(Arzen)Hari yang paling kutakutkan tiba. Sejak tadi pagi perasaan ini dilanda sepi. Di saat rumah sudah mulai tampak oleh para tamu yang hadir serta ramainya ornamen khas pengantin, aku justru dilanda sepi.Papa dan Arsy terlihat begitu bahagia hari ini. Wajah keduanya semringah dan berbinar. Begitu juga Diaz dan kedua orang tuanya. Hanya Mama yang terlihat murung.Wanita itu memang tidak menyetujui perjodohan ini. Baginya Nafia tidak pantas bersanding denganku. Namun, demi melihat kebebasan Arsy, Mama tidak punya pilihan lain. Alasan yang sama denganku.Berkali-kali Papa memberi wejangan. Memberi semangat agar aku kuat menjalani. Serta menguatkan hati yang merapuh ini.Lalu gadis itu pun tiba. Aku sedikit dibuat pangling melihat penampilan Nafia. Gadis yang biasa natural tanpa riasan, kini menjelma menjadi wanita yang manis. Dia berdiri diapit oleh bibinya dan Ira.Dengan berbagai alasan Mama tidak bersedia membimbing gadis itu menuju pelaminan ini. Melihat cara jalannya hati ini di
Diaz mengatupkan rahang. Dia paham jika aku sudah menggunakan kata lo-gue, berarti aku sedang marah dan tidak ingin dibantah.Aku terdiam. Hingga sampai di rumah Aliya, Diaz masih mengunci mulut. Dia juga langsung masuk ke rumahnya yang berada tepat di samping rumah Aliya tanpa bicara padaku. Dan aku tidak peduli.Kaki ini melangkah menuju kediaman Aliya. Ibu Alya atau terperanjat melihat kehadiranku. Namun, wanita seusia Mama itu langsung melempar senyum manis untuk menyambut. Dia juga langsung memanggil Aliya ketika kutanyakan keberadaan gadis itu.Aliya keluar dari kamar dengan mata yang sembap. Aku yakin gadis itu habis menangis lama. "Kenapa datang ke sini? Bukankah ini malam pertamamu?" tegur Aliya dengan suara serak khas seorang yang habis menangis."Kamu menangisi pernikahanku dengan Nafia, Al?" Aku mengalihkan pertanyaan.Gadis itu terkekeh sumbang. "Jujur ... tadinya aku pikir, aku akan kuat memberikan ucapan selamat untukmu. Ternyata aku keliru." Aliya tersenyum getir. "Te
"Bangun!"Terdengar suara orang berbicara. Pelan. Kepala yang pusing membuatku mengabaikan."Naf."Suara itu terdengar lagi."Bangun, Naf!" Kali ini perintah itu disertai tepukan di pipi. Kupaksa mata berat ini untuk terbuka. Sosok Arzen sudah berdiri di hadapan. Matanya memincing. "Ngapain tidur di sini?" tanya Arzen datar. Seperti biasa.Aku mengedarkan pandangan. Astaga! Ternyata aku ketiduran di balkon. Langit yang pekat kini sudah sedikit terang. Sudah pagi rupanya."Jangan begini lagi! Orang yang gak tahu disangkanya aku suami dzolim." Arzen menitah pelan, setelah itu dia melangkah pergi.Aku bangkit duduk. Kepala yang berat membuat jalanku terseok. Tentu saja pusing karena aku baru bisa tidur menjelang pagi.Tertatih menapaki lantai yang terasa dingin, lalu mulai menuruni anak tangga. Bahkan anak tangga yang terbuat dari kayu pun tetap terasa dingin. Rumah tampak sepi. Di kamar Arzen pun tidak ada. Ke mana perginya? Cepat amat.Mata ini sedikit terbeliak melihat jam digital d
"Oh ... jadi begini kelakuan menantuku, jika ditinggal kerja suaminya?" Aku dan Diaz sontak berpaling ke arah pintu. Sosok Ibu Sita menatap kami tajam. Ada Arsy juga di belakangnya."Oh ... enggak, Bu Sita. Ibu salah paham." Diaz mengelak cepat. "Nafia meriang, saya hanya membantunya saja," terangnya sopan."Membantu sampai harus menyuapi dia segala?" tanya Ibu Sita sambil mengangkat dagunya padaku. "Dan kenapa kalian harus berada di kamar juga?" cecarnya tajam.Aku dan Diaz sama-sama tercekat."Nafia tidak berselera makan, Bu." Diaz membalas lagi dengan kalem dan hormat, "saya sedang berusaha membujuknya makan supaya bisa minum obat."Ibu Sita maju mendekati kami. Matanya menatapku dan Diaz secara bergantian."Kamu itu asistennya Arzen," tunjuk Ibu Sita memindai Diaz dengan tajam, "sangat tidak sopan jika kamu memanggil istrinya hanya dengan nama. Walau kalian berasal dari kasta yang sama," tuturnya dalam."Mama ngomong apa sih?" Arsy yang sedari tadi diam kini ikut bicara. Gadis itu
Kini ia menarik kursi di meja rias. Mengambil piring di nampan, lalu mulai menyodorkan sendok berisi makanan. "Aaak!" suruhnya sambil ikut mangap.Melihat tampang dinginnya, aku tidak berani membantah. Walau pun belum berselera makan, tetapi perut ini meminta jatahnya juga."Kamu yang udah ngompres aku?" Aku menebak ketika sudah mendapat dua suapan dari Arzen.Arzen menatapku sejenak. "Ya ... itu Diaz yang nyuruh," jujurnya datar."Makasih," ucapku tulus. Walau bukan dari inisiatif dia sendiri, setidaknya Arzen sudah ada sedikit rasa peduli terhadapku."Oke ... aku masih ada kerjaan yang harus diselesaikan. Kamu habisin sendiri makannya."Arzen menyerahkan piring itu padaku. Setelah itu dia berlalu. Kepergiannya membuat mulutku enggan mengunyah. Bahkan jika dipaksakan, aku bisa muntah.Yakin tidak ingin meneruskan makan, aku menaruh piring tersebut ke nampan. Badan ini sudah bertenaga sedikit. Perlahan kubawa nampan kayu ini ke dapur."Naf." Diaz menyapa. Dia tengah membuat dua cangki
"Pakai bajumu!" Arzen menyudahi kerokan ini.Aku menoleh. Lelaki itu bangkit dari ranjang. Sesaat mata kami bertemu pandang. Tampak jakunnya naik menatapku. Seolah tengah menelan sesuatu."Makasih udah mau ngerokin aku," ucapku tulus.Arzen membuang muka. "Cepat pakai bajumu!" Setelah menyuruh dia melangkah cepat meninggalkan kamar.Kukenakan kaos longgar ini. Lantas mataku tertuju pada minyak angin dan koin yang masih tergeletak di ranjang. Aku tersenyum.Semoga ini awal dari segala kebaikan.Kukembalikan dua buah benda tersebut ke wadahnya. Lalu duduk di ranjang lagi. Badan ini sudah lumayan ringan. Kubaca novel sambil menunggu Arzen masuk. Namun, sampai dua jam lamanya, lelaki itu tidak muncul juga. Akhirnya, kuputuskan terlelap tanpa menantinya.Sampai aku terjaga di waktu subuh, bantal Arzen masih kosong. Tidur di mana dia? Badan ini sudah lumayan bugar. Tanpa membuang waktu, aku bersuci. Lalu menggelar ibadah pagi.Usai melipat mukena, aku keluar kamar. Di bawah tangga berdiri D
Aku belum selesai mandinya," ujarnya mengusir.Aku sendiri mengangguk cepat. Malu juga karena sudah melihat tubuh Arzen. Aku bergerak cepat keluar. Begitu di luar, aku menghembus napas.Sudut bibirku berkedut. Inilah sisi lain dari Arzen. Kini aku berinisiatif memilihkan baju kerjanya.Ketika aku tengah memilah-milah kemeja, Arzen sudah selesai mandi. Badannya terbalut kaos dalam putih dan bokser."Aku pilihkan kemeja ini." Kutunjukan kemeja polos berwarna hitam.Arzen tidak menyahut. Dia hanya meraih kemeja itu dari tanganku. Memakainya tanpa suara. Begitu juga dengan celana jeans hitam yang kusodorkan."Aku sudah buatkan omelette buat sarapan kamu," ujarku saat Arzen sedang menyisir rambut.Arzen berhenti sejenak. "Bekelin aja. Ntar aku makan di kedai." Setelah menyambar ponselnya, dia beranjak.Aku mengikuti langkahnya. Arzen langsung menuju garasi. Aku sendiri tergesa mengambil sebuah kotak makan. Lalu mengisinya dengan telur dadar buatan.Kutarik kaki ini agar gegas menemui Arzen
Gemericik air. Arzen masih betah di kamar mandi. Padahal aku sendiri sudah amat risih. Ingin membersihkan diri juga. Lebih dari empat puluh menit lelaki itu di dalam. Bahkan seprai putih alas bercinta kami sudah selesai kuganti. Kupandang noda merah ini. Tiba-tiba mata ini merebak.Aku menyesal. Seharusnya aku tidak perlu secepat itu meminta hak. Harus sadar diri posisiku di hati Arzen. Sehingga tidak perlu merasa sakit hati ini.Derit pintu membuatku menoleh. Arzen keluar dengan rambut basahnya. Tanpa bicara dia mengambil hair dryer, lalu mulai mengeringkan rambut.Aku sendiri tertatih menuju kamar mandi. Sedikit mendesis menahan rasa sakit di inti tubuh ini. Usai membaca niat mandi besar, shower air menyiram tubuh. Air mataku membaur bersama air yang mengalir.Arzen sudah tertidur ketika aku selesai mandi. Seperti biasa posisinya miring membelakangi. Helaan napasnya terdengar pelan. Dadanya naik turun dengan teratur.Rambutku masih basah. Namun, tidak kukeringkan dengan hair dryer.