Dua minggu sebelum hari pernikahan, Devita dan Alby termasuk keluarga keduanya sama-sama sibuk mempersiapkan untuk pernikahan.
Hari ini Devita dan Alby kebagian untuk mempersiapkan baju pernikahan dan desain undangan. Sedangkan untuk dekorasi, parasmanan dan lain-lain disiapkan oleh keluarga Alby dan keluarga Devita. Devita menatap nanar pada sepatu kesayangannya yang sudah terkelupas. Wajah Devita sedikit tertekuk begitu pandangannya beralih menatap sepatu yang ada di rak sepatu. Pasalnya perempuan itu tidak punya lagi sepatu untuk jalan-jalan. Yang lainnya kebanyakan sandal jepit dan ada beberapa sepatu hak tinggi yang dibelikan oleh mantan pacarnya. Nah, masalahnya Devita itu bukan tipe perempuan modis, atau perempuan yang suka mengenakan sepatu hak tinggi kemana-mana. Devita tidak terbiasa. TIN!! TIN!! Devita mendelik pada sesosok laki-laki tinggi yang tak lain adalah Alby. Laki-laki itu sekarang sudah memasuki pekarangan rumah. Gara-gara Alby, Devita sempat terperanjat. "Kenapa gak bales chat gue?" tanya Alby sembari mendudukkan diri di kursi sebelah kanan meja. Bukannya menjawab, Devita justru menatap sepatunya dan mengeluh. "Sepatu gue." Alby melirik sepatu Devita sekilas. Sebelum akhirnya pandangannya beralih pada rak sepatu. Laki-laki itu menunjuk rak sepatu. "Itu ada sepatu hak tinggi dan sandal." Devita mendesis. "Yah, tapi gue gak biasa pake sepatu hak tinggi! Gimana kalau tiba-tiba gue nyungsep terus hak gue nyangkut dan berakhir jatoh? Kan malu." "Yaudah pake sandal aja." "Masa jalan-jalan pake sandal, sih." Alby mengusap wajahnya. Ia menatap Devita lekat. "Terserahlah! Sekalian aja nyeker sana!" kesal Alby, laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya. "Ihh Alby!" rengek Devita dengan wajah cemberut. "Tungguin gue, dong!" Devita menyusul Alby yang sudah berjalan keluar gerbang. Terdengar suara bedebum halus akibat pintu mobil ditutup. Devita menekuk wajahnya. Sedangkan Alby berusaha tak peduli. "Muka lo jangan asem gitu, dong! Gak enak diliat," komentar Alby seenaknya. Devita langsung mengalihkan atensinya kepada Alby. Perempuan itu menggertakkan giginya, ia dengan beringas menjambak rambut Alby kuat. Sampai laki-laki itu berusaha melepaskan cengkraman Devita karena sakit yang luar biasa, seperti rambutnya dicabut paksa sampai ke akar-akarnya. "Woy berhenti!" Alby meringis kala Devita semakin menguatkan cengkramannya. Laki-laki itu mengambil sebuah batal leher di dashboard. Ia menjejalkan bantal itu ke wajah Devita. "Mampus lo! Jauh-jauh sana! Lepasin tangan lo dari rambut gue! Woy lo mau bikin gue botak, yah!" "GAK MAU!" Jadilah, selama lima menit Devita menjambak rambut Alby. Sedangkan Alby menjejalkan bantal leher ke wajah Devita. Sampai akhirnya mereka berdua berhenti sendiri kala merasa kelelahan. Kondisi keduanya cukup memprihatinkan. Alby yang rambutnya acak-acakan sudah macam orang gila dan Devita yang make up-nya berantakan gara-gara Alby terus menjejalkan bantal leher ke wajahnya. "BWAHAHAHA." Alby yang pertama kali sadar wajah Devita yang sudah tidak karuan. Devita mendesis. "Lo juga udah kek orgil! Sok-sok-an ngeledek!" cibir Devita telak. Alby ngaca di kaca kecil yang tergantung di atap mobil. Ia mengambil sisir dari dasboard dan mulai merapikan rambutnya. Setelah selesai, Alby tersenyum. "Liat, gue udah rapi." Devita cemberut. "Ngeselin banget, sih!" "Lagian lo duluan yang ngajak gelud, gue gak salah, yah. Gue cuma membela diri." Alby merotasikan kedua bola matanya. "Yakali gue pasrah aja dijambak-jambak." "Lo-nya ngeselin!" "Lo sendiri kenapa? PMS?" Devita terdiam. "Wah ternyata bener." "Terus ini gue gimana? Gue harus cuci muka lagi dan make up lagi. Lo mau nunggu?" Alby menggeleng. "Gak, lo gak usah cuci muka." Alby mengambil tisu basah dari dasboard. Lantas memberikannya pada Devita. "Nih, pake." Devita menerimanya. Ia mengambil HP-nya menyalakan kamera depan. "Pegangin bentar," suruh Devita sembari menyerahkan HP-nya pada Alby. Alby menerima dengan setengah hati. 💐💐💐 "Ayo turun!" Devita tetap bergeming ditempatnya. "Gue gak pake sandal atau sepatu." Alby menepuk wajahnya. "Kenapa gak pake?" "Ya 'kan tadi lo malah ngacir duluan ke mobil! Gue takutnya lo ninggalin gue." Alby tertawa lepas. "Ngadi-ngadi banget, sih lo." Alby menghentikan tawanya. Ia tampak berpikir. "Kalau gitu ... lo tunggu di sini aja, biar gue yang ambil contoh desain undangannya." Devita mengangguk. Setelah Alby keluar dari mobil, Devita sibuk memainkan HP-nya. Ia sedikit terusik kala mendengar suara notif. Itu bukan dari HP Devita. Perempuan berhijab cokelat itu melirik ke samping dan tatapannya berlabuh pada sebuah HP yang tergeletak di kursi kemudi. Devita mengambilnya. Namun, ketika dinyalakan, HP tersebut dikunci menggunakan pola. Devita meninggikan HP-nya, menerawang bekas jari. Ternyata ada. Segera saja perempuan itu membukanya. Klik! Tampilan pertama yang terlihat bukanlah sebuah beranda dengan banyaknya aplikasi. Melainkan sebuah galeri. What! Devita sedikit shock setelah melihat banyaknya foto yang ada di galeri itu. 💐💐💐 Usai Alby dan Devita memilih baju untuk hari pernikahan dan mengambil desain undangan, Keduanya langsung pulang. Sebelum turun dari mobil, Devita lebih dulu mencengkram sealt-belt Alby. Membuat laki-laki itu mengalihkan pandangannya. "Kenapa?" "Yang digaleri itu apa maksudnya?" Alby membeku selama beberapa saat. "Ah ... itu ...." Alby langsung menguasai dirinya yang tiba-tiba gugup. "Lo buka HP gue!" "Iyah," jawab Devita kalem. "Jelasin," kata Devita. "Oh, gue dari dulu emang udah suka sama lo." Alby menerawang. "Em, dari semenjak SMP kelas 7." Devita terdiam. "Tapi, kok gue gak ngerasa, yah." "Yaiyalah! Orang gue diam-diam suka." Devita tersenyum miring. "Cie yang diam-diam suka, apa aja yang udah lo lakuin buat gue?" Alby berdehem. "Gue sering bolos cuma buat motret kegiatan lo." Devita takjub. "Segitunya banget, untung lo gak niat aneh-aneh." Alby terdiam melihat sinar mata Devita yang berbeda dari biasanya. Dilihat dari jarak satu meter ini, perempuan itu benar-benar tampak berbeda. Devita mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Alby. Namun, laki-laki itu tak kunjung sadar. Devita pikir Alby sedang melamun, jadi ia memutuskan untuk membuka pintu mobil. Pergerakan Devita lebih dulu dicegah. Alby menatap Devita lekat. "Gue suka sama lo." Devita membeku. Alby lagi-lagi menampilkan senyum manis yang tidak bisa Devita abaikan. "Jangan lupa doa buat kelancaran pernikahan kita, yah." "Dan jangan lupa berdoa buat kehidupan kita setelah menikah." Alby tersenyum lebar. "Kira-kira mau punya anak berapa?" tanya Alby menggoda. Devita menimpuk Alby dengan bantal leher. perempuan itu buru-buru keluar dari mobil. Membanting pintu mobil keras dan berlarian memasuki pekarangan rumahnya. Namun, lagi-lagi Alby dibuat terkekeh dengan tingkah Devita yang tak hati-hati. Dari balik kaca mobil samping, laki-laki itu melihat Devita yang sudah jatuh terduduk dengan pakaian yang menutupi kepalanya. Alby tersenyum. "Dia baper kayaknya.""Selamat ya ... atas pernikahannya bestie," kata Devita ketika perempuan itu bersalaman dengan Mely di atas pelaminan ditemani oleh Alby tentunya. "Thanks bestiee." Sesaat keduanya berpelukan. Mely berbisik pelan di samping telinga Devita ketika keduanya masih berpelukan. "Ada mantan lo tahu."Seketika Devita melepaskan pelukannya. "Serius lo?!" Perempuan itu menatap Mely nyaris seperti melotot. Membuat Mely menepuk keras bahu sahabatnya agar tahu situasi. Sebab ekspresi perempuan itu mengundang rasa penasaran beberapa orang termasuk Alby. Mely tertawa pelan. Bukannya menjawab pertanyaan dari Devita, perempuan itu justru mendorong sahabatnya ke arah Alby. "Bawa istri lo deh sebelum dia bikin keributan." Alhasil Alby menarik Devita menjauh. Meski perempuan itu sempat berontak dan nyaris tersandung gara-gara tak mengikuti ritme langkah kaki suaminya. "Ngomongin apa?" tanya Alby dengan tatapan menyelidik setelah keduanya berhenti disudut tempat duduk yang agak sepi. "Gak ada, bia
"AC-nya kecilin, Ta," kata Alby laki-laki itu tampak membungkus tubuhnya dengan selimut. Sedangkan Devita sedang memegang remote AC sambil berdiri di sisi kasur. Bukannya mendengarkan, perempuan itu justru menaikkan suhu AC. Alby keluar dari selimut. Laki-laki itu melangkah menghampiri sang istri. Hendak mengambil remote AC. Tetapi, sayangnya Devita sudah lebih dulu menyadari kehadiran sang suami. Sehingga ia bisa dengan cepat menghindar. "Ta! Kecilin." "Gak mau. Gerah tau." Alby berlari mendekati Devita. Perempuan itu dengan cepat menghindar. Ia bahkan berlarian sampai melintasi atas kasur, atas kursi, lompat bahkan membelokkan arah agar tak tertangkap. Sedangkan Alby tampak greget sendiri. Laki-laki itu dengan cepat mengejar langkah pendek istrinya. Tangan besarnya berhasil menangkap Devita. Ya, lebih tepatnya memeluk perut istrinya dari belakang. Membuat Devita memberontak. Berusaha untuk menyembunyikan remote AC itu. Sampai tangannya ia rentangkan ke atas berha
"Mas gak jadi makan siang bareng. Aku mau ke sekolah Guntur," kata Devita ketika keduanya berada dalam satu mobil hendak menuju ke tempat makan. "Yaudah aku anterin." Devita hanya mengangguk saja. Perempuan itu mengalihkan pandangan ke arah luar jendela. Meski begitu, Alby tahu istrinya terlihat cemas. "Masalah apa?" tanya Alby tak tahan dengan keterdiaman Devita. Helaan napas berat terembus. "Aku gak tahu. Guntur itu bukan tipikal anak yang neko-neko. Makanya aku kaget karena ditelepon guru katanya Guntur ada di ruang kepala sekolah." Devita memijat pelipisnya. "Aku coba tanyain ke dia lewat chat juga gak dibales, cuma suruh cepet aja." Alby membelokkan setirnya menuju sekolah Guntur. "Yaa ... namanya masa-masa labil gini. Mas juga dulu gitu kok. Yang penting, kamu tanya baik-baik dulu aja. Jangan langsung ditodong kayak kriminal." Kali ini Devita mengangguk. Meski tetap saja mulutnya tak tahan ingin mengomeli Guntur. Pasalnya sebentar lagi adiknya itu kelas dua bel
Dalam seminggu setidaknya ada satu hari Alby tidak kerja. Laki-laki itu menetapkan hari minggu sebagai libur sekaligus quality time bersama dengan Devita. Kalau saat lajang dulu laki-laki itu akan nongkrong atau cari mangsa baru untuk dijadikan kekasih. Alby yang masih mengenakan kolor dan tak memakai baju keluar dari kamar. Ya, lagi-lagi ia ketiduran sehabis shalat subuh. Barusan ia terbangun gara-gara mendengar suara orang bilang kebakaran yang ternyata itu cuma alarm! Sudah pasti ulah dari Devita. Alby celingak-celinguk mencari keberadaan Devita. Sampai ketika kakinya menapak pada halaman belakang rumah barulah laki-laki itu melihat Devita sedang sibuk dengan tanaman. Menyadari kehadiran Alby, Devita sama sekali tidak berbalik. Perempuan itu justru sibuk mencabut rumput. "Ayo bantu beres-beres." Alby tak memakai sandal. Kaki tanpa alasnya menapaki halaman belakang yang dialasi oleh rumput jepang. Laki-laki itu mendekati Devita. Lalu berjongkok di sebelahnya. "Astaghfi
"Mama kalau mau datang harusnya bilang-bilang. Ya Allah kaget aku," kata Devita ketika mempersilakan Tita, sang mama untuk duduk di kursi ruang tamu. Devita mengambil tempat duduk di seberang. Perempuan itu masih merapikan sejenak tatanan rambutnya yang hanya dijedai asal. Tita melihat penampilan putrinya lekat. "Baru bangun apa gimana?" "Ya gaklah, Ma. Aku udah bangun dari subuh. Lanjut beres-beres sama siapin keperluan Mas Alby juga. Ini ... belum sempet mandi karena baru banget selesai beres-beres. Mama jangan bandingin aku sama kebiasaan pas belum nikah. Aku juga bisa berpikir lebih dewasa kok." Tita mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam hati merasa cukup bangga karena anak perempuannya bisa beradaptasi dengan baik. Apalagi sekarang statusnya sudah menjadi seorang istri. Bukan lajang lagi. "Mama kesini karena mau mastiin keadaan kamu aja, seminggu gak ada kabar dan gak main pula," sindir Tita sembari mencomot salah satu kue ditoples. Devita nyengir. "Maaf, Ma lup
"Gue gak expect sebenernya sama lo yang tiba-tiba nikah sama cewek dari dating app. Gue kira malah lo cuma mau kayak biasanya," kata Cakra sembari menyesap kopinya. Mereka saat ini sedang berada di warung tempat biasa nongkrong. Alby menatap langit yang berubah senja. Tawanya mengudara. "Pada awalnya gue gak dengerin kata-kata lo yang nyuruh tobat dan bener-bener serius sama satu cewek. Tapi, pas lo saranin dating app, gue coba dan langsung klik sama satu cewek. Gue sih iseng ya pada awalnya karena tiba-tiba Devita ngajak nikah." Cakra nyaris menyemburkan kopinya. Laki-laki berkaus hitam itu menatap Alby serius. "Asli? Jadi, Devita duluan yang ngajak?" Alby mengangguk. "Iya, giliran pas ketemu langsung baru deh jatuh cinta." Cakra mencibir. "Bukan baru jatuh cinta namanya. Itu mah cinta lama bersemi kembali." Lagi, Alby tertawa. "Ya, dari situ gue bener-bener lakuin segala cara buat gak ngelepasin dia dan kayaknya takdir berpihak sama gue. Apalagi pas gue tahu temennya