Share

Bab. 4 Si bungsu Sakit

Akhirnya yang kutakutkan pun terjadi. Aku keluar kamar sambil mencari-cari cara, agar bungsuku bisa melepas Mas Yanto sebagaimana ia melepas kepergian ayahnya dulu.

“Ohim,” panggilku.

Rohim menarik lengan Yanto dengan tatapan memohon. Tentu kesempatan tersebut digunakan lelaki pembohong itu untuk menarik simpati padaku.

“Ohim, sini Sayang,” bujukku.

“Mamak, kenapa Mamak biarin abi pergi? Kalau abi pergi, nanti Ohim jadi ngga punya bapak lagi.” Bocah itu terisak tanpa melepaskan tangan ayah sambungnya.

Sebegitu inginnyakah kamu memiliki sosok bapak, Nak? Maafkan ibumu ini yang belum bisa menghadirkan bapak yang baik untukmu.

“Abi perginya sebentar aja kok. Besok juga sudah pulang. Ya kan Mi?” Mas Yanto menoleh ke arahku.

“Beneran, ya.” Ohim sepertinya mulai terpengaruh dengan omongan lelaki pembohong itu.

“Nanti abi ajak Ohim jalan-jalan ke taman bermain lagi. Tapi, sekarang abi pergi dulu ya.”

Anehnya Rohim langsung menurut, mau melepaskan tangan Mas Yanto.

Berani-beraninya lelaki itu memberikan harapan pada anakku. Dia pikir, dia itu siapa?

Aku tidak boleh diam saja. Rohim anakku. Seharusnya aku sendiri yang mengendalikannya, bukan orang lain. Apalagi orang itu Mas Yanto.

“Ohim, ada sesuatu yang ingin mamak obrolin sama Ohim. Tapi, di kamar. Ayo.” kujulurkan tangan, dan kali ini langsung disambut  bocah berambut lebat itu.

Segera kuajak Rohim ke kamar, agar drama murahan Mas Yanto tidak semakin berlanjut. Dia memang tidak menyakiti fisikku dan anak-anak, sebagaimana yang Mas Budi lakukan. Akan tetapi, apa yang sudah Mas Yanto lakukan itu sudah keterlaluan.

*

Dua hari sejak kepergian Mas Yanto, ternyata menyisakan duka yang mendalam bagi bungsuku. Rohim demam panas dan lebih parahnya lagi, dia sampai mengigau memanggil-manggil bapak sambungnya.

 Aku tidak mungkin meminta Mas Yanto kembali ke sini. Akan tetapi, aku juga tidak tega melihat keadaan Rohim.

“Sudahlah San, mending kamu susulaja suamimu. Siapa tahu keadaan Rohim akan membaik setelah bertemu dengan abinya,” ujar Mbok Darmi yang kebetulan datang untuk menjenguk Rohim.

“Tapi, Mbok, menyusul dan meminta lelaki pembohong itu kembali ke sini sama halnya menjilat ludahku sendiri. Aku tidak bisa, Mbok.”

Kugenggam erat tangan putra bungsuku yang kurasakan panas. Padahal sudah kukompres berkali-kali dengan air hangat dan memberikannya  obat penurun panas, tetapi suhunya hanya sebentar saja turun, setelahnya tinggi lagi.

“Mau gimana lagi, San? Daripada harus dibawa ke rumah sakit pas musim wabah covid begini?”

Aku menimbang-nimbang saran Mbok Darmi. Membawa Rohim ke rumah sakit pada saat wabah covid begini memang kurang tepat. Kasihan, putraku kalau sampai diperiksa dengan hasil positif.

Aku tidak punya pilihan lain lagi, selain menyusul Mas Yanto dan memintanya untuk kemari menjenguk Rohim.

“Kalau begitu, titip Ohim dulu ya Mbok, aku mau menyusul lelaki itu ke rumahnya.”

“Iya. Kamu nggak usah khawatir. Ohim akan baik-baik saja. Kebetulan ada Rani di rumah yang menjaga warungku.”

“Makasih banyak, Mbok.”

“Andai aku punya anak lelaki, pasti sudah kujodohkan sama kamu, San. Sayangnya anakku perempuan semua. Kamu itu wanita yang cantik, baik, kuat, pekerja keras juga. Insya Allah nanti bakal ketemu jodoh yang sepadan denganmu. Sabar aja. Mungkin sekarang jodohmu masih sibuk kumpulin uang yang banyak, biar jadi mampan, baru nanti melamarmu.”

“Mbok Darmi ini ada-ada aja. Mana ada lelaki mapan yang mau sama janda  empat anak? Apalagi kalau aku nanti resmi bercerai dengan lelaki itu dan menjadi janda dua kali cerai.” Aku tergelak.

Aku tahu maksud Mbok Darmi ingin menghiburku, biar tidak terlalu larut dalam kesedihan.

“Rencana Allah siapa yang tahu, San.”

Aku sudah tidak mau memikirkan masalah jodoh lagi, setelah semua ini benar-benar kuakhiri. Sudah cukup kebohongan dalam pernikahan keduaku itu kujadikan pelajaran. Saatnya aku  fokus membesarkan keempat putraku dengan kaki dan tanganku sendiri.

“Aku pergi dulu, Mbok. Assalamu’alaikum.”

Wa’alaikumussalam. Hati-hati di jalan, San.”

*

Aku yakin semua kejadian yang menimpaku ini tidak berjalan sendiri. Ada campur tangan dari Dia, sang penggenggam takdir ini. Aku diuji karena Dia yakin aku kuat menjalaninya. Termasuk menghadapi wanita yang baru kuketahui statusnya sebagai kakak maduku itu.

Entah, bagaimana rupanya? Sikap dan wataknya? Apakah suaminya sudah lebih dulu memberitahu tentang kebohongan besar itu?

“Afwan mengganggu, Akh. Saya mau minta alamat rumah Antum. Tolong kirimkan alamatnya sekarang juga,” tulisku pada pesan yang akan kukirimkan lewat aplikasi W******p. Terkirim. Tidak berapa lama, sebuah balasan kuterima.

“Maaf, ini siapa ya? Saya istrinya Yanto.”

“Saya temannya, Mbak. Kebetulan mau silaturrahim ke rumah Mbak. Bisakah kirim alamatnya sekarang?”

Balasan berikutnya sebuah alamat lengkap yang lumayan jauh dari sini. Butuh tiga jam untuk menempuh perjalanan ke sana dengan bus umum. Beruntung aku sudah terbiasa bepergian sendiri, jadi tidak ada rasa khawatir akan tersesat di jalan. Sekarang sudah jamannya GPS yang bisa digunakan untuk menunjukkan arah.

Perumahan Dahlia Blok. C no. 21. Tidak salah lagi ini rumahnya. Sebuah rumah sederhana, tetapi sayang halamannya tidak sebersih dan serapi rumah kanan-kirinya. Rumput dibiarkan tumbuh liar. Kalau dilihat dari luar, rumahnya seperti tidak berpenghuni.

Assalamu’alaikum,” sapaku sambil mengetuk pintu.

Namun, tidak ada jawaban yang kudengar. Hingga ke sekian kalinya barulah suara yang tidak asing di telinga itu terdengar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status