“Mbok, titip anak anak-anak ya.” Ke sekian kalinya aku merepotkan Mbok Darmi.Kali ini kepergianku untuk urusan yang sangat penting. Menemui Paman Kiswo dan ustadz yang menikahkan aku dengan Mas Yanto.“Kamu sudah yakin, San sama keputusanmu?”“Insya Allah yakin Mbok. Tidak ada alasan lain yang membuat Susan ragu lagi.”“Ya sudah. Hati-hati di jalan.”“Iya Mbok.”Aku meninggalkan rumah dengan hati mantap, agar masa depanku dengan anak-anak lebih baik lagi.Ampuni hama-Mu ini ya Allah jika lagi-lagi memilih perceraian sebagai jalan keluar dari masalah. Karena hamba tidak sanggup jika terus menerus dibohongi. Lebih baik capek fisik, daripada lelah hati.**Tiba di rumah Paman Kiswo, disambut istri paman yang biasa kusapa Bi Asih. Bi Asih sudah seperti ibuku sendiri. Tidak pernah membedakan antara aku dengan anak-anak beliau.“Bibi sedih ikut kalau nasib rumah tanggamu, San,” ucap Bi Asih dengan mata berkaca-kaca. “Bibi masih ingat dulu waktu awal awal pernikahan bibi dengan pamanmu, ibu
"Mi, hari ini masak apa?" tanya Mas Yanto, membuka tudung saji di atas meja. Padahal terlihat secara jelas ada sayur bening, ikan goreng, dan sambal tomat di sana. "Sayur bening, ikan lele goreng, sama sambal tomat, Bi. Tapi jangan lupa, Ikan lelenya sisain buat anak-anak. Mereka sedang ngaji di musala. Belum pada makan. Paling sebentar lagi mereka pulang." Aku mengingatkan."Hemmm."Mas Yanto mulai menyantap makanannya. Duduk sambil menekuk satu kaki ke atas kursi, sementara kaki satunya lagi dibiarkan menyangga di bawah lantai semen. Lama lelaki itu tidak bersuara, aku pun melongo dari balik punggungnya. Astaghfirullaahal ‘aziim. Lele goreng yang tadi berjumlah tujuh ekor itu kini tersisa dua ekor saja. “Ikan gorengnya tinggal segitu, Bi?”“He-emm.”Lelaki berjenggot tipis itu menyendokkan nasi ke piring. Entah sudah ke berapa kali. Seperti orang yang tidak makan selama setahun."Sudah dong Bi. Sisain napa buat anak-anak," dengkusku melihat Lelaki itu hendak mengambil ikan lele
“Video call siapa, Bi?” tanyaku berharap Mas Yanto bisa berkata jujur.“Bukan siapa-siapa, Mi.” Ia terlihat salah tingkah.“Terus kenapa HP-nya disembunyikan di belakang?” Aku menatap tajam manik matanya yang hitam.“Oh ... ini.” Mas Yanto mengeluarkan ponselnya. “Mati, Mi. Habis baterai. Hehehe.” Bohong! Pasti sengaja di-nonaktifkannya, biar tidak ketahuan. Jelas-jelas tadi layarnya hidup, dan kudengar Mas Yanto memanggil sayang dengan lawan bicaranya. Baiklah. Kalau memang Mas Yanto tidak mau mengaku, biar aku cari tahu sendiri.Lihat saja Mas Yanto, kalau sampai ketahuan berbohong, kamu akan tahu sendiri akibatnya. “Mi, itu ... kuota abi habis," ucapnya kemudian, sambil meringis."Bukannya tiga hari yang lalu baru diisi?" "Nggak tahu nih, Mi. Padahal cuma buat nonton ceramah di you tube. Kadang juga dipinjam Ohim buat nonton Upin-Ipin."Sekarang, malah Rohim yang dijadikan alasan. Kukeluarkan dompet dari dalam tas selempang. Membukanya lebar-lebar untuk mengeluarkan beberapa l
“Tega, Antum membohongi saya.”Aku masuk ke kamar untuk mengambil ponsel yang tertinggal. Marah dan kecewa bercampur menjadi satu memenuhi ruangan di hati. Aku tidak boleh menitikkan air mata, apalagi untuk lelaki seperti Mas Yanto.Awas saja kamu Mas. Suatu saat nanti, aku pasti akan membalas kebohonganmu selama ini. Mengaku duda mati, nyatanya masih ada bini. Dan tadi itu ... diam-diam dia mengirim uang untuk istri pertamanya memakai uang hasil keringatku?Jangan-jangan uang yang sering diminta untuk dikirimkan pada ibunya, malah dia kirimkan ke rekening istrinya?~A.M~“Mi, abi minta maaf. Abi akui, kalau abi memang salah. Tapi, abi mohon umi maafin abi.” Mas Yanto tiba-tiba berlutut di hadapanku.Halah, paling cuma akal-akalan Mas Yanto saja, biar aku merasa iba, hingga dengan mudah memaafkannya.“Apa istri Antum tahu tentang pernikahan ini?”Aku sudah kehilangan kepercayaan padanya, sehingga kuputuskan untuk menggunakan panggilan seperti saat pertama kalinya kami kenal di Medsos
Akhirnya yang kutakutkan pun terjadi. Aku keluar kamar sambil mencari-cari cara, agar bungsuku bisa melepas Mas Yanto sebagaimana ia melepas kepergian ayahnya dulu.“Ohim,” panggilku.Rohim menarik lengan Yanto dengan tatapan memohon. Tentu kesempatan tersebut digunakan lelaki pembohong itu untuk menarik simpati padaku.“Ohim, sini Sayang,” bujukku.“Mamak, kenapa Mamak biarin abi pergi? Kalau abi pergi, nanti Ohim jadi ngga punya bapak lagi.” Bocah itu terisak tanpa melepaskan tangan ayah sambungnya.Sebegitu inginnyakah kamu memiliki sosok bapak, Nak? Maafkan ibumu ini yang belum bisa menghadirkan bapak yang baik untukmu.“Abi perginya sebentar aja kok. Besok juga sudah pulang. Ya kan Mi?” Mas Yanto menoleh ke arahku.“Beneran, ya.” Ohim sepertinya mulai terpengaruh dengan omongan lelaki pembohong itu.“Nanti abi ajak Ohim jalan-jalan ke taman bermain lagi. Tapi, sekarang abi pergi dulu ya.”Anehnya Rohim langsung menurut, mau melepaskan tangan Mas Yanto.Berani-beraninya lelaki itu
“Maaf, Mbak Susan ini siapanya suami saya ya?” tanya wanita berpakaian daster itu setelah sesi perkenalan.Usianya di bawahku. Akan tetapi, wajahnya terlihat tidak dirawat. Banyak bopeng bekas jerawat di kedua pipinya. Bahkan, daster yang dikenakannya robek di bagian ujung bawahnya. Entah kenapa Mas Yanto tega mengkhianati pernikahan mereka. Padahal, kalau dilihat dari anaknya, sepertinya usia pernikahan mereka masih seumur jagung. “Saya….”“Assalamu’alaikum.”Obrolan pun terpotong oleh suara salam dari arah luar.“Wa'alaikumsalam.” Aku dan wanita yang tadi mengaku bernama Ranti, serentak menjawab.“Yang, ada tamu. Katanya sih temanmu,” ucap Ranti membuatku tertarik untuk menoleh.Mas Yanto. Dia sudah pulang. Lelaki itu seperti salah tingkah di depan istri pertamanya. Takutkah dia kalau kubongkar kebohongannya pada Ranti?“Kevin ikut bapak dulu ya. Ibu mau ambil minum buat tamu.” Ranti menaruh bocah bernama Kevin itu di pangkuan suaminya. Akan tetapi, Kevin lebih memilih turun ke l
“Assalamu’alaikum, afwan kalau ana mengganggu.” Satu pesan masuk lewat aplikasi Messenger.Nama akunnya sangat familiar. Sering wara-wiri di kolom komentar status Facebook-ku.“Wa’alaikumussalam. Ngga kok Akh. Kebetulan saya sedang istirahat,” balasku dengan gaya bahasa menyeimbanginya. Bisa dibilang, aku suka membaca artikel berisi kajian Islam, dan sering menyimak isi komentarnya yang acap kali menggunakan bahasa Arab. Jadi, sedikit tahu dasar-dasarnya.“Selamat istirahat, Ukh. Semoga anti bisa bertemu dengan jodoh anti.”Aku tersenyum membacanya. Aku tahu kalau yang dia sedang menyinggung isi statusku yang beberapa menit lalu kuposting di beranda Facebook. Di sana kutuliskan tentang curahan hati putraku, Rohim yang menginginkan hadirnya sosok ayah.Kembali kuketikan balasan ....“Aamiin. Makasih, Akhi.”Aku tersenyum sendiri. Ternyata masih ada orang yang peduli padaku, meskipun hanya di dunia maya. Sejatinya media sosial itu tempat yang sering kumanfaatkan untuk lahan promosi p
Kalau kuingat keadaan Ranti yang kacau tadi, rasanya sungguh memprihatinkan. Miris. Mempunyai suami yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Tugas rumah tangga dan mengurus anak-anak dibebankan pada dia sendiri. Sepertinya psikisnya pun mulai terganggu.Masa bodoh sama rumah tangga mereka. Toh, aku pun pernah di posisi Ranti, pasca bercerai dengan suami pertamaku. Buat apa aku harus memikirkan orang yang bahkan suaminya sendiri tidak memedulikannya.*“Agak dipercepat dikit, Pak. Anak saya sedang demam di rumah membutuhkan saya,” ucapku pada sopir Go Car yang kupesan lewat sebuah aplikasi online.“Baik, Bu.” Lelaki paruh baya itu sekilas melihat ke arahku lewat kaca di atas dasbornya.Baru saja kusandarkan tubuh lelah ini di sandaran kursi mobil, ponselku berdenting beberapa kali. Setelah dilihat, ternyata dari lelaki pembohong itu.“Gara-gara umi, Ranti jadi marah besar sama Abi. Tahu ngga Mi, Ranti sampai nekat pulang ke rumah orang tuanya membawa anak-anak.”Entah, aku harus tertawa at