 INICIAR SESIÓN
INICIAR SESIÓNSatu gigitan mendarat di piadina yang beberapa saat lalu disajikan oleh seorang pelayan. Roti pipih yang dibuat dari tepung, air, serta lemak seperti minyak zaitun atau minyak babi. Dibuat tanpa ragi, bisa dipanggang tanpa menggunakan oven. Digulung, diisi dengan sayuran, daging, atau bahkan keju dan isian manis seperti selai cokelat, menyapa lidah milik Noah hingga pria itu terbuai selama beberapa detik.
Salah satu menu baru di Hasty Pastry yang saat ini digemari oleh para pelanggan untuk teman mengobrol atau makanan ringan, hingga dipilih untuk menu makan siang bagi beberapa orang. Namun, cita rasa khas dari piadina kali ini hanya bertahan beberapa saat saja bagi Noah apalagi saat fokus pria itu terbagi. Sesekali ia melirik seorang wanita yang sedari tadi berada di belakang meja kasir dan melayani para pelanggan yang melakukan pembayaran. "Kenapa aku bisa tidak menyadarinya dan kenapa dia tak pernah mengatakannya padaku kalau dia bekerja di sini—sejak kapan?" batin Noah. Sial, itu memang bukan urusannya, tapi hal itu entah kenapa terasa kurang nyaman baginya. Kedua mata milik Noah masih terfokus pada Tiana yang sedang melayani pelanggan. Meski seorang tunawicara, tapi baik Tiana maupun pelanggan itu tak tampak kesulitan berkomunikasi hingga Noah bisa menarik kesimpulan kalau wanita itu sudah lama bekerja di sana. Sampai akhirnya, pandangan keduanya sempat bertemu. Momen itu hanya bertahan beberapa detik saja karena Tiana yang langsung memutuskan kontak mata mereka. "Bersikaplah layaknya seorang karyawan dan pelanggan, Tiana. Toh dia juga tak akan merasa nyaman jika kau sampai bersikap sok akrab dengannya di sini—dia juga tak akan peduli, kan?" batin Tiana. Melalui ujung matanya, ia bisa melihat bagaimana Noah perlahan beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arahnya. Dengan menggunakan bantuan kedua tangan, Tiana berkata, "Saya seorang tunawicara, tapi saya masih bisa mendengar. Silakan bertanya jika ada yang ingin disampaikan." Kemudian, ia menunjuk sebuah note yang dipajang di atas meja yang bertuliskan hal serupa seperti ucapannya. Biasanya, ia bertugas dengan satu orang lagi yang sekaligus membantunya untuk menerjemahkan ucapannya pada pelanggan. Namun, hari ini ia sedang tidak masuk. Noah terdiam. Tidak, dia sangat tahu kalau Tiana mungkin sedang mencoba bersikap bodoh seolah-olah ini adalah pertemuan pertama mereka. Bukan itu yang ingin ia dengar. Yang jelas, saat ini wanita itu sedang bersikap seolah mereka tak saling kenal. "Aku sudah tahu kalau kau bisu jadi aku tidak butuh informasi seperti itu lagi." Begitulah kira-kira arti dari raut wajah Noah yang tampak agak berubah dengan adanya sedikit kerutan di permukaan dahi. Ya, hal itu sama sekali bukan urusan Noah dan pria itu tidak harus sampai tersinggung, kan? "Sejak kapan?" Alih-alih bertanya soal jumlah uang untuk pembayaran, justru kalimat itulah yang Noah lontarkan. Nada bicaranya terdengar pelan, setidaknya cukup untuk memastikan kalau tak ada satu pun dari orang-orang yang ada di sana mendengarnya. Tiana terdiam sejenak, kemudian ia terlihat menuliskan sesuatu di atas permukaan sticky note-nya yang kosong sebelum mengambil uang yang diberikan oleh Noah tadi. "Sekitar empat tahun." Jawaban dari wanita itu sudah cukup membuat Noah terpaku selama beberapa detik. Empat tahun, katanya. Itu bukanlah waktu yang sebentar. Noah semakin yakin kalau Tiana pasti menyadari kehadirannya di sana mengingat ia makan di sana selama beberapa waktu terakhir. Kasir Hasty Pastry yang bisu itu, kenapa Noah tak mengingatnya sama sekali? Bahkan sepintas wajah Tiana pun ia malah tak ingat. Apa saja yang dia lakukan selama pergi ke sana? Namun, sebelum Noah berhasil melontarkan kalimat lain, ia melihat dua orang pelanggan tampak berjalan ke arah mereka. Pria itu pun pada akhirnya hanya bisa berdeham pelan. "Ambil saja kembaliannya," katanya dan segera berlalu dari sana. Tiana menatap punggung pria itu selama beberapa saat kemudian ia melepas sticky note yang digunakannya untuk berbicara dengan Noah tadi dan membuangnya ke sebuah tempat sampah kecil yang ada di bawah mejanya. ** 'Apa saja makanan yang tidak boleh dimakan oleh ibu hamil' Tiana menekan tombol search pada ponselnya hingga deretan jenis makanan muncul. Makanan mentah, setengah matang, makanan tinggi merkuri, kafein dalam jumlah banyak, alkohol, dan fast food. Kedua mata milik Tiana bergerak seiring dengan layar ponsel yang digulir ke bawah. "Ada apa?" tanya Sofia. Ia memberikan satu cup es krim dengan rasa kombinasi cokelat dan vanila pada Tiana. Tiana dengan segera mematikan layar ponselnya dan menerima es krim itu. Ia hanya menggelengkan kepala dan tersenyum tipis. "Mungkin kita harus pergi menjenguk Hans jika dia besok tidak masuk lagi. Keberadaannya sangat berguna buatmu, kan?" Sofia terkekeh, begitu pula dengan Tiana. Kalimatnya terdengar seperti ia yang memang memanfaatkan Hans dengan sengaja. Sambil mengobrol, Tiana sesekali menatap kantong belanjaan berisi buah-buahan dan sayur yang ia beli tadi di supermarket. Mulai saat ini, ia harus lebih memperhatikan asupan nutrisi yang akan ia konsumsi. "Mau beli americano? Kau tidak terlihat menikmati es krimnya," tanya Sofia. Tiana bukanlah pencinta kopi, tapi ia biasanya cukup senang begitu mendengar kata americano. Namun, wanita itu kali ini harus menahan diri—mulai saat ini. "Tidak. Aku mau tidur cepat sepertinya." Tiana menggelengkan kepala seraya memberi isyarat. Sofia manggut-manggut, ia tak terlihat beranjak dari bangku untuk membeli americano yang dibicarakannya barusan, mungkin karena Tiana sedang tak ingin juga. Sementara itu, di tempat lain. Noah melepaskan headphone yang sedari tadi terpasang di kepalanya. Pria itu kemudian meregangkan kedua tangannya usai menekan tombol log out pada layar komputer. Suasana ramai yang sejak dua jam lalu ia dengar lewat headphone, kini berganti menjadi sunyi begitu ia mengakhiri permainannya bersama dengan teman-temannya. Noah menatap ke sebuah jam dinding yang satu-satunya menjadi pemecah keheningan di kamarnya. Dan—oh, sudah nyaris jam sembilan malam. Pantas saja perutnya sudah meraung-raung meminta jatah. Ia melangkah keluar, menatap ke sebuah pintu kamar lain yang terletak bersebelahan dengan kamarnya. Masih menutup. "Apa dia belum pulang?" gumamnya. Seingatnya, kafe tempat Tiana bekerja itu tutup pada jam 6 sore hari saat hari biasa, sementara saat akhir pekan tutup jam 8. "Sekarang Kamis. Tempat itu harusnya sudah tutup." Noah kembali bergumam. Pria itu kemudian mengangkat kedua bahunya dan mulai menuruni satu per satu anak tangga. Pintu depan terdengar dibuka tepat ketika Noah menginjakkan kakinya di lantai dasar. Wanita itu baru saja pulang. "Kau dari mana saja?" tanya Noah. Ia menatap sejenak dua kantong belanjaan di masing-masing tangan Tiana. Seperti dugaannya, wanita itu tampak langsung mengangkatnya seolah menjawab, 'Aku pergi berbelanja saat perjalanan pulang'. "Kau harus bilang padaku jika mau berbelanja lagi. Di sini bukan hanya kau sendiri yang tinggal dan lagipula ini rumahku. Jangan bertingkah egois seperti itu," kata Noah seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Tiana tak langsung menjawab dan memilih pergi ke dapur. Selain karena tak mau merusak mood-nya karena omelan Noah, tangannya juga sudah terasa makin pegal mengingat pria itu sama sekali tak berinisiatif untuk mengambil alih tas belanjaannya. Kenapa juga ia sampai harus marah-marah hanya karena belanjaan? Padahal Tiana sendiri tak pernah marah jika apa yang dibelinya juga dipakai oleh Noah semenjak mereka tinggal bersama di sana. Di saat yang sama, sebuah pesan masuk ke ponsel milik Tiana. Wanita itu merogoh tasnya dan segera mengecek. Kemudian, raut wajahnya tampak berbeda. "Kirimkan aku uang." Sinar di kedua matanya mendadak hilang begitu ia membaca isi dari pesan itu.
Noah berlari menuruni anak tangga dengan tergesa begitu bel terus dibunyikan. Ia membawa kedua kakinya bergerak secepat yang ia bisa ke teras samping rumah di mana baju miliknya dan Tiana dijemur. "Gawat!" Ia mengambil satu per satu pakaian milik Tiana dan menaruhnya dengan asal ke belakang sofa karena di sanalah tempat terdekat yang bisa ia temukan dan terpikirkan olehnya saat itu. "Sebentar!" katanya sambil mengecek seluruh penjuru rumah dengan kedua matanya. Setelah memastikan kalau semuanya aman, Noah segera pergi menuju pintu utama. Ia berdiri sejenak dan merapikan pakaiannya, kemudian membuang napas. Perlahan dibukanya pintu dan kedua orang tuanya masih berada di sana. "Kenapa kau malah menutup pintunya lagi? Kami jadi lama menunggu," kata ayahnya. "Apa mungkin kau tidak suka dengan kedatangan kami?" "Tidak, bukan begitu. Itu, tadi—" Noah menelan ludah, menatap kedua orang tuanya bergantian. "Masih agak berantakan di dalam," imbuhnya seraya tertawa pelan. Padahal dalam
"Kirimkan aku uang." Tiana membuang napasnya kasar dan memilih memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Ia tak mau bersusah payah mentransfer sejumlah uang pada sosok pria tua brengsek yang selama ini merawatnya, apalagi dengan kondisinya sekarang di mana ia lebih membutuhkan uang dan mulai menabung lebih lagi. Toh sia-sia saja ia mengirimkan uang itu jika hanya berjudi dan mabuk-mabukan. Kelakuan ayah angkatnya sudah membuatnya muak hingga ia memilih untuk meninggalkan rumah kedua orang tua angkatnya dan pergi ke Berlin untuk hidup sendiri apalagi setelah kematian ibu angkatnya karena sakit. "Hey, kau mendengarku tidak?" Suara Noah kembali terdengar, kali ini pria itu mungkin agak kesal karena ia seperti seolah sedang diabaikan. Tiana hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Noah tak terdengar berbicara lagi, sampai beberapa detik setelahnya ia kembali berujar, "Jadi selama ini kau bekerja di kafe itu? Artinya kau sudah beberapa kali melihatku, kan? Berarti kita sudah
Satu gigitan mendarat di piadina yang beberapa saat lalu disajikan oleh seorang pelayan. Roti pipih yang dibuat dari tepung, air, serta lemak seperti minyak zaitun atau minyak babi. Dibuat tanpa ragi, bisa dipanggang tanpa menggunakan oven. Digulung, diisi dengan sayuran, daging, atau bahkan keju dan isian manis seperti selai cokelat, menyapa lidah milik Noah hingga pria itu terbuai selama beberapa detik. Salah satu menu baru di Hasty Pastry yang saat ini digemari oleh para pelanggan untuk teman mengobrol atau makanan ringan, hingga dipilih untuk menu makan siang bagi beberapa orang. Namun, cita rasa khas dari piadina kali ini hanya bertahan beberapa saat saja bagi Noah apalagi saat fokus pria itu terbagi. Sesekali ia melirik seorang wanita yang sedari tadi berada di belakang meja kasir dan melayani para pelanggan yang melakukan pembayaran. "Kenapa aku bisa tidak menyadarinya dan kenapa dia tak pernah mengatakannya padaku kalau dia bekerja di sini—sejak kapan?" batin Noah. Si
"Kau harus gunakan payung lain kali atau pesan taksi langsung dari tempat tinggalmu." Seorang wanita dengan rambut ponytail berjalan menghampiri Tiana yang sudah duduk di belakang meja kasir usai mengantar dua cangkir espresso milik pelanggan yang datang. "Aku agak kesiangan." Tiana nyengir tepat setelah membuat isyarat dengan kedua tangannya. Ya, bukan kebiasaannya berbohong terutama di pagi hari. Aslinya ia juga tak mau basah-basahan. Sebuah payung tentu saja ia miliki, tapi benda itu ada di apartemen lamanya, dan ia juga tak mungkin mengatakan semuanya kepada Sofia—wanita tadi, soal kepindahannya yang terbilang mendadak ke rumah pria yang bernama Noah. Tiana sendiri telah bekerja di sana selama kurang lebih empat tahun. Hasty Pastry, nama dari sebuah kafe yang selama ini membantu finansialnya, berlokasi di Bayreuther, Berlin. Tempat yang juga menjadi rumah kedua baginya, bertemu dengan orang-orang baru seperti Sofia yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri. Selam
Sudah lebih dari dua jam lamanya sejak Noah mendaratkan bokongnya di kursi yang biasa ia gunakan untuk melakukan live streaming sebuah game. Ia sengaja mematikan lampu kamarnya dan membiarkan cahaya dari layar komputernya mendominasi ruangan itu. Jari tangan kirinya aktif menekan-nekan beberapa tombol di keyboard dengan penuh ambisi, sementara jari telunjuk kanannya bertugas menekan mouse dan menggesernya di atas permukaan mousepad.“Pergi dari tempat itu dan bantu aku di sini!” katanya dengan penuh semangat. Sebuah headphone terpasang di kepalanya lengkap dengan mikrofon untuk memudahkannya berkomunikasi dengan teman-temannya yang lain. Keningnya mengkerut, kedua alis sesekali saling bertaut, serta pandangannya yang tak lepas dari layar komputer di depannya barang sedetik pun.Musuh berhasil disudutkan berkat kerja sama tim yang kompak. Jarinya nyaris kembali menekan tombol keyboard sebelum sebuah tepukan pelan mendarat di salah satu bahunya. Noah menggeram pelan, kemudian ia mematik








