Sandra mengalami kecelakaan yang merenggut ingatannya. Seiring waktu, ingatan-ingaran masa lalunya mulai kembali, membuka tabir yang selama ini tersembunyi. Namun setiap ingatan yang terungkap,membawa luka dan kebenaran yang tak terduga. Di antara kepingan itu, Sandra menemukan alasan jelas mengapa ia ingin menghapus masa lalunya dengan Leo. "Sandra, kumohon… jangan tinggalkan aku. Aku berjanji akan memperbaiki semuanya, aku akan menebus kesalahanku…" Mata Sandra membara oleh amarah, meski air matanya mulai jatuh. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Bagaimana aku bisa memaafkanmu Leo, setelah semua yang kamu sembunyikan dariku?"
Lihat lebih banyakSandra terbangun di rumah sakit dengan perasaan kosong. Matanya menyapu ruangan yang asing—dinding putih, bau antiseptik, dan suara detak jam yang terasa mengganggu.
"Siapa kalian?" Suaranya terdengar ragu, hampir tak percaya pada apa yang diucapkannya. Seorang wanita muda yang duduk di dekatnya, tampak terkejut. "Masa kamu tidak mengenali kami?" Sandra mencoba mengingat, menggapai kenangan yang mungkin masih tersisa, tapi semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang hilang dalam kabut. Tidak ada yang terasa familiar. Tiba-tiba, seorang pria berlari mendekat. Dia adalah Leo, kekasihnya. Tanpa ragu, Leo memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. "Akhirnya kamu selamat," bisiknya dengan suara parau, penuh kelegaan, tapi juga ada ketakutan yang samar di sana. "Aku sangat takut... Tolong, jangan pergi lagi dariku," Leo melanjutkan, suaranya hampir putus-putus. Sandra diam, tubuhnya menegang dalam dekapan itu. Luka-luka di tubuhnya masih segar, rasa sakitnya menjalar ketika pelukan Leo semakin erat. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya ketakutan yang muncul, membungkam kata-katanya. "Siapa kamu?" Sandra berteriak, dorongannya membuat Leo terjatuh ke lantai. Leo terdiam, menatap Sandra dengan mata yang tampak penuh kebingungan dan kesedihan. "Sandra, aku Leo... Kekasihmu," katanya, berusaha menjelaskan. Namun, Sandra hanya bisa menatapnya kosong. Tidak ada kenangan, tidak ada perasaan. Tiba-tiba, suara seorang wanita paruh baya memecah keheningan. "Leo, hentikan! Jangan buat dia takut seperti itu!" Ibu Leo berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kecemasan. Sandra, masih terisak, duduk di pojok ruangan, merangkul tubuhnya sendiri. Keheningan yang mengisi ruangan seperti sebuah dinding tebal, menutupi setiap kenangan, setiap wajah yang seharusnya ia kenali. Air mata menetes perlahan, dan ia hanya bisa menangis, merasa terjebak dalam tubuh yang tak lagi ia kenali. Semua terasa asing—namanya, wajahnya, bahkan dirinya sendiri. Seperti lembaran buku yang kehilangan halamannya. "Sandra..." Suara lembut itu datang mendekat, membawa sedikit kenyamanan. Seorang wanita, dengan wajah penuh kasih, berjongkok di depannya. "Ini aku, Ibu Leo. Kami di sini untukmu." Tapi kata-kata itu hanya terasa seperti gema kosong. Sandra menatapnya dengan mata yang kosong, tanpa rasa. Kepalanya terasa berat, seperti ribuan jarum menghujam setiap kali ia mencoba mengingat. Dokter masuk, memperingatkan semua orang. "Biarkan dia tenang dulu. Kenangannya akan kembali perlahan." Ibu Leo mengulurkan tangan, berharap Sandra bisa merasa nyaman. "Ayo ikut kami, Sandra. Kami akan membawamu pulang," ujarnya lembut. Sandra menatap mereka dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Di mana keluargaku? Kenapa aku harus ikut kalian?" tanyanya, suaranya serak. "Apakah aku tidak punya keluarga?" Ibu Leo dan Leo terdiam. Mereka tak tahu apa yang harus dijawab. Keheningan menggantung berat di udara. Sandra kembali terisak. Leo menunduk, tidak tahu harus berbuat apa selain merasakan perasaan kosong yang memenuhi hatinya. Di saat-saat itu, seorang wanita paruh baya lain muncul di ambang pintu. Wajahnya penuh kehangatan, dengan kerutan yang menunjukkan pengalaman hidup yang panjang. "Sandra... Ini aku, Bi Rina. Ingatkah kamu?" katanya dengan suara lembut. Sandra memandangnya dengan tatapan kosong, tapi ada sesuatu yang samar, sesuatu yang terasa akrab, meskipun kenangan itu belum kembali sepenuhnya. Bi Rina, wajah yang penuh kasih sayang, seolah mengirimkan perasaan nyaman yang belum ia rasakan selama ini. "Bi Rina..." Sandra berbisik, suaranya hampir hilang di udara. Bi Rina mendekat, tersenyum lembut. "Kamu bisa ikut aku, Sandra. Aku akan menjagamu seperti dulu. Kamu aman bersamaku." Sandra menunduk, mencoba mencari jawaban dalam kepalanya yang kosong. Perasaan itu... perasaan aman yang datang dari Bi Rina membuatnya merasa sedikit tenang. Mungkin, hanya dia yang bisa membuatnya merasa seperti dirinya sendiri. Leo dan ibunya hanya bisa diam, melihat Sandra yang begitu rapuh. Mereka tahu bahwa dalam keadaan seperti ini, orang yang bisa memberi kenyamanan lebih dari sekadar kenangan adalah seseorang yang pernah ada dalam hidupnya. Bi Rina meraih tangan Sandra, menggenggamnya dengan lembut. Namun, sebelum mereka melangkah lebih jauh, Leo dengan cepat menyusul mereka dan kembali merengkuh Sandra dalam pelukannya. "Sandra... kamu tidak boleh pergi," katanya, suaranya bergetar, hampir putus asa. "Aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja." Sandra membeku, rasa takut semakin mencekamnya. Pelukan Leo yang dulu memberi kenyamanan kini terasa seperti belenggu. Ia ingin berteriak, tetapi kata-katanya terhenti, tenggelam dalam ketakutan. "Leo!" "Ibu... aku tidak bisa!" Leo berteriak, semakin keras, menahan Sandra dalam pelukannya. "Dia milikku. Aku yang akan menjaganya." Ibu Leo berlari mendekat, tampak marah. "Lepaskan dia, Leo! Apa yang kamu lakukan? Sandra butuh ruang untuk memilih sendiri," suaranya penuh kemarahan. Bi Rina yang berdiri di sisi Sandra segera maju, wajahnya berubah tegas. "Leo, kamu tidak bisa memaksanya seperti ini. Sandra berhak memutuskan dengan siapa ia merasa aman," katanya dengan suara tajam. "Tindakanmu hanya akan membuatnya semakin takut." Sandra menatap Leo dengan penuh ketakutan, dan dalam suara gemetar, ia memohon, "Lepaskan aku... Tolong, Leo, aku tidak mengenalmu... Aku tidak ingin dipaksa..." Kata-kata itu menembus hati Leo seperti jarum tajam. Ia terdiam, perlahan melepaskan Sandra, merasakan perih yang tak terkatakan. Sandra mundur beberapa langkah, berdiri di samping Bi Rina. Dalam keheningan yang menyesakkan, Sandra merasa sedikit cahaya—harapan baru—masih ada. Mungkin, dengan Bi Rina, ia bisa menemukan dirinya kembali. Bi Rina menggenggam tangan Sandra dengan penuh kasih sayang. "Ayo pulang, Nak. Kita mulai lagi dari awal, bersama-sama." Sandra mengikuti langkah Bi Rina dengan ragu. Namun, langkahnya terhenti ketika suara Leo memanggilnya lagi, lebih pelan kali ini. "Sandra..." Suara itu bergetar, memohon dengan kesedihan yang mendalam. Sandra menoleh. Tatapan Leo penuh rasa putus asa, cinta, kehilangan, dan rasa bersalah. Ada sesuatu di sana yang terasa akrab, meski samar. Ia mencoba menggapainya, mencoba mengingat wajah itu, suara itu, atau mungkin perasaan yang seharusnya menyertainya. Tapi yang ia rasakan hanya kekosongan. "Aku mohon, Sandra... Jangan tinggalkan aku," kata Leo lagi, suaranya hampir tenggelam. Kata-katanya menusuk sesuatu di dalam diri Sandra, sebuah ruang yang sebelumnya kosong kini terasa bergetar. Namun, rasa itu tak berbentuk—hanya sebuah desakan samar yang membuat pikirannya terasa berat. Ia ingin mengingat, tapi setiap kali mencoba, rasa sakit menyergap kepalanya. Sandra memegangi pelipisnya, wajahnya meringis. "Kenapa aku tidak bisa mengingatmu?" bisiknya, nyaris tak terdengar. "Kenapa aku merasa ada sesuatu... sesuatu yang penting, tapi tidak bisa aku temukan?" Leo melangkah maju, ingin menjawab, tapi Bi Rina segera berdiri di antara mereka. "Cukup, Leo. Jangan buat dia semakin bingung," kata Bi Rina tegas. Namun Sandra mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Bi Rina berhenti. "Aku ingin tahu... Aku ingin tahu siapa kamu sebenarnya," katanya pada Leo, suaranya gemetar. "Tapi setiap kali aku mencoba, aku merasa seperti... aku tenggelam. Kenapa?" Leo terlihat ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia menunduk, tak sanggup menjawab. Sandra mendesak lebih keras, hampir berteriak, "Siapa kamu, Leo? Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" Tidak ada jawaban. Leo hanya berdiri di sana, diam, dengan wajah penuh rasa sakit. Ibu Leo mencoba mendekat, tetapi Sandra mundur, menggelengkan kepala. "Semua ini... semua ini terasa salah. Aku tidak tahu apa yang benar, atau siapa yang bisa kupercaya," katanya, suaranya mulai tersendat. Rasa pening mulai menjalar di kepalanya. Pandangannya mulai berputar, dan tubuhnya terasa lemas.Sandra mulai kehilangan keseimbangan. Ketika Sandra mulai goyah, rasa pening yang menyerangnya menjadi semakin tak tertahankan. Pandangannya buram, tubuhnya terasa lemas, dan akhirnya ia roboh. Bi Rina dengan sigap menangkapnya, namun Leo lebih cepat melangkah maju, wajahnya diliputi kepanikan. "Sandra!" seru Leo, suaranya pecah. Ia berlutut di sebelahnya,kedua tangannya mencoba menangkapnya. "Kamu baik-baik saja? Sandra, tolong jawab aku!" Namun, Sandra mengangkat tangannya yang gemetar, menahan Leo untuk menjaga jarak. Matanya yang redup menatapnya dengan kesedihan bercampur ketegasan. "Jangan... jangan sentuh aku," bisiknya lirih. Leo tertegun, tangannya menggantung di udara sebelum akhirnya ia mundur perlahan, meskipun raut wajahnya penuh rasa cemas. "Aku hanya ingin memastikan kamu—" "Jangan," potong Sandra, nadanya memohon sekaligus tegas. Ia memalingkan wajah, menatap Bi Rina. "Bi Rina... tolong bawa aku pergi dari sini," katanya, suaranya semakin lemah. Bi Rina mengangguk, menopang tubuh Sandra yang gemetar. "Ayo, Nak. Kita pergi sekarang," katanya lembut namun tegas. Leo hanya bisa duduk membeku di tempatnya, menyaksikan Bi Rina membawa Sandra keluar dari ruangan itu. Napasnya berat, dadanya terasa sesak, namun ia tak punya pilihan selain membiarkan mereka pergi. Ketika Bi Rina membawa Sandra keluar dari ruangan itu, Sandra menoleh sekali lagi ke arah Leo. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu tak pernah keluar. Sebaliknya, hanya satu pikiran yang berputar di kepalanya ,"Siapa aku sebenarnya? Dan siapa dia bagiku?"Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik
Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa
Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali
Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka
Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen