Share

Part 2

***

"Siapa yang kamu maksud?"

ujar seseorang dari belakang Syafa.

Tubuh Syafa menegang.

Mampus.

Syafa pun berbalik melihat siapa pemilik suara tersebut. Sedangkan Fina, entah sejak kapan dia kabur dari tempat tersebut.

"Eh pak Devan. Ada apa ya pak?" tanya Syafa yang hanya bisa nyengir kuda saja.

Devan menatap Syafa datar, melebihi datarnya triplek.

"Ini waktu kerja, bukan waktu buat gibahin saya!"

"Hehe, maaf pak saya gak sengaja," ujar Syafa yang hanya menampilkan wajah tak berdosa nya.

"Gibahin orang pake gak sengaja segala. Selesai kan laporan ini, setelah itu temani saya meeting dengan klien." Devan pun memberikan sebuah file kepada Syafa.

"Sekarang pak?" tanya Syafa polos.

"Minggu depan juga gak papa," balas Devan yang sudah menatap Syafa tajam.

"Oh gitu, masih lama pak mending saya ngerjain tugas yang lain dulu," ujar Syafa polos. Terdengar beberapa karyawan yang ada disana tertawa mendengar jawaban Syafa. Sedangkan Devan sudah geram dengan tingkah karyawan nya yang satu ini.

"Ya harus diselesaikan sekarang Syafa!" ujar Devan geram.

"Lah, kata bapak tadi minggu depan." Devan menepuk jidatnya.

"Mangkanya kalau punya otak gunain buat mikir, bukanya malah gibahin orang." Devan emang tak habis pikir dengan wanita yang satu ini. Bisa-bisanya dia bikin Devan naik darah.

"Lah apa hubungannya, yang di gunain buat gibah itu kan mulut pak, bukan otak."

Tawa para karyawan pun kembali terdengar. Devan langsung melayangkan tatapan tajamnya sehingga nyali mereka langsung ciut dan memutuskan untuk kembali bekerja.

Devan kembali menatap sinis Syafa.

"Terserah kamu aja, yang penting laporan ini harus siap sebelum jam makan siang. Kalau tidak, gaji kamu saya potong!" ancam Devan yang membuat mata Syafa langsung melebar.

"Masa langsung potong gaji aja pak, gak bisa gitu dong pak."

"Yang bosnya disini siapa?"

"Bapak."

"Yang berhak ngatur disini siapa?"

"Bapak juga."

"Jadi..."

"Jadi ya-" Syafa menggantungkan kalimatnya.

"Nah, kamu pikir saja sendiri." Devan pun mulai melangkah meninggalkan Syafa. Namun Devan kembali berbalik.

"Ingat, ucapan saya gak pernah main-main." Devan pun langsung pergi.

Syafa langsung mendengus kesal.

"Iss, mentang-mentang bos, seenaknya aja motong gaji orang." Syafa duduk dimeja dengan wajah kesalnya.

Tak lama, terdengar suara tawa disekitar Syafa. Ternyata para karyawan yang menyaksikan perdebatan antara Syafa dan Devan tadi.

"Sumpah, baru kali ini ada karyawan yang berani ngebantah ucapan pak Devan," ujar Denis, salah satu karyawan disana.

"Benar banget Fa. Tapi bagus juga sih, akhirnya pak Devan dapat lawan juga," balas Fina yang sudah tertawa.

"Udah ah, aku mau ngerjain laporan ini dulu. Nanti cuma gara-gara laporan ini gaji pertama ku di potong pula sama BOS kita," ujar Syafa dengan menekan kalimat nya.

Fina dan yang lainnya hanya tertawa melihat Syafa yang terlihat sangat kesal karena Devan.

***

Syafa baru saja selesai membuat laporan yang disuruh oleh Devan. Syafa melirik kearah jam yang ada didepannya.

"Masih ada waktu beberapa menit lagi sebelum istirahat. Mending aku antar laporan ini dulu ke pak Devan," ujar Syafa.

Syafa pun bangkit untuk mengantarkan laporan tersebut ke ruangan Devan. Syafa melihat hanya dirinya saja yang tinggal disana.

Syafa mengetuk pintu ruangan Devan. Ia pun langsung masuk setelan diizinkan oleh pemilik ruangan tersebut.

"Ini laporan nya pak." Syafa memberikan laporan tersebut kepada Devan.

Devan pun mengambil file tersebut dan mulai memeriksa nya.

Devan pun terlihat mengangguk-anggukan Kepala.

"Hmm oke," ujar Devan menganggap kalau laporan tersebut sudah benar.

"Saya permisi dulu pak," pamit Syafa yang hendak keluar dari ruangan Devan.

"Mau kemana kamu?" Syafa menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Devan.

"Mau makan siang pak," jawab Syafa jujur.

"Nanti saja, kita akan pergi menemui klien."

"Tapi kan ini masih jam istirahat pak."

"Ya terus kenapa kalau masih jam istirahat?"

"Ya gak papa sih pak. Tapi apa gak sebaiknya bapak makan siang dulu, pak?" usul Syafa pada Devan.

"Saya makan nya nanti saja di jalan," balas Devan.

"Ya udah kalau gitu, pak. Saya akan siap-siap dulu," ujar Syafa yang akhirnya menyetujui perintah Devan.

"Saya tunggu di mobil!" Devan pun berlalu meninggalkan Syafa. Sedangkan Syafa dia langsung kembali ke meja nya untuk mengambil file yang di butuhkan.

Setelah selesai menyiapkan segala hal yang di perlukan, Syafa pun menyusul Devan ke parkiran.

Walaupun ada sedikit rasa kesal Syafa kepada Devan, namun dia tetap saja mematuhi perintah Devan. Walaupun makan siangnya harus tertunda seperti ini.

Syafa dan Devan sudah berada didalam mobil milik Devan. Devan mengendarai mobil tersebut dengan kecepatan sedang.

Syafa sedari tadi terlihat memegangi perutnya, karena emang efek lapar. Syafa hanya diam memandangi jalanan.

Ya ampun, nih perut kenapa harus sakit sekarang sih.

Syafa berusaha menahan rasa sakit nya. Syafa memang punya penyakit mag, itu sebab nya ia tidak boleh terlambat makan. Tapi hari ini, gara-gara bos nya ia harus menahan rasa sakit itu.

Devan sebenarnya menyadari kondisi Syafa. Ia melihat Syafa yang selalu memegangi perutnya dan sesekali meringis seperti orang yang sedang menahan rasa sakit. Namun sebisa mungkin ia bersikap seolah-olah ia tidak tau.

Mobil yang di kendarai Devan masuk ke area sebuah restoran.

"Kita udah sampai," ujar Devan menyadarkan Syafa yang yah sedang melamun.

Tanpa menjawab, Syafa langsung saja membuka pintu mobil tersebut untuk keluar. Mood nya hari ini benar-benar buruk karena harus menahan rasa sakit.

Syafa mengikuti Devan yang memasuki restoran tersebut dan duduk di meja yang sudah dipesan oleh Devan.

"Masih ada waktu 20 menit lagi, sebaiknya kamu pesan makan siang dulu," ujar Devan yang mulai merasa tidak tega melihat Syafa.

"Gak usah pak, nanti setelah meeting saja," balas Syafa.

"Sudah gak usah ngebantah. Saya tau kamu sekarang itu pasti lagi kelaparan."

Udah tau ngapain dari tadi gak peka.

"Tapi pak-" Devan langsung saja memanggil pelayan yang ada disana.

Setelah pelayan itu mendekat, Devan pun mulai mengatakan makanan yang akan ia pesan.

Syafa menatap Devan heran. Heran karena pria itu tiba-tiba jadi baik gini.

"Ngapain kamu natap saya seperti itu?" tanya Devan datar.

Syafa hanya memalingkan tatapan nya dan mengacuhkan ucapan Devan tersebut.

Lama kelamaan perut Syafa jadi semakin sakit. Tangannya terus saja mencekram perutnya dengan harapan bisa mengurangi rasa sakit nya.

Namun itu hanya sia-sia saja, bahkan ketika makanan nya pun sudah datang ia sudah tidak selera lagi untuk makan.

"Dimakan makanan kamu!" ujar Devan.

"Iy...iya pak." Syafa memaksa kan dirinya untuk memakan makanan tersebut. Namun semakin ia memaksa untuk makan, semakin bertambah rasa sakit di perut nya.

Syafa sungguh tak sanggup lagi menahan rasa sakit nya. Hingga akhirnya dia pun kehilangan kesadaran nya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status