Share

Part 5 Dua Perempuan 2

Alita tersenyum. Senyuman yang terlihat sinis bagi Hani. "Jadi, aku harus minta izin sama Dea. Gitu?"

Hani menahan rasa yang nyaris meledak dalam dadanya. Perempuan di sampingnya ini memang tidak tahu bagaimana menjaga perasaan orang lain. Ingin rasanya mencakar dan mencabik-cabik wajah yang tak menunjukkan empati sama sekali.

"Setidaknya kamu bisa menjaga perasaan orang lain. Apalagi kamu tahu bagaimana perasaan Dea pada Gama."

Lagi-lagi Alita tersenyum sambil membuang pandang. "Tapi Gama sudah nggak ada perasaan lagi pada Dea. Gama hanya menganggap Dea sebagai ibu dari anaknya. Itu saja. Kalau dia sudah nggak mau kenapa Dea masih berharap. Salah siapa kalau begini? Bucin sendiri."

Hani benar-benar harus mengontrol emosi. Wanita di depannya ini laiknya srigala berbulu domba. Padahal selama ini terlihat begitu manis dan lembut di depan Dea. "Kamu bisa ya ngomong seperti ini? Pada teman yang hampir setiap hari duduk makan bersamamu. Jalan dan curhat bersama. Jadi sikapmu yang terlihat baik pada Dea hanya kamuflase saja. Aku nggak nyangka kamu seperti itu, Lita."

"Loh, siapa yang mulai? Kamu kan yang mulai. Padahal jelas mereka nggak ada hubungan apa-apa lagi. Bahkan Gama sudah nggak ada rasa lagi sama Dea. Kenapa dipermasalahkan. Dea kan yang minta cerai duluan?"

"Kamu tahu permasalahan seperti apa yang mereka hadapi dulu? Apa kamu juga yakin Gama sudah hilang rasa sama Dea?"

"Buktinya Gama lebih memilih hendak menikahiku daripada rujuk dengan Dea. Ini sudah jelas 'kan, cintanya Gama sekarang pada siapa?

"Sudahlah, Han. Kamu nggak usah sewot sendiri. Toh, Dea pun diam saja. Atau memang kamu disuruh sama dia untuk bicara denganku."

Hani menarik napas dalam-dalam. Berusaha menyabarkan hatinya. Alita memang tidak memiliki rasa simpati sama sekali. Ingin rasanya ia memaki Alita. Gadis berusia tiga puluh tiga tahun itu benar-benar menguji kesabarannya.

"Nggak ada yang menyuruhku. Tapi sebagai teman aku peduli. Harusnya kamu ada empati sama Dea, terlebih kamu tahu bagaimana perasaan Dea pada Gama. Setidaknya kamu hargai dia dengan bicara terus terang sebagai teman," jawab Hani menatap lekat wajah Alita.

"Tapi sekarang Dea sudah tahu sendiri kan? Gama memilih bersamaku." Dengan bangganya Alita bicara sambil menatap lekat wanita di hadapannya. Matanya yang dibingkai oleh eyeliner memperlihatkan tatap ejekan.

"Ya, karena kamu memang lebih cantik, lebih menarik. Tapi murahan!" Selesai bicara Hani langsung melangkah pergi. Meninggalkan Alita yang geram karena dikatai murahan.

Hani melangkah cepat ke arah mobil Dea yang menunggunya. Kendaraan para pelayat sudah pergi semua. Masih tersisa tiga mobil milik keluarga almarhum.

"Kita pergi, Dea. Kamu nggak usah lagi sok baik sama Lita. Perempuan nggak punya hati," omel Hani sambil memakai sabuk pengaman.

Dea menarik napas berat. "Sudahlah, Han. Dia dan Mas Gama nggak salah. Sama-sama single, apa yang harus dipermasalahkan. Aku saja yang kebaperan."

"Kalau gitu kamu nggak usah mikirin lagi mantanmu itu. Buang jauh-jauh perasaanmu. Kamu cantik, kamu akan mendapatkan yang jauh lebih baik dari Gama. Lepaskan segala beban rasa itu, jangan sakiti dirimu sendiri." Hani bicara berapi-api.

Hening. Dua wanita itu memperhatikan mobil yang dikendarai Alita pergi lebih dulu meninggalkan pemakaman.

"Makasih banget. Kamu sangat peduli padaku," ucap Dea dengan netra berkaca-kaca.

"Sampai kapanpun aku akan terus peduli padamu. Aku akan selalu ada untukmu."

Dea menggigit bibirnya untuk menahan sesaknya dada. Kemudian membawa mobilnya pergi dari sana. Lebih dulu mengantarkan Hani pulang ke rumahnya.

"Kamu nggak singgah dulu?" tanya Hani ketika mobil telah berhenti di depan pagar rumahnya.

"Enggak. Aku mau ke makam bayiku, Han."

"Kenapa tadi kamu nggak mau bilang. Aku bisa mengantarmu."

"Setelah meninggalkan pemakaman tadi, mendadak aku ingat kakaknya Antik. Sudah lama aku nggak ke sana."

"Tapi beneran kamu nggak apa-apa pergi sendirian?"

"Enggak. Kamu jangan khawatir," jawab Dea sambil tersenyum.

Hani turun setelah menepuk bahu sahabatnya. "Hati-hati."

"Iya."

Dea kembali melaju dengan sedan warna putih susu. Kendaraan yang biasa dipakai sang mama untuk ke kampus. Namun setelah papanya pensiun, ganti laki-laki itu yang mengantarkan sang istri berangkat mengajar.

Terkadang Dea memakai mobil itu ke kantor, kadang juga enjoy naik motor maticnya. Kalau hujan, Dea lebih sering bawa mobil.

Kendaraan berhenti di sebelah pintu gerbang pemakaman. Di sana ada dua motor yang terparkir. Satu motor biasa dan satunya sebuah motor sport. Suasana sepi, terlihat ada juru kunci yang tengah menyapu di bagian selatan.

Dea turun. Kali ini dia datang tidak membawa apa-apa. Biasa menyempatkan beli bunga mawar putih dan buket bunga. Karena langit tampak mendung, makanya Dea tidak jadi mampir beli kembang. Khawatir keburu turun hujan. Sebab semalam sudah gerimis.

Kesiur angin membawa aroma khas bunga kamboja. Kembang khas yang biasa di tanam di area makam.

Wanita itu melangkah memasuki gapura sambil mengucapkan salam dengan suara pelan.

Daun-daun kekuningan dari pohon terbesi yang rindang, berjatuhan di hadapan Dea. Semilir angin sore ini membangkitkan sebuah kerinduan. Rindu pada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.

Langkah Dea terhenti ketika hampir mendekati makam bayinya yang langsung meninggal beberapa menit setelah dilahirkan.

Pada saat bersamaan, seorang laki-laki yang bersimpuh di samping makam juga memandang ke arahnya. "De."

Kenapa disaat ia sudah mau memulai melupakan, kini justru dipertemukan di pemakaman buah hati mereka? Dadanya kembali terasa sesak.

Dea tersenyum. Kemudian berbalik arah dan duduk di sebuah saung kecil, tempat biasa para peziarah duduk menunggu. Mungkin jika anaknya bisa tahu, pasti bahagia melihatnya datang bersama papanya. Duduk berdua menziarahi makam kecilnya itu. Namun Dea tidak ingin melakukannya. Lebih baik ia menepi lebih dulu.

Gama yang sudah sejak tadi duduk di sana, bangkit menghampiri mantan istrinya.

"Mas, sudah selesai?" Dea berdiri sambil menaruh tali tas di pundaknya.

"Ya. Kamu sama siapa?"

"Sendiri."

Tanpa memberi kesempatan Gama bicara lagi, Dea melangkah dan duduk di samping makam kecil dengan batu nisan warna putih. Ada buket bunga yang pasti dibawa oleh Gama. Menunduk di sana beberapa lama. Berdoa. Semoga kelak di alam keabadian, ia bisa dipertemukan dengan anak yang belum sempat ditimangnya.

Rasa kehilangan masih begitu terasa. Andai saja anak itu masih ada, usianya sekarang sudah delapan tahun.

Dea mengusap batu nisan setelah itu bangkit dari duduknya. Namun ia terkejut saat melihat Gama dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana, masih berdiri tidak jauh dari saung.

* * *

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Nuniee
Hmmm ketemunya ditempat yg buat Dea mkin melow..mungkin Gama sengaja nunggu Dea untuk bicara soal hubungan dgn si rese...
goodnovel comment avatar
Yanti Keke
b strong dea....
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
jangan sombong Alita. inget waktu dulu Saga mergokin kamu digrepe pacarmu. andai Gama tahu masa lalumu. yakin nih dia bakal serius sama kamu.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status