Share

Melody Mr. Mafia
Melody Mr. Mafia
Penulis: Linn

Masa Kecil

Di tengah malam yang gelap, Leo terbangun dari tidurnya. Anak kecil berumur enam tahun yang belum mengetahui banyak hal itu mendengar keributan dari luar kamarnya.

Rasa penasaran yang begitu besar membuat ia melangkah keluar. Leo berjalan perlahan dan mengintip keributan yang terjadi di kamar orang tuanya. Matanya menangkap seseorang yang tengah membidik kepala ayahnya dengan sebuah pistol, juga ibunya yang sedang memohon kepada seorang pria bertopeng itu untuk tak menyakiti ayahnya.

“Ibu, Ayah ....” Leo melangkah masuk, ia belum mengerti apa yang tengah terjadi di antara mereka. Umurnya masih terlalu kecil untuk memahami situasi. Namun, ia tahu persis jika ayah dan ibunya sedang dalam bahaya.

Amora—ibu Leo—segera menghampiri anaknya. Ia tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada putra semata wayangnya.

“Amora, bawa Leo pergi!” Arion—ayah Leo—berteriak pada istrinya itu untuk membawa Leo pergi dari sana.

Amora memeluk Leo dan hendak membawa anaknya pergi, ketika itu juga suara tembakan terdengar. Leo yang berada di gendongan Amora pun melihat ayahnya jatuh dengan bersimpang darah di kepalanya.

“Arion!” teriak Amora, memanggil nama suaminya yang sudah tak sadarkan diri. Amora menangis sembari berlari menggendong sang anak kembali ke kamarnya, ia tak ingin Leo masuk ke dalam masalah ini.

Amora mengunci kamar itu, lalu membawa Leo untuk bersembunyi di dalam lemari, takut jika pembunuh itu juga mengincar anaknya.

“Tunggu di sini sampai polisi datang, mengerti?” perintah Amora. Sebelumnya, ia diam-diam sudah menghubungi polisi untuk datang.

“Tapi ayah ....” Leo mulai menangis karena tadi melihat ayahnya dibunuh tepat di depan matanya.

“Ibu akan pergi melihat ayahmu. Ibu menyayangimu.” Amora menutup pintu lemari. Ia kembali ke kamarnya untuk menemui Arion. Walaupun dilanda rasa takut, tetapi ia juga tak bisa bersembunyi dan diam saja melihat suaminya terbunuh.

Amora melihat Arion sudah tak bernyawa dan pria bertopeng tadi sudah tak ada di sana. Ia yakin pria itu ada di ruang kerja Arion, karena pembunuh itu juga mengincar berkas perusahaan Bigzine milik Arion. Amora tak akan mengizinkan pembunuh Arion juga menghancurkan perusahaan yang sudah dibangun oleh Arion sejak lama.

Amora mengambil sebuah pistol di laci kamarnya, suaminya menyimpan itu untuk berjaga-jaga. Sayangnya Arion tadi tak sempat mengambil pistol itu, karena ketika mereka bangun sang pembunuh sudah ada di sana dengan menodongkan pistolnya.

Amora membuka pintu ruang kerja suaminya dengan perlahan, mengintip keadaan di dalam sana. Ia masuk, tetapi tak ada siapa pun di ruangan itu.

“Kau mencariku.” Pria bertopeng itu muncul dari balik pintu, ternyata ia bersembunyi di sana. Amora mengarahkan pistolnya pada pembunuh itu.

“Tugasku hanya membunuh Arion dan mengambil beberapa berkas. Jika kau bersikap baik, aku akan membiarkanmu hidup.”

“Setelah melihat suamiku terbunuh, kau pikir aku akan diam saja, begitu?” Bunyi tembakan kembali terdengar, itu adalah tembakan milik Amora. Sayangnya, karena tangannya yang gemetar, bidikannya salah. Peluru itu hanya mengenai lengan kiri sang pembunuh. Darah bercucuran, tetapi tak membuat pria itu kalah, ia justru semakin marah.

“Sudah kuperingatkan.” Pria itu menembak Amora tepat di jantungnya. Membuat ia terjatuh dan tak sadarkan diri.

Leo tak mengindahkan perintah ibunya, ia sedari tadi memperhatikan kejadian itu. Anak itu berlari ke arah ibunya, berharap sang ibu bisa bangun. Ia menangis dengan keras.

“Paman jahat! Mengapa membunuh ibu dan ayahku!” teriak Leo, tak mengerti jika dirinya juga tengah dalam bahaya.

Terdengar mobil polisi tiba di kediaman Arion. Pria bertopeng itu mendecak kesal karena belum menemukan berkas yang ia cari. Dengan cepat ia berlari melompati jendela dan kabur dari polisi yang akan segera masuk.

Polisi bersenjata masuk ke ruang kerja itu karena mendengar tangisan Leo.

“Paman yang membunuh ibu kabur lewat jendela,” adu Leo, dengan menunjuk jendela yang ada di sana. Pemimpin polisi itu langsung memerintahkan anggotanya untuk mengejar orang itu.

“Kau tak apa-apa?” tanya salah satu polisi pada Leo. Leo menggeleng sembari terisak menahan tangisnya.

“Apa tak ada orang lain di rumah ini? Hanya kau dan orang tuamu?”

“Ada satpam yang menjaga di luar.”

Polisi itu menghela napasnya pelan. Satpam itu juga sudah mati terbunuh. Sekarang satu-satunya saksi adalah Leo.

 ***

Empat tahun berlalu sejak kejadian pembunuhan itu. Pelaku pembunuhan orang tua Leo belum juga ditemukan, dengan terpaksa polisi menutup kasus itu begitu saja. Sekarang, Leo tinggal bersama kakeknya. Anggota keluarga anak itu hanya tinggal kakeknya saja.

Leo menonton film di televisi bersama sang kakek sembari menikmati camilan.

“Kek, Leo ingin melakukan itu.” Leo menunjuk TV yang sedang menayangkan acara bela diri. 

“Kau masih terlalu kecil, tunggulah hingga dua tahun lagi.” Leo tak terima, ia ingin belajar melakukan itu. Jika dirinya bisa melawan orang lain, maka ia bisa melindungi kakeknya.

Leo turun dari kursi lalu meninggalkan kakeknya. Anak itu masuk ke kamarnya dan menelepon seseorang.

“Paman, apa anak kecil boleh melakukan bela diri?” 

“Tentu saja!” jawab Eric. 

Erico Ravindra adalah seorang kepercayaan sekaligus sahabat Arion.

Dahulu, Arion yang mengetahui dirinya diincar oleh seseorang, mempercayakan Eric untuk menjaga anak dan istrinya ketika sesuatu terjadi padanya. Sekarang, Eric harus menjaga Leo hingga anak itu dewasa. 

Bahkan, Eric juga mengambil alih perusahaan Bigzine milik Arion untuk sementara waktu hingga Leo bisa memimpin perusahaan itu.

“Bisakah Paman mengajariku?” tanya Leo antusias.

“Paman akan mencarikan seseorang yang hebat untuk mengajarimu.”

Menurut Eric, bela diri tak ada salahnya, justru bagus untuk Leo, agar ia bisa melindungi dirinya dari mara bahaya yang bisa datang kapan saja.

Tahun demi tahun berlalu, Leo tumbuh dengan sangat baik. Bahkan, ia sering menang dalam lomba bela diri tingkat nasional. Di umurnya yang sekarang sudah mencapai delapan belas tahun, ia semakin kuat. Lelaki itu sekarang tinggal sendirian di rumah mewahnya, kakeknya sudah meninggal di saat Leo berumur tiga belas tahun. Namun, minatnya pada bela diri tak pernah berhenti, justru ia menginginkan hal yang lebih. Leo ingin menjadi orang yang lebih kuat untuk ... balas dendam. Seiring berjalannya waktu, Leo justru semakin teringat oleh kematian orang tuanya yang mengenaskan.

“Hey!” sapa seseorang yang sedari tadi memperhatikan Leo berlatih bela diri di tempat latihannya. Di sana sangat banyak orang seumuran Leo yang juga sedang berlatih.

Leo berbalik melihat pria dewasa yang tadi menyapanya.

“Apa kau ada waktu? Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting,” ungkap pria bertubuh tinggi itu. Leo hanya mengangguk mengiyakan. 

Leo dan pria itu duduk di kursi untuk mengobrol.

“Aku sudah sering melihatmu di TV sebagai juara bertahan selama lima tahun.”

“Lalu?” tanya Leo, ia masih belum menemukan arah pembicaraan itu.

“Apa kau ingin menjadi lebih kuat?”

Leo mulai tertarik. Tentu saja, ia menginginkan itu sejak lama, tetapi ia hanya bisa meningkatkan kualitas bela dirinya.

“Ikutlah denganku, di sana kau bukan hanya dilatih bela diri, tetapi juga latihan menembak dan masih banyak lagi.” 

“Benarkah?” Leo sudah lama ingin latihan menembak, tetapi tak pernah diizinkan oleh Eric karena itu akan berbahaya menurutnya.

“Ya, hanya saja ... latihan itu akan dilakukan di tempat terpencil. Kau bersedia?” Leo mulai merasa curiga akan tawaran pria itu.

“Kau ... apa yang kau inginkan?”

“Jadilah bagian dari kami, maka kami akan membuatmu lebih kuat dari orang lain.”

“Bagian? Apa maksudmu?”

“Mafia.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status