Memori Yang Menghukum

Memori Yang Menghukum

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-20
Oleh:  Nisa FitriOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
15Bab
189Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Sandra mengalami kecelakaan yang merenggut ingatannya. Seiring waktu, ingatan-ingaran masa lalunya mulai kembali, membuka tabir yang selama ini tersembunyi. Namun setiap ingatan yang terungkap,membawa luka dan kebenaran yang tak terduga. Di antara kepingan itu, Sandra menemukan alasan jelas mengapa ia ingin menghapus masa lalunya dengan Leo. "Sandra, kumohon… jangan tinggalkan aku. Aku berjanji akan memperbaiki semuanya, aku akan menebus kesalahanku…" Mata Sandra membara oleh amarah, meski air matanya mulai jatuh. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Bagaimana aku bisa memaafkanmu Leo, setelah semua yang kamu sembunyikan dariku?"

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1

Sandra terbangun di rumah sakit dengan perasaan kosong. Matanya menyapu ruangan yang asing—dinding putih, bau antiseptik, dan suara detak jam yang terasa mengganggu.

"Siapa kalian?" Suaranya terdengar ragu, hampir tak percaya pada apa yang diucapkannya.

Seorang wanita muda yang duduk di dekatnya, tampak terkejut. "Masa kamu tidak mengenali kami?"

Sandra mencoba mengingat, menggapai kenangan yang mungkin masih tersisa, tapi semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang hilang dalam kabut. Tidak ada yang terasa familiar.

Tiba-tiba, seorang pria berlari mendekat. Dia adalah Leo, kekasihnya. Tanpa ragu, Leo memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan.

"Akhirnya kamu selamat," bisiknya dengan suara parau, penuh kelegaan, tapi juga ada ketakutan yang samar di sana.

"Aku sangat takut... Tolong, jangan pergi lagi dariku," Leo melanjutkan, suaranya hampir putus-putus.

Sandra diam, tubuhnya menegang dalam dekapan itu. Luka-luka di tubuhnya masih segar, rasa sakitnya menjalar ketika pelukan Leo semakin erat. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya ketakutan yang muncul, membungkam kata-katanya.

"Siapa kamu?" Sandra berteriak, dorongannya membuat Leo terjatuh ke lantai.

Leo terdiam, menatap Sandra dengan mata yang tampak penuh kebingungan dan kesedihan. "Sandra, aku Leo... Kekasihmu," katanya, berusaha menjelaskan.

Namun, Sandra hanya bisa menatapnya kosong. Tidak ada kenangan, tidak ada perasaan.

Tiba-tiba, suara seorang wanita paruh baya memecah keheningan. "Leo, hentikan! Jangan buat dia takut seperti itu!" Ibu Leo berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kecemasan.

Sandra, masih terisak, duduk di pojok ruangan, merangkul tubuhnya sendiri. Keheningan yang mengisi ruangan seperti sebuah dinding tebal, menutupi setiap kenangan, setiap wajah yang seharusnya ia kenali.

Air mata menetes perlahan, dan ia hanya bisa menangis, merasa terjebak dalam tubuh yang tak lagi ia kenali. Semua terasa asing—namanya, wajahnya, bahkan dirinya sendiri. Seperti lembaran buku yang kehilangan halamannya.

"Sandra..." Suara lembut itu datang mendekat, membawa sedikit kenyamanan. Seorang wanita, dengan wajah penuh kasih, berjongkok di depannya. "Ini aku, Ibu Leo. Kami di sini untukmu."

Tapi kata-kata itu hanya terasa seperti gema kosong. Sandra menatapnya dengan mata yang kosong, tanpa rasa. Kepalanya terasa berat, seperti ribuan jarum menghujam setiap kali ia mencoba mengingat.

Dokter masuk, memperingatkan semua orang. "Biarkan dia tenang dulu. Kenangannya akan kembali perlahan."

Ibu Leo mengulurkan tangan, berharap Sandra bisa merasa nyaman. "Ayo ikut kami, Sandra. Kami akan membawamu pulang," ujarnya lembut.

Sandra menatap mereka dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Di mana keluargaku? Kenapa aku harus ikut kalian?" tanyanya, suaranya serak. "Apakah aku tidak punya keluarga?"

Ibu Leo dan Leo terdiam. Mereka tak tahu apa yang harus dijawab. Keheningan menggantung berat di udara.

Sandra kembali terisak. Leo menunduk, tidak tahu harus berbuat apa selain merasakan perasaan kosong yang memenuhi hatinya.

Di saat-saat itu, seorang wanita paruh baya lain muncul di ambang pintu. Wajahnya penuh kehangatan, dengan kerutan yang menunjukkan pengalaman hidup yang panjang.

"Sandra... Ini aku, Bi Rina. Ingatkah kamu?" katanya dengan suara lembut.

Sandra memandangnya dengan tatapan kosong, tapi ada sesuatu yang samar, sesuatu yang terasa akrab, meskipun kenangan itu belum kembali sepenuhnya. Bi Rina, wajah yang penuh kasih sayang, seolah mengirimkan perasaan nyaman yang belum ia rasakan selama ini.

"Bi Rina..." Sandra berbisik, suaranya hampir hilang di udara.

Bi Rina mendekat, tersenyum lembut. "Kamu bisa ikut aku, Sandra. Aku akan menjagamu seperti dulu. Kamu aman bersamaku."

Sandra menunduk, mencoba mencari jawaban dalam kepalanya yang kosong. Perasaan itu... perasaan aman yang datang dari Bi Rina membuatnya merasa sedikit tenang. Mungkin, hanya dia yang bisa membuatnya merasa seperti dirinya sendiri.

Leo dan ibunya hanya bisa diam, melihat Sandra yang begitu rapuh. Mereka tahu bahwa dalam keadaan seperti ini, orang yang bisa memberi kenyamanan lebih dari sekadar kenangan adalah seseorang yang pernah ada dalam hidupnya.

Bi Rina meraih tangan Sandra, menggenggamnya dengan lembut.

Namun, sebelum mereka melangkah lebih jauh, Leo dengan cepat menyusul mereka dan kembali merengkuh Sandra dalam pelukannya. "Sandra... kamu tidak boleh pergi," katanya, suaranya bergetar, hampir putus asa. "Aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja."

Sandra membeku, rasa takut semakin mencekamnya. Pelukan Leo yang dulu memberi kenyamanan kini terasa seperti belenggu. Ia ingin berteriak, tetapi kata-katanya terhenti, tenggelam dalam ketakutan.

"Leo!"

"Ibu... aku tidak bisa!" Leo berteriak, semakin keras, menahan Sandra dalam pelukannya. "Dia milikku. Aku yang akan menjaganya."

Ibu Leo berlari mendekat, tampak marah. "Lepaskan dia, Leo! Apa yang kamu lakukan? Sandra butuh ruang untuk memilih sendiri," suaranya penuh kemarahan.

Bi Rina yang berdiri di sisi Sandra segera maju, wajahnya berubah tegas. "Leo, kamu tidak bisa memaksanya seperti ini. Sandra berhak memutuskan dengan siapa ia merasa aman," katanya dengan suara tajam. "Tindakanmu hanya akan membuatnya semakin takut."

Sandra menatap Leo dengan penuh ketakutan, dan dalam suara gemetar, ia memohon, "Lepaskan aku... Tolong, Leo, aku tidak mengenalmu... Aku tidak ingin dipaksa..."

Kata-kata itu menembus hati Leo seperti jarum tajam. Ia terdiam, perlahan melepaskan Sandra, merasakan perih yang tak terkatakan. Sandra mundur beberapa langkah, berdiri di samping Bi Rina. Dalam keheningan yang menyesakkan, Sandra merasa sedikit cahaya—harapan baru—masih ada. Mungkin, dengan Bi Rina, ia bisa menemukan dirinya kembali.

Bi Rina menggenggam tangan Sandra dengan penuh kasih sayang. "Ayo pulang, Nak. Kita mulai lagi dari awal, bersama-sama."

Sandra mengikuti langkah Bi Rina dengan ragu. Namun, langkahnya terhenti ketika suara Leo memanggilnya lagi, lebih pelan kali ini. "Sandra..." Suara itu bergetar, memohon dengan kesedihan yang mendalam.

Sandra menoleh. Tatapan Leo penuh rasa putus asa, cinta, kehilangan, dan rasa bersalah. Ada sesuatu di sana yang terasa akrab, meski samar. Ia mencoba menggapainya, mencoba mengingat wajah itu, suara itu, atau mungkin perasaan yang seharusnya menyertainya. Tapi yang ia rasakan hanya kekosongan.

"Aku mohon, Sandra... Jangan tinggalkan aku," kata Leo lagi, suaranya hampir tenggelam.

Kata-katanya menusuk sesuatu di dalam diri Sandra, sebuah ruang yang sebelumnya kosong kini terasa bergetar. Namun, rasa itu tak berbentuk—hanya sebuah desakan samar yang membuat pikirannya terasa berat. Ia ingin mengingat, tapi setiap kali mencoba, rasa sakit menyergap kepalanya.

Sandra memegangi pelipisnya, wajahnya meringis. "Kenapa aku tidak bisa mengingatmu?" bisiknya, nyaris tak terdengar. "Kenapa aku merasa ada sesuatu... sesuatu yang penting, tapi tidak bisa aku temukan?"

Leo melangkah maju, ingin menjawab, tapi Bi Rina segera berdiri di antara mereka. "Cukup, Leo. Jangan buat dia semakin bingung," kata Bi Rina tegas.

Namun Sandra mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Bi Rina berhenti. "Aku ingin tahu... Aku ingin tahu siapa kamu sebenarnya," katanya pada Leo, suaranya gemetar. "Tapi setiap kali aku mencoba, aku merasa seperti... aku tenggelam. Kenapa?"

Leo terlihat ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia menunduk, tak sanggup menjawab.

Sandra mendesak lebih keras, hampir berteriak, "Siapa kamu, Leo? Apa yang sebenarnya terjadi padaku?"

Tidak ada jawaban. Leo hanya berdiri di sana, diam, dengan wajah penuh rasa sakit. Ibu Leo mencoba mendekat, tetapi Sandra mundur, menggelengkan kepala. "Semua ini... semua ini terasa salah. Aku tidak tahu apa yang benar, atau siapa yang bisa kupercaya," katanya, suaranya mulai tersendat.

Rasa pening mulai menjalar di kepalanya. Pandangannya mulai berputar, dan tubuhnya terasa lemas.Sandra mulai kehilangan keseimbangan.

Ketika Sandra mulai goyah, rasa pening yang menyerangnya menjadi semakin tak tertahankan. Pandangannya buram, tubuhnya terasa lemas, dan akhirnya ia roboh. Bi Rina dengan sigap menangkapnya, namun Leo lebih cepat melangkah maju, wajahnya diliputi kepanikan.

"Sandra!" seru Leo, suaranya pecah. Ia berlutut di sebelahnya,kedua tangannya mencoba menangkapnya. "Kamu baik-baik saja? Sandra, tolong jawab aku!"

Namun, Sandra mengangkat tangannya yang gemetar, menahan Leo untuk menjaga jarak. Matanya yang redup menatapnya dengan kesedihan bercampur ketegasan. "Jangan... jangan sentuh aku," bisiknya lirih.

Leo tertegun, tangannya menggantung di udara sebelum akhirnya ia mundur perlahan, meskipun raut wajahnya penuh rasa cemas. "Aku hanya ingin memastikan kamu—"

"Jangan," potong Sandra, nadanya memohon sekaligus tegas. Ia memalingkan wajah, menatap Bi Rina. "Bi Rina... tolong bawa aku pergi dari sini," katanya, suaranya semakin lemah.

Bi Rina mengangguk, menopang tubuh Sandra yang gemetar. "Ayo, Nak. Kita pergi sekarang," katanya lembut namun tegas.

Leo hanya bisa duduk membeku di tempatnya, menyaksikan Bi Rina membawa Sandra keluar dari ruangan itu. Napasnya berat, dadanya terasa sesak, namun ia tak punya pilihan selain membiarkan mereka pergi.

Ketika Bi Rina membawa Sandra keluar dari ruangan itu, Sandra menoleh sekali lagi ke arah Leo. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu tak pernah keluar. Sebaliknya, hanya satu pikiran yang berputar di kepalanya ,"Siapa aku sebenarnya? Dan siapa dia bagiku?"

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
15 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status