Home / Rumah Tangga / Membalas Mertua dan Suamiku / Bab 4: Membalas Mertua dan Suamiku

Share

Bab 4: Membalas Mertua dan Suamiku

Author: Bemine
last update Last Updated: 2024-04-15 13:50:47

"Dek?" Bang Agam menoleh padaku. 

Tatapannya menyalak, seperti ingin menerkam. Tidak terlihat keinginan untuk bersuara lembut denganku. 

"Kenapa, Abang? Apa aku salah bicara barusan?"

"Jangan bicara begitu sama istrimu, Gam. Suaramu, kasar!" Ibu membentak Bang Agam. 

Beliau juga memukul lengan pria yang telah menikahiku tiga tahun terakhir. Tidak cukup sampai di situ, ibu mertua menambahkan beberapa nasihat lain, soal perjuangan istri, kebaikan istri, dan hak-hak seorang istri di dalam rumah tangga. 

Mendengarnya, aku menggelak sekali lagi. Sungguh, konyol sekali ocehan mereka berdua di pagi hari. 

Mendadak ibu mertua membuka khutbah, menasihati putranya agar bersikap baik padaku. Padahal, ibu sendiri alasan terbesar rumah tangga kami goyah. 

Semenjak ibu mertua datang, Bang Agam berubah. Hak dan kewajibanku diabaikannya. Dia hanya fokus menuruti ibu saja, menjadikannya ratu di istanaku. 

"Tsk, aduh ... kepalaku sakit sekali. Ibu khutbah pagi-pagi begini, padahal sarapan saja belum." Aku menyindir. 

"Kan kamu yang belum masak, Dek? Baru semalam aku beri uang." Bang Agam menyahutku lantang. 

"Bang, apa enggak malu sama jam di tangan? Sama baju dan sepatu yang mahal itu? Masa belanja dapur cuma lima belas ribu?" 

Wajah Bang Agam berubah. Dia kesal dengan ucapanku dan hendak menyalak kembali. Namun, ibu mertua menahan agar dirinya tidak memarahiku. 

"Jangan begitu, Gam. Jangan marahi istrimu, jangan tinggikan suara di depan dia. Kamu harus sabar, ingat bagaimana lelahnya istrimu mengurus rumah ini." 

"Aduh, Bu ... kenapa enggak Ibu ingatkan juga pada Bang Agam supaya nafkahku diberikan? Pembantu saja digaji, ini istri malah ditelantarkan begini!" sahutku lagi. 

Keduanya melirik serentak. Bang Agam jelas tersinggung terus kusahut tanpa henti. 

Pria itu sangat menjunjung tingginharga diri sebagai lelaki. Jika terus dijawab begini, maka emosinya akan melalak tidak terkendali. 

"Ima?" Ibu mertua menyerukan namaku. 

Membalasnya, aku tersenyum tenang. Sungguh, hati ini bahagia sekali melihat ekspresi kesal di paras anak-beranak itu. 

"Iya, Bu. Ada apa Ibu manggil aku? Mau ajak beli emas, atau ...."

"Dek?" 

Bang Agam muntab. Aku yang tidak berhenti menyahut ibu mertua berhasil menyulut emosinya hingga ke ubun-ubun.

Dia melangkah cepat menghampiriku. Tatapannya sudah ingin menerkam. Gurat kemarahan terpampang jelas di parasnya yang putih itu. 

"Berangkat kerja dulu, Bang. Sudah jam berapa ini?" ujarku lagi. Tahu benar jadwal kerjanya di hari Senin, Bang Agam pasti kesulitan jika harus sarapan dulu sebelum masuk kerja. Tugasnya di kantor seperti gunung yang siap meledak kapan saja. 

Bang Agam mengepal tangan mendengarku mengingatkan. Dia mengentakkan kaki di lantai, mengerang kesal lalu pergi begitu saja ke luar. 

Di belakang ibu mertua menyusul. Masih sibuk berteriak soal janji Bang Agam untuk membelikannya emas, tidak boleh ditunda dan harus segera. Aku tahu benar alasan kenapa Ibu Mertua begitu ngotot pada anaknya, semua ini karena jadwal pengajian nanti sore di masjid dekat rumah. Sudah pasti Ibu Mertua ingin segera membungkam mulut temannya yang sudah sesumbar pamer emas. 

“Pergi saja, Bang. Jangan ditunda lagi, nanti emas yang Ibu mau bisa habis.” Aku menyindir Kembali dengan gelagat sedikit angkuh. Bukan karena tidak hormat, tapi terlanjut kesal melihat Ibu dengan angkuhnya akan membelanjakan uang sebanyak itu hanya untuk membeli emas saat dapur kami sulit mengepul. 

“Ima, kamu ini ….” 

Bang Agam hendak menegurku lebih keras. Sekali lagi, ibu mertua melarangnya. Beliau menarik tangan Bang Agam, langsung menyeretnya jauh hingga tidak lagi terlihat oleh diriku. 

Terakhir, yang kudengar hanyalah suara deru mesin mobil Bang Agam. Hening datang beberapa detik kemudian. Tinggal aku sendiri di rumah ini, mengulas senyum sebab ide untuk membalas Bang Agam dan Ibu Mertua bisa tereksekusi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kebanyakan drama kau nyet. ide tolol kayak gitu kau banggakan. ide apaan nyet. klu merasa punya ide yg cerdas, pergi keluar sana cari kerja. lagipula mana ada uang 15 ribu utk maka 3 orang dlm sehari. nyampah banget nih isi otaknya si penulis. tokoh bodoh kayak gini yg mampu kau reka njing
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Membalas Mertua dan Suamiku   (TAMAT) Bab 40: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 40: Membalas Mertua dan Suamiku Aku dan Qais pulang ke rumah lama kami dengan tergesa-gesa usai mendapatkan kabar dari Bang Agam. Kami tiba setelah mengebut di jalanan dengan perasaan tidak karuan. Di depan pagar, aku terdiam untuk sesaat. Rumah mewah yang dibeli oleh Bang Agam kini ramai dengan orang-orang. Mereka berduyun-duyun masuk, sibuk berbicara tentang ibu mertua yang meninggal di rumah sakit. “Sudah tiga hari di rumah sakit, katanya sejak ngerebut rumah ini dari anak mantunya, tiap malam seperti didatengin setan, Bu. Tidak bisa tidur, malah teriak-teriak kayak kerasukan.” Dua perempuan yang dulu menjadi teman karib ibu mertuaku saling berbisik. “Azab kali, Bu. Duh, saya juga sudah denger dari Bu RT. Selama ini Ima dan Agam difitnah, mereka diperlakukan seperti sapi perah, sampe akhirnya Agam yang minta keluar dari rumah ini. Terus, malah bawa anak keduanya ke sini!” “Betul, Bu. Saya juga dengar. Nauzubillah banget ternyata kelakuannya. Saya kira semua omongann

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 39: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 39: Membalas Mertua dan Suamiku “Agam!”“Aku minta maaf, Ibu. Aku minta maaf sekali,” lirih Bang Agam. Pria itu memejamkan kedua mata. Dari tempatku berdiri, terlihat penyesalan dan rasa sedih yang begitu dalam, bahkan urat tebal muncul di bawah pelipisnya.Pada akhirnya, hubungan kami jadi semakin rumit. Semua cara yang aku lakukan di masa lalu, termasuk membalas kelakuan Ibu mertua dan menyadarkan Bang Agam tidak membuahkan banyak hasil.“Agam, kamu mau tinggal di mana kalau bukan di rumah itu?” cegah Ibu mertua seraya menarik lengan Bang Agam.Suamiku tidak menjawab. Bibirnya hanya diam, terkatub terlalu rapat.“Bang, kita ....”“Kita bereskan barang, Dek. Bawa semua baju, tas, sepatu, riasan, milikmu, milikku, milik Qais, juga beberapa bungkus

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 38: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 38: Membalas Mertua dan SuamikuKami tiba di rumah Pak RT beberapa menit kemudian. Bang Agam bahkan tidak sempat berganti pakaian olahraganya hanya untuk mengecek keadaan ibu mertua yang diisukan sudah ada di kota.“Bang, yakin sudah antar Ibu ke desa?” tanyaku dengan suara berbisik.Aku turun dari boncengan motor, kemudian membawa Qais bersamaku. Bang Agam juga memarkirkan motornya agar tidak menghalanginya jalan keluar masuk di rumah Pak RT.“Iya, Dek. Aku juga memberi Ibu uang saku. Tidak mungkin aku membuat Ibu menderita dengan meninggalkannya di jalanan,” balas Bang Agam dengan mata yang membulat.Jika dia saja sekaget ini, aku yakin benar kalau ucapannya tidaklah dusta. Sepertinya, memang ada yang dilakukan oleh ibu mertua usai Bang Agam kembali ke kota semalam.“Kita masuk dulu dan tem

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 37: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 37: Membalas Mertua dan SuamikuBang Agam tidak gentar meski terus mendengar penolakan. Pria itu sudah mengambil keputusan tegas untuk membawa pulang Ibu dan keluarga Iqmal ke desa.Saat Ibu mertua terus memohon supaya Bang Agam melunak, pria itu malah menelepon taksi agar menjemput sampai ke rumah. Dia menelepon dua taksi, satu untuk keluarga ibu mertua, satunya lagi untuk adikku.“Gam, Ibu enggak mau pulang ke desa. Ibu mau di sini sama kamu,” rintih ibu mertua lagi. Perempuan itu memeluk lengan Bang Agam sekuat mungkin.Sejujurnya, aku terenyuh melihat ibu mertua sampai menangis. Perempuan itu memang sering kali membuat diriku kesal di rumah ini, tapi memaksa mereka kembali di malam hari juga kurang bijak menurutku.Di saat yang bersamaan, aku juga tidak bisa menentang Bang Agam. Pria itu menetapkan keputusan bukan tanpa alasan

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 36: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 36: Membalas Mertua dan SuamikuBegitulah semuanya selesai. Ibu mertua dan keluarganya yang menghadapi rasa malu jadi enggan beradu tatap denganku. Mereka juga tidak mau makan malam di meja yang sama, malah membawa makanan dan menghabiskannya di kamar bersama-sama.Aku juga tidak memaksa, membiarkan mereka melakukan apa yang mereka suka hingga Bang Agam kembali ke rumah ini. Jangan sampai duniaku yang nyaman dibolak-balik oleh mereka sekali lagi.“Kak, sampai kapan keluarga Bang Agam di sini?” Adikku berujar dengan suara lebih rendah. “Kemarin cuma Ibunya Bang Agam yang tinggal di sini, sekarang semuanya pindah ke sini?”Dia mengusaikan makan malamnya. Pria itu mencuci piring yang dipakai di wastafel lalu menyimpannya kembali di rak piring. Sungguh, aku tidak menduga jika pria muda itu akan punya sikap seperti ini.&ld

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 35: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 35: Membalas Mertua dan Suamiku “Ya Allah, aku enggak mimpi, kan?” lirihku.Sosok di depanku ini, kenapa dia ada di sini? Kami dipisahkan oleh benua, lautan, dan darat yang sangat luas. Lantas, kenapa tiba-tiba dia ada di rumahku? Tidak ada kabar soal kepulangannya yang selama ini masih menjadi misteri bagiku. Anak ini, dia memilih menetap di negeri orang karena kecewa dengan keputusanku yang tetap memilih untuk menikahi Bang Agam dulu.“Kak Ima, kenapa nangis, sih?” balasnya. Pria itu tidak melirik diriku meski aku yang berbicara dengannya. “Kamu kenapa di sini, Dek?”“Aku pulang, memangnya kenapa lagi?” Pria muda itu masih menatap Qais lebih dalam. Dia juga mengusap pipi gembul anak lelaki itu sebelum kemudian berdiri tegak seperti semula. “Kakak mau ke mana? Bang Agam mana?” tanyanya seray

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status