Mag-log inVira masih terpaku dalam pemikirannya sendiri. Dia pun sampai tidak mendengar suara langkah kaki memasuki kamar Adinda.
"Bagaimana les privatnya? Lancar?" Tanya Bram sambil berdiri tepat di belakang kursi antara Adinda dan Vira. Tangan kiri Bram menyentuh kepala Adinda sementara tangan kanannya meremas sisi kanan buah dada Vira dari belakang. "Lancar, Pa!" Sahut Adinda dengan penuh semangat. Gadis yang kini duduk di bangku SMA tersebut terlihat senang sekali. "Gimana Vir? Kamu ada kesulitan ngajar Adinda?" Tanya Bram dengan sengaja sambil menatap bibir ranum Vira di sampingnya. Bibir Vira bergetar, kedua mata Vira mengerjap lambat, bibir ranumnya tampak sedang menahan suara desahan lantaran sentuhan jemari tangan Bram yang kini sibuk memilih puting Vira dengan sembunyi-sembunyi dari belakang. Vira yang tadinya melamun buru-buru membungkuk untuk menyembunyikan tangan Bram yang sedang meremas buah dadanya ke dalam kedua lengannya yang kini ditumpukan di atas meja belajar Adinda. Vira cemas tindakan Bram tersebut ketahuan oleh Adinda. "Vir?" Tegur Bram lagi. Vira segera mengangguk cepat dengan gugup. "Nggak sulit, Om. Adinda cepat mengerti, dia juga rajin dan bisa mengerjakan tugas dengan mudah," jawab Vira gugup dengan wajah menunduk. Vira merasakan pelintiran Bram semakin kuat, dan menurut Vira ini adalah hal gila! Terlalu gila untuk dilakukannya terlebih lagi ada Adinda di sana. Ini pertama kalinya Vira disentuh pria, dalam hatinya tetap saja ada sebersit rasa penyesalan karena tidak mengira akan disentuh oleh pria beristri. Sebelum-sebelumnya Vira tidak berpacaran karena ingin fokus bekerja. Meniti karir baginya lebih penting. Dan sekarang dia malah terjebak oleh suami dari Ningrum yang merupakan kakak sepupu Vira sendiri. Bram melihat Vira menggigit bibir bawahnya seolah-olah sengaja menahan diri untuk tidak ditunjukkan pada Bram. Bram merasa Vira akan menolaknya, dan mungkin sentuhan pagi ini adalah sentuhan pertama dan terakhirnya! Bram merasa tidak rela. Apalagi suatu hari melihat Vira memilki pasangan lain. "Bisa aku bicara empat mata sama kamu sebentar?" Tanya Bram pada Vira, dia dengan sengaja berkata demikian di depan Adinda untuk meminta waktu Vira. Vira terlihat enggan menjawabnya. Sementara Adinda hanya menaikkan kedua alisnya. "Ini tentang biaya les, aku ingin membayarnya, Ningrum sudah berpesan sama aku sebelum pergi ke arisan!" Tegas Bram sambil menyentuh sisi pinggang kanan Vira lalu jemarinya kembali naik ke atas. Vira tiba-tiba saja merasa risi dan langsung menepis tangan Bram dengan kasar. Bram kaget sekali, dia tidak mengira Vira akan terang-terangan menolaknya. Bram sangat kesal tapi dia tidak bisa menunjukkan ekspresi marah tersebut di depan Adinda putrinya. Adinda sejak tadi melihat Bram, melihat Vira cemberut lalu menatap ke arah papanya dan sepertinya papanya masih menunggu jawaban Vira. Adinda merasa sebentar lagi Bram akan memarahinya. "Mbak, bicara saja dulu sama Papa, aku bisa lanjutin kerjain tugas soal yang selanjutnya," ujar Adinda. "Ayo!" Seru Bram seraya mendahuluinya keluar dari kamar Adinda. Vira terpaksa menganggukkan kepalanya lalu berdiri dari kursinya. Begitu Vira keluar dari kamar Adinda, Bram langsung menutup pintu kamar Adinda dan menarik lengan Vira ke ruang tengah. Sampai di sana Bram memaksa Vira duduk di kursi. "Om, lepaskan tanganku!" Perintahnya sambil berusaha menolak genggaman tangan Bram dari lengannya. "Mana nomor rekening mu?!" Tanya Bram sambil mengeluarkan kertas dari saku bajunya lalu meletakkan bolpoin di atasnya agar Vira segera menulisnya di sana. "Apa ini? Mbak Ningrum sudah membayar biaya les setiap bulan, Om. Jadi Om nggak perlu bayar lagi," jawab Vira. Bram menarik kursi dan ikut duduk tepat di sebelah Vira. Bram menyangga sisi kepalanya dengan telapak tangan kanannya dengan siku di meja. Bram menatap Vira, bibirnya menyunggingkan senyuman penuh ejekan sambil mengetuk kertas di meja dengan jari telunjuknya sebagai isyarat agar Vira menuliskan nomor rekeningnya di sana. Melihat senyuman di bibir Bram, senyuman dengan tatapan mata merendahkan itu spontan membuat jemari tangan Vira mengepal erat. Bram tidak hanya mengambil kesuciannya tapi juga meremehkan dirinya. "Ayo tulis, jangan cemas aku tidak akan memberikan nominal yang mengecewakan," lanjut Bram semakin membuat hati Vira hancur berkeping-keping. Melihat Vira menatapnya dengan kedua mata berkaca-kaca, Bram langsung mengukir senyum lebar. Kali ini senyuman itu terlihat begitu menawan dan serasi dengan sosoknya yang selalu hangat dan lembut sebagai suami Ningrum. Bram menghela napas panjang kemudian beralih, Bram mengambil bolpoin, dia mencoret di atas kertas yang tadinya dia tujukan untuk digunakan Vira menulis nomor bank. Setelah selesai mencoretnya Bram langsung menyodorkan kertas tersebut kembali ke depan Vira. Bram bisa melihat butiran bening menetes pada kedua pipi bersih milik Vira yang jelita. "Ini nomor ponselku, kamu kirim saja nomor rekening mu ke nomor ini!" Perintahnya sambil menaikkan kedua alisnya seolah-olah peristiwa pagi ini sama sekali tidak membekas dalam ingatannya. Bram tersenyum sambil menyangga sisi kanan kepalanya. Vira pikir Bram ingin membayar atas kerugian yang baru saja dia alami. Vira pikir Bram ingin membungkam mulut Vira dengan sejumlah uang tunai yang akan dikirimkan ke dalam rekeningnya. Vira hanya bisa menahan rasa sesak dan kesakitan di dalam hatinya. Vira menggelengkan kepalanya. "Om nggak perlu kirim uang, Om juga nggak perlu cemas atau khawatir aku bakalan ngadu ke Mbak Ningrum. Aku nggak butuh uang tutup mulut! Dan semua kejadian antara kita berdua pagi ini aku harap Om nggak lagi membahasnya denganku." Jawabnya seraya berdiri dari kursinya dan bersiap pergi. Tiba-tiba Bram langsung menarik lengannya hingga Vira terjengkang dan duduk di atas pangkuan Bram. Bram menahan belakang pinggang Vira dengan lengannya. "Gila kamu! Ngomong apa tadi?" Tanya Bram sambil menatap lekat-lekat menatap wajah cantik Vira yang kini menunduk, Vira duduk di atas pangkuannya sambil memegangi kedua bahu Bram. "Aku serius, Om," lanjut Vira dengan suara tersendat. Hatinya terasa sangat sakit sekali. Vira merasa dianggap rendah dan diremehkan oleh Bram. "Aku bukan kasih uang untuk ganti rugi," bisik Bram. "Aku tahu, Om takut aku hamil, atau mungkin Om takut aku ngadu-ngadu ke Mbak Ningrum, aku-aku akan membeli obat, aku nggak akan hamil. Masalah Mbak Ningrum Om nggak perlu khawatir, jadi lepaskan aku!" Ujar Vira dengan gugup dan cemas. "Kenapa? Kamu ingin membuang bayinya kalau kamu hamil?" "Aku juga nggak mungkin membiarkan diriku hamil! Apalagi Om adalah suami Mbak Ningrum!" "Oh, jadi misalnya aku pria lain di luar sana, kamu bersedia melakukanya? Dengan suka rela?" Kali ini Vira sungguh tidak bisa bersabar, Bram sudah menginjak-injak harga dirinya. "Apa maksud dari perkataan Om! Aku nggak pernah punya pacar, apalagi melakukan hubungan badan!" Geram Vira sambil berusaha meronta dan berdiri dari atas pangkuan Bram. Bram sangat puas dengan jawaban Vira. Ada perasaan senang dalam hati Bram. Tak lama kemudian terdengar suara pintu di ruangan utama di buka dari luar disusul dengan suara langkah kaki. Ningrum sudah tiba, dia tadi melihat mobil suaminya di halaman depan dan saat dia masuk ke dalam ruang tengah Ningrum melihat Bram sedang duduk sambil memainkan ponselnya. Sementara Vira sudah berada di depan pintu kamar Adinda, jemari tangan Vira mengepal. Air matanya yang mengalir sulit berhenti. Kertas yang tadi diberikan Bram kini berada di dalam genggaman tangannya berupa bola kertas lusuh tak berbentuk. Sayup-sayup dia mendengar suara Ningrum bersama Bram sedang mengobrol di ruang tengah. "Loh aku pikir Mas sudah di kantor? Ternyata masih belum berangkat?" Tanya Ningrum. "Oh, itu tadi pas di jalan aku ingat ada beberapa barang yang tertinggal jadi aku balik lagi ke rumah," jawabnya pada Ningrum. Bram mendengar suara pintu kamar Adinda baru menutup artinya Vira baru saja masuk ke dalam sana setelah menguping obrolan antara dirinya dengan Ningrum.Ningrum melepas kepergian Bram dengan pipi sembab dan basah, setelah mobil Bram berlalu meninggalkan kediaman, Ningrum bergegas masuk ke dalam rumah.Vira sejak tadi berdiri di luar kamarnya. Saat berjalan masuk wajah Ningrum langsung memucat."Kamu tadi mendengar semuanya?" Tanyanya ragu-ragu.Vira membalas tatapan mata Ningrum lalu menganggukkan kepalanya."Aku-aku sebenarnya, aku, aku tidak seperti yang kamu bayangkan. Vira, aku hanya ...." Ningrum tampak bingung, dia tidak tahu harus memulai penjelasannya dari mana.Renaldi yang baru selesai bersiap-siap sengaja menahan langkahnya untuk mendengarkan percakapan antara dua wanita di ruangan utama."Mbak Ningrum tidak perlu mengatakan apa-apa, nasi sudah menjadi bubur, apakah artinya Mbak Ningrum selama ini nggak cinta sama Mas Bram?"Ningrum mengernyitkan keningnya mendengar pernyataan dari Vira."Kamu tahu semuanya? Kamu tidak hilang ingatan?" Tanya Ningrum dengan tatapan mata curiga.Vira terdiam sejenak, dia tidak memiliki alasan
Dalam hati, Vira merasa sangat jijik.Betapa munafiknya! Jelas-jelas aku mendengarmu terus mengatakan tentang area intim Ibuku, kamu terus memujinya seolah-olah hanya dialah wanita yang paling bisa memuaskan hasratmu di ranjang! Aku muak! Aku benci sekali! Tapi menunjukkan kemarahanku sekarang hanya akan membuat keadaan menjadi runyam.Malam itu Bram menyetubuhinya. Vira hanya bisa menahan desahannya dan memejamkan matanya beberapa kali ketika Bram mendorong keluar masuk batang kejantanan miliknya dari liang intim Vira.Kondisi Vira sudah baik-baik saja, beruntung Bram bertanya dengan rinci kepada dokter yang menangani Vira jadi dia tidak mungkin menyentuhnya jika kondisi Vira belum pulih sepenuhnya.Walau tubuh Vira yang telanjang hanya menggeliat sesekali saat dia setubuhi, hal itu sudah cukup memuaskan perasaan Bram yang sudah memendam gairahnya selama berbulan-bulan. "Aahhh, Vir, aku benar-benar tidak tahan, aku sangat ingin menyetubuhimu, sudah lama aku menahannya, oohhhh, Vir,"
Tiga hari kemudian Vira dibawa pulang ke rumah, Bram memutuskan untuk merawat Vira di kediamannya. Pada akhirnya keputusannya itu hanya akan merepotkan Ningrum untuk merawat istri ke duanya.Murni dan Guntoro ikut serta mengantarkan Vira ke kediaman Bram.Mereka menemani putri mereka sampai ke kamar. Kondisi Vira masih linglung. Dokter yang merawatnya mengatakan bahwa kondisi tersebut tidak bertahan terus seperti itu dan akan pulih sesuai dengan perkembangan kesehatan pasien."Apa Nak Bram yakin Vira sebaiknya tidak dirawat di rumah kami saja? Kami adalah orangtuanya Vira," tanya Guntoro pada Bram. Melihat Bram bersedia merawat putri kesayangannya Guntoro tidak ingin merusaknya, masalah hubungan gelap antara Bram dan Murni yang pernah Guntoro saksikan terpaksa dia kubur kembali."Ya, aku suaminya, sudah sewajarnya Vira berada dalam pengawasanku," jawabnya tegas. Bram tidak bisa memercayakan Vira pada Murni, apalagi belakangan ini Murni tidak terlihat menyayangi Vira seperti dulu-dulu.
Tiga bulan berlalu, Vira terbangun dari koma setelah sekian lama. Tapi Vira yang sekarang bukan seperti Vira Astanti yang dulu, dia terlihat seperti orang lain. Saat melihat semua orang yang menjenguknya Vira sama sekali tidak bicara. Vira hanya diam sambil menatap wajah-wajah mereka dengan tatapan asing seolah tidak ada apa pun di dalam ingatannya.Murni kebingungan dan dia terlihat cemas seolah takut terjadi sesuatu dengan kondisi putri satu-satunya. Tapi pada kenyataannya, Murni bukan cemas karena kondisi Vira yang linglung tapi cemas kalau sampai hubungan terlarang antara dirinya dengan Bram Hendarto terkuak di depan umum.Melihat Vira linglung seolah tidak mengenal siapapun, Murni sedikit lega di dalam hati. Untuk memastikan semua itu Murni secara diam-diam menemui Bram. Selama dalam proses perawatan Bram lah yang selalu bicara pada dokter yang menangani Vira.Di koridor sepi, melihat Bram berjalan sendiri dari kafe, Murni langsung mencekal pergelangan tangan Bram dan menarikny
Vira masih tidak ingin percaya dengan apa yang dia dengar di toko bapaknya, bahkan saat mengisi les privat di sekolah Vira masih melamun dan menolak kebenaran yang sulit diterima oleh nalarnya. Apakah memang benar Mbak Ningrum dan Bapak? Apakah Ibu tahu semua itu? Keluarga macam apa ini! Vira terus mengeluh di dalam hati namun tidak ada gunanya karena tidak bisa menyelesaikan segalanya. Jika ingin diperbaiki lagi juga tidak mungkin karena hubungan keluarga sudah rusak."Bu? Bu Vira?" Mia menyentuh lengan Vira karena ada soal yang ingin dia tanyakan."Eh, iya?" Vira segera menoleh lalu memaksa bibirnya untuk tersenyum. Seperti apapun kondisi hatinya, dia harus tetap profesional di depan para muridnya."Coba lihat soal ini? Bagaimana cara menyelesaikannya?" Vira menatap ke arah soal di buku lalu memberikan penjelasan pada Mia.Usai mengajar les, Vira tidak pulang ke rumah Bram, dia memutuskan pulang ke rumah Murni. Vira ingin menemui ibunya untuk menanyakan tentang Guntoro.***Keti
Ningrum terus memikirkan pertanyaan dari Adinda, dia tidak mungkin menjawab pertanyaan tersebut dan mengatakan bahwa Adinda adalah putri kandung Guntoro - ayah Vira Astanti.Semakin lama memikirkan masalah itu Ningrum merasa kepalanya sangat pusing dan hampir pecah! Dengan wajah gelisah Ningrum segera bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Hari ini Ningrum berencana untuk menemui Guntoro secara langsung. Ningrum merasa tidak bisa menunda lagi.Ya, aku harus pergi, hari ini aku harus menemui Mas Guntoro, aku harus menemukan solusi untuk memecahkan masalah Adinda. Setelah selesai membersihkan tubuhnya Ningrum bergegas pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap.Ketika melewati ruang makan Ningrum sengaja melirik beberapa orang di kursi meja makan, hanya tersisa Renaldi dan Adinda saja. Ningrum merasa lega, dia berharap Adinda memiliki pernikahan yang bahagia bersama Renaldi suatu hari nanti, Ningrum akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Adinda tetap menikah denga







