Share

5. Bambang

last update Last Updated: 2023-02-07 11:11:21

Bambang menatap tak suka ke arah Risti.

“Udah, gak perlu marah, Bang, anggap aja latihan dari sekarang,” ucap Risti tanpa merasa bersalah.

“Saya lelah, Mbak, baiknya Mbak Risti dan Mbak Karin pulang saja, saya mau masuk lagi ke dalam,” Bambang berkata dengan malas.

Risti memperhatikan wajah Bambang yang terlihat lelah. “Oke, kami permisi,” sahut Risti berbalik badan begitu juga Karin. Langkahnya terhenti. “Bambang...” panggil Risti lagi sesaat Bambang memegang gagang pintu kamar perawatan Lala. Bambang menoleh ke arah Risti.

“Sebaiknya belajar memanggilku “sayang” dari sekarang,” ucap Risti masih dengan wajah datar, lalu berbalik kembali dan berjalan keluar rumah sakit, Karin yang menyaksikan hampir saja tertawa dengan keras, namun dia menahannya.

“Hah?” Bambang masih melongo dan bingung dengan yang barusan dikatakan Risti. Bambang tersenyum kecil, “Dasar orang kaya aneh,” gumamnya dalam hati. Lalu masuk ke dalam ruang perawatan kembali.

“Hahahaha... Parah lu, ah, ngerjain orang,” umpat Karin sambil tertawa saat di parkiran.

“Bambang itu terlalu polos, nanti dia panggil gue Mbak lagi, pas depan bokap gue, bisa ketauan, gawat.” ucap Risti sambil menyalakan mobil.

Karin mengangguk. Tak sabar rasanya memunggu besok, Risti dan Bambang pasti bakal seru.

Azan Subuh berkumandang, Lala sudah sadarkan diri, kondisinya cukup stabil, namun masih lemah, jadi dokter menyarankan agar hari ini Lala masih dirawat di rumah sakit. Seharian Bambang menunggui Lala di rumah sakit, Lulu dan Bude Yati serta beberapa tetangga lainnya juga ikut menjenguk.

“Bude, maaf, ini uang untuk makan Lulu selama saya menunggui Lala di rumah sakit,” Bambang memberikan tiga lembar uang lima puluh ribuan. Sisa satu lembar di dalam dompetnya kini, karena memang belum gajian, masih sepekan lagi.

“Ga usah, Bang, wanita yang menabrak Lala dan temannya sudah ke rumah kemarin memberikan Bude uang, mereka juga memberikan sembako sama bawain juga ayam ciken untuk Lulu, “cerita Bude Yati dengan antusias.

“Hah? Mbak Karin dan Mbk Risti ke rumah Bude?” Bambang tak percaya. Ah, sangat mudah bagi orang kaya mencari informasi apa pun. Bude mengangguk.

“Mas Bambang, Lala mau dong Ayam Ciken,” Lala bersuara lirih mendengar Ayam Ciken Lala jadi berselera.

“Iya, nanti mas belikan sekarang makan dulu buburnya, ini udah Zuhur, biar kamu cepat sehat dan pulang.”

“Ya udah, Bang, kami pamit dulu, ya. Oh, iya, ini pakaian gantinya udah Bude bawain, sini yang kotor biar bude cuci,” ucap Bude sambil memberikan kantong plastik hitam berisi baju Bambang.

Bude, Lulu, dan para tertangga akhirnya berpamitan.

081365******

Bang, kamu sudah siap? Saya jemput jam 5, ya.

Bambang menaikkan alisnya, “Dari mana dia tau nomor saya?” gumam Bambang.

Oke.

Lala nanti ditungguin oleh Karin, jadi ga usah khawatir.

Isi pesan W******p Risti.

Oke.

“Walah, ini bocah bener-bener ngeselin, masa ngetik panjang-panjang dijawab cuma oke,” gerutu Risti sambil menaikkan ujung bibirnya.

“Hahahha... Udah, sabar, namanya juga pacar brondong,” Karin tertawa geli melihat ekspresi Risti.

Karin tampak santai dengan kaus oblong dan celana jeans belel, Karin menjinjing ayam fried chicken kenamaan di tangannya lengkap dengan es krim dan buah. Sedangkan Risti hari ini nampak mempesona dengan dress selutut berwarna peach dengan model renda di dadanya, tak lupa kaca mata hitam dan rambut yang diikat tinggi. Wanginya semerbak sampai seisi rumah sakit yang dilewatinya menoleh.

“Ish... Ish... Sumpah gue eneg liat gaya lo, kayak artis ampe segitunya diliatin orang.” Karin memuji sekaligus meledek Risti.

Risti hanya tersenyum sumringah penuh kemenangan. “Sirik aja,” Risti mencebikkan bibirnya. Akhirnya mereka sampai di depan kamar Lala.

Tok... Tok...

“Permisi,” ucap Karin.

“Masuk,” jawab Bambang dan Lala bersamaan.

Bambang menoleh dan langsung terkagum dengan Risti yang hari ini sangat cantik. Bambang jadi salah tingkah.

“Hai, Lala, sudah sembuh belum?” sapa Karin memecah suasana. Lala mencium tangan Karin. “Saya Karin, panggil aja Kak Karin, maaf ya sudah menabrak Lala, Kaka ga sengaja,” ucap Karin tulus.

“Mmm... iya Kak,” jawab Lala sambil menunduk malu.

“Nih, Kakak bawain ayam fried chicken, makan, ya.” Karin menawarkan.

“Itu siapa?”  lanjut Lala bertanya menunjuk Risti dan Lala terpesona dengan wajah cantik Risti.

“Halo, Lala, saya Risti, panggil aja saya teteh Risti,” sambil tersenyum manis kepada Lala.

“Teteh Risti cantik, deh,” ucap Lala terpesona oleh Risti. Sedangnya Risti mengulum senyum penuh bangga. Karin memutar bola mata malasnya.

“Lala, Mas Bambang, dan teh Risti pergi dulu, ya, Lala sama kak Karin aja, gak lama kok,” ucap Karin.

“Hayooo... Mau pacaran, ya?” tebak Lala polos sambil tersenyum menggoda abangnya.

“Lala... Gak boleh gitu,” ucap Bambang merasa malu hati.

“Udah, ya, La, Teteh pergi dulu sama Mas Bambangnya Lala mau pacaran,” Risti tersenyum manis kepada Lala sambil merangkul lengan Bambang keluar dari pintu ruang perawatan Lala.

“Maaf, Mba, gak usah pegangan tangan gini, saya malu. Ini rumah sakit,” ucap Bambang merasa malu mencoba melepas rangkulan tangan Risti. Sambil terus mencoba mengatur dadanya yang bergemuruh, maklum seumur-umur belum pernah Bambang berjalan sambil dirangkul tangannya oleh wanita. Apalagi wanitanya seperti artis gini. “Mimpi apa aku semalam?” gumam Bambang.

Semua orang yang mereka lewati terkagum-kagum dengan kecantikan Risti. “Aduh, kepalaku jadi pusing gini,” Bambang menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Sayang, kamu kenapa? Sakit?” tanya Risti manja.

“Hah? Enggak, kok, “ jawab Bambang kaget sekaligus gemetar mendengar suara manja Risti. Sampai di dalam mobil, Bambang dan Risti duduk di kursi belakang.

“Bu, kita langsung ke rumah Bapak atau mampir dulu?” tanya Edward bodyguard sekaligus driver Risti.

“Kita mampir ke butik dulu, “ ucapnya serius.

Sepanjang perjalanan, baik Bambang  ataupun  Risti terdiam. Sampailah mereka di butik yang disebutkan Risti. “Ayo, Bang, masuk dulu,” ucap Risti mengajak Bambang masuk ke butik khusus lelaki itu.

“Sore, Bu Risti, bagaimana kabarnya?” sapa salah satu pelayan toko dengan ramah.

“Saya perlu baju resmi untuk pacar saya, pilihkan yang terbaru dan terbagus, soal harga gak masalah,” ucap Risti sambil melihat-lihat beberapa koleksi baju di etalase.

“Kenapa saya gak pakai baju ini saja, Mba,” ucap Bambang setengah menolak untuk dibelikan baju oleh Risti.

“Hust... Ih, kamu udah aku bilang panggilnya sayang, bukan Mbak,” ucap Risti sambil cemberut. “Udah, tenang aja cobain dulu aja.” ucap Risti.

Bambang mencoba satu persatu baju pilihan Risti, namun belum ada yang sesuai dengan keinginan Risti. Bambang hampir kesal dengan sikap Risti yang benar-benar mengatur. “Pilihan terakhir kalau gak cocok juga biar aku pake kaus butut punyaku,” gerutu Bambang di kamar pas. Bambang keluar kamar pas dengan kemeja motif siluet dipadu dengan celana jeans biru tua tak lupa sepatu hitam semi formal.

Risti tersenyum puas. “Nah, yang ini cocok banget kamu pake, Yang,” ucap Risti manja bercampur takjub, “Nih bocah bowe uga,” dalam hatinya. Para pelayan memperhatikan Risti dan Bambang sambil senyum-senyum. Risti membayar tagihan lalu menggandeng mesra tangan Bambang. Sambil menanti Edward menjemput mereka di lobi butik.

“Sayang, inget ya... panggil aku sayang, bukan Mba,” Risti mengedipkan matanya. “Kamu cukup jawab seperlunya, sisanya nanti biar aku yang bereskan,” lanjutnya lagi.

“Oke.” jawab Bambang masih menahan kejolak darah yang menderu karena diperlakukan begitu dekat oleh Risti.

Dari butik sampai ke rumah Ayah Risti hanya butuh waktu satu jam. Tepat pukul tujuh malam mereka sampai. Pintu gerbang terbuka. Rumah Risti sangat luas bernuansa gold sehingga menambah kesan mewah pada rumahnya, rumahnya juga dijaga oleh dua orang security. Risti memang tidak tinggal dengan ayahnya, dia membeli apartemen mewah yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kantor Risti. Mereka berjalan bergandengan. Sesekali Bambang mengelap peluhnya, Bambang benar-benar deg-degan seperti benar-benar akan bertemu calon mertua.

“Assalamualaikum, Ayah...” Risti memberi salam dan mencari-cari ayahnya.

“Waalaikumussalam, anak Ayah, sini masuk,” jawab Pak Hermawan menyambut Risti dengan pelukan hangat.

“Yah, kenalin, ini pacar Risti yang waktu itu Risti bilang. Namanya Bambang,” Risti memperkenalkan Bambang.

“Om... “ Bambang menyapa sambil tersenyum santun lalu mencium tangan Ayah Risti.

“Ayo, masuk Nak Bambang, kita langsung ke ruang makan aja, ya,” ajak Ayah Risti ramah.

Bambang dan Risti duduk bersebelahan di depannya Ayah Risti sedang mengamati Bambang. “Sayang... Kok bengong ,sih, ayo, dimakan.” ucap Risti masih dengan nada manja. Bambang tersenyum kepada Risti dan Ayahnya.

“Oh, ya, Nak Bambang kerja di mana?”

“Di percetakan, Om.”

“Mmmhh... Bagus itu.”

“Sudah buka cabang di mana saja?” tanya Ayah lagi.

“Mmmhh...”

“Ayah, Bambang itu baru saja merintis usaha, jadi mana mungkin langsung buka cabang,” ucap Risti memotong.

“Oh, begitu,” jawab Pak Hermawan sambil mengangguk-angguk.

“Enakkan, Sayang, makanannya?” tanya Risti sambil menatap mesra wajah Bambang.

“Enak, Yang,” jawab Bambang tercekat, merasa malu sendiri dengan apa yang barusan ia ucapkan.

“Ihh... Kamu makannya belepotan, nih, sini aku bersihkan dulu, malu tuh sama ayah,” Risti mengambil tisu dan mengelap mesra samping bibir Bambang. Pak Hermawan geleng-geleng kepala melihat tingkah pasangan muda mudi ini.

“Ngomong-ngomong kapan kalian akan menikah?” “Melihat kalian mesra begini, Om rasa sebaiknya jangan kelamaan.”

Huuk! huk! Bambang tersedak

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nikmah Ezaweny
gak bayang kalau udh se atap gimana dua sejoli ini ya......
goodnovel comment avatar
Winda Ajiwardhana
blaaiiissshh dikawinin kan jadinya.. wkwkwkk
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mencari Suami Bayaran   108. Akikah

    Pertemuan mengharu-biru antara si Mbok, Fani, dan Munos pun tidak terelakkan. Ditambah melihat cucunya tumbuh sehat, montok, dan tampan; Abi; cucu satu-satunya yang diurus Munos dan Fani dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bu Darsih tidak bisa menahan air mata kerinduan sekaligus haru. Bu Sundari pun sama terharunya dengan anak menantunya. Bagi Bu Sundari, ibu dari Tiyan adalah keluarga, bukan orang lain. Bu Sundari tidak akan pernah bisa membalas kebaikan almarhum Tiyan dan ibunya yang sudah mau menerima Fani dahulu apa adanya. "Mbah jangan nangis," kata Abi yang kini sudah di pangkuan Bu Darsih. "Mbah nangis bukan karena sedih, tapi karena senang ketemu Abi dan adik kembar. Duh, pipi Abi kayak bakpao coklat. Makannya apa, Nak?" Bu Darsih mencium gemas pipi cucunya. "Minum susunya kuat sekali, Mbak. Ya ampun, nyedot botol terus, padahal udah mau sekolah." Bu Sundari menjawab sambil tersenyum. "Pantas saja pipinya gembul. Perutnya juga ndut. Aduh, Mbah senang sekali lihat

  • Mencari Suami Bayaran   107. Si Mbok

    Bu Darsih sudah sampai di Stasiun Gambir pukul delapan pagi. Perjalanan dari Malang menuju Jakarta memang memakan waktu kurang lebih tiga belas jam dengan kereta api. Semalam Bu Darsih berangkat dari Stasiun Malang Kota Lama pukul tujuh malam. Dengan dibantu jasa dua porter, Bu Darsih menurunkan semua barang bawaannya sampai di pintu keluar. Masing-masing porter diberikan uang tujuh puluh lima ribu rupiah oleh wanita itu, sengaja ia lebihkan karena porter stasiun yang mengangkut barangnya mungkin seumuran suaminya. Tidak tega ia memberikan pas ataupun menawar dengan harga sangat rendah, karena ia teringat akan suaminya yang juga bekerja hanya sebagai buruh. "Bu." Gadis berwajah manis menepuk pundak Bu Darsih dengan riang. "Ya ampun, kamu bikin kaget Ibu saja. Udah lama nunggu?""Nggak, Bu, baru sepuluh menit. Ibu udah sarapan belum?" tanya Hesti. "Belum.""Sama, Hesti juga belum, emang sengaja nunggu Ibu, biar ditraktir." Gadis itu menggandeng tangan Bu Darsih, lalu membawanya ke

  • Mencari Suami Bayaran   106. Nikmatnya Mengurus Bayi

    "Mama tadi bilang, Fani harus cukup istirahat. Jika si Kembar tidur, maka Fani juga harus tidur. Gak usah pedulikan bayi tua yang suka iseng gangguin. Biarkan ia berpuasa selama empat puluh hari, itu juga kalau beruntung. Bisa saja jadi buntung, saat nifasnya kamu menjadi enam puluh hari, ha ha ha.... "Bu Sundari berbalik badan dengan cepat. Ia tergelak dan tidak sanggup melihat wajah Munos yang pastinya sangat kesal dengan ocehan tidak jelasnya. "Mama mau lihat Abi dulu di kamarnya!" Seru Bu Sundari setelah kedua kakinya berada di luar kamar. Setelah pintu kamar tertutup rapat. Munos menghampiri Fani yang tengah memangku Fathia yang sudah pulas. Wajah Fathia sangat mirip dengan Munos, begitu juga Ibrahim. Tidak ada sedikit pun mengambil wajahnya yang biasa-biasa saja. Wajah anak kembarnya sedikit ke timur tengahan, persis bapak mereka. Lelaki itu duduk di samping Fani sambil memperhatikan wajah Fathia yang terlelap. "MasyaAllah, anak Bapak Munos kenapa cakep semua?" pria itu me

  • Mencari Suami Bayaran   105. Masa Nifas

    Kabar Fani yang sudah melahirkan sampai juga ke telinga si Mbok di kampung. Wanita paruh baya; ibu dari Tiyan. Si Mbok mendapatkan kabar itu dari orang tua Fani yang masih berhubungan baik dengan ibunya Tiyan itu. Bukan main senangnya si Mbok mendengar kabar Fani melahirkan anak kembar. Si Mbok bahkan pergi ke pemakaman Tiyan untuk menceritakan kabar gembira ini di pusara putra satu-satunya. Ia mengatakan akan pergi ke Jakarta untuk menjenguk Fani dan bayi kembarnya. "Bu, sudah, jangan nangis terus. Ini sudah bertahun-tahun berlalu, Ibu masih saja menangis saat di pusara Tiyan. Kasihan Tiyan, Bu. Ikhlaskan ya." "Iya, Pak, saya hanya terharu saja." Wanita yang biasa dipanggil si Mbok oleh Fani dan Tiyan itu bernama asli Darsih. Semenjak Fani kembali ke Jakarta dan menikah dengan Munos, Bu Darsih tinggal sendiri di kampung. Ditemani keponakannya. Namun setahun lalu, Bu Darsih yang masih berusia empat puluh delapan tahun ini dijodohkan dengan seorang duda anak tiga, untuk menemani ha

  • Mencari Suami Bayaran   104. Si Kembar

    Fani merapikan mukenanya setelah selesai sholat isya, malam ini suaminya lembur kemudian ia mengambil ponsel, melihat pesan masuk, apakah ada dari suaminya? Ternyata Munos baru saja mengirim pesan bahwa Munos baru akan pulang dari kantor, dan menanyakan pada Fani, mau dibelikan apa untuk oleh-oleh saat pulang.[Mau bapak saja.][Hahahaha..awas ya, Buu]Fani terkekeh membaca balasan pesan suaminya. Kehamilan ketiga ini dirasanya sangat berbeda. Tanpa ngidam berlebihan dan mual muntah juga yang biasa saja. Hanya seluruh tubuhnya, seakan tak rela jika berjauhan lama dengan suaminya. Kalau kata reader mah, bucin. Aah..ntah dari mana dimulainya perasaan bahagia ini, yang jelas dikehamilan ketiga ini, Fani merasa dipenuhi cinta dari kedua mertuanya, dari orangtuanya,khususnya sang suami yang bersiap siaga kapan pun mengabulkan keinginan dirinya. Fani tengah menemani Abi bermain lempar tangkap bola. Usia Abi yang sudah memasuki enam belas bulan, dan kandungan Fani sudah menginjak empat bula

  • Mencari Suami Bayaran   103. Malam Itu

    Wanita itu menggelengkan kepala dengan air mata yang bercucuran dengan sangat deras. Saat melihat celah lalai lelaki di depannya, Fani bermaksud berlari turun dari ranjang, tetapi dengan cepat Munos mencekal tangan Fani dan menghempaskannya kembali ke atas ranjang.Secepat itu juga Munos menindih tubuh lemah Fani dengan tubuh besarnya. Wanita itu semakin kalang-kabut ketakutan. Terus saja ia memukul badan Munos dengan kedua tangannya. Ingin sekali ia menendang lelaki bajungan ini, tetapi tidak bisa karena kedua kakinya terkunci.“Aku sangat menginginkanmu, Risti. Ayo, kita membuat anak,” bisik Munos yang sudah mencium leher Fani dengan rakus.“Pak, saya Fani, bukan Risti, tolong jangan apa-apakan saya,” rintih Fani penuh permohonan, tetapi sayang. Munos sudah gelap mata dan dengan garangnya ia merobek pakaian Fani, hingga menyisakan bra saja dan rok. Dengan gemas Munos mulai mencicipi tubuh wanita yang kesadarannya hampir hilang.“Jangan, Pak. Jangan!” terjadilah hal menyedihkan di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status