Share

Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik
Menantu Cerdik untuk Ipar-Ipar Licik
Author: Jasmina

Bisik-Bisik Tetangga

“Belanja apa tadi bu Sari, Mang?” tanya seorang wanita bertubuh tambun yang tinggal tepat di depan rumah ibu mertuaku.

Aku yang hendak menghampiri gerobak mang Dadang mengurungkan niat dan memilih bersembunyi.

“Oh, biasa. Sayur kol sama buncis bu Mita,” jawab mang Dadang, satu-satunya penjual sayur keliling di kampungku.

Bu Mita kulihat memiringkan bibirnya, “itu aja? Apa enggak bosen dia makan sayur itu mulu,”

“Bosenlah pasti, tapi gimana ya, enggak ada duit kali,” sambung ibu-ibu berlipstik merah di samping bu Mita. Lipstiknya bahkan lebih merah dari tomat yang sedang dia timang.

Aku mendengarkan saja gibahan mereka pada ibu mertuaku dari balik mobil yang terparkir, entah mobil siapa. Beruntung mang Dadang berhenti tepat di samping mobil ini.

“Haha, dunia memang cepat sekali berputarnya ya jeng Nanik. Dulu keluarga bu Sari itu termasuk berada, sekarang udah ngalahin pak Sapto yang buruh tani aja miskinnya,” cibir bu Mita seenak jidatnya.

Mereka pun terdengar cekikikan.

“Emang keadaan memprihatinkan mertuaku sekarang karena keinginan beliau sendiri? Ringan banget mulut ibu-ibu ini kalau gosip,” gerutuku dengan suara lirih sambil meremas kantong belanja yang kubawa dari rumah.

“Bener Bumit, dulu aja sombongnya selangit. Beli sayur di tempat mang Dadang aja enggak pernah ya, Mang?” timpal jeng Nanik sambil bibirnya dimiring-miringkan.

Tak hanya mendengarkan, aku juga sesekali mengintip ekspresi mereka ketika melontarkan kalimat-kalimat yang memekakkan telinga itu.

“Ah, beliau itu beli sayur di pasar buk ibuk. Belinya sekalian banyak buat seminggu. Lagian bu Sari itu ‘kan ngasih makan orang yang kerja di sawahnya, jadi harus masak subuh-subuh. Kalau nunggu saya lewat nanti keburu kelaperan yang kerja,” sahut mang Dadang.

Aku tersenyum mendengar mang Dadang membela mertuaku.

“Halah, mang Dadang ini terlalu baik. Bilang aja apa yang sebenarnya ada di hati mang Dadang,” ujar Bu Mita seraya menyenggol lengan mang Dadang.

Mata yang dihiasi bulu mata palsu itu berkedip-kedip seolah memancing mang Dadang untuk turut serta menceritakan mertuaku.

“Lah, emang dari hati saya kok jawaban tadi,” protes mang Dadang.

“Lagian buk ibuk, apa untungnya sih ngomongi bu Sari? Mending ibu-ibu ngomongi dagangan saya aja ni, apa yang kurang biar besok saya bawain,” ujar mang Dadang. Pria baik hati itu memukul-mukulkan handuk yang tadi berada di lehernya itu ke arah dagangannya.

“Byuh, mang Dadang ini enggak asyik,” balas jeng Nanik sambil bersungut-sungut.

“Iya nih, mang Dadang enggak bisa diajak bertukar informasi,” timpal bu Mita.

Dua wanita tersebut kembali memilih belanjaan dan aku masih betah bersembunyi.

“Kalau dipikir-pikir, kayaknya keadaan bu Sari sekarang ini balasan dari Tuhan deh,” ujar bu Nanik kembali melanjutkan topik yang sama, mertuaku.

“Emang kenapa, Jeng?” Tanpa menoleh, bu Mita bertanya sambil memilih sayuran yang enggak selesai-selesai dari awal mereka mencegat mang Dadang.

“Kok pake tanya sih Bumit? Ya jelaslah karena bu Sari itu dulunya sombong! Ngumpul sama kita sore-sore aja segen, betahnya di dalam rumah mulu. Kalau lagi arisan datangnya paling akhir, pulangnya paling awal,” jelas bu Nanik panjang lebar.

Aku mengelus dada dan beristigfar banyak-banyak mendengar ucapan mereka.

“Iya juga ya Jeng, karma sih menurut aku.” Bu Mita yang masih asyik memilih sayur menanggapi dengan antusias.

“Nikahan anaknya aja enggak mau tuh pesen kue-kuenya sama aku, malah mesen di tempat lain. Padahal ‘kan tetangga harusnya ngerti-ngerti dikitlah,” tambah bu Nanik.

Oh, nampaknya dendam masa lalu. Ya wajar mertuaku pesan kue di tempat lain, kue buatan bu Nanik saja susah payah lewat di tenggorokanku. Tapi entah kenapa ada saja yang membeli dagangannya. Dan ajaibnya tidak ada yang berani memberikan masukan terhadap rasa kue bu Nanik yang terlampau enak.

“Harusnya bantu-bantu tetangga ya, Jeng. Memang itu bu Sari enggak beres,” ucap bu Mita menimpali.

“Ya itu, sekarang kena karmanya dia. Hidupnya susah, gara-gara jahat sama tetangga. Beli lauk aja enggak bisa, sayur mulu makanannya. Makanya makin kurus saja dia,” ujar bu Nanik lagi sambil tertawa yang diamini oleh bu Mira.

Mang Dadang tidak bisa berkomentar dengan perkataan kedua pelanggannya itu. Ia hanya bisa menggelengkan kepala sambil mengelus dada.

Bruummm

“Astagfirullah!” pekikku kaget ketika mobil yang menjadi tempatku berlindung tiba-tiba saja menyala.

Haduh bagaimana ini, bisa ketahuan kalau lagi nguping. 

“Siapa itu?” tanya bu Nanik yang kuyakini mendengar pekikanku tadi.

Tanpa menunggu lama aku segera menampakkan diri.

Bu Nanik dan Bu Mita terkejut melihat keberadaanku.

“La .... Laras, ngapain kamu di situ?” tanya bu Nanik sambil menatapku dengan wajah kagetnya.

“Enggak ngapa-ngapain, kebetulan lewat aja pas mau belanja ke tempat mang Dadang,” jawabku disertai langkah kaki mantap menghampiri gerobak sayur mang Dadang.

“Kamu nguping, Ras?” tanya bu Mita menyelidik. Wajah sinisnya itu selalu hadir jika berhadapan denganku, suami, dan mertua. Entah ada dendam apa dia sama keluarga mertuaku.

“Ngapain nguping? Emang ibuk-ibuk sekalian ini lagi membicarakan sesuatu yang penting?” tanyaku sambil menatap kedua wanita rumpi itu.

Mereka saling tatap, seolah sedang menyampaikan sesuatu lewat siratan mata itu. 

“Atau ibu-ibu ini lagi ngomongin sesuatu yang sifatnya rahasia?”

“Oh atau bisa juga ibu-ibu lagi ngomongi saya, ‘kan? Makanya takut saya nguping,” sindirku sembari memilih sayuran segar. 

“Dih siapa yang takut, sama bocah kemaren sore model begini saja masa takut,” sahut bu Mita. Dagunya menantang ke arahku. 

Senyumku mengembang, “berarti bener ya lagi ngomongin aku?” tanyaku memancing ibu-ibu yang mulai gelisah itu.

Karena tidak mau menghabiskan tenaga untuk adu mulut dengan bu Nanik, dan bu Mira yang menjengkelkan itu, aku segera memalingkan wajah ke tumpukan sayur di atas gerobak mang Dadang lagi. 

“Ada ayam kampung, Mang?”

“Ada neng Laras, tapi cuma ada sekilo. Eneng mau?” Mang Dadang menyodorkan bungkusan berisi ayam kampung.

“Mau Mang, sama ayam potong sekilo juga kalau gitu. Terus beli daging ada Mang?” tanyaku lagi.

“Oh ada Neng. Mau berapa kilo?”

“Setengah kilo aja, buat makan malam. Ini mertua saya nyuruh beli ayam sama daging, bosen katanya makan sayur sop mulu. Maklum mang, mertua saya sibuk nabung buat umroh,” ujarku sambil melirik ke arah bu Nanik dan Mita. 

Padahal tidak ada yang bertanya, hehe. Tapi aku jelaskan saja, biar mereka itu tidak memandang rendah ibuku lagi. Ibu mertuaku yang baik hati itu supaya tidak jadi bulan-bulanan gosip tetangga lagi. 

“Masya Allah, rupanya bu Sari nabung buat umroh toh. Pantesan hemat banget. Saya doain semoga tabungannya cepat kekumpul ya Neng,”

“Iya Mang, udah ditegur jangan hemat-hemat. Makan yang enak juga sesekali, biar tubuh tua beliau bisa lebih sehat. Tapi tidak mau beliau, maunya nabung buat umroh. Ya sudah kita sebagai anak cuma bisa dukung saja,”

“Iya Neng, yang penting orangtua seneng aja,”

Aku mengangguk sambil tersenyum, “insya Allah ibu bapak seneng Mang. Berapa semuanya?”

Mang Dadang seperti biasa memejamkan mata saat menghitung jumlah harga belanjaan.

“RP. 185.000, Neng. Cash apa pakai kartu nih,”

“Cash Mang, gaya bener Mamang ini pake kartu segala,”

“Ya biar enggak kalah keren sama alfamaruk, hehe.” Mang Dadang menerima uangku kemudian memberi kembalian. “Tadi kenapa bu Sari enggak sekalian aja belanja ini?”

“Ibu lupa bawa uang, pas udah di rumah baru inget. Jadi saya yang disuruh, Mang,”

“Oh gitu, ini belanjaanya,” ucap mang Dadang sembari menyodorkan plastik kepadaku. “Makasih Neng, besok belanja di sini lagi, ya?”

“Insya Allah, Mang,”

Aku bergegas meninggalkan gerobak mang Dadang setelah dengan terpaksa berpamitan kepada dua wanita yang menatapku dengan sinis. Mereka tidak dapat berkata-kata setelah ditampar oleh fakta bahwa kami tidak “semiskin” itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status