Share

Masih Tentangmu (Setelah Kita Berpisah)
Masih Tentangmu (Setelah Kita Berpisah)
Author: Lis Susanawati

Part 1 Luka

Masih Tentangmu

- Luka

"Dea, aku ngeliat Gama kemarin jalan dengan Alita," kata Hani pada Deandra yang tengah makan siang bersamanya di kantin kantor.

Sebenarnya wanita itu tidak ingin memberitahu sahabatnya, hanya saja sudah dua kali ini Hani memergoki laki-laki itu jalan berdua dengan rekan kantor mereka.

Dea menghentikan suapan dan menatap wanita di hadapannya dengan rona terkejut. Degup jantungnya berpacu kencang. "Di mana?"

"Makan malam di Joy Seafood."

Kedua rekan itu saling berpandangan.

"Dua kali ini aku nggak sengaja melihat mereka jalan berdua. Yang pertama udah lama sekali. Aku lihat di dekat gerbang tol colomadu. Hanya ada mereka saja di dalam mobil." Kejujuran Hani memporak-porandakan perasaan Dea seketika itu. Selera makannya musnah sudah. Perut yang sejak pagi tadi belum terisi apa-apa, mendadak terasa penuh tapi perih di ulu hati.

Hani sendiri terpaksa memberitahu, karena Alita merupakan teman sekantor mereka dan dekat juga dengan Deandra. Apa mungkin gadis itu menjalin hubungan dengan Gama?

"Dea, aku curiga mereka punya hubungan spesial."

Deandra yang biasa dipanggil Dea menelan saliva, kemudian menunduk. Memainkan sendok pada nasi yang masih separuh. "Nggak apa-apa, Han. Toh, aku dan Mas Gama juga sudah lama bercerai. Dia bebas mau jalan dan menikah dengan gadis mana saja. Hubungan kami hanya sekedar sebagai orang tua dari Antika."

"Ya, aku tahu. Tapi apa harus dengan Alita? Kamu dan Alita berteman baik, 'kan?"

Wanita dengan rambut sebawah pundak itu hanya mengangkat bahunya sejenak. Dia sudah tidak punya hak apapun untuk melarang atau mengizinkan Gama memilih dengan siapa ingin menjalin hubungan.

Benarkah Gama memilih Alita? Bukankah Gama juga tahu kalau Alita adalah teman baiknya. Dan gadis itu juga tahu kalau Gama mantan suaminya.

Memanglah sebelum Alita datang, antara dirinya dan Gama sudah menjadi mantan. Jadi untuk apa mempermasalahkan hal itu. Mereka berhak membuat keputusan untuk menjalin hubungan. Dea menghela nafas berat.

Selama ini Alita tetap bersikap seperti biasanya kalau di kantor. Tapi sudah ada dua bulan terakhir ini, gadis itu memang jarang mengajak Dea kulineran di akhir pekan. Selalu pulang terburu-buru. Dipikir Dea karena neneknya Alita tengah sakit, makanya jarang mengajak jalan.

Mungkin Hani benar, diam-diam antara Alita dan Gama memiliki hubungan. Dea menangis dalam batin. Serasa ada yang menggores perasaan yang selama ini masih utuh pada laki-laki yang menjadi cinta pertamanya.

"Kira-kira mereka kenal di mana? Apa kamu yang ngenalin?"

"Aku pernah mengajak Alita menjemput Antika di rumah Mas Gama. Sebelum kami pulang, Mas Gama ngajak makan malam di KFC depan perumahan. Itu yang aku ingat. Jika di lain hari mereka kenalan sendiri dan bertemu, aku nggak tahu."

Wajah cantik Dea yang tadinya cerah, kini mendadak suram. Hani merasa bersalah, tapi ia harus memberitahu sahabatnya. Sebab Dea berteman baik dengan Alita. Mumpung dua hari ini Alita juga tidak masuk kerja.

Justru Dea lebih sering bepergian bersama Alita daripada dengan dirinya. Maklum, mereka sama-sama single, sedangkan dirinya ibu dari dua anak yang lebih memilih langsung pulang daripada jalan-jalan ke mall.

"Dea, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Hani khawatir melihat Dea terus diam sambil memperhatikan nasi di piring.

"Enggak." Dea mengangkat wajah dengan senyum dipaksakan. Hani makin tak enak hati. Dia tahu bagaimana perasaan Deandra pada Gama. Meski mereka sudah lama bercerai.

"Habiskan dulu makanmu. Setelah itu kita salat zhuhur sekalian istirahat di mushola," kata Hani.

"Sekarang saja, Han. Aku sudah kenyang."

"Kamu tadi bilang kalau pagi nggak sempat sarapan. Maaf, harusnya aku cerita setelah kamu selesai makan," sesal Hani.

"Enggak apa-apa. Ayuk, kita ke mushola!" Dea berdiri sambil meraih tas tangannya di atas meja. Kemudian menarik pelan lengan sahabatnya. Hani mengikuti langkah Dea menuju musholla dengan bangunan terpisah yang berada di sebelah barat kantor. Dekat parkiran.

Tempat itu sepi karena setiap hari Jum'at begini, karyawan pergi keluar untuk salat Jum'at sekalian makan siang di luar. Untuk para karyawati, sebagian juga rame-rame makan di luar dan hanya beberapa orang yang tetap di kantor dan memilih makan di kantin.

"Dea, maafkan aku ya. Harusnya aku nggak ceritakan hal itu ke kamu." Hani bicara sambil mengulurkan tangan, usai mereka salat.

Dea tersenyum. "Nggak apa-apa, Han. Nggak usah merasa bersalah. Terima kasih karena kamu sudah ngasih tahu aku. Jika kamu diam saja, aku mana tahu." Wanita itu menunduk sejenak kemudian meneruskan bicara. "Lagian aku dan Mas Gama sudah nggak ada ikatan apa-apa. Dia berhak bersama dengan siapapun."

"Kamu nggak ada alasan lagi untuk mempertahankan perasaanmu sama dia. Ayolah, buka lembaran baru untuk masa depanmu. Jangan harapkan yang nggak bisa lagi kamu dapatkan. Kamu dari keluarga terhormat, cantik, masih muda pula. Apa yang kamu harapkan dari Gama? Kalau mau berjuang, tentu sudah dia lakukan. Tapi buktinya dia juga diam saja. Common, Dea. Kamu sangat cantik dan baik, buka hati kamu untuk pria lain." Kadang Hani ikut geregetan melihat sahabatnya masih keukeh mempertahankan perasaannya pada seorang mantan. Hani tahu bagaimana sifat Gama. Meski katanya sekarang sudah jauh berubah.

Dea menunduk dan meneteskan air mata. Sejenak menangis. Tanpa diingatkan oleh Hani pun, seharusnya dia sudah melakukan itu. Apa yang ditunggunya? Kebaikan Gama akhir-akhir ini justru memporak-porandakan perasaannya. Gama baik hanya demi anak mereka.

Selama ini dia juga berpikir kalau pada akhirnya Gama mungkin akan menikah dengan perempuan lain, tapi ia tidak mengira sama sekali kalau Alita yang dipilih oleh Gama. Gadis yang dikenalkannya padanya belum lama ini.

"Apa yang membuatmu mempertahankan kesendirian dan perasaan pada Gama? Sedangkan perlakuannya juga nggak baik padamu selama kalian menikah."

Dengan ujung jemari, Dea mengusap air mata lalu menarik napas dalam-dalam. "Selama kami menikah, dia memang lebih mengutamakan berkumpul dengan teman-temannya. Mengutamakan hobinya. Balapan, nongkrong di kafe, touring. Tapi belum pernah sekali saja dia main perempuan."

Hening.

"Jika sekarang dia bersama Alita. Mungkin Alita perempuan yang membuatnya kembali jatuh cinta." Dea memandang Hani dengan senyum getir yang terbit di bibirnya yang sangat menarik. Tersapu lipstik warna nude.

Hani merangkul sahabatnya. Tak sadar netranya juga ikut berkaca-kaca. "Move on, Dea. Kamu berhak bahagia. Banyak lho yang pengen deketin kamu. Mereka juga bukan orang sembarangan. Punya jabatan dan karir yang cemerlang."

Dea mengangguk pelan. Semua bisa dikatakan, tapi belum tentu bisa dilakukan. Buktinya ia tetap bertahan dalam kesendirian setelah bercerai dari Gama. Menjauhi beberapa pria yang berusaha untuk serius dengannya.

"Sudah jam berapa ini? Yuk, kita kembali ke kantor!" Dea melepaskan mukena dan melipatnya. Memasukkan ke dalam tas kecil. Hani melakukan hal yang sama dan mereka kembali melangkah ke kantor.

"Besok libur, ajak Antik main ke rumah. Aku mau bikin kue besok," kata Hani sambil berjalan.

"Insyallah," jawab Dea sambil tersenyum.

Baru saja duduk di belakang meja kerjanya, ponsel Dea berpendar. Ada pesan masuk dari Gama.

[Besok pagi, aku jemput Antik jam delapan, De.] Terbaca dari jendela notifikasi.

Hanya Gama yang memanggilnya dengan sebutan berbeda. De.

Dea meletakkan kembali ponselnya di meja. Malas untuk membalas. Selama ini biasanya langsung dijawab dengan perasaan bahagia. Siapa tahu perubahan Gama yang peduli dengan anaknya, bisa memperbaiki hubungan mereka. Ternyata salah prediksinya. Hari ini dia justru tahu kalau Gama dekat dengan Alita.

Tentu tak lama lagi, Gama akan mengenalkan Antika pada kekasihnya.

Jika masih bersama, Dea bisa mengamuk, marah, atau memukuli Gama. Tapi sekarang, jarak yang memisahkan, status yang disandang, tak memberinya izin untuk melakukan hal bodoh itu. Ia bisa apa? Selain merasakan patah hati secara diam-diam.

Cemburunya, sungguh perasaan yang tak lagi penting bagi Gama.

[De.]

Satu pesan kembali masuk. Dea hanya meliriknya sekilas di layar yang menyala. Hatinya terasa nelangsa dan perih.

Kenapa Tuhan tidak mencabut saja rasa yang begitu menyiksanya? Kenapa dibiarkan tetap subur, sedangkan rasa milik yang di sana sudah mati, bahkan sudah berganti pemilik.

Kenapa dia harus menyalahkan Tuhan? Seharusnya dia yang berusaha dulu untuk melupakan, baru Tuhan akan memberikan hasilnya. Tidak terus-terusan memupuknya hingga tetap berkembang.

[Bisakah aku meneleponmu. Kamu sibuk, nggak?] Gama kembali mengirimkan pesan.

Kali ini Dea meraih ponselnya dan mengetik balasan. Biasanya dengan senang hati, Dea akan menerima telepon dari Gama. Namun perihnya perasaan, membuatnya enggan untuk bicara.

[Ya, besok Mas bisa jemput Antik jam delapan.] Terkirim dan Dea kembali meletakkan ponselnya di meja.

[Oke.] Balas Gama.

Dea menyalakan komputer dan mulai bekerja. Meski pikirannya kalang kabut. Telinganya bisa mendengarkan percakapan lirih teman sebelah yang meja kerja mereka hanya tersekat papan bercat putih.

Alita yang tengah dibicarakan. "Aku dengar Lita ke Cemoro Sewu hari ini."

"Sama pacarnya?" tanya yang lain dengan suara berbisik.

"Iya."

"Kamu tahu siapa kekasihnya?"

"Enggak. Tapi kudengar mereka sudah tunangan."

"Oh ya?"

"Sepertinya begitu. Lita kan tertutup banget soal relationship-nya."

Tunangan?

Dea kaget. Tangan yang memegang mouse tampak gemetar. Ternyata rekan-rekannya yang lain sudah banyak yang tahu meski samar-samar. Hani dan dirinya termasuk yang telat mengetahuinya.

Padahal dibanding dengan rekan yang lain, Alita lebih dekat dengannya. Tapi dia orang yang ternyata tidak tahu apa-apa. Benarkah calonnya itu Gama? Seperti yang disangka Hani tadi. Makanya Alita tidak cerita apapun padanya?

Kalau pun benar, apa masalahnya? Toh dirinya dan Gama sudah jadi mantan. Berhak menentukan pilihan dan jalan hidup masing-masing.

***L***

Antika sudah rapi dan cantik pagi itu. Dia duduk di teras rumah menunggu papanya datang menjemput. Ini hari yang menyenangkan baginya. Momen bersama sang papa selalu ia nantikan. Gama akan mengajaknya keliling kota, makan di restoran favoritnya, dan tentu saja shopping.

Sebuah mobil warna hitam memasuki halaman rumah. Seorang pria tampan memakai kaus hitam dan celana jeans turun. Antika tersenyum ceria.

Gama merentangkan kedua tangan untuk menyambut pelukan sang anak. "Maaf, lama ya nunggunya?"

"Hu um." Gadis kecil itu mengangguk.

Dari dalam rumah muncul Dea membawakan ransel milik Antika. Sejenak memandang lelaki berahang kokoh yang terlihat baru merapikan cambang. Jika biasanya bahagia, kini perih yang terasa.

Gama menggandeng putrinya dan menghampiri Dea. Menyerahkan sebuah paper bag berisi oleh-oleh dari Tawangmangu. Dea tahu kalau itu dari sana karena ia sudah hafal kemasannya. Berarti benar, antara Gama dan Alita memang punya hubungan. Sampai mereka liburan bersama dan tidak masuk kerja.

"Makasih," ucap Dea lirih sambil menerima paper bag dari Gama.

Melihat Dea tidak bersemangat, Gama heran. Biasanya wanita itu selalu berbinar saat menyambutnya datang. Entah untuk menjemput atau mengantarkan Antika.

Sikapnya juga datar saja saat melihat oleh-oleh dari Tawangmangu, tanpa bertanya apapun. Tak ada basa-basi seperti biasanya. Padahal Tawangmangu dulu menjadi tempat favorit mereka berdua untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Banyak malam pernah mereka habiskan di sana.

Sekarang ini, tempat itu juga menjadi destinasi berlibur antara Gama dan pasangan barunya. Perih hati Dea.

"Nanti sore Antika kuantar pulang," kata Gama sambil menerima ranselnya Antika.

"Ya."

"De, kamu sakit?"

Dea menggeleng.

Gama termangu. Biasanya Dea akan mempersilakan masuk untuk bertemu dengan kedua orang tuanya lebih dulu atau sekedar menawari sarapan.

"Om dan tante di rumah?"

"Ada di belakang. Tadi Antika sudah pamitan."

"Oh ... oke. Kalau gitu kami pergi dulu."

Dea menunduk di depan Antika yang di gandeng papanya. "Jangan nakal, ya. Jangan minta macam-macam, mainan Antik sudah banyak di rumah."

"Ya, Ma," jawab gadis kecil itu sambil tersenyum.

Hanya pada Antika, Dea memandang dan melambaikan tangan. Membuat Gama tambah heran. Biasanya Dea akan bilang hati-hati, take care, atau bawa anak jangan ngebut. Namun kali ini mantan istrinya itu diam saja. Bahkan memandangnya pun tidak. Wajahnya terlihat sendu dan sembab. Ada apa dengan Deandra?

Sampai di dalam mobil, Gama kembali memandang ke arah punggung Dea yang berbalik dan masuk ke dalam rumah. Bukankah biasanya akan menunggu sampai dia keluar pintu pagar?

"Mama kenapa tampak sedih, Sayang?" tanya Gama pada Antika yang duduk di sebelahnya. Setelah mereka meninggalkan rumah besar mantan mertuanya.

"Enggak tahu, Pa. Tadi malam mama nangis di kamar."

"Kenapa?" Dahi Gama mengernyit.

Antika menggeleng. "Antik enggak tahu. Mama diam saja waktu Antik tanya."

Next ....

Selamat datang dikisahnya, Deandra, Gama, dan Alita.

Tokoh Gama ini muncul di pertengahan cerbung WAKTU YANG HILANG.

Comments (13)
goodnovel comment avatar
Kini Wati
kok bisa ya dia masih mengharapkan mantan suaminya,klo masih cinta ngapain cerei,
goodnovel comment avatar
permata dedua
Lama ditunggu. begitu muncul sudah bab 40. maraton deh ini ...
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
hhhmmm. kasihan banget Dea. berasa ditikung padahal sebenarnya gk. ayo mbk Dea move on.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status