Share

Bab. 5 Dua Juta

“Maaf, Mbak Susan ini siapanya suami saya ya?” tanya wanita berpakaian daster itu setelah sesi perkenalan.

Usianya di bawahku. Akan tetapi, wajahnya terlihat tidak dirawat. Banyak bopeng bekas jerawat di kedua pipinya. Bahkan, daster yang dikenakannya robek di bagian ujung bawahnya. 

Entah kenapa Mas Yanto tega mengkhianati pernikahan mereka. Padahal, kalau dilihat dari anaknya, sepertinya usia pernikahan mereka masih seumur jagung. 

 “Saya….”

“Assalamu’alaikum.”

Obrolan pun terpotong oleh suara salam dari arah luar.

“Wa'alaikumsalam.” Aku dan wanita yang tadi mengaku bernama Ranti, serentak menjawab.

“Yang, ada tamu. Katanya sih temanmu,” ucap Ranti membuatku tertarik untuk menoleh.

Mas Yanto. Dia sudah pulang. Lelaki itu seperti salah tingkah di depan istri pertamanya. Takutkah dia kalau kubongkar kebohongannya pada Ranti?

“Kevin ikut bapak dulu ya. Ibu mau ambil minum buat tamu.” Ranti menaruh bocah bernama Kevin itu di pangkuan suaminya. Akan tetapi, Kevin lebih memilih turun ke lantai yang banyak debu dan kotorannya itu. Memainkan mobil-mobilannya yang berserakan di mana-mana, bercampur dengan sampah bungkus makanan ringan.  

“Langsung saja. Kedatangan saya kemari semata-mata karena putra bungsu saya, Rohim. Dia sedang sakit, dan sering mengigau, menyebut nama Antum.” Aku membuka obrolan.

Berharap, aku tidak membuang waktu lama di sini, mengingat keadaan Rohim di rumah. Pasti dia akan mencari-cariku.  

“Pantesan, hari ini perasaan abi tidak enak. Ternyata Adek Ohim sakit. Itu berarti, ikatan batin antara anak dengan abi sambungnya sangat kuat,” cerocos lelaki itu membuatku mendelik.

Bisa-bisanya dalam situasi seperti ini dia mengambil kesempatan untuk modus. Jangan harap aku termakan dengan ucapan manisnya. Karena sebentar lagi aku akan menggugatnya di hadapan paman dan ustadz yang dulu menikahkanku dengan lelaki pembohong itu.   

“Jadi, kapan Antum bisa menjenguknya?”

“Bisa aja sekarang. Tapi, ada satu syarat yang harus umi penuhin.”

“Ngga usah pake basa-basi, langsung aja sebutin apa syaratnya?”

“Abi minta dua juta buat ongkos ke sana,” ucap lelaki itu tanpa rasa malu.

Dua juta buat ongkos? Padahal untuk sampai ke sini, aku hanya mengeluarkan biaya tidak sampai dua ratus ribu. Pemerasan itu namanya. Akan tetapi, uang segitu tidak terlalu besar nilainya dibandingkan dengan kesembuhan putra bungsuku.

Sekarang aku semakin yakin kalau Mas Yanto bukan lelaki yang baik. Bisa jadi dia menikahku dulu,  karena ingin memanfaatkanku saja.

"Oke. Saya akan mengirimnya setelah Antum sudah ada di sana dan bertemu dengan putra saya.”

Senyum terkembang di bibir lelaki itu. Senyum penuh kelicikan.

Lihat saja nanti, Mas Yanto akan membayar mahal semua ini. Dia pikir aku ini wanita lemah yang dengan mudahnya bisa dia bodohi?

“Maaf Mbak, adanya cuma air putih. Sudah lama saya nggak beli teh sama kopi. Apalagi gula. Habis harganya pada naik sih. Hehehe." Ranti datang membawa nampan berisi segelas air putih.

“Gak usah repot-repot, Mbak. Saya juga sudah mau pulang. Cuma mampir sebentar aja,” kataku bersiap-siap meninggalkan rumah yang mirip kapal pecah itu. Kuharap aku tidak menginjakkan kaki ke sini lagi. 

“Kok cepat banget? Padahal aku masih pingin ngobrol. Mbak ini sebenarnya dari mana? Kok bisa kenal sama suami saya?” Ranti memberondong pertanyaan sambil mengantarku ke depan.

“Memang suami Mbak ngga pernah cerita ya?”

Wanita itu menggelengkan-gelengkan kepala.

Mungkin ini waktu yang tepat untuk membalas apa yang sudah Mas Yanto lakukan. Akan tetapi, bagaimana kalau setelah kubongkar, lelaki itu tidak mau datang menemui Rohim?

Ah, pasti Mas Yanto datang. Tidak mungkin dia bisa menolak uang dua juta yang sudah kujanjikan.  

“Sebenarnya  ... saya ini istri siri suami Mba,” kataku sambil tersenyum sinis. Muka Ranti langsung berubah, merah padam. 

Siap-siap kamu tidur di luar, Mas. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status