MasukSuara debaran jantung Noah dan Tiana saat ini seakan tengah berusaha memecah keheningan di ruang tamu rumah itu pagi ini. Tiana sama sekali tak sanggup untuk mengangkat wajahnya dan membiarkan tatapan dari kedua orang tua Noah menelanjangi dirinya di sana. Sementara Noah sendiri hanya bisa membuang napas kasar dan mengusap wajahnya sesekali.
“Tidak aku sangka kau akan membawa wanita lain secepat ini,” kata sang ayah.
Kedua mata Noah dan Tiana memelotot di saat yang sama.
“Tidak—bukan begitu! Jangan sebut dia dengan wanita lain, Ayah!” Noah memprotes, meski dirinya tahu kalau ayahnya mungkin akan menendang kepalanya hingga terpental puluhan meter jika ia mengatakan tentang alasan Tiana tinggal di sana. Tentu saja, lebih parah dari sebutan ‘wanita lain’, karena Noah sampai membuat wanita malang itu hamil.
Kedua mata Noah beralih pada Tiana yang kini mulai terlihat memberanikan diri untuk bergabung dalam pembicaraan mereka. Meski tangannya agak gemetaran, wanita itu tampak berusaha menulis dengan tenang di atas permukaan sticky note sebelum akhirnya menunjukkannya pada kedua orang tua Noah.
“Maaf jika keberadaanku membuat kalian berdua terkejut. Noah hanya membantuku karena aku bukan orang sini dan kami hanya berteman, tidak lebih dari itu.”
Tiana menatap kedua orang tua Noah yang membaca tulisannya. Ia paham dengan betul soal ketidaksiapan Noah untuk memberitahu mereka situasi yang sebenarnya meski ia sendiri memang berniat bertanggung jawab.
“Teman?” Melinda—ibunya Noah, kembali menatap Tiana yang langsung menganggukkan kepala.
Noah melirik Tiana sejenak. Teman, katanya. Entah itu ide bagus atau sebaliknya, tapi setidaknya hal itu mungkin akan sedikit membuat kecurigaan orang tuanya sedikit teralihkan. “Aku tahu kalau kalian pasti akan terkejut dengan keberadaan Tiana di sini, makanya aku berusaha untuk tidak menunjukkannya dulu. Kedatangan kalian membuatku—tidak siap,” katanya. Ia pada akhirnya mengikuti alur baru yang dibuat oleh Tiana.
“Kalau kalian memang hanya teman, kenapa harus terkejut?” Kini ayahnya yang berujar.
“Karena aku tahu kalau kalian akan mengatakan hal seperti tadi.” Noah menyandarkan punggungnya ke belakang.
“Seperti apa? Soal kami yang mengatakan tentang Clara?”
Ucapan Melinda membuat Noah bungkam kembali. Reaksi yang sama setiap kali nama itu disebut. Di sebelah, Tiana memperhatikan bagaimana perubahan raut wajah pria itu. Sepertinya, wanita yang bernama Clara itu memiliki peran cukup penting sebelumnya. Apa mungkin memang mantan pacarnya? Atau mereka masih berpacaran sampai saat ini?
Tiana masih berfokus pada Noah sampai tak sadar kalau sedari tadi ayah dari pria itu tengah memperhatikannya tanpa mengatakan sepatah kata pun.
“Ini sudah hampir jam sembilan. Aku ada urusan ke luar sekaligus mengantar Tiana kerja. Kalian sebaiknya pergi sekarang,” kata Noah tiba-tiba seraya berdiri dari posisinya. Ucapannya barusan malah membuat Tiana berkedip-kedip di tempat.
“Mengantar kerja? Mengantar siapa? Aku?” batin wanita itu masih dengan kepala yang menengadah menatap Noah.
Kedua orang tuanya berpandangan satu sama lain selama beberapa saat. “Baiklah, kami akan pergi. Mungkin kami akan kembali berkunjung saat pulang dari perjalanan bisnis nanti. Maaf jika putra kami membuat banyak kesalahan dan menyulitkanmu selama berada di sini. Sejujurnya dia adalah pria yang baik.”
Kedua mata Noah langsung terbuka lebar begitu mendengar ucapan ayahnya. “A-apa yang ayah baru saja katakan? Sudahlah, kalian sebaiknya pergi! Aku juga mau bersiap-siap!” ujarnya seraya berlalu ke dapur, lengkap dengan gerutuan yang bahkan masih bisa terdengar ketika sosoknya sudah menghilang dari pandangan ketiga orang di sana.
“Semoga kau nyaman tinggal di sini.” Kini giliran Melinda yang berujar.
Tiana sampai dibuat tertegun saat ia melihat wanita paruh baya itu tersenyum tipis padanya, benar-benar tersenyum. Semula ia pikir kalau dirinya akan dimaki-maki pagi ini tapi yang ia dapatkan justru—seulas senyuman? Apakah Noah memang sering membawa wanita ke rumah sebelumnya sehingga kedua orang tua pria itu bersikap begitu tenang seolah sudah terbiasa?
Tiana hanya mengangguk. “Terima kasih banyak,” balasnya dengan isyarat.
Kedua orang tua Noah mengangguk pelan dan beranjak dari sana, kemudian berlalu. Tiana menatap punggung kedua orang itu hingga benar-benar hilang dari pandangannya. Kini, ia jadi memiliki beberapa pertanyaan di dalam kepalanya. Hanya saja sepertinya ia harus menahannya agar tidak langsung bertanya pada Noah dan membuat pria itu kembali mengomel atau bahkan parahnya memarahinya.
“Apa mereka sudah pergi?”
Tiana menolehkan kepalanya pada Noah yang sudah kembali dari dapur dan ia pun mengangguk.
“Aku mau berangkat ke kafe sekarang. Ini sudah terlambat,” tulisnya dalam sticky note.
Noah terdiam selama beberapa saat usai membacanya. Ia melihat Tiana yang beranjak dari sofa dan berjalan menaiki tangga menuju kamar, mungkin untuk mengambil tas atau apapun itu, kemudian secara otomatis mulutnya tiba-tiba mengeluarkan suara.
“Aku akan mengantarmu.” Noah dibuat terkejut sendiri seolah mulutnya bicara secara otomatis. Tiana tampak berhenti dan menoleh padanya dengan raut wajah yang juga terlihat terkejut.
Noah membuang napas pelan. Mau bagaimana pun, ia juga yang telah membuat Tiana terlambat pergi bekerja. Jadi, biarkan setidaknya biarkan ia mengantarkan wanita itu sebagai permintaan maaf.
Tiana baru saja membuka mulut tapi Noah langsung menginterupsi, “Jangan memprotes dan cepatlah bersiap-siap. Aku beri waktu lima menit dan jika lebih dari itu, aku batal mengantarmu,” ujarnya yang langsung menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja.
Seenaknya!
Namun, Tiana juga tak punya pilihan lain. Ia tak mau semakin terlambat datang ke kafe, selain itu—kapan lagi Noah mau mangantarnya? Itu akan menjadi momen langka, bukan?
Akhirnya, karena tak mau membuang kesempatan, Tiana pun mengangguk dan berlari menaiki satu per satu anak tangga hingga jantung Noah nyaris melompat keluar.
“Wanita itu! Apa dia lupa kalau dia sedang hamil?!” batinnya, lalu mengusap pelan dadanya saat melihat Tiana yang sudah mencapai lantai dua.
**
Tiga meja di Hasty Pastry saat ini sudah diisi oleh pelanggan. Aroma piada, late, espresso, dan menu lain sudah mulai memenuhi setiap penjuru kafe. Pelayan, barista, dan staf yang berada di dapur sudah terlihat sibuk dengan tugas masing-masing.
Bel yang menggantung di pintu berbunyi tepat ketika Tiana datang. Wanita itu agak tersengal begitu sampai karena harus berlarian dari luar. Noah menurunkannya di sebuah halte bus yang letaknya sekitar lima puluh meter dari kafe. Ia segera bergegas ke belakang dan membuka loker untuk menyimpan tas, membungkuk pelan dan tersenyum pada beberapa karyawan lain yang menyapanya dan sesekali ia jawab dengan bahasa isyarat.
Begitu kembali ke depan, Sofia sudah menunggunya di meja kasir lengkap dengan sebuah nampan di tangan. Wanita itu menatap sebuah jam dinding yang terpajang di dekat pintu masuk.
“Nyaris empat puluh menit. Kau ke mana saja?” tanya Sofia. Ia memperhatikan bagaimana wanita itu masuk kafe dengan napas yang tak beraturan dan langsung melesat ke belakang.
“Aku kesiangan.” Tiana nyengir—bohong. Kemudian matanya beralih pada seseorang yang sudah berada di balik meja kasir, duduk tepat di sebelah kursi miliknya. “Sudah sembuh?” tulisnya pada sticky note yang berada di kantung apronnya.
Hans—pria yang berusia setahun lebih muda darinya itu tersenyum dan mengangguk. Beruntung, Tiana seketika membatin. Jika saja Hans hari ini masih sakit, ia pasti akan diomeli oleh bosnya. Tiana langsung beralih ke balik meja kasir dan menghitung pesanan milik pelanggan yang menghampiri mejanya. Ia mulai fokus pada pekerjaannya meski diam-diam perutnya berbunyi di antara suasana kafe yang beruntungnya sedang agak ramai. Kejadian tadi membuatnya melupakan menu sarapan yang ia buat tadi dan secara tak langsung memberi Noah porsi double, itu pun jika pria itu mau memakannya.
Usai memberi kembalian pada pelanggan, sebungkus croissant disodorkan ke hadapannya. Tiana mengangkat wajahnya dan menatap Sofia. “Untukku?”
“Semuanya sudah kebagian dan ini tinggal bagianmu. Bos kita membawakan ini, katanya putra sulungnya tak bisa tidur hingga pagi dan malah membuat croissant, lalu dia bagikan ke semua karyawan Hasty Pastry.”
Tiana mengangguk, lalu segera duduk untuk memakannya di belakang meja kasir usai memberi isyarat terima kasih pada Sofia. Seingatnya pemilik Hasty Pastry memiliki dua orang anak dan putra sulung yang Sofia sebut tadi memang lihai dalam urusan dapur, termasuk baking. Semua karyawan di sana sudah beberapa kali merasakan makanan buatannya meski dibawakan oleh sang ayah. Namanya Leo, usianya beberapa tahun lebih tua dari Tiana. Mungkin juga seumuran dengan Noah. Namun, Tiana sendiri belum pernah bertemu dengannya secara langsung karena Leo lebih fokus pada perusahaan milik sang ayah.
Tiana sampai penasaran, bukankah seharusnya ayahnya yang meng-handle perusahaan dan Leo fokus pada kafe? Atau mereka bisa merekrut orang lain untuk mengurus Hasty Pastry, kan?
Namun, lebih aneh lagi seorang CEO perusahaan yang justru malah membuat croissant di pagi buta hanya karena tak bisa tidur.
Di saat yang sama, seorang pria berjaket memasuki kafe dan berjalan lurus ke arah meja kasir tempat Tiana dan Hans berada.
“Pesanan atas nama Tiana.”
Hans menolehkan kepalanya pada Tiana yang sampai menjeda kunyahan mulutnya di mana croissant masih menyumpal bagian dalam mulut hingga pipinya agak menggembung. “Kau pesan makanan?”
Tiana berkedip-kedip menatap box yang diletakkan di atas meja. Wanita itu menggelengkan kepala dan mengibas-ngibaskan tangannya yang kosong.
“Dia tak memesannya,” kata Hans.
Si pengantar makanan itu tampak kebingungan, lalu kembali mengecek ponselnya. “Tapi, ini alamat yang benar. Tiana, di kafe Hasty Pastry.”
Sofia yang masih berdiri di sebelah meja kasir pun ikut mengerutkan dahi. “Apa isinya?”
“Waffle dan cokelat panas.”
Ketiga orang yang berada di meja kasir itu terdiam, lalu Sofia dan Hans menatap satu sama lain selama beberapa saat.
“Waffle dan cokelat panas? Dari siapa?” Tiana membatin.
Sofia berdeham pelan, sementara Hans terkekeh pelan di posisinya. “Tiba-tiba sekali punya penggemar rahasia.”
Permukaan Tiana mengerut dan menatap Sofia yang sudah menyeringai tipis. “Penggemar rahasia?”
“Atau mungkin saja ... pacar?” Hans berdeham-deham. Jika urusan menggoda Tiana, ia dan Sofia memang satu frekuensi.
“P-pacar?” Tiana lalu menatap si pria pengantar makanan. “Dari siapa?”
“Dia bertanya, dari siapa?” kata Sofia.
“Sayangnya dia tidak memesan lewat aplikasi. Dia datang langsung ke tempat kami dan meminta untuk mengirimkan pesanannya ke sini, tapi dia menolak saat kami tanya tentang namanya. Maaf, aku hanya menjalankan pekerjaanku.”
Tiana kembali menatap box yang berisi waffle hangat dan cokelat panas di hadapannya. Ia tak berniat menolaknya meski di tangannya sudah ada sebungkus croissant yang tinggal setengah.
“Siapa yang memesannya? Menolak saat ditanyai perihal nama? Apa mungkin—Noah?”
Tiana nyaris tertawa sendiri.
“Itu mustahil.”
Keadaan rumah agak gelap saat Tiana tiba. Ini baru jam delapan malam, apa Noah sudah tidur? Atau pria itu sedang pergi ke luar? Tiana perlahan melangkah menuju ke ruang tamu, meraba-raba permukaan dinding untuk menemukan posisi saklar yang ia ingat dan begitu lampu berhasil dinyalakan, wanita itu terdiam di posisinya. Di sana, ia menemukan Noah yang tertidur di sofa. Hal yang tak biasa ia jumpai saat pulang dari kafe. Biasanya, jam segini pria itu sedang sibuk-sibuknya main game bersama dengan teman-temannya yang lain. Mungkin pria itu agak kelelahan atau kalah dalam game, hanya itu yang Tiana pikirkan. Ia lalu melangkah ke dapur dan meletakkan satu kantung plastik berisi hash brown dan kentang goreng, lalu memindahkannya ke piring. Ia menelan ludah sejenak menatap hash brown yang seperti tengah menatapnya. Namun, ia menahan diri. "Aku akan mandi terlebih dulu sebelum memakannya," batin wanita itu, kemudian berlalu. Ia sempat melirik Noah yang masih bergeming di sofa da
‘Aku memesan waffle dan juga cokelat panas sebagai permintaan maaf. Kau jadi melewatkan sarapan karena kejadian tadi. Aku akan makan makanan buatanmu sebagai gantinya.’ Mulut Tiana agak terbuka begitu membaca pesan yang dikirimkan sekitar tiga puluh menit lalu dan baru ia buka sekarang. Permintaan maaf? Memakan makanan buatannya? Maksudnya memakan dua piring roti isi ham yang ada di meja makan tadi? Sepertinya, suasana hati Noah sedang cukup baik saat ini sampai pria itu mau repot-repot memesan makanan untuknya. Kunjungan dadakan orang tuanya tadi kini sudah berakhir, tapi kebohongan yang ia dan Noah ciptakan tak akan bisa selamanya bertahan dan harus diakhiri secepatnya juga. Hanya saja, apakah reaksi orang tua Noah akan sama seperti tadi? Atau sesuai yang Tiana bayangkan? Ia mungkin akan benar-benar dimaki nanti. “Kau banyak melamun hari ini, tidak biasanya.” Suara Hans menyapa indra pendengaran Tiana dengan lembut hingga wanita itu tersadar dari lamunannya dan buru-buru memasuk
Suara debaran jantung Noah dan Tiana saat ini seakan tengah berusaha memecah keheningan di ruang tamu rumah itu pagi ini. Tiana sama sekali tak sanggup untuk mengangkat wajahnya dan membiarkan tatapan dari kedua orang tua Noah menelanjangi dirinya di sana. Sementara Noah sendiri hanya bisa membuang napas kasar dan mengusap wajahnya sesekali.“Tidak aku sangka kau akan membawa wanita lain secepat ini,” kata sang ayah.Kedua mata Noah dan Tiana memelotot di saat yang sama.“Tidak—bukan begitu! Jangan sebut dia dengan wanita lain, Ayah!” Noah memprotes, meski dirinya tahu kalau ayahnya mungkin akan menendang kepalanya hingga terpental puluhan meter jika ia mengatakan tentang alasan Tiana tinggal di sana. Tentu saja, lebih parah dari sebutan ‘wanita lain’, karena Noah sampai membuat wanita malang itu hamil.Kedua mata Noah beralih pada Tiana yang kini mulai terlihat memberanikan diri untuk bergabung dalam pembicaraan mereka. Meski tangannya agak gemetaran, wanita itu tampak berusaha menul
Noah berlari menuruni anak tangga dengan tergesa begitu bel terus dibunyikan. Ia membawa kedua kakinya bergerak secepat yang ia bisa ke teras samping rumah di mana baju miliknya dan Tiana dijemur. "Gawat!" Ia mengambil satu per satu pakaian milik Tiana dan menaruhnya dengan asal ke belakang sofa karena di sanalah tempat terdekat yang bisa ia temukan dan terpikirkan olehnya saat itu. "Sebentar!" katanya sambil mengecek seluruh penjuru rumah dengan kedua matanya. Setelah memastikan kalau semuanya aman, Noah segera pergi menuju pintu utama. Ia berdiri sejenak dan merapikan pakaiannya, kemudian membuang napas. Perlahan dibukanya pintu dan kedua orang tuanya masih berada di sana. "Kenapa kau malah menutup pintunya lagi? Kami jadi lama menunggu," kata ayahnya. "Apa mungkin kau tidak suka dengan kedatangan kami?" "Tidak, bukan begitu. Itu, tadi—" Noah menelan ludah, menatap kedua orang tuanya bergantian. "Masih agak berantakan di dalam," imbuhnya seraya tertawa pelan. Padahal dalam
"Kirimkan aku uang." Tiana membuang napasnya kasar dan memilih memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Ia tak mau bersusah payah mentransfer sejumlah uang pada sosok pria tua brengsek yang selama ini merawatnya, apalagi dengan kondisinya sekarang di mana ia lebih membutuhkan uang dan mulai menabung lebih lagi. Toh sia-sia saja ia mengirimkan uang itu jika hanya berjudi dan mabuk-mabukan. Kelakuan ayah angkatnya sudah membuatnya muak hingga ia memilih untuk meninggalkan rumah kedua orang tua angkatnya dan pergi ke Berlin untuk hidup sendiri apalagi setelah kematian ibu angkatnya karena sakit. "Hey, kau mendengarku tidak?" Suara Noah kembali terdengar, kali ini pria itu mungkin agak kesal karena ia seperti seolah sedang diabaikan. Tiana hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Noah tak terdengar berbicara lagi, sampai beberapa detik setelahnya ia kembali berujar, "Jadi selama ini kau bekerja di kafe itu? Artinya kau sudah beberapa kali melihatku, kan? Berarti kita sudah
Satu gigitan mendarat di piadina yang beberapa saat lalu disajikan oleh seorang pelayan. Roti pipih yang dibuat dari tepung, air, serta lemak seperti minyak zaitun atau minyak babi. Dibuat tanpa ragi, bisa dipanggang tanpa menggunakan oven. Digulung, diisi dengan sayuran, daging, atau bahkan keju dan isian manis seperti selai cokelat, menyapa lidah milik Noah hingga pria itu terbuai selama beberapa detik. Salah satu menu baru di Hasty Pastry yang saat ini digemari oleh para pelanggan untuk teman mengobrol atau makanan ringan, hingga dipilih untuk menu makan siang bagi beberapa orang. Namun, cita rasa khas dari piadina kali ini hanya bertahan beberapa saat saja bagi Noah apalagi saat fokus pria itu terbagi. Sesekali ia melirik seorang wanita yang sedari tadi berada di belakang meja kasir dan melayani para pelanggan yang melakukan pembayaran. "Kenapa aku bisa tidak menyadarinya dan kenapa dia tak pernah mengatakannya padaku kalau dia bekerja di sini—sejak kapan?" batin Noah. Si







