Belum hilang keterkejutan Widya ketika Sam meninggalkannya seorang diri di dalam ruang rahasia kemudian tak lama masuk lagi memapah tubuh Tyo yang tidak sadarkan diri, kini berselang menit kemudian Sam kembali keluar dan masuk lagi membawa tubuh Burhan, juga tak sadarkan diri dengan bagian wajah berlumuran darah.
"Sam! Kamu apakan orang-orang ini?" Widya tidaklah senang mengetahui dua orang yang sedang memburu dirinya hadir di hadapannya dalam keadaan tak berdaya, bagi Widya itu justru menambah beban ketakutannya merasa diburu dosa atas nyawa orang lain.
"Dua orang ini hanya pingsan. Tidak mati," tukas Sam sembari berupaya menduduk-kan tubuh Burhan bersandar pada dinding sejajar dengan Tyo berjarak satu meter yang lebih dulu diduduk-kan tanpa kesadaran.
"Tapi itu, Sam? Mulut Burhan berdarah begitu? Tidak-kah parah lukanya?"
Sam tak bersahut, matanya mencari-cari sesuatu, tak ada yang menarik p
Sam menempelkan telinga kanannya ke dinding dekat celah-sambungan pintu rahasia yang merupakan dinding pembatas dengan ruang bawah tanah pertama. Berdetik-detik Sam menajamkan pendengarannya, namun ia tak lagi mendengar adanya suara dari gerakkan. Sam mempertimbangkan keluar untuk memastikan ada berapa orang di ruangan sebelah namun memperhatikan perhatiannya pada gerakkan kelemahan Tyo yang mulai terlihat. Sam merangsek mendekati Tyo dengan melewati Burhan terlebih dahulu. Di dekat Tyo, Sam menempatkan tubuh dengan sebelah siku siku ke lantai dan lutut lainnya menopangtnya.
"Kamu berada di ruangan tersembunyi, Burhan! Sekeras apapun suaramu berteriak, tidak akan ada yang mendengarmu!" Sam berjongkok di depan Burhan. "Benarkah kamu sepengecut ini, Sam? Mengikat kaki dan tanganku? Menutup mataku? Menyumpal mulutku?" "Kain itu berguna menahan darahmu. Nyatanya lidahmu masih dapat mengeluarkan kain penyumpal mulutmu?" "Lantas apa maumu,Sam? Sampai aku diperlakukan seperti ini?" "Mauku? akui apa yang aku dengar dari Tyo, soal Bos-mu. Dance. Benarkah Dance yang merencanakan semua ini?" "Merencanakan apa?" "Percuma kamu tutupi Bos-mu, Burhan. Tyo sudah menceritaiku bagaimana dia bisa dilibatkan ikut denganmu mengejarku. Andai aku tidak mengeluarkan Widya dari hotel, mungkin aku sendiri tak akan pernah tahu, kamu disuruh Dance mencarikan orang untuk teman Mr. Ben, juga kamu disuruh menyamar jadi pelayan hotel untuk mengganti semua
"Bagaimana, Sam?" Widya nampak cemas sekaligus senang mendapati Sam kembali. "Kita keluar sekarang!" kata Sam tapi kedua tangannya meraih cermin mengembalikannya ke tempat semula menggantung pada dinding kemudia ia menyambar kotak besi, "ayok cepat!" Sam mengapit kotak besi di tangan kanannya sedang tangan kirinya menuntun tangan Widya. Widya mengimbangi langkah cepat Sam serasa diseret keluar dari ruang rahasia hingga menaiki anak tangga, setelah tiba di puncak anak tangga Sam berhenti sejenak memperhatikan Tyo yang baru saja keluar melewati pintu utama Rossline. "Ke sini!" Sam menuntun Widya berjalan cepat-merapat ke dinding sisi kanan Rossline menuju bagian muka gedung. Widya terus mengikuti Sam tanpa sedikitpun tubuhnya melakukan penolakkan. Widya berserah sepenuhnya kepada Sam apa pun yang harus ditempuhnya. Di muka Rossline, Tyo lebih mempercepat langkahnya karena beban tub
Baru setengah perjalanan ditempuh dari Rossline Pananjung menuju hotel tempat Widya menginap bersama Sam, Minivan melintasi jalan tepian pantai Pangandaran yang sepi, di kiri-kanan jalan tergelar lahan kosong ditumbuhi pohon kelapa jarang-jarang dengan hamparan rumput liar dan semak belukar. Tyo tak lagi cepat melajukan Minivannya, sedari ia duduk berdekatan dengan Widya, mata Tyo tak henti mengerling nakal pada Widya di sebelahnya. Kulit Widya yang belum bersih dari sisa keringat akibat suhu ruang rahasia menjadikan kaos putih ketat tanpa lengan yang dikenakannya terlihat transparan hingga memunculkan bayangan Bra di dalamnya. Rambut Widya tak beraturan kian menggugah gairah berahi Tyo. Tadi Tyo telah menyaksikan dengan mata sendiri, Widya nampak akrab sekali dengan Sam. Kenyataan itu sungguh sulit ia terima. Sejak kali pertama jumpa dengan Sam, telah tumbuh benih cemburu direlung Tyo, terlebih sekarang setelah tahu Widya begitu mempercayai S
Masih didera rasa sakit disekujur tubuhnya setelah dipecundangi oleh Sam, Pengemudi dan temannya baru saja berhasil membebaskan Burhan dari ikatan. "Kalian berdua tidak bisa membekuk Sam sialan itu?" umpat Burhan setelah tubuhnya terbebas dari ikatan. "Apakah kamu dan Tyo tadi di dalam sana mampu membekuknya? Kalian berdua pun tadi dipecundangi Sam?" bela Pengemudi. "Haish, Tyo sialan itu, jangan sebut namanya di depanku! Pengkhianat! Aku dijatuhkannya dari atas Minivan serupa karung kosong aaja. Di mana dia sekarang?" "Dia membawa lari kendaraan kita." "Aku tahu. Tapi kamu bisa mengetahui keberadaannya, bukan? Minivan itu ada GPS nya, kan?" Burhan mencak-mencak tak keruan. "Oh, ya, ada," Pengemudi seperti baru tersadar. "Lekas periksa di ponselmu!" titah Burhan. "Dia belum jauh ternyata? Sekitar dua kilometer dari si
Hari menjelang sore, Sam sedang memperhatikan kotak besi di pangkuannya ketika Widya menggeliat bangun dari tidurnya. "Sudah mandi, Sam?" tanya Widya tersipu malu Sam mendahului terjaga sedang dirinya belum mengenakan apa pun kecuali selimut yang menyembunyikan tubuhnya. Sekembalinya ke hotel dari Rossline Pananjung, makan siang, Bercinta, kemudian mereka kelelahan-terlelap hingga sore menjelang "Aku sudah bangun setengah jam lalu, tapi belum mandi," sahut Sam tanpa berpaling dari kotak besi. "Bagaimana? Sudah menemukan cara membuka kotak besi-mu?" Widya bangun dari rebahnya dan tanpa menyertakan selimut untuk menutupi bagian dadanya ia duduk di belakang Sam turut memperhatikan kotak besi. "Kamu sudah tahu, salah-satu sisi kotak ini ada seperti ini?" tanya Sam telunjuknya menuding dekat ke tengah-tengah permukaan kotak. Widya memperhatikan tengah-
Sudah sepuluh menit Dance menunggu di ruang tamu yang luas dengan segala kemewahannya. Kursi tamu, seni lukis di dinding, guci keramik di sudut ruangan dan lain-lain yang menyemarakan ruang tamu itu sungguhlah serba mewah. Namun begitu dari semua yang nampak di ruang tamu tak satu-pun menarik perhatian Dance. Di balik dadanya, berkali-kali Dance mengumpat sebab baginya menunggu adalah penghinaan. Andai bukan karena dorongan kepentingan perusahaannya, Dance tak akan sudi bertamu dan harus menunggu tuan rumah begitu lama. Dalam kamus hidupnya, Dance terbiasa ditunggu kolega bisnis, bukan menunggu. Akan tetapi untuk menemui yang seorang ini, Dance harus merelakan jiwa feodalnya terjajah oleh tuan rumah yang memang suka tidak suka, Dance sangat bergantung pada pengaruh ketokohan orang yang sedang dikunjunginya. Setelah mendekati seperempat jam, Dance merasa lega pada akhirnya tuan rumah muncul meski masih mengenakan pakaian olahraga, lengkap den
Setelah berpuas diri berkecibak air Laut, menikmati panorama senja Pantai Pangandaran, rasa lapar adalah suatu kebiasaan menyergap siapa-pun yang telah menceburkan tubuhnya ke Laut. Pukul tujuh malam Sam dan Widya sudah bersiap menuju restorant di lantai dasar hotel setelah tuntas membersihkan diri dari air asin. "Kita jadi pulang malam ini, Sam?" tanya Widya sebelum mengikuti Sam melewati pintu kamar. "Kamu masih betah di Pangandaran?" "Aku pikir kamu mau membuka kotak itu dulu? Setelah kamu bisa membukanya, kita pulang. Besok pagi juga tidak masalah, kan?" "Kamu semangat sekali ingin membuka kotak itu?" Sam sudah berjalan menggandeng Widya menyusuri koridor hotel menuju restorant. "Hematku kamu harus mengetahui isi kotak terlebih dahulu, Sam!?" "Kenapa kamu berpikir begitu?" "Entahlah? Naluriku saja mengatakan demikian. Ada sesuatu yang