"Lagi ngapain kamu?"
Aku tercekat. Mata ini langsung terbuka. Begitu membalikkan badan, tampak Ibu Sita tengah menatapku tajam.
"E-e-eum ... saya--"
"Mau ngikutin jejak bibimu jadi maling?"
Hatiku tersayat mendengar tuduhan keji itu.
"Itulah kenapa saya tidak menginginkan punya menantu miskin seperti kamu!" tandasnya dalam.
Seperti ada sebuah belati yang menikam hati ini. Amat dalam sehingga terasa sangat menyakitkan. Aku tahu Ibu Sita tidak menyetujui perjodohan ini. Tetapi, dia tidak bisa seenaknya menuduhku.
"Karena biasanya orang miskin itu lancang." Makin sempurna Ibu Sita menghina.
Aku tarik napas dalam-dalam. Aku harus kuat. Inilah babak baru hidupku.
"Maaf, saya bukannya lancang. Tapi, sungguh saya tidak tahu kamar yang Arzen di mana," ucapku pelan. Untuk kesopanan aku menunduk
Terdengar Ibu Sita mendengkus. "Gak usah bohong gitu! Masa iya gak bisa membedakan mana kamar pengantin mana kamar biasa," tukas Ibu Sita tajam.
"Saya benar-benar tidak tahu, Bu. Maaf." Kali ini aku menunduk lebih dalam.
"Kalo maling ngaku penjara penuh," balas Ibu Sita meremehkan.
Ada yang teremas di dalam sana. "Saya memang berasal dari keluarga miskin, tetapi kedua orang tua saya selalu mengajarkan kebaikan. Salah satunya mengajarkan untuk tidak mendendam."
"Kamu mau ngomong apa?" Kali ini Ibu Sita melipat kedua tangannya di dada.
"Tolong jangan pernah samakan sikap Bibi Ira dengan saya. Kami berbeda," pintaku tenang. Ibu Sita sendiri menanggapinya dengan seringai miring, "perlu Ibu tahu, menjadi menantu Ibu bukanlah impian saya. Tetapi, saya masih punya hati untuk membebaskan seorang gadis. Kesediaan saya menikahi Arzen tidak lain dan tidak bukan demi menyelamatkan masa depan Arsy," paparku tenang.
Ibu Sita sendiri tampak tercengang mendengar penuturanku. Dia terlihat gelagapan. Mungkin tidak menyangka jika aku mampu bicara.
"Mama? Mbak Naf?" Arsy masuk dengan tatapan heran padaku.
"Eum ... aku salah masuk kamar, Sy. Aku pikir ini kamarnya Mas Arzen," ujarku menjawab kernyitan pada dahi Arsy.
"Oh ... jadi belum tahu kamarnya Kak Arzen?" Mulut Arsy melongo lebar, "itu!" Dia menunjuk ruangan yang berseberangan dengan kamar ini.
"Aku lupa nanya ke Diaz tadi," jujurku kalem. Arsy manggut-manggut. "Wajahmu segar sekali, habis tidur?" tanyaku basa-basi. Aku melewati Ibu Sita untuk mendekati gadis itu.
"Ya." Arsy mengangguk cepat, "waktu di sel aku gak pernah bisa tidur. Banyak nyamuk dan tikus. Jadi sekarang aku mau balas dendam untuk sering tidur," jelas jujur.
Aku tersenyum, lalu melirik ke Ibu Sita. Wanita itu justru melengos.
"Makasih banyak sudah memaafkan kesalahanku ya, Mbak." Arsy berbicara sambil meraih tanganku. Lalu menggenggamnya kuat-kuat.
"Allah saja yang Maha kuasa sudi memaafkan hamba-Nya. Kenapa kita mahluk yang lemah justru sombong dengan tidak mau memberi maaf?"
Uhuk-uhuk!
Ibu Sita terbatuk-batuk. Entah sengaja atau memang tertampar mendengar penuturanku. Sengaja tadi aku tekankan kata sombong.
Semoga dia sadar. Bahwa aku bukanlah benalu yang akan membuat keluarganya menderita. Justru di sinilah aku yang lebih menderita. Seketika menjadi sebatang kara karena ulah putrinya.
Arsy mengantarku hingga depan pintu kamar Arzen. Gadis itu mengetuk-ngetuk pintu.
"Kak Arzeeen!" Dia memanggil. Namun, tidak ada sahutan. Gadis itu menarik handle pintu. Tidak ada sosok Arzen di dalam. "Mungkin Kak Arzen lagi mandi," sangka Arsy sambil mengangkat bahu, "yodah aku ke bawah buat nyari makanan ya."
Arsy menepuk pelan pundakku isyarat pamit. Gadis itu berlalu begitu mendapat anggukan kecil dariku. Mata ini menyapu sekeliling. Koperku ada bersandar pada dinding pojok ruangan.
Ruangan ini memang disulapnya layaknya kamar pengantin pada umumnya. Masih ada beberapa kelopak mawar di seprai putih. Sepertinya sudah dibersihkan oleh Arzen. Ada hiasan sepasang angsa yang membentuk tanda cinta dari kain. Lilin kecil yang dinyalakan menambah kesan temaram yang syahdu. Sementara bunga sedap malam di beberapa titik membuat ruangan ini terasa wangi.
CEKLEK!
Aku berpaling pada sumber suara. Tampak Arzen baru saja keluar dari kamar mandi. Lelaki itu hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian tubuh bawahnya. Pandangan kami berserobok untuk beberapa detik. Lalu sama-sama membuang muka.
Aku sendiri langsung balik badan. "Maaf," ucapku sambil menahan jengah. Sungguh tidak nyaman perasaan ini.
Arzen tidak menjawab. Namun, kurasakan dia mendekat. Ketika pantulan wajahnya berada di cermin, aku beringsut lagi. Posisi ini tetap membelakangi dia.
Pintu lemari terdengar berderit. Pastinya Arzen tengah mengambil baju. Kami pun terdiam satu sama lain.
"Aku mau ke bawah. Kamu mandi aja sana!"
Aku memutar badan. Ekspresi Arzen datar seperti biasa. "Baik," balasku kalem.
Arzen tidak menyahut lagi. Dia sudah cukup rapi dengan kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Tanpa bicara Arzen pun berlalu dengan tenang meninggalkan kamar. Aku mengatur napas pelan, lantas melangkah untuk mengambil baju di koper.
Sebuah baju terusan aku ambil. Kemudian gegas menuju kamar mandi untuk membersihkan badan. Tampilan kamar mandi yang cukup mewah tidak membuat lena. Aku mandi secukupnya.
Badan yang segar membuatku merasa kantuk. Tidak kuat menahan beratnya mata, aku berbaring. Mungkin karena karena terlalu lelah, tidak menunggu waktu lama aku pun terlelap. Terjaga begitu ada telapak tangan yang menepuk pipi. Sosok imut Arsy menyungging senyum.
"Ditunggu makan malam yuk, Mbak!" ajaknya hangat.
Aku tersenyum. Merasa bersyukur karena hanya Ibu Sita yang tidak begitu menyukaiku. Sementara Arzen ... walau pun dingin, setidaknya dia tidak terlalu menunjukkan kebencian. Entah nanti.
"Ayok, Mbak! Kok malah bengong?" Arsy menegur dengan senyum manis.
"Ayuk!"
Aku pun bangkit. Kami berdua meninggalkan kamar. Ketika akan menuruni anak tangga, Arsy menuntutku. Bahagia merasuki kalbu mendapat perhatian darinya.
Di meja makan sudah ada Bapak Ari dan Ibu Sita yang duduk berdampingan. Tidak ada Arzen di depan mereka. Ke mana dia?
Ditemani Arzen dan Diaz keesokan harinya, aku pulang ke rumah Bapak Ibu. Kami pamit pada mereka. Tangan Arzen yang masih sakit tidak memungkinkan dia untuk menyetir sendiri."Jaga Fia baik-baik ya," pesan Bapak sambil menepuk pundak Arzen, "dia sudah kuanggap seperti putri kandungku sendiri.""Insya Allah, Pak." Arzen membalas kalem, "dan saya sangat berterima kasih karena selama Nafia pergi dari rumah, Bapak dan Ibu telah merawatnya dengan baik.""Maaf, Ya Nak Arzen, kami sempat pernah berbohong dengan mengatakan tidak tahu keberadaan Fia," timpal Ibu."Gak papa, Bu. Itu kan memang kemauannya Nafia sendiri," jawab Arzen bijak.Setelah pamit dari rumah Bapak Aminuddin, aku mengajak Arzen berkunjung ke rumah Paman Santosa. Pada dirinya juga kami meminta doa restu."Pesan saya masih sama, Dek Arzen. Tolong jaga dan cintai Nafia dengan baik," ucap Paman kalem."Insya Allah, Paman." Arzen mengangguk ramah, "dan tolong jangan sungkan menegur jika saya lalai seperti kemarin," lanjutnya tulu
"Aku masih mencintai kamu, Zen. Masih." Tangan ini terus melingkari erat perutnya. Agar Arzen percaya jika aku memang benar-benar tidak menginginkan dia pergi.Arzen mengurai pelukan. Kami saling bertatapan. Maniknya menelisik mataku lekat. Seakan tengah mencari kejujurannya di dalamnya."Naf, aku tahu kamu tersiksa dengan pernikahan ini, makanya aku sadar diri dengan menjauh dari kamu," tutur Arzen lembut. Belum pernah kudengar dia selembut ini berbicara. "Jika perpisahan mampu memberimu kebahagiaan, aku rela pergi." Aku kembali menggeleng. "Tolong jangan katakan itu," mohonku seraya menempelkan telunjuk di bibir Arzen. "Karena kebahagiaanku adalah ketika kamu mencintai aku," tuturku serius.Arzen meraih jemariku. Dia mengecupnya lembut. "Aku mencintai kamu, Naf. Dan aku berjanji mulai detik ini akan selalu membuatmu bahagia."Aku tersenyum haru. Tanpa malu kupeluk pria ini lagi. "Kita rajut kembali mahligai rumah tangga yang sempat terkoyak kemarin.""Iya." Arzen balas mendekapku
"Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,
"Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,
Aku melepas pegangan Arzen. "Aku mau telpon Diaz buat jemput kamu."Ketika hendak berdiri, Arzen mencegah. "Jangan bohongi diri kamu, Naf.""Aku gak bohongi hati sendiri, Zen." Aku menjawab datar, "tapi, saat ini aku sudah mati rasa sama kamu. Entah besok atau lusa. Yang pasti saat ini, aku sedang tidak mau bersama kamu."Kutingalkan Arzen segera. Aku tidak mau terlarut akan bujuk rayuannya. Seperti niat sebelumnya Diaz pun kuhubungi. Dan sekitar setengah jam pemuda itu sudah menampakan diri."Kamu boleh saja marah sama Arzen, tapi jangan berlarut-larut. Karena itu sama saja kamu memelihara dendam. Percuma kamu beribadah jika masih saja mengikuti napsu setan itu," nasihat Diaz dengan tenang dan serius. "Arzen tidak pernah kasar sana kamu. Dia tidak pernah KDRT. Dia hanya masih terjebak kisah masa lalu, tapi kini dia sudah menyadari kekeliruannya. Jadi tolong jangan buat setan tertawa menang karena berhasil memisahkan kalian."Aku termangu. Wejangan Diaz terdengar begitu panjang. Aku
Arzen akan menginap di sini," kata Bapak Aminuddin tenang."Tapi, Pak." Aku menyela tidak rela."Kasihan jika suamimu harus tidur di luar."Tanpa menunggu jawabanku, Bapak Aminuddin berlalu."Zennnn, kamu ...."Hachiii!Aku mendesah. Ingin rasanya berteriak, tapi kutahan. Walaupun Bapak Ibu sudah menganggap layaknya anak kandung, tetap saja aku harus bersikap sopan.Dengan menahan gondok, kubuka pintu lebar-lebar."Makasih." Arzen mengulum senyum.Lelaki itu memasuki kamar. Matanya menatap sekeliling. Aku sendiri berjalan tenang menuju lemari. Kuraih sebuah selimut."Ini udah ada selimut lho, Naf. Ha-hachiii." Arzen memberi tahu disertai bersin.Aku tidak membalas. Kini bantal pada ranjang pun aku ambil. Arzen mengernyit bingung karenanya."Lho ... kamu mau tidur di mana?" tegur Arzen begitu melihatku keluar kamar. Beberapa kali dia menggosok hidungnya yang merah. Bersinnya pun masih kerap menyerang."Aku tidur di sofa ruang keluarga saja," balasku kalem. "Biar kamu yang tidur di kama
Aku kembali ke rumah Bapak Aminuddin. Kembali tidur di kamar yang dulu. Seperti yang sudah-sudah kedua orang tua ini begitu menyayangi aku. Segala kebutuhanku tercukupi di sini.Waktu berjalan begitu cepatnya. Tidak terasa sudah sepuluh hari aku tinggal di rumah Bapak Aminuddin ini. Setiap hari Arzen datang berkunjung. Kadang pagi sebelum berangkat kerja. Kadang malam hari setelah pulang kerja.Pernah juga dia datang ke sini seorang diri. Tujuannya tidak lain adalah membujuk aku untuk pulang. Ibu Sita dan sang suami juga tidak mau ketinggalan. Keduanya beberapa kali mampir dengan maksud membawaku kembali.Lama-lama bosan menghadapi rayuan Arzen yang terus saja meminta kembali. Akhirnya kedatangan dia aku abaikan. Namun, Arzen tidak kenal menyerah. Bahkan ketika hujan turun dengan derasnya, lelaki itu tetap berdiri di teras depan menungguku."Temui suamimu, Nafia. Kasihan dia kedinginan di luar," suruh Ibunya Mas Ibnu memohon."Biarin aja, Bu. Salah sendiri ngeyel," balasku malas. "Sud
Kejadian itu begitu cepat. Setelah tiga bulan dalam persembunyian, akhirnya Arzen dan Diaz mampu menemukan aku. Sayangnya aku yang panik justru melakukan kecerobohan.Keegoisan mengalahkan kewarasan. Sudah tahu tengah mengandung kenapa aku mesti melarikan diri. Jika tidak ingin menjumpai Arzen, harusnya aku bicara baik-baik saja. Kenapa membahayakan diri sendiri dan kandungan ini?Bodoh! Aku pun menyesali kecerobohan kemarin. Tapi, aku lebih menyesali saat terbangun dari pingsan perut ini sudah kembali rata. Gerakan di dalam sana tidak lagi kurasakan.Aku telah kehilangan permata hati. Penantian selama lima bulan ini sia-sia sudah. Hidupku serasa hancur saat ini. Ketika Arzen datang, rasa benciku padanya bangkit lagi. Walaupun hati kecil ini menyalakan kecerobohan sendiri. Namun, Arzen juga turut andil atas kematian calon bayi kami.Aku yang masih berduka tidak menginginkan kedatangan Arzen. Ketika pria itu menampakan diri, sontak aku mengusirnya. Tidak peduli dia berkali mengucap ka
Sudah empat hari Nafia dirawat. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Namun, hingga sekarang wanita itu belum sudi dikunjungi olehku. Padahal ketika Aliya datang, Nafia menerima kedatangan gadis itu dengan baik. Walau pedih, tapi kuterima. Konsekuensi dari berbagai kesalahanku padanya.Namun, ada yang mengganjal hati. Sudah lebih dari sekali aku melihat Aliya datang menjenguk Nafia pasti bersama Deva. Aku tahu mereka berteman. Tetapi, cara pandang Aliya tampak berbeda pada Deva."Aku lihat-lihat, sekarang lengket banget sama bosnya Nafia," sindirku suatu sore. Aku sengaja main ke rumahnya. Masalahnya aku tidak bisa langsung menegurnya di rumah sakit. Itu karena Aliya tidak mau lepas dari Deva. Sementara aku, masalah berdebat lagi dengan pemuda beganjulan itu."Memangnya kenapa?" Aliya membalas tenang. "Kami sama-sama single," imbuhnya santai."Oh ... jadi sekarang kamu sudah ikhlas jika aku lepas?" Walau emosi, tetapi kuikuti permainannya. Tenang."Zen, sadar dong! Kamu baru saja ken