Share

5. Bambang

Bambang menatap tak suka ke arah Risti.

“Udah, gak perlu marah, Bang, anggap aja latihan dari sekarang,” ucap Risti tanpa merasa bersalah.

“Saya lelah, Mbak, baiknya Mbak Risti dan Mbak Karin pulang saja, saya mau masuk lagi ke dalam,” Bambang berkata dengan malas.

Risti memperhatikan wajah Bambang yang terlihat lelah. “Oke, kami permisi,” sahut Risti berbalik badan begitu juga Karin. Langkahnya terhenti. “Bambang...” panggil Risti lagi sesaat Bambang memegang gagang pintu kamar perawatan Lala. Bambang menoleh ke arah Risti.

“Sebaiknya belajar memanggilku “sayang” dari sekarang,” ucap Risti masih dengan wajah datar, lalu berbalik kembali dan berjalan keluar rumah sakit, Karin yang menyaksikan hampir saja tertawa dengan keras, namun dia menahannya.

“Hah?” Bambang masih melongo dan bingung dengan yang barusan dikatakan Risti. Bambang tersenyum kecil, “Dasar orang kaya aneh,” gumamnya dalam hati. Lalu masuk ke dalam ruang perawatan kembali.

“Hahahaha... Parah lu, ah, ngerjain orang,” umpat Karin sambil tertawa saat di parkiran.

“Bambang itu terlalu polos, nanti dia panggil gue Mbak lagi, pas depan bokap gue, bisa ketauan, gawat.” ucap Risti sambil menyalakan mobil.

Karin mengangguk. Tak sabar rasanya memunggu besok, Risti dan Bambang pasti bakal seru.

Azan Subuh berkumandang, Lala sudah sadarkan diri, kondisinya cukup stabil, namun masih lemah, jadi dokter menyarankan agar hari ini Lala masih dirawat di rumah sakit. Seharian Bambang menunggui Lala di rumah sakit, Lulu dan Bude Yati serta beberapa tetangga lainnya juga ikut menjenguk.

“Bude, maaf, ini uang untuk makan Lulu selama saya menunggui Lala di rumah sakit,” Bambang memberikan tiga lembar uang lima puluh ribuan. Sisa satu lembar di dalam dompetnya kini, karena memang belum gajian, masih sepekan lagi.

“Ga usah, Bang, wanita yang menabrak Lala dan temannya sudah ke rumah kemarin memberikan Bude uang, mereka juga memberikan sembako sama bawain juga ayam ciken untuk Lulu, “cerita Bude Yati dengan antusias.

“Hah? Mbak Karin dan Mbk Risti ke rumah Bude?” Bambang tak percaya. Ah, sangat mudah bagi orang kaya mencari informasi apa pun. Bude mengangguk.

“Mas Bambang, Lala mau dong Ayam Ciken,” Lala bersuara lirih mendengar Ayam Ciken Lala jadi berselera.

“Iya, nanti mas belikan sekarang makan dulu buburnya, ini udah Zuhur, biar kamu cepat sehat dan pulang.”

“Ya udah, Bang, kami pamit dulu, ya. Oh, iya, ini pakaian gantinya udah Bude bawain, sini yang kotor biar bude cuci,” ucap Bude sambil memberikan kantong plastik hitam berisi baju Bambang.

Bude, Lulu, dan para tertangga akhirnya berpamitan.

081365******

Bang, kamu sudah siap? Saya jemput jam 5, ya.

Bambang menaikkan alisnya, “Dari mana dia tau nomor saya?” gumam Bambang.

Oke.

Lala nanti ditungguin oleh Karin, jadi ga usah khawatir.

Isi pesan W******p Risti.

Oke.

“Walah, ini bocah bener-bener ngeselin, masa ngetik panjang-panjang dijawab cuma oke,” gerutu Risti sambil menaikkan ujung bibirnya.

“Hahahha... Udah, sabar, namanya juga pacar brondong,” Karin tertawa geli melihat ekspresi Risti.

Karin tampak santai dengan kaus oblong dan celana jeans belel, Karin menjinjing ayam fried chicken kenamaan di tangannya lengkap dengan es krim dan buah. Sedangkan Risti hari ini nampak mempesona dengan dress selutut berwarna peach dengan model renda di dadanya, tak lupa kaca mata hitam dan rambut yang diikat tinggi. Wanginya semerbak sampai seisi rumah sakit yang dilewatinya menoleh.

“Ish... Ish... Sumpah gue eneg liat gaya lo, kayak artis ampe segitunya diliatin orang.” Karin memuji sekaligus meledek Risti.

Risti hanya tersenyum sumringah penuh kemenangan. “Sirik aja,” Risti mencebikkan bibirnya. Akhirnya mereka sampai di depan kamar Lala.

Tok... Tok...

“Permisi,” ucap Karin.

“Masuk,” jawab Bambang dan Lala bersamaan.

Bambang menoleh dan langsung terkagum dengan Risti yang hari ini sangat cantik. Bambang jadi salah tingkah.

“Hai, Lala, sudah sembuh belum?” sapa Karin memecah suasana. Lala mencium tangan Karin. “Saya Karin, panggil aja Kak Karin, maaf ya sudah menabrak Lala, Kaka ga sengaja,” ucap Karin tulus.

“Mmm... iya Kak,” jawab Lala sambil menunduk malu.

“Nih, Kakak bawain ayam fried chicken, makan, ya.” Karin menawarkan.

“Itu siapa?”  lanjut Lala bertanya menunjuk Risti dan Lala terpesona dengan wajah cantik Risti.

“Halo, Lala, saya Risti, panggil aja saya teteh Risti,” sambil tersenyum manis kepada Lala.

“Teteh Risti cantik, deh,” ucap Lala terpesona oleh Risti. Sedangnya Risti mengulum senyum penuh bangga. Karin memutar bola mata malasnya.

“Lala, Mas Bambang, dan teh Risti pergi dulu, ya, Lala sama kak Karin aja, gak lama kok,” ucap Karin.

“Hayooo... Mau pacaran, ya?” tebak Lala polos sambil tersenyum menggoda abangnya.

“Lala... Gak boleh gitu,” ucap Bambang merasa malu hati.

“Udah, ya, La, Teteh pergi dulu sama Mas Bambangnya Lala mau pacaran,” Risti tersenyum manis kepada Lala sambil merangkul lengan Bambang keluar dari pintu ruang perawatan Lala.

“Maaf, Mba, gak usah pegangan tangan gini, saya malu. Ini rumah sakit,” ucap Bambang merasa malu mencoba melepas rangkulan tangan Risti. Sambil terus mencoba mengatur dadanya yang bergemuruh, maklum seumur-umur belum pernah Bambang berjalan sambil dirangkul tangannya oleh wanita. Apalagi wanitanya seperti artis gini. “Mimpi apa aku semalam?” gumam Bambang.

Semua orang yang mereka lewati terkagum-kagum dengan kecantikan Risti. “Aduh, kepalaku jadi pusing gini,” Bambang menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Sayang, kamu kenapa? Sakit?” tanya Risti manja.

“Hah? Enggak, kok, “ jawab Bambang kaget sekaligus gemetar mendengar suara manja Risti. Sampai di dalam mobil, Bambang dan Risti duduk di kursi belakang.

“Bu, kita langsung ke rumah Bapak atau mampir dulu?” tanya Edward bodyguard sekaligus driver Risti.

“Kita mampir ke butik dulu, “ ucapnya serius.

Sepanjang perjalanan, baik Bambang  ataupun  Risti terdiam. Sampailah mereka di butik yang disebutkan Risti. “Ayo, Bang, masuk dulu,” ucap Risti mengajak Bambang masuk ke butik khusus lelaki itu.

“Sore, Bu Risti, bagaimana kabarnya?” sapa salah satu pelayan toko dengan ramah.

“Saya perlu baju resmi untuk pacar saya, pilihkan yang terbaru dan terbagus, soal harga gak masalah,” ucap Risti sambil melihat-lihat beberapa koleksi baju di etalase.

“Kenapa saya gak pakai baju ini saja, Mba,” ucap Bambang setengah menolak untuk dibelikan baju oleh Risti.

“Hust... Ih, kamu udah aku bilang panggilnya sayang, bukan Mbak,” ucap Risti sambil cemberut. “Udah, tenang aja cobain dulu aja.” ucap Risti.

Bambang mencoba satu persatu baju pilihan Risti, namun belum ada yang sesuai dengan keinginan Risti. Bambang hampir kesal dengan sikap Risti yang benar-benar mengatur. “Pilihan terakhir kalau gak cocok juga biar aku pake kaus butut punyaku,” gerutu Bambang di kamar pas. Bambang keluar kamar pas dengan kemeja motif siluet dipadu dengan celana jeans biru tua tak lupa sepatu hitam semi formal.

Risti tersenyum puas. “Nah, yang ini cocok banget kamu pake, Yang,” ucap Risti manja bercampur takjub, “Nih bocah bowe uga,” dalam hatinya. Para pelayan memperhatikan Risti dan Bambang sambil senyum-senyum. Risti membayar tagihan lalu menggandeng mesra tangan Bambang. Sambil menanti Edward menjemput mereka di lobi butik.

“Sayang, inget ya... panggil aku sayang, bukan Mba,” Risti mengedipkan matanya. “Kamu cukup jawab seperlunya, sisanya nanti biar aku yang bereskan,” lanjutnya lagi.

“Oke.” jawab Bambang masih menahan kejolak darah yang menderu karena diperlakukan begitu dekat oleh Risti.

Dari butik sampai ke rumah Ayah Risti hanya butuh waktu satu jam. Tepat pukul tujuh malam mereka sampai. Pintu gerbang terbuka. Rumah Risti sangat luas bernuansa gold sehingga menambah kesan mewah pada rumahnya, rumahnya juga dijaga oleh dua orang security. Risti memang tidak tinggal dengan ayahnya, dia membeli apartemen mewah yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kantor Risti. Mereka berjalan bergandengan. Sesekali Bambang mengelap peluhnya, Bambang benar-benar deg-degan seperti benar-benar akan bertemu calon mertua.

“Assalamualaikum, Ayah...” Risti memberi salam dan mencari-cari ayahnya.

“Waalaikumussalam, anak Ayah, sini masuk,” jawab Pak Hermawan menyambut Risti dengan pelukan hangat.

“Yah, kenalin, ini pacar Risti yang waktu itu Risti bilang. Namanya Bambang,” Risti memperkenalkan Bambang.

“Om... “ Bambang menyapa sambil tersenyum santun lalu mencium tangan Ayah Risti.

“Ayo, masuk Nak Bambang, kita langsung ke ruang makan aja, ya,” ajak Ayah Risti ramah.

Bambang dan Risti duduk bersebelahan di depannya Ayah Risti sedang mengamati Bambang. “Sayang... Kok bengong ,sih, ayo, dimakan.” ucap Risti masih dengan nada manja. Bambang tersenyum kepada Risti dan Ayahnya.

“Oh, ya, Nak Bambang kerja di mana?”

“Di percetakan, Om.”

“Mmmhh... Bagus itu.”

“Sudah buka cabang di mana saja?” tanya Ayah lagi.

“Mmmhh...”

“Ayah, Bambang itu baru saja merintis usaha, jadi mana mungkin langsung buka cabang,” ucap Risti memotong.

“Oh, begitu,” jawab Pak Hermawan sambil mengangguk-angguk.

“Enakkan, Sayang, makanannya?” tanya Risti sambil menatap mesra wajah Bambang.

“Enak, Yang,” jawab Bambang tercekat, merasa malu sendiri dengan apa yang barusan ia ucapkan.

“Ihh... Kamu makannya belepotan, nih, sini aku bersihkan dulu, malu tuh sama ayah,” Risti mengambil tisu dan mengelap mesra samping bibir Bambang. Pak Hermawan geleng-geleng kepala melihat tingkah pasangan muda mudi ini.

“Ngomong-ngomong kapan kalian akan menikah?” “Melihat kalian mesra begini, Om rasa sebaiknya jangan kelamaan.”

Huuk! huk! Bambang tersedak

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nikmah Ezaweny
gak bayang kalau udh se atap gimana dua sejoli ini ya......
goodnovel comment avatar
Winda Ajiwardhana
blaaiiissshh dikawinin kan jadinya.. wkwkwkk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status