Alita tersenyum. Senyuman yang terlihat sinis bagi Hani. "Jadi, aku harus minta izin sama Dea. Gitu?"
Hani menahan rasa yang nyaris meledak dalam dadanya. Perempuan di sampingnya ini memang tidak tahu bagaimana menjaga perasaan orang lain. Ingin rasanya mencakar dan mencabik-cabik wajah yang tak menunjukkan empati sama sekali."Setidaknya kamu bisa menjaga perasaan orang lain. Apalagi kamu tahu bagaimana perasaan Dea pada Gama."Lagi-lagi Alita tersenyum sambil membuang pandang. "Tapi Gama sudah nggak ada perasaan lagi pada Dea. Gama hanya menganggap Dea sebagai ibu dari anaknya. Itu saja. Kalau dia sudah nggak mau kenapa Dea masih berharap. Salah siapa kalau begini? Bucin sendiri."Hani benar-benar harus mengontrol emosi. Wanita di depannya ini laiknya srigala berbulu domba. Padahal selama ini terlihat begitu manis dan lembut di depan Dea. "Kamu bisa ya ngomong seperti ini? Pada teman yang hampir setiap hari duduk makan bersamamu. Jalan dan curhat bersama. Jadi sikapmu yang terlihat baik pada Dea hanya kamuflase saja. Aku nggak nyangka kamu seperti itu, Lita.""Loh, siapa yang mulai? Kamu kan yang mulai. Padahal jelas mereka nggak ada hubungan apa-apa lagi. Bahkan Gama sudah nggak ada rasa lagi sama Dea. Kenapa dipermasalahkan. Dea kan yang minta cerai duluan?""Kamu tahu permasalahan seperti apa yang mereka hadapi dulu? Apa kamu juga yakin Gama sudah hilang rasa sama Dea?""Buktinya Gama lebih memilih hendak menikahiku daripada rujuk dengan Dea. Ini sudah jelas 'kan, cintanya Gama sekarang pada siapa?"Sudahlah, Han. Kamu nggak usah sewot sendiri. Toh, Dea pun diam saja. Atau memang kamu disuruh sama dia untuk bicara denganku."Hani menarik napas dalam-dalam. Berusaha menyabarkan hatinya. Alita memang tidak memiliki rasa simpati sama sekali. Ingin rasanya ia memaki Alita. Gadis berusia tiga puluh tiga tahun itu benar-benar menguji kesabarannya."Nggak ada yang menyuruhku. Tapi sebagai teman aku peduli. Harusnya kamu ada empati sama Dea, terlebih kamu tahu bagaimana perasaan Dea pada Gama. Setidaknya kamu hargai dia dengan bicara terus terang sebagai teman," jawab Hani menatap lekat wajah Alita."Tapi sekarang Dea sudah tahu sendiri kan? Gama memilih bersamaku." Dengan bangganya Alita bicara sambil menatap lekat wanita di hadapannya. Matanya yang dibingkai oleh eyeliner memperlihatkan tatap ejekan."Ya, karena kamu memang lebih cantik, lebih menarik. Tapi murahan!" Selesai bicara Hani langsung melangkah pergi. Meninggalkan Alita yang geram karena dikatai murahan.Hani melangkah cepat ke arah mobil Dea yang menunggunya. Kendaraan para pelayat sudah pergi semua. Masih tersisa tiga mobil milik keluarga almarhum."Kita pergi, Dea. Kamu nggak usah lagi sok baik sama Lita. Perempuan nggak punya hati," omel Hani sambil memakai sabuk pengaman.Dea menarik napas berat. "Sudahlah, Han. Dia dan Mas Gama nggak salah. Sama-sama single, apa yang harus dipermasalahkan. Aku saja yang kebaperan.""Kalau gitu kamu nggak usah mikirin lagi mantanmu itu. Buang jauh-jauh perasaanmu. Kamu cantik, kamu akan mendapatkan yang jauh lebih baik dari Gama. Lepaskan segala beban rasa itu, jangan sakiti dirimu sendiri." Hani bicara berapi-api.Hening. Dua wanita itu memperhatikan mobil yang dikendarai Alita pergi lebih dulu meninggalkan pemakaman."Makasih banget. Kamu sangat peduli padaku," ucap Dea dengan netra berkaca-kaca."Sampai kapanpun aku akan terus peduli padamu. Aku akan selalu ada untukmu."Dea menggigit bibirnya untuk menahan sesaknya dada. Kemudian membawa mobilnya pergi dari sana. Lebih dulu mengantarkan Hani pulang ke rumahnya."Kamu nggak singgah dulu?" tanya Hani ketika mobil telah berhenti di depan pagar rumahnya."Enggak. Aku mau ke makam bayiku, Han.""Kenapa tadi kamu nggak mau bilang. Aku bisa mengantarmu.""Setelah meninggalkan pemakaman tadi, mendadak aku ingat kakaknya Antik. Sudah lama aku nggak ke sana.""Tapi beneran kamu nggak apa-apa pergi sendirian?""Enggak. Kamu jangan khawatir," jawab Dea sambil tersenyum.Hani turun setelah menepuk bahu sahabatnya. "Hati-hati.""Iya."Dea kembali melaju dengan sedan warna putih susu. Kendaraan yang biasa dipakai sang mama untuk ke kampus. Namun setelah papanya pensiun, ganti laki-laki itu yang mengantarkan sang istri berangkat mengajar.Terkadang Dea memakai mobil itu ke kantor, kadang juga enjoy naik motor maticnya. Kalau hujan, Dea lebih sering bawa mobil.Kendaraan berhenti di sebelah pintu gerbang pemakaman. Di sana ada dua motor yang terparkir. Satu motor biasa dan satunya sebuah motor sport. Suasana sepi, terlihat ada juru kunci yang tengah menyapu di bagian selatan.Dea turun. Kali ini dia datang tidak membawa apa-apa. Biasa menyempatkan beli bunga mawar putih dan buket bunga. Karena langit tampak mendung, makanya Dea tidak jadi mampir beli kembang. Khawatir keburu turun hujan. Sebab semalam sudah gerimis.Kesiur angin membawa aroma khas bunga kamboja. Kembang khas yang biasa di tanam di area makam.Wanita itu melangkah memasuki gapura sambil mengucapkan salam dengan suara pelan.Daun-daun kekuningan dari pohon terbesi yang rindang, berjatuhan di hadapan Dea. Semilir angin sore ini membangkitkan sebuah kerinduan. Rindu pada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.Langkah Dea terhenti ketika hampir mendekati makam bayinya yang langsung meninggal beberapa menit setelah dilahirkan.Pada saat bersamaan, seorang laki-laki yang bersimpuh di samping makam juga memandang ke arahnya. "De."Kenapa disaat ia sudah mau memulai melupakan, kini justru dipertemukan di pemakaman buah hati mereka? Dadanya kembali terasa sesak.Dea tersenyum. Kemudian berbalik arah dan duduk di sebuah saung kecil, tempat biasa para peziarah duduk menunggu. Mungkin jika anaknya bisa tahu, pasti bahagia melihatnya datang bersama papanya. Duduk berdua menziarahi makam kecilnya itu. Namun Dea tidak ingin melakukannya. Lebih baik ia menepi lebih dulu.Gama yang sudah sejak tadi duduk di sana, bangkit menghampiri mantan istrinya."Mas, sudah selesai?" Dea berdiri sambil menaruh tali tas di pundaknya."Ya. Kamu sama siapa?""Sendiri."Tanpa memberi kesempatan Gama bicara lagi, Dea melangkah dan duduk di samping makam kecil dengan batu nisan warna putih. Ada buket bunga yang pasti dibawa oleh Gama. Menunduk di sana beberapa lama. Berdoa. Semoga kelak di alam keabadian, ia bisa dipertemukan dengan anak yang belum sempat ditimangnya.Rasa kehilangan masih begitu terasa. Andai saja anak itu masih ada, usianya sekarang sudah delapan tahun.Dea mengusap batu nisan setelah itu bangkit dari duduknya. Namun ia terkejut saat melihat Gama dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana, masih berdiri tidak jauh dari saung.* * *MASIH TENTANGMU - Move On, Dea"Antik sudah pulang apa belum?" tanya Gama memandang ke arah Dea."Aku belum tahu. Sejak pagi aku takziah. Mungkin malam nanti, Antik baru di antar oleh Mas Rizal. Maaf, Mas. Aku pulang dulu.""Tunggu!" tahan Gama saat Dea hendak melangkah."Bisa kita bicara sebentar."Apa yang hendak dibicarakan oleh Gama? Apa akan memberitahu tentang hubungannya dengan Alita? Degup jantung Dea terasa nyeri."Bicara apa?""Aku dan Alita ....""Aku sudah tahu," sahut Dea cepat sambil bersitatap dengan Gama. Lantas lebih dulu mengalihkan perhatian pada tempat lain."Apa yang kamu tahu?""Kalian sudah bertunangan dan akan menikah." Oh, rasanya sangat sakit mengatakannya.Hening. Yang terdengar hanya gemerisik dedaunan yang bergesekan karena tertiup angin. Sebenarnya Gama tidak ingin membicarakan hal itu. Tapi Dea pasti melihat mobilnya yang dipakai oleh Alita tadi. Gama menghela nafas panjang sambil memandang nisan kecil, di mana anak pertamanya telah tenang di sana. Te
Namun setelah Gama menikah dengan Alita, masih bisakah ia memperhatikan Antik seperti sekarang ini. Atau berubah lagi tidak peduli.Ini sudah malam. Kenapa Gama nekat datang?Dea ikut bangun dan menghampiri Mbak Sri. "Temani Antik turun, Mbak. Saya mau istirahat. Kepala saya agak pusing.""Njih, Mbak Dea. Ayo, Mbak Antik.""Yeay, Mbak Sri lupa ya. Mesti memanggilku apa?"Mbak Sri terkekeh. Wanita bertubuh subur itu mencubit gemas pipi majikan kecilnya. "Ya, Nona Antik."Antika tersenyum lebar. Dia ingin dipanggil seperti princess di film kartun kesukaannya. Kemudian memandang ke arah sang mama. "Mama, nggak ikut?""Nggak, Sayang.""Tapi ada Mbak Astrid juga, Mbak," kata Mbak Sri baru ingat. Ah, dia jadi pelupa sekarang. "Mbak Astrid ingin bertemu Mbak Dea tadi."Dea diam sesaat. Enggan rasanya turun dan bertemu mereka untuk saat ini. Tapi sudah didatangi, masa iya tidak ditemui. Dea bergerak ke meja riasnya. Mengambil jepit rambut dan mengikat asal saja rambut panjangnya.Akhirnya men
MASIH TENTANGMU - Cemburu Dea meraih ponsel yang tergeletak tidak jauh di hadapannya. Bukan panggilan masuk, tapi sebuah pesan dari mamanya.[Dea, nanti sepulang kerja kamu mampir ke rumah sakit. Sita mau melahirkan. Sekarang baru bukaan lima, tapi tadi mama dikabari oleh budhemu kalau akan dilakukan tindakan SC.]Sita ini sepupunya Dea. Anak dari satu-satunya kakak perempuan sang mama. Dea segera mengetik pesan balasan. [Oke, Ma.]"Ada apa?" tanya Hani."Sepupuku mau lahiran. Mama memintaku mampir ke rumah sakit sepulang kerja nanti."Setelah Dea selesai membalas pesan, Hani mengajak sahabatnya itu kembali ke kantor. Di lobi mereka berpapasan dengan Alita yang hendak masuk ruangan juga. Sengaja Dea memperlambat jalan supaya Alita lebih dulu melangkah. Beberapa rekan heran melihat kerenggangan mereka. Namun sudah ada beberapa orang yang tahu duduk permasalahan. Namun mereka hanya berbisik sesama rekan, tidak ada yang menanyakan langsung pada Dea atau pun pada Hani. Yang tampak ken
"Mas, mau makan apa?" tanya Alita sambil memandang Gama yang duduk dan fokus pada ponselnya semenjak mereka datang tadi.Malam itu mereka makan malam di Restoran Wijaya Kusuma milik Bu Ariana. Mengambil tempat duduk paling tepi, agar bisa leluasa untuk ngobrol.Alita yang punya ide makan di sana biar sekalian bisa bertemu dan bicara dengan ibu kedua bagi Gama. Melihat Gama yang banyak berubah akhir-akhir ini membuat Alita khawatir. Tentunya ia tidak ingin malu jika gagal lagi. Apalagi Gama termasuk pria paket komplit. Kaya dan keturunan bangsawan.Saga dan Melati juga sudah tahu kalau ia bertunangan dengan Gama. Kalau gagal, mau ditaruh mana mukanya.Sejauh ini Gama juga belum tahu tentang masa lalunya. Jika pada akhirnya terbongkar, tak masalah. Yang penting mereka telah menikah."Mas," panggil Alita lagi karena Gama masih diam."Aku pesan nasi goreng saja," jawab Gama tanpa mengalihkan perhatian pada benda pipih di tangannya.Alita yang kesal langsung berdiri dan melangkah ke belaka
MASIH TENTANGMU - Keresahan Gama "Makan dulu, Mas." Alita meletakkan nampan di hadapan Gama.Ada dua porsi nasi goreng dan dua gelas es teh manis. Karena lapar, Gama langsung melahapnya hingga tandas. "Minggu ini, papaku minta kita ke Surabaya, Mas.""Aku belum bisa kalau Minggu ini, aku masih ada urusan ke Jakarta.""Terus kapan?""Nanti kukasih tahu."Alita melanjutkan makan tanpa berselera. Sikap dingin Gama makin terasa. Memang awalnya dia hanya ingin mendapatkan Gama karena gagal dengan Saga. Namun jika kali ini gagal, musibah juga baginya. Apalagi keluarga besarnya sudah tahu kalau ia akan menikah dengan pria kaya keturunan ningrat. Teman-teman di grup alumni juga sudah pada tahu. Alita sendiri yang mengabari mereka kalau sudah bertunangan.Jujur saja, Gama juga bukan lelaki yang buruk. Meski sikap dinginnya tidak ketulungan. Namun di waktu tertentu, enak juga diajak bercanda dan bicara. Cukup menyenangkan. Dan momen seperti itu sungguh spesial dan ia rindukan. Momen langka b
Setelah pertengkaran malam itu, sebulan kemudian Dea dan Antika pulang. Hubungan jarak jauh yang dingin. Hingga suatu hari, Dea memutuskan untuk bercerai.Gama yang egois tidak mau merendahkan diri dan memohon agar Dea mau bertahan dengannya. Dea masih berharap kalau Gama akan berjuang untuk rumah tangga mereka, nyatanya Gama diam dengan sikap keras kepalanya.Dea yang masih cinta, lebih mempertahankan harga diri daripada merayu pada lelaki yang tak lagi peduli. Mengorbankan perasaan meski sangat tersiksa.Hubungan mereka berjarak. Gama yang kecewa enggan membangun komunikasi, selain tetap memenuhi tanggungjawab memberikan nafkah pada putrinya.Pada akhirnya Gama yang stres dan kalut, memutuskan pulang ke Indonesia. Bertemu pula dengan Saga yang membuatnya tambah cemburu karena perhatian beberapa orang terdekatnya beralih pada putra buleknya itu.Ancamannya yang ingin menggoda Melati hanya ancaman belaka. Mana pernah dia mendekati perempuan kecintaan Saga itu. Selain usil dengan membu
MASIH TENTANGMU- Hati Lelaki Mobil berhenti di depan pagar sekolahan Antika. Di sana juga sudah berjajar beberapa kendaraan yang mengantarkan anak-anak ke sekolah. Momen di pagi hari yang menyejukkan mata. Di sebuah Sekolah Dasar favorit tempat Antika belajar."Sayang, kita sudah sampai," ujar Gama sambil tersenyum. Namun Antika cemberut. Sama sekali tidak mau memandang sang papa. Wajahnya muram sambil menarik handle hendak membuka pintu mobil."Sebentar papa yang bukain, nanti Antik jatuh." Gama lekas turun dari mobil. Tapi Antika sudah berhasil turun sendiri meski dengan susah payah. Kemudian menyeret tasnya meninggalkan sang papa. "Sayang, nggak salim sama papa dulu." Gama melangkah lebar untuk mengejar gadis kecilnya yang tengah 'ngambek'.Antika menoleh sebentar untuk menunjukkan muka cemberutnya. Gama tersenyum lantas menghampiri. Mengulurkan tangan menunggu untuk disambut putrinya.Cukup lama tangannya tertahan di udara, tanpa memandang sang papa, Antika mencium tangan lanta
Deandra memang berasal dari keluarga pengajar. Kedua orang tuanya dosen, kakak lelaki satu-satunya juga dosen. Kakak iparnya juga dosen. Hanya Dea yang berbeda arah, karena sejak awal memang sudah menyukai Gama yang kuliah mengambilkan jurusan ekonomi. Akhirnya dia pun ikut mengambil jurusan yang sama dan berkarir seperti Gama.Mengenal sejak sama-sama masih remaja, tidak menjamin hubungan bisa berkekalan. Jatuh cinta pertama kali pada Gama, yang menjadi ketua OSIS di sekolahnya kala itu. Digilai para siswi mulai dari adik kelas hingga teman seangkatannya. Karena sikap cool-nya yang membuat penasaran. Laki-laki yang sering terlibat balapan liar dan selalu jadi pemenang, saat kuliah rambutnya dibiarkan panjang dengan model under cut. Gadis mana yang tidak kepincut. Hingga suatu hari ia di datangi saat melihat pertandingan basket di gelora olahraga."De, udah makan?""Belum.""Ikut aku makan bakso. Kutraktir nanti.""Sama Hani, ya?""Oke."Gama memilih kedai bakso depan GOR. Santai dud