Share

2. Ibu Mertua yang Sinis

"Lagi ngapain kamu?"

Aku tercekat. Mata ini langsung terbuka. Begitu membalikkan badan, tampak Ibu Sita tengah menatapku tajam.

"E-e-eum ... saya--"

"Mau ngikutin jejak bibimu jadi maling?"

Hatiku tersayat mendengar tuduhan keji itu.

"Itulah kenapa saya tidak menginginkan punya menantu miskin seperti kamu!" tandasnya dalam.

Seperti ada sebuah belati yang menikam hati ini. Amat dalam sehingga terasa sangat menyakitkan. Aku tahu Ibu Sita tidak menyetujui perjodohan ini. Tetapi, dia tidak bisa seenaknya menuduhku.

"Karena biasanya orang miskin itu lancang." Makin sempurna Ibu Sita menghina.

Aku tarik napas dalam-dalam. Aku harus kuat. Inilah babak baru hidupku. 

"Maaf, saya bukannya lancang. Tapi, sungguh saya tidak tahu kamar yang Arzen di mana," ucapku pelan. Untuk kesopanan aku menunduk 

Terdengar Ibu Sita mendengkus. "Gak usah bohong gitu! Masa iya gak bisa membedakan mana kamar pengantin mana kamar biasa," tukas Ibu Sita tajam.

"Saya benar-benar tidak tahu, Bu. Maaf." Kali ini aku menunduk lebih dalam.

"Kalo maling ngaku penjara penuh," balas Ibu Sita meremehkan.

Ada yang teremas di dalam sana. "Saya memang berasal dari keluarga miskin, tetapi kedua orang tua saya selalu mengajarkan kebaikan. Salah satunya mengajarkan untuk tidak mendendam."

"Kamu mau ngomong apa?" Kali ini Ibu Sita melipat kedua tangannya di dada.

"Tolong jangan pernah samakan sikap Bibi Ira dengan saya. Kami berbeda," pintaku tenang. Ibu Sita sendiri menanggapinya dengan seringai miring, "perlu Ibu tahu, menjadi menantu Ibu bukanlah impian saya. Tetapi, saya masih punya hati untuk membebaskan seorang gadis. Kesediaan saya menikahi Arzen tidak lain dan tidak bukan demi menyelamatkan masa depan Arsy," paparku tenang. 

Ibu Sita sendiri tampak tercengang mendengar penuturanku. Dia terlihat gelagapan. Mungkin tidak menyangka jika aku mampu bicara.

"Mama? Mbak Naf?" Arsy masuk dengan tatapan heran padaku.

"Eum ... aku salah masuk kamar, Sy. Aku pikir ini kamarnya Mas Arzen," ujarku menjawab kernyitan pada dahi Arsy.

"Oh ... jadi belum tahu kamarnya Kak Arzen?" Mulut Arsy melongo lebar, "itu!" Dia menunjuk ruangan yang berseberangan dengan kamar ini.

"Aku lupa nanya ke Diaz tadi," jujurku kalem. Arsy manggut-manggut. "Wajahmu segar sekali, habis tidur?" tanyaku basa-basi. Aku melewati Ibu Sita untuk mendekati gadis itu.

"Ya." Arsy mengangguk cepat, "waktu di sel aku gak pernah bisa tidur. Banyak nyamuk dan tikus. Jadi sekarang aku mau balas dendam untuk sering tidur," jelas jujur.

Aku tersenyum, lalu melirik ke Ibu Sita. Wanita itu justru melengos.

"Makasih banyak sudah memaafkan kesalahanku ya, Mbak." Arsy berbicara sambil meraih tanganku. Lalu menggenggamnya kuat-kuat.

"Allah saja yang Maha kuasa sudi memaafkan hamba-Nya. Kenapa kita mahluk yang lemah justru sombong dengan tidak mau memberi maaf?"

Uhuk-uhuk!

Ibu Sita terbatuk-batuk. Entah sengaja atau memang tertampar mendengar penuturanku. Sengaja tadi aku tekankan kata sombong. 

Semoga dia sadar. Bahwa aku bukanlah benalu yang akan membuat keluarganya menderita. Justru di sinilah aku yang lebih menderita. Seketika menjadi sebatang kara karena ulah putrinya. 

Arsy mengantarku hingga depan pintu kamar Arzen. Gadis itu mengetuk-ngetuk pintu.

"Kak Arzeeen!" Dia memanggil. Namun, tidak ada sahutan. Gadis itu menarik handle pintu. Tidak ada sosok Arzen di dalam. "Mungkin Kak Arzen lagi mandi," sangka Arsy sambil mengangkat bahu, "yodah aku ke bawah buat nyari makanan ya."

Arsy menepuk pelan pundakku isyarat pamit. Gadis itu berlalu begitu mendapat anggukan kecil dariku. Mata ini menyapu sekeliling. Koperku ada bersandar pada dinding pojok ruangan.

Ruangan ini memang disulapnya layaknya kamar pengantin pada umumnya. Masih ada beberapa kelopak mawar di seprai putih. Sepertinya sudah dibersihkan oleh Arzen. Ada hiasan sepasang angsa yang membentuk tanda cinta dari kain. Lilin kecil yang dinyalakan menambah kesan temaram yang syahdu. Sementara bunga sedap malam di beberapa titik membuat ruangan ini terasa wangi.

CEKLEK!

Aku berpaling pada sumber suara. Tampak Arzen baru saja keluar dari kamar mandi. Lelaki itu hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian tubuh bawahnya. Pandangan kami berserobok untuk beberapa detik. Lalu sama-sama membuang muka.

Aku sendiri langsung balik badan. "Maaf," ucapku sambil menahan jengah. Sungguh tidak nyaman perasaan ini.

Arzen tidak menjawab. Namun, kurasakan dia mendekat. Ketika pantulan wajahnya berada di cermin, aku beringsut lagi. Posisi ini tetap membelakangi dia. 

Pintu lemari terdengar berderit. Pastinya Arzen tengah mengambil baju. Kami pun terdiam satu sama lain.

"Aku mau ke bawah. Kamu mandi aja sana!" 

Aku memutar badan. Ekspresi Arzen datar seperti biasa. "Baik," balasku kalem.

Arzen tidak menyahut lagi. Dia sudah cukup rapi dengan kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Tanpa bicara Arzen pun berlalu dengan tenang meninggalkan kamar. Aku mengatur napas pelan, lantas melangkah untuk mengambil baju di koper.

Sebuah baju terusan aku ambil. Kemudian gegas menuju kamar mandi untuk membersihkan badan. Tampilan kamar mandi yang cukup mewah tidak membuat lena. Aku mandi secukupnya.

Badan yang segar membuatku merasa kantuk. Tidak kuat menahan beratnya mata, aku berbaring. Mungkin karena karena terlalu lelah, tidak menunggu waktu lama aku pun terlelap. Terjaga begitu ada telapak tangan yang menepuk pipi. Sosok imut Arsy menyungging senyum.

"Ditunggu makan malam yuk, Mbak!" ajaknya hangat.

Aku tersenyum. Merasa bersyukur karena hanya Ibu Sita yang tidak begitu menyukaiku. Sementara Arzen ... walau pun dingin, setidaknya dia tidak terlalu menunjukkan kebencian. Entah nanti.

"Ayok, Mbak! Kok malah bengong?" Arsy menegur dengan senyum manis.

"Ayuk!" 

Aku pun bangkit. Kami berdua meninggalkan kamar. Ketika akan menuruni anak tangga, Arsy menuntutku. Bahagia merasuki kalbu mendapat perhatian darinya.

Di meja makan sudah ada Bapak Ari dan Ibu Sita yang duduk berdampingan. Tidak ada Arzen di depan mereka. Ke mana dia?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status