Masuk‘Aku memesan waffle dan juga cokelat panas sebagai permintaan maaf. Kau jadi melewatkan sarapan karena kejadian tadi. Aku akan makan makanan buatanmu sebagai gantinya.’
Mulut Tiana agak terbuka begitu membaca pesan yang dikirimkan sekitar tiga puluh menit lalu dan baru ia buka sekarang. Permintaan maaf? Memakan makanan buatannya? Maksudnya memakan dua piring roti isi ham yang ada di meja makan tadi? Sepertinya, suasana hati Noah sedang cukup baik saat ini sampai pria itu mau repot-repot memesan makanan untuknya. Kunjungan dadakan orang tuanya tadi kini sudah berakhir, tapi kebohongan yang ia dan Noah ciptakan tak akan bisa selamanya bertahan dan harus diakhiri secepatnya juga. Hanya saja, apakah reaksi orang tua Noah akan sama seperti tadi? Atau sesuai yang Tiana bayangkan? Ia mungkin akan benar-benar dimaki nanti. “Kau banyak melamun hari ini, tidak biasanya.” Suara Hans menyapa indra pendengaran Tiana dengan lembut hingga wanita itu tersadar dari lamunannya dan buru-buru memasukkan kembali ponselnya ke dalam kantung apron yang terletak di bagian depan—sampai lupa membalas pesan yang Noah kirim, meski mungkin pria itu tak akan peduli juga nantinya. “Kau benar-benar punya pacar ya, sekarang?” tanya Hans. Pria itu mengambil satu bungkus cokelat yang berada di dalam sebuah stoples kaca kecil yang rutin diisi oleh Tiana dan juga Sofia setiap kali keduanya gajian. Katanya, cokelat cukup efektif untuk memperbaiki suasana hati. Apalagi jika setelah mereka menghadapi pelanggan yang memiliki sikap ‘ajaib’. Tiana buru-buru mengibas-ngibaskan kedua tangannya, bahkan sampai membuat tanda silang sebagai bentuk penegasan. Namun, reaksi itu malah mengundang tawa Hans. “Lalu? Temanmu?” Tiana mengangguk. “Baik, baik. Aku akan menyebutnya sebagai teman baik hati yang memesankan makanan,” kata Hans cengengesan hingga Tiana memutar kedua matanya, meski ujung-ujungnya ikut terkekeh juga. “Noah agak jauh dari kata baik hati. Ya, dia tak sebaik itu kok.” Tiana membatin. Hasty Pasty semakin ramai begitu mendekati jam makan siang. Piadina menjadi menu perbincangan di antara para pelanggan saat ini, terutama bagi mereka yang sedang menjalani program diet. Sofia, saat ini terlihat membawa sebuah nampan berisi satu piring piadina isian daging dan sepiring hash brown dengan saus keju. Wanita itu bergerak dengan lihai, membawanya menuju salah satu meja di dekat pintu utama di mana seorang wanita paruh baya duduk bersama dengan anak perempuan dengan kisaran umur lima tahun. Tanpa sadar, Tiana memperhatikan bagaimana piring berisi hash brown itu mendarat di permukaan meja di mana dua gelas jus sudah terlebih dahulu menempatinya. Ia juga melihat bagaimana si anak mengambil salah satu hash brown dengan antusias, menenggelamkan sebagian permukaan garing berwarna cokelat ke permukaan saus keju sebelum benar-benar memasukkannya ke dalam mulut. Oh, anak itu sampai mengangguk-anggukkan kepala. Apa mungkin rasanya seenak itu? “Itu hanyalah kentang, Tiana. Itu kentang goreng.” Tiana berusaha meyakinkan dirinya. Namun, melihat bagaimana gadis kecil itu menikmati hash brown-nya membuat Tiana tanpa sadar menelan ludah. Apa mungkin orang-orang di dapur memiliki hash brown lebih? Itu bodoh. Mereka hanya menggoreng sesuai dengan pesanan. “Tenangkan dirimu, Tiana!" batin wanita itu. Ini bahkan belum sebulan dan dirinya sudah ... mengidam? Di sebelah, Hans memperhatikan bagaimana rekan kerjanya itu melamun, menelan ludah, bahkan sampai mengusap wajah. Karena khawatir ia pun mencoba bertanya langsung, tapi ia tak menyangka kalau sentuhan pelan di bahu Tiana sampai membuat wanita itu agak terlonjak. “Hei, hei, apa kau tak apa? Kau tak enak badan?” tanya Hans usai menurunkan kembali tangannya begitu mendapati reaksi Tiana yang di luar dugaan. Namun, anggukan kepala Tiana tak cukup memberinya kepuasan. Ia ingin kembali bertanya, tapi dua orang pelanggan datang ke meja mereka di saat yang sama dan membuatnya memilih berfokus pada pekerjaannya. ** Noah meletakkan headphone di kepalanya ke atas meja dan beranjak begitu perutnya berbunyi. Jam makan siang sudah lewat dan ia bahkan melewati sarapannya begitu saja. Kunjungan mendadak orang tuanya tadi pagi cukup mempengaruhi nafsu makan pria itu. Ia berjalan menuruni tangga menuju dapur dan melihat dua piring menu sarapan yang masih utuh di sana—sudah pasti dingin sekarang. Alih-alih menghangatkannya di microwave, pria itu memilih langsung duduk di kursi dan memakannya. Tidak buruk. Ya, lagipula Tiana juga terbilang pandai memasak. Masakan buatan wanita itu masih terasa enak meski sudah dingin. Noah mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. Pesannya tadi pagi tak ada satu pun yang dibalas oleh Tiana. Mungkin kafe sedang ramai hari ini sampai wanita itu tak sempat membuka ponsel? Ah, siapa peduli? Yang penting Noah sudah mengirimkan makanan ke sana sebagai permintaan maaf karena membuat Tiana melewatkan sarapannya di rumah. "Dia pintar sekali membuatku merasa bersalah," gumam Noah di tengah kegiatan makannya. Untuk pertama kalinya ia hidup satu atap dengan seorang wanita. Bahkan dengan wanita yang bernama Clara yang disebut-sebut oleh orang tuanya tadi, ia tak pernah sama sekali. Clara, ya. Sejujurnya ia tak mau mengingatnya lagi. Di saat yang sama, ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar. Dengan mulut yang masih sibuk mengunyah, Noah pun mengeceknya. Tiana mengirimkan sebuah foto. Itu adalah foto waffle dan coklat panas—yang pasti sudah dingin. "Darimu? Terima kasih," tulis wanita itu di sana. Kemudian, jari tangan Noah mengetikkan sesuatu sebagai balasan. "Bukan." Setelahnya, diletakkannya lagi ponselnya ke tempat semula. Ia sudah meminta agar namanya tak disebut sebagai pengirim, tapi mau bagaimana lagi. Tiana pasti menyadarinya juga. "Kenapa juga baru dia makan sekarang? Itu untuk sarapannya tadi, bukan makan siang." Noah bergumam. Tak lama setelahnya, ponsel pria itu kembali bergetar saat sebuah pesan diterimanya lagi. Namun, kali ini bukan dari Tiana. Itu dari nomor tak dikenal. Noah menghentikan gerakan rahangnya. Nomor itu .... familiar. Pesan singkat bertuliskan 'hai' dikirim padanya. Kemudian, gemuruh mulai terasa di dalam dada pria itu. Bukan perasaan hangat, tapi sebaliknya. Nyeri.Keadaan rumah agak gelap saat Tiana tiba. Ini baru jam delapan malam, apa Noah sudah tidur? Atau pria itu sedang pergi ke luar? Tiana perlahan melangkah menuju ke ruang tamu, meraba-raba permukaan dinding untuk menemukan posisi saklar yang ia ingat dan begitu lampu berhasil dinyalakan, wanita itu terdiam di posisinya. Di sana, ia menemukan Noah yang tertidur di sofa. Hal yang tak biasa ia jumpai saat pulang dari kafe. Biasanya, jam segini pria itu sedang sibuk-sibuknya main game bersama dengan teman-temannya yang lain. Mungkin pria itu agak kelelahan atau kalah dalam game, hanya itu yang Tiana pikirkan. Ia lalu melangkah ke dapur dan meletakkan satu kantung plastik berisi hash brown dan kentang goreng, lalu memindahkannya ke piring. Ia menelan ludah sejenak menatap hash brown yang seperti tengah menatapnya. Namun, ia menahan diri. "Aku akan mandi terlebih dulu sebelum memakannya," batin wanita itu, kemudian berlalu. Ia sempat melirik Noah yang masih bergeming di sofa da
‘Aku memesan waffle dan juga cokelat panas sebagai permintaan maaf. Kau jadi melewatkan sarapan karena kejadian tadi. Aku akan makan makanan buatanmu sebagai gantinya.’ Mulut Tiana agak terbuka begitu membaca pesan yang dikirimkan sekitar tiga puluh menit lalu dan baru ia buka sekarang. Permintaan maaf? Memakan makanan buatannya? Maksudnya memakan dua piring roti isi ham yang ada di meja makan tadi? Sepertinya, suasana hati Noah sedang cukup baik saat ini sampai pria itu mau repot-repot memesan makanan untuknya. Kunjungan dadakan orang tuanya tadi kini sudah berakhir, tapi kebohongan yang ia dan Noah ciptakan tak akan bisa selamanya bertahan dan harus diakhiri secepatnya juga. Hanya saja, apakah reaksi orang tua Noah akan sama seperti tadi? Atau sesuai yang Tiana bayangkan? Ia mungkin akan benar-benar dimaki nanti. “Kau banyak melamun hari ini, tidak biasanya.” Suara Hans menyapa indra pendengaran Tiana dengan lembut hingga wanita itu tersadar dari lamunannya dan buru-buru memasuk
Suara debaran jantung Noah dan Tiana saat ini seakan tengah berusaha memecah keheningan di ruang tamu rumah itu pagi ini. Tiana sama sekali tak sanggup untuk mengangkat wajahnya dan membiarkan tatapan dari kedua orang tua Noah menelanjangi dirinya di sana. Sementara Noah sendiri hanya bisa membuang napas kasar dan mengusap wajahnya sesekali.“Tidak aku sangka kau akan membawa wanita lain secepat ini,” kata sang ayah.Kedua mata Noah dan Tiana memelotot di saat yang sama.“Tidak—bukan begitu! Jangan sebut dia dengan wanita lain, Ayah!” Noah memprotes, meski dirinya tahu kalau ayahnya mungkin akan menendang kepalanya hingga terpental puluhan meter jika ia mengatakan tentang alasan Tiana tinggal di sana. Tentu saja, lebih parah dari sebutan ‘wanita lain’, karena Noah sampai membuat wanita malang itu hamil.Kedua mata Noah beralih pada Tiana yang kini mulai terlihat memberanikan diri untuk bergabung dalam pembicaraan mereka. Meski tangannya agak gemetaran, wanita itu tampak berusaha menul
Noah berlari menuruni anak tangga dengan tergesa begitu bel terus dibunyikan. Ia membawa kedua kakinya bergerak secepat yang ia bisa ke teras samping rumah di mana baju miliknya dan Tiana dijemur. "Gawat!" Ia mengambil satu per satu pakaian milik Tiana dan menaruhnya dengan asal ke belakang sofa karena di sanalah tempat terdekat yang bisa ia temukan dan terpikirkan olehnya saat itu. "Sebentar!" katanya sambil mengecek seluruh penjuru rumah dengan kedua matanya. Setelah memastikan kalau semuanya aman, Noah segera pergi menuju pintu utama. Ia berdiri sejenak dan merapikan pakaiannya, kemudian membuang napas. Perlahan dibukanya pintu dan kedua orang tuanya masih berada di sana. "Kenapa kau malah menutup pintunya lagi? Kami jadi lama menunggu," kata ayahnya. "Apa mungkin kau tidak suka dengan kedatangan kami?" "Tidak, bukan begitu. Itu, tadi—" Noah menelan ludah, menatap kedua orang tuanya bergantian. "Masih agak berantakan di dalam," imbuhnya seraya tertawa pelan. Padahal dalam
"Kirimkan aku uang." Tiana membuang napasnya kasar dan memilih memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Ia tak mau bersusah payah mentransfer sejumlah uang pada sosok pria tua brengsek yang selama ini merawatnya, apalagi dengan kondisinya sekarang di mana ia lebih membutuhkan uang dan mulai menabung lebih lagi. Toh sia-sia saja ia mengirimkan uang itu jika hanya berjudi dan mabuk-mabukan. Kelakuan ayah angkatnya sudah membuatnya muak hingga ia memilih untuk meninggalkan rumah kedua orang tua angkatnya dan pergi ke Berlin untuk hidup sendiri apalagi setelah kematian ibu angkatnya karena sakit. "Hey, kau mendengarku tidak?" Suara Noah kembali terdengar, kali ini pria itu mungkin agak kesal karena ia seperti seolah sedang diabaikan. Tiana hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Noah tak terdengar berbicara lagi, sampai beberapa detik setelahnya ia kembali berujar, "Jadi selama ini kau bekerja di kafe itu? Artinya kau sudah beberapa kali melihatku, kan? Berarti kita sudah
Satu gigitan mendarat di piadina yang beberapa saat lalu disajikan oleh seorang pelayan. Roti pipih yang dibuat dari tepung, air, serta lemak seperti minyak zaitun atau minyak babi. Dibuat tanpa ragi, bisa dipanggang tanpa menggunakan oven. Digulung, diisi dengan sayuran, daging, atau bahkan keju dan isian manis seperti selai cokelat, menyapa lidah milik Noah hingga pria itu terbuai selama beberapa detik. Salah satu menu baru di Hasty Pastry yang saat ini digemari oleh para pelanggan untuk teman mengobrol atau makanan ringan, hingga dipilih untuk menu makan siang bagi beberapa orang. Namun, cita rasa khas dari piadina kali ini hanya bertahan beberapa saat saja bagi Noah apalagi saat fokus pria itu terbagi. Sesekali ia melirik seorang wanita yang sedari tadi berada di belakang meja kasir dan melayani para pelanggan yang melakukan pembayaran. "Kenapa aku bisa tidak menyadarinya dan kenapa dia tak pernah mengatakannya padaku kalau dia bekerja di sini—sejak kapan?" batin Noah. Si







