Share

Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin
Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin
Author: Yenika Koesrini

1. Terpaksa Menikah

"Cantik sekali."

Aku mengulum senyum mendengar pujian yang dilontarkan oleh MUA yang tengah merias wajah ini.

"Nafia dari kecil memang sudah cantik," timpal Bibi Ira.

Wanita itu tampak semringah. Lebih bahagia dari aku sebagai pengantin. Ya hari ini aku akan menikah. Namun, bukan dengan Mas Ibnu. Melainkan dengan Arzen. Pemuda kaya yang baru kutemui satu bulan lalu.

"Ayo, pengantin laki-lakinya sudah menunggu." MUA itu berbicara lagi sambil meremas pelan pundakku.

Aku mengangguk tanpa semangat. Karena memang bukan dengan Arzen aku ingin menikah. Andai waktu bisa diputar kembali.

"Ayo, Naf!"

Kali ini Bibi Ira yang mengajak. Perempuan itu membantuku untuk berdiri. Tangannya langsung mengamit lengan kiriku. Sementara lengan kanan ini diamit oleh MUA.

Kami melangkah pelan meninggalkan kamar. Kamar mewah milik calon suamiku yang terletak di lantai dua. Dengan hati-hati aku menuruni anak tangga masih dibimbing oleh Bibi Ira dan MUA. Semua pasang mata tertuju padaku.

Sampai di bawah Adik Arzen yang bernama Arsy sudah menunggu. Di bimbing Bibi Ira dan Arsy aku melangkah menuju pelaminan. Tempat Arzen duduk menghadap penghulu. Aku sudah tidak perlu memakai kruk lagi. Namun, langkahku tetap saja berbeda dari sebelum kecelakaan.

Beberapa pasang mata menatapku aneh. Mungkin iba atau juga justru tengah mengejek cara jalanku.. Ada juga beberapa yang saling berbisik.

Ini menyakitkan. Namun, harus kuat menjalani. Arzen hanya mengerling sejenak ketika aku sudah duduk di sampingnya.

Aku dan Arzen berada di bawah selendang putih sutera yang sama. Tangan pemuda itu menjabat penghulu. Arzen mengikrarkan janji suci dengan pelan, datar, dan tanpa semangat.

Sementara aku hanya mampu menunduk. Setelah semua orang berteriak sah, mau tidak mau aku harus berpura tersenyum. Ketika Arzen menyodorkan tangannya, aku meraih pelan. Namun, belum juga hidung ini menyentuh punggung tangannya, Arzen sudah terlebih dulu menariknya.

Sakit? Pasti. Tetapi, aku tidak boleh baper.

Acara pun berjalan sebagaimana mestinya. Pembacaan sighat taklik, foto bersama, makan-makan, ramah tamah dengan para tamu, hingga terjadilah insiden yang mencoreng mukaku.

Acara berada di penghujung waktu. Banyak tamu yang sudah pamit pulang. Arsy yang lapar mengajakku untuk makan. Ketika tengah menikmati soto Betawi, terdengar keributan di ujung sana.

Tampak Ibu Sita tengah menunjuk-nunjuk wajah Bibi Ira. Penasaran dengan apa yang terjadi, aku pun mendekat.

"Sungguh kamu gak punya sopan santun! Acara belum kelar saja sudah mau ngembat amplop kondangan," maki Ibu Sita geram.

Aku sendiri termangu mendengarnya. Apalagi saat melihat tangan Bibi Ira penuh dengan amplop. Kami memang tengah berdiri di kotak amplop pernikahan.

"Saya bukannya mau ngembat amplop kondangan, tapi saya cuma mengambil hak dari Nafia. Keponakan saya," elak Bibi Ira cuek.

"Ira?!" Paman Santosa mendelik pada sang istri. Namun, dia tidak digubris.

"Hak?" Mata Ibu Sita membola mendengar balasan Bibi Ira. "Kamu bilang itu hak Nafia?" Suaranya meninggi saat bertanya.

"Mama!" Bapak Ari dan Arsy kompak menegur.

"Iya." Bibi Ira mengangguk yakin. "Ini kan pernikahan dia. Jadi dia juga berhak atas amplop ini," tuturnya enteng.

"Tapi, kami yang memodali pernikahan ini semua," sergah Ibu Sita percaya diri.

"Ma, sudahlah!" Bapak Ari menengahi. "Masalah ini gak perlu dibesar-besarkan! Kasih saja separuhnya buat Mbak Ira ini."

"Gak bisa gitu dong!" tepis Ibu Sita tidak terima, "enak saja mau curi duit orang. Kita itu habis duit banyak buat ngurusin ini semua. Enak aja! Gak! Aku gak terima!"

"Acara sudah selesai. Aku pulang ke rumah sendiri."

Arzen yang sedari tadi diam, kini berpamitan. Dia sama sekali tidak mengindahkan keberadaanku. Matanya justru tertuju pada Bibi Ira. Menatapnya tajam, lalu menyeringai kecil. Lebih tepatnya ejekan.

"Kamu pulang bareng Diaz!"

Ekspresi dingin dari Arzen saat menyuruh membuat dadaku terasa sesak.

Zen! Jangan gitu dong! Masih ada tamu yang belum pulang." Bapak Ari menegur. Pria bijak yang rambutnya sudah beruban di beberapa sisi mendekati putra sulungnya. "Lagian Mama kamu sudah nyuruh orang buat desain kamar kamu di sini. Nikmati dulu biar gak mubasir."

"Dan itu mahal, Zen." Ibu Sita menimpali.

"Aku gak meminta itu kok, Ma," balas Arzen cuek.

"Tahu gitu Mama gak nyuruh orang buat desain. Buang-buang duit saja!" Ibu Sita menggerutu kesal.

"Ngomong apa sih, Ma?" Bapak Ari menegur. Ibu Sita mengendikan bahu, setelah itu dia pun berlalu.

"Ya sudah ... aku nginep semalam di sini," putus Arzen kemudian.

"Bagus itu." Bapak Ari mengacungkan jempol. Ketika ada temannya memanggil, lelaki paruh baya itu menghampiri sang kawan. Menemani sang tamu untuk mengobrol.

Ketika Arzen hendak melangkah menuju tangga rumah, Paman Santosa memanggil. Lelaki itu menghentikan langkah, lalu balik badan untuk menghadap Paman Santosa.

"Saya dan istri mau pulang." Paman Santosa berucap kalem. "Sebelum pergi dengan segala kerendahan hati, saya mohon pada Adik Arzen. Tolong jaga keponakan saya, Nafia," pinta Paman terlihat tulus. "Cintai Nafia sepenuh hati, walau kini saya yakin belum ada perasaan itu di hatimu." Tangan Paman ia katupkan di depan dada.

Arzen tersenyum tipis. Senyum yang kuyakini adalah keterpaksaan. "Insya Allah." Dia membalas lirih. "Eum ... oke, saya ke atas sebentar," pamit Arzen dengan tangan menunjuk loteng.

Setelah diamini oleh Paman Santosa, pemuda yang hanya berusia dua tahun lebih tua dariku itu kembali menaiki anak tangga. Bahkan setengah berlari.

"Naf!" Kini Paman melambai padaku. Aku melangkah pelan mendekat. "Paman dan Bibi akan pulang. Jaga dirimu baik-baik ya!" pesannya penuh perhatian, "jadilah istri, menantu, serta ipar yang baik pada keluarga barumu."

"Iya, Paman." Aku meringis kecil.

"Jika ada masalah dengan suamimu, bicaralah! Jangan cuma diam. Dipendam sendiri. Itu gak baik, Naf." Paman memberi wejangan dengan bijak. "Paman selalu mengatakan jika cinta akan tumbuh karena terbiasa. Jadi ... biasakan diri berbuat hal yang Arzen sukai, serta pahamilah apa-apa saja yang ia benci."

"Insya Allah, Paman."

"Paman yakin kamu pasti bisa." Kali ini Paman menarik tubuhku. Mendekapnya sebentar. "Sabar adalah kunci dari semua keberhasilan," ujarnya usai mengurai pelukan.

Aku kembali mengangguk kecil.

Bibi Ira pun mendekat. Wanita yang hanya beda sepuluh tahun dariku itu memeluk juga. "Jika mertua perempuanmu galak, lawan saja! Jangan pernah menjadi wanita yang lemah," bisiknya serius.

Aku tidak menanggapi. Hanya tersenyum samar saja.

"Kita memang lebih miskin dari mereka, tapi jangan pernah mau ditindas." Bibi Ira kembali menambahkan, "dan ingat pesanku. Jangan terlalu tunduk pada suamimu. Biar dia tidak memandang rendah kamu," pesannya berapi-api.

"Ngomong apa sih, Ir?!" tegur Paman Santosa mendelik.

"Aku lagi ngajarin Nafia biar jadi wanita yang kuat, Mas," jawab Bibi Ira enteng.

"Tapi, Mas dengarnya gak gitu."

"Ahhh ... udahlah, pulang saja yuk!" Bibi Ira menyambar. "Takut si Sara nangis. Kara kan belum pinter banget jaga adiknya," tuturnya dengan menyebut dua nama sang putri.

Ketika Bibi Ira berlalu, Paman Santosa mengikuti. Saat keduanya pergi, hati ini tiba-tiba dilanda sepi.

Bapak Ari tengah sibuk menemani tamunya yang masih betah mengobrol. Sementara Ibu Sita tampak repot mengatur para pekerjanya untuk membereskan sisa-sisa pesta. Sementara Arsy sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya.

"Kok bengong?" Aku menoleh, ternyata Diaz yang menegur. Pemuda yang hari ini terlihat rapi dengan kemeja batiknya melukis senyum. "Arzen mana?" tanya dia kemudian.

"Dia di kamar." Aku menjawab pelan.

"Kok gak ikut ke kamar?"

Aku tersenyum kecut.

"Gak diajak Arzen?"

Kali ini aku tercekat mendengar tebakan jitu dari Diaz. "Eum ... gak enaklah. Yang lain masih pada sibuk kok aku malah diam di kamar," kilahku mengarang alasan. Padahal sebenarnya aku ingin sekali meluruskan kaki. Ingin merebahkan tubuh sejenak di kasur.

"Gak papa. Cuek aja lagi," tanggap Diaz memberi dukungan. "Lagian kan kamu butuh istirahat untuk menghadapi malam pertama kamu," ujarnya dengan alis yang terangkat.

Entah kenapa tiba-tiba pipi ini terasa sedikit hangat saat Diaz mengucap malam pertama. Tersipu membuatku menunduk.

"Diaaaz!" Di sebelah sana Ibu Sita memanggil.

"Si bos manggil." Matanya mengarah pada Ibu Sita, "udah ... kamu istirahat saja di kamar biar gak kecapekan!" Setelah menyuruh seperti itu, Diaz pun beranjak.

Entah kenapa aku justru lebih dekat dengan Diaz. Bagiku dia pemuda yang baik dan perhatian. Sementara Arsy, aku belum terlalu dekat dengannya. Setidaknya sikap dia tidak sedingin Arzen atau pun Ibu Sita.

Bingung karena tidak ada yang bisa dikerjakan, akhirnya aku putuskan untuk naik ke atas. Ya ... ke kamarnya Arzen. Koperku sudah ditaruh Diaz di sana pagi tadi. Sayangnya aku tidak tahu di mana letaknya.

Bod*h! Kenapa tadi tidak tanya Diaz saja? Aku berdecak dan sedikit merutuk.

Ada tiga buah kamar di sini. Dua bersebelahan dan satunya berada di seberang. Pasti yang terpisah itu kamar utama, alias kamarnya Bapak Ari dan sang istri.

Sementara kamar dengan gantungan pintu yang lucu, aku yakin punya itu Arsy. Aksesoris khas anak gadis. Berarti kamar Arzen yang di sebelah kanan ini.

Tiba-tiba hati ini dilanda gugup. Aku menarik napas panjang sebentar untuk menata hati. Bagaimana pun juga ini pertama kalinya, aku menginjakkan kaki di kamar laki-laki.

Bismillahirrahmanirrahim.

Pelan-pelan kudorong pintu kayu bercat putih ini. Begitu terbuka sebuah kamar yang luas tampak terpampang. Tidak ada sosok Arzen di sana. Mungkin kah dia tengah mandi?

Perlahan aku memasuki kamar. Ranjang besar berselimut putih. Serasi dengan kordennya. Semilir angin dari pendingin ruangan membelai kulit. Sementara pengharum ruangan beraroma lavender sangat memanjakan hidung. Aku memejam menikmati sensasi wangi yang menyeruak ini.

"Lagi ngapain kamu?"

Aku tercekat. Mata ini langsung terbuka. Begitu membalikkan badan, tampak Ibu Sita tengah menatapku tajam.

"E-e-eum ... saya--"

"Mau ngikutin jejak bibimu jadi maling?"

Hatiku tersayat mendengar tuduhan keji itu.

"Itulah kenapa saya tidak menginginkan punya menantu miskin seperti kamu!" tandasnya dalam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status