri apalagi setelah kematian ibu angkatnya karena sakit. "Hey, kau mendengarku tidak?" Suara Noah kembali terdengar, kali ini pria itu mungkin agak kesal karena ia seperti seolah sedang diabaikan. Tiana hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Noah tak terdengar berbicara lagi, sampai beberapa detik setelahnya ia kembali berujar, "Jadi selama ini kau bekerja di kafe itu? Artinya kau sudah beberapa kali melihatku, kan? Berarti kita sudah
Satu gigitan mendarat di piadina yang beberapa saat lalu disajikan oleh seorang pelayan. Roti pipih yang dibuat dari tepung, air, serta lemak seperti minyak zaitun atau minyak babi. Dibuat tanpa ragi, bisa dipanggang tanpa menggunakan oven. Digulung, diisi dengan sayuran, daging, atau bahkan keju dan isian manis seperti selai cokelat, menyapa lidah milik Noah hingga pria itu terbuai selama beberapa detik. Salah satu menu baru di Hasty Pastry yang saat ini digemari oleh para pelanggan untuk teman mengobrol atau makanan ringan, hingga dipilih untuk menu makan siang bagi beberapa orang. Namun, cita rasa khas dari piadina kali ini hanya bertahan beberapa saat saja bagi Noah apalagi saat fokus pria itu terbagi. Sesekali ia melirik seorang wanita yang sedari tadi berada di belakang meja kasir dan melayani para pelanggan yang melakukan pembayaran. "Kenapa aku bisa tidak menyadarinya dan kenapa dia tak pernah mengatakannya padaku kalau dia bekerja di sini—sejak kapan?" batin Noah. Si







