Bambang menatap tak suka ke arah Risti.
“Udah, gak perlu marah, Bang, anggap aja latihan dari sekarang,” ucap Risti tanpa merasa bersalah.“Saya lelah, Mbak, baiknya Mbak Risti dan Mbak Karin pulang saja, saya mau masuk lagi ke dalam,” Bambang berkata dengan malas.Risti memperhatikan wajah Bambang yang terlihat lelah. “Oke, kami permisi,” sahut Risti berbalik badan begitu juga Karin. Langkahnya terhenti. “Bambang...” panggil Risti lagi sesaat Bambang memegang gagang pintu kamar perawatan Lala. Bambang menoleh ke arah Risti.“Sebaiknya belajar memanggilku “sayang” dari sekarang,” ucap Risti masih dengan wajah datar, lalu berbalik kembali dan berjalan keluar rumah sakit, Karin yang menyaksikan hampir saja tertawa dengan keras, namun dia menahannya.“Hah?” Bambang masih melongo dan bingung dengan yang barusan dikatakan Risti. Bambang tersenyum kecil, “Dasar orang kaya aneh,” gumamnya dalam hati. Lalu masuk ke dalam ruang perawatan kembali.“Hahahaha... Parah lu, ah, ngerjain orang,” umpat Karin sambil tertawa saat di parkiran.“Bambang itu terlalu polos, nanti dia panggil gue Mbak lagi, pas depan bokap gue, bisa ketauan, gawat.” ucap Risti sambil menyalakan mobil.Karin mengangguk. Tak sabar rasanya memunggu besok, Risti dan Bambang pasti bakal seru.Azan Subuh berkumandang, Lala sudah sadarkan diri, kondisinya cukup stabil, namun masih lemah, jadi dokter menyarankan agar hari ini Lala masih dirawat di rumah sakit. Seharian Bambang menunggui Lala di rumah sakit, Lulu dan Bude Yati serta beberapa tetangga lainnya juga ikut menjenguk.“Bude, maaf, ini uang untuk makan Lulu selama saya menunggui Lala di rumah sakit,” Bambang memberikan tiga lembar uang lima puluh ribuan. Sisa satu lembar di dalam dompetnya kini, karena memang belum gajian, masih sepekan lagi.“Ga usah, Bang, wanita yang menabrak Lala dan temannya sudah ke rumah kemarin memberikan Bude uang, mereka juga memberikan sembako sama bawain juga ayam ciken untuk Lulu, “cerita Bude Yati dengan antusias.“Hah? Mbak Karin dan Mbk Risti ke rumah Bude?” Bambang tak percaya. Ah, sangat mudah bagi orang kaya mencari informasi apa pun. Bude mengangguk.“Mas Bambang, Lala mau dong Ayam Ciken,” Lala bersuara lirih mendengar Ayam Ciken Lala jadi berselera.“Iya, nanti mas belikan sekarang makan dulu buburnya, ini udah Zuhur, biar kamu cepat sehat dan pulang.”“Ya udah, Bang, kami pamit dulu, ya. Oh, iya, ini pakaian gantinya udah Bude bawain, sini yang kotor biar bude cuci,” ucap Bude sambil memberikan kantong plastik hitam berisi baju Bambang.Bude, Lulu, dan para tertangga akhirnya berpamitan.081365******Bang, kamu sudah siap? Saya jemput jam 5, ya.Bambang menaikkan alisnya, “Dari mana dia tau nomor saya?” gumam Bambang.Oke.Lala nanti ditungguin oleh Karin, jadi ga usah khawatir.Isi pesan W******p Risti.Oke.“Walah, ini bocah bener-bener ngeselin, masa ngetik panjang-panjang dijawab cuma oke,” gerutu Risti sambil menaikkan ujung bibirnya.“Hahahha... Udah, sabar, namanya juga pacar brondong,” Karin tertawa geli melihat ekspresi Risti.Karin tampak santai dengan kaus oblong dan celana jeans belel, Karin menjinjing ayam fried chicken kenamaan di tangannya lengkap dengan es krim dan buah. Sedangkan Risti hari ini nampak mempesona dengan dress selutut berwarna peach dengan model renda di dadanya, tak lupa kaca mata hitam dan rambut yang diikat tinggi. Wanginya semerbak sampai seisi rumah sakit yang dilewatinya menoleh.“Ish... Ish... Sumpah gue eneg liat gaya lo, kayak artis ampe segitunya diliatin orang.” Karin memuji sekaligus meledek Risti.Risti hanya tersenyum sumringah penuh kemenangan. “Sirik aja,” Risti mencebikkan bibirnya. Akhirnya mereka sampai di depan kamar Lala.Tok... Tok...“Permisi,” ucap Karin.“Masuk,” jawab Bambang dan Lala bersamaan.Bambang menoleh dan langsung terkagum dengan Risti yang hari ini sangat cantik. Bambang jadi salah tingkah.“Hai, Lala, sudah sembuh belum?” sapa Karin memecah suasana. Lala mencium tangan Karin. “Saya Karin, panggil aja Kak Karin, maaf ya sudah menabrak Lala, Kaka ga sengaja,” ucap Karin tulus.“Mmm... iya Kak,” jawab Lala sambil menunduk malu.“Nih, Kakak bawain ayam fried chicken, makan, ya.” Karin menawarkan.“Itu siapa?” lanjut Lala bertanya menunjuk Risti dan Lala terpesona dengan wajah cantik Risti.“Halo, Lala, saya Risti, panggil aja saya teteh Risti,” sambil tersenyum manis kepada Lala.“Teteh Risti cantik, deh,” ucap Lala terpesona oleh Risti. Sedangnya Risti mengulum senyum penuh bangga. Karin memutar bola mata malasnya.“Lala, Mas Bambang, dan teh Risti pergi dulu, ya, Lala sama kak Karin aja, gak lama kok,” ucap Karin.“Hayooo... Mau pacaran, ya?” tebak Lala polos sambil tersenyum menggoda abangnya.“Lala... Gak boleh gitu,” ucap Bambang merasa malu hati.“Udah, ya, La, Teteh pergi dulu sama Mas Bambangnya Lala mau pacaran,” Risti tersenyum manis kepada Lala sambil merangkul lengan Bambang keluar dari pintu ruang perawatan Lala.“Maaf, Mba, gak usah pegangan tangan gini, saya malu. Ini rumah sakit,” ucap Bambang merasa malu mencoba melepas rangkulan tangan Risti. Sambil terus mencoba mengatur dadanya yang bergemuruh, maklum seumur-umur belum pernah Bambang berjalan sambil dirangkul tangannya oleh wanita. Apalagi wanitanya seperti artis gini. “Mimpi apa aku semalam?” gumam Bambang.Semua orang yang mereka lewati terkagum-kagum dengan kecantikan Risti. “Aduh, kepalaku jadi pusing gini,” Bambang menggeleng-gelengkan kepalanya.“Sayang, kamu kenapa? Sakit?” tanya Risti manja.“Hah? Enggak, kok, “ jawab Bambang kaget sekaligus gemetar mendengar suara manja Risti. Sampai di dalam mobil, Bambang dan Risti duduk di kursi belakang.“Bu, kita langsung ke rumah Bapak atau mampir dulu?” tanya Edward bodyguard sekaligus driver Risti.“Kita mampir ke butik dulu, “ ucapnya serius.Sepanjang perjalanan, baik Bambang ataupun Risti terdiam. Sampailah mereka di butik yang disebutkan Risti. “Ayo, Bang, masuk dulu,” ucap Risti mengajak Bambang masuk ke butik khusus lelaki itu.“Sore, Bu Risti, bagaimana kabarnya?” sapa salah satu pelayan toko dengan ramah.“Saya perlu baju resmi untuk pacar saya, pilihkan yang terbaru dan terbagus, soal harga gak masalah,” ucap Risti sambil melihat-lihat beberapa koleksi baju di etalase.“Kenapa saya gak pakai baju ini saja, Mba,” ucap Bambang setengah menolak untuk dibelikan baju oleh Risti.“Hust... Ih, kamu udah aku bilang panggilnya sayang, bukan Mbak,” ucap Risti sambil cemberut. “Udah, tenang aja cobain dulu aja.” ucap Risti.Bambang mencoba satu persatu baju pilihan Risti, namun belum ada yang sesuai dengan keinginan Risti. Bambang hampir kesal dengan sikap Risti yang benar-benar mengatur. “Pilihan terakhir kalau gak cocok juga biar aku pake kaus butut punyaku,” gerutu Bambang di kamar pas. Bambang keluar kamar pas dengan kemeja motif siluet dipadu dengan celana jeans biru tua tak lupa sepatu hitam semi formal.Risti tersenyum puas. “Nah, yang ini cocok banget kamu pake, Yang,” ucap Risti manja bercampur takjub, “Nih bocah bowe uga,” dalam hatinya. Para pelayan memperhatikan Risti dan Bambang sambil senyum-senyum. Risti membayar tagihan lalu menggandeng mesra tangan Bambang. Sambil menanti Edward menjemput mereka di lobi butik.“Sayang, inget ya... panggil aku sayang, bukan Mba,” Risti mengedipkan matanya. “Kamu cukup jawab seperlunya, sisanya nanti biar aku yang bereskan,” lanjutnya lagi.“Oke.” jawab Bambang masih menahan kejolak darah yang menderu karena diperlakukan begitu dekat oleh Risti.Dari butik sampai ke rumah Ayah Risti hanya butuh waktu satu jam. Tepat pukul tujuh malam mereka sampai. Pintu gerbang terbuka. Rumah Risti sangat luas bernuansa gold sehingga menambah kesan mewah pada rumahnya, rumahnya juga dijaga oleh dua orang security. Risti memang tidak tinggal dengan ayahnya, dia membeli apartemen mewah yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kantor Risti. Mereka berjalan bergandengan. Sesekali Bambang mengelap peluhnya, Bambang benar-benar deg-degan seperti benar-benar akan bertemu calon mertua.“Assalamualaikum, Ayah...” Risti memberi salam dan mencari-cari ayahnya.“Waalaikumussalam, anak Ayah, sini masuk,” jawab Pak Hermawan menyambut Risti dengan pelukan hangat.“Yah, kenalin, ini pacar Risti yang waktu itu Risti bilang. Namanya Bambang,” Risti memperkenalkan Bambang.“Om... “ Bambang menyapa sambil tersenyum santun lalu mencium tangan Ayah Risti.“Ayo, masuk Nak Bambang, kita langsung ke ruang makan aja, ya,” ajak Ayah Risti ramah.Bambang dan Risti duduk bersebelahan di depannya Ayah Risti sedang mengamati Bambang. “Sayang... Kok bengong ,sih, ayo, dimakan.” ucap Risti masih dengan nada manja. Bambang tersenyum kepada Risti dan Ayahnya.“Oh, ya, Nak Bambang kerja di mana?”“Di percetakan, Om.”“Mmmhh... Bagus itu.”“Sudah buka cabang di mana saja?” tanya Ayah lagi.“Mmmhh...”“Ayah, Bambang itu baru saja merintis usaha, jadi mana mungkin langsung buka cabang,” ucap Risti memotong.“Oh, begitu,” jawab Pak Hermawan sambil mengangguk-angguk.“Enakkan, Sayang, makanannya?” tanya Risti sambil menatap mesra wajah Bambang.“Enak, Yang,” jawab Bambang tercekat, merasa malu sendiri dengan apa yang barusan ia ucapkan.“Ihh... Kamu makannya belepotan, nih, sini aku bersihkan dulu, malu tuh sama ayah,” Risti mengambil tisu dan mengelap mesra samping bibir Bambang. Pak Hermawan geleng-geleng kepala melihat tingkah pasangan muda mudi ini. “Ngomong-ngomong kapan kalian akan menikah?” “Melihat kalian mesra begini, Om rasa sebaiknya jangan kelamaan.”Huuk! huk! Bambang tersedakAyah... Apaan, sih?” Risti kaget dengan ucapan Ayahnya.Bambang masih mencoba meredakan deru darahnya dan sesekali mengelap keringatnya. Bambang tak berani berkata apa pun. “Menikah”.“Kami kan belum lama kenal, yah, baru 3 bulan,” Risti beralasan.“Iya, tapi kamu sudah tidak ada waktu untuk bermain-main seperti ini, Sayang. Gimana, Nak Bambang?”“Ah... Saya... Saya... Belum ada rencana, Om,” Bambang menjawab spontan sambil menunduk tidak berani menatap wajah Ayah Risti.“Oh, begitu, jadi maksud kamu anak saya cuma buat mainan saja?” tanya Ayah dengan nada marah. “Kamu belum tahu siapa Hermawan Susatyo? Jangan macam-macam dengan anak saya, mengerti!” Ayah berkata dengan kesal.“Bukan, Om, bukan seperti itu maksud saya.”“Ayah, ayolah biarkan kami bicarakan ini nanti, “ bujuk Risti pada Ayahnya.“Sekarang Ayah tanya, apakah kamu mencintai dia?” tanya Ayah kepada Risti dengan tatapan serius. Risti menunduk. “Iya, aku mencintainya,” jawab Risti dengan nada lirih. Risti merasa bersalah s
Karin dan Risti berjalan keluar rumah sakit setelah berpamitan dengan Bambang dan Lala. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Kamar perawatan Lala yang berada di kelas VVIP membuat tamu yang datang berkunjung sedikit leluasa untuk datang dan pulang kapan pun. “Biar gue yang nyetir sini, lu kayaknya lelah banget,” Karin mengambil alih kemudi sambil masih memperhatikan wajah Risti yang lesu.“Cerita, dong, gimana tadi?” tanya Karin antusias.“Gue disuruh nikah secepatnya” Risti to the point.“Hah? Maksud lu nikah sama Bambang?” tanya Karin kaget.“Iyalah, masa sama kuda,” ucap Risti bete.“Kok bisa?” Karin masih belum mengerti.“Kayaknya gue tadi terlalu lebay sama Bambang pas di depan bokap gue, pegang tangan dia, nempelin dia terus, huft... Jadi aja bokap gue salah paham.” Risti menaikkan sebelah alisnya sambil mulutnya dicibirkan.“Apa? Hahaha,” Karin tertawa cekikikan di dalam mobil. “Ya ampun Risti, lu udah berapa lama sih ga disentuh lelaki sampe jadi agresif gitu? Wajar bokap l
Tok! tok!Edward masuk lalu tersenyum tipis sambil menggendong dua buah boneka beruang coklat besar, yang satu berpita pink dan satunya lagi pita kuning. Lala sumringah langsung berlari mendekati Edward. “Om, apa itu buat Lala?” tanya Lala antusias.“Betul sekali, kamu suka?” Edward tersenyum tulus.Lala mengangguk cepat. Edward memberikan boneka beruang besar itu, karena ukurannya hampir sama dengan ukuran badan Lala, sehingga Lala kesulitan membawa nya, Bambang membantu Lala memegang yang satunya lagi. Lala berbalik menatap Edward. “Terima kasih, Om,” ucap Lala.“Itu boneka pemberian Teteh Risti dan Kak Karin, ucapkan terima kasih nanti kepada mereka, ya,” ucap Edward sambil melirik ke arah Bambang. Bambang menaikkan alisnya. Tak heran kalau itu pasti pemberian Risti.“Maaf, Mas Bambang sekarang sudah bisa pulang ke rumah, biaya administrasi rumah sakit sudah saya bereskan, kalau sudah rapi biar saya antar,” ucap Edward tegas.“Eh, iya, saya sudah selesai, gapapa biar saya pulang
Risti dan Karin berjalan ke luar rumah Bambang menuju gang depan yang diikuti oleh Edward.“Gila lu, nekat banget tadi,” ujar Karin tidak habis pikir dengan tindakan Risti.“Gua gak suka aja ada cewek itu di sana, urusan gua dan Bambang belum selesai,” ucap Risti ketus.“Lo gak berencana bikin ulah lagi, kan, Ris?” tanya Karin sedikit khawatir dengan Risti. Karin sangat hapal dengan perangai Risti yang suka mengatur dan memaksakan kehendak.“Liat aja nanti, pokoknya Bambang gak bisa seenaknya mundur setelah dia ketemu bokap gue,” ucap Risti sambil tersenyum sinis, sambil menyalakan mesin mobil dan melaju menuju tempat pertemuan dengan Pak Darma.“Ris, tapikan kemaren lu yang bilang sendiri cuma sekali minta tolong dia,” Karin mencoba memberi pengertian kepada Risti. “Iya, kalau cuma sehari itu selesai, sih, gua gapapa. Lha, ini bokap gua nyuruh nikah. Gua gak mau bokap gua ampe kena serangan jantung kalau tahu gua bohingin dia, bisa-bisa gua disuruh kawin besok sama Munos. Oh, tidak.
Risti melempar pakaian Bambang ke lantai dengan tatapan garang. Bambang memunguti pakaiannya dengan cepat lalu berlari menuju pintu keluar. “Maafin saya, Mbak, maafin.” Bambang menatap memelas kepada Risti, dia sendiri tidak memahami bagaimana bisa dia tidur bersama wanita itu.“Pergi!” bentak Risti lagi. Bambang memakai pakaian sembarangan sambil mencari tas kecil yang dia bawa semalam, ternyata berada di sofa. Saat mendekati pintu. Aarrggh... Bambang tidak tahu cara membuka pintu itu. Dengan wajah pucat penuh peluh, Bambang mendekati kamar Risti yang dibatasi tirai. “Mbak, maaf, mmh... saya, itu... tak bisa buka pintunya,” dengan nada polosnya.Risti dengan wajah memerah kesal bangun dari kasur menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Berjalan melewati Bambang yang masih terpaku dengan bahu mulus Risti. Dia susah menelan salivanya, sambil memegang dadanya yang berdegub kencang. Belum sampai pintu, Risti berbalik badan, sadar bahwa Bambang memperhatikannya. “Kau... apa belum puas den
"Assalamualaikum, Ayah,” Risti mengucapkan salam sambil mencari keberadaan ayahnya. Bambang berjalan lemas mengekorinya di belakang dengan wajah kaku ditekuk. Ia tidak punya pilihan lain.“Waalaikumsalam, calon pengantin Ayah.” Pria dewasa itu memeluk Risti dengan hangat sambil memperhatikan Bambang yang terpaku di belakang Risti. Sadar diperhatikan, Bambang lalu dengan cepat mengajak calon mertuanya itu bersalaman sambil tersenyum. “Ayo, duduk,” Ayah mempersilakan. “Bi... buatkan minum untuk anak dan calon menantu saya,” titah Pak Hermawan kepada pembantu rumah tangganya. Lagi-lagi Bambang mengusap peluh yang bercucuran. “Bagaimana kabarnya, Nak Bambang?” “Eh, iya, Om. Alhamdulillah, sehat,” jawabnya kikuk sambil menyunggingkan senyum tipis yang dipaksakan. “Om, bagaimana kabarnya?” Bambang berbasa basi.“Wah, saya sehat sekali, apalagi dengar kabar kalian sudah menentukan tanggal,” jawab Pak Hermawan sumringah. “Ayo, diminum, Nak.”“Terima kasih, Om.”“Eh, eh, jangan panggil Om
Pagi, 5 April 2019Harusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi Bambang, namun yang terjadi sepanjang malam tadi, dia tak dapat memejamkan mata. Di rumahnya, Bude Yati merasa sangat senang bersama beberapa tetangga, sudah bersiap mengecek semua seserahan yang akan dibawa, tak kalah semangat, Pak RT menyewa lima angkot untuk mengangkut pengantin dan para tetangga.Lala dan Lulu tidak kalah bahagia, Mas kesayangan mereka akan segera menikah dengan wanita yang sangat cantik. Semua tampak bahagia kecuali Bambang. Dia mematut diri di depan cermin melihat tampilannya mengenakan kemeja putih dan setelan jas keren yang telah disiapkan Risti.Risti sudah bersiap di rumahnya, ditemani para om dan tante, serta para sepupunya. Ada beberapa orang tetangga juga yang hadir di sana. Ia memandang dirinya di depan cermin. “Perfect,” gumamnya memuji kecantikannya.“Karin, akhirnya kejombloan gue lulus juga,” kekeh Risti sambil tersenyum bahagia menggoda Karin yang saat itu menemaninya dalam kamar pen
Tepat pukul 18.30, pasangan pengantin baru, yaitu Bambang dan Risti masuk ke ruangan resepsi yang sudah di dekorasi sedemikian bagus dan cantik. Bunga-bunga hidup menghiasi setiap sisi ruangan ditambah lampu hias dan kue tart pernikahan yang sangat cantik. Benar-benar sempurna, seperti pesta pernikahan impian wanita itu.Para tamu mulai memadati ruangan, antre bersalaman dengan kedua mempelai. Banyak yang memuji kedua pengantin. Pengantin wanita sangat cantik dan memesona dengan pakaian pengantin warna biru laut serta kilauan mutiara menghiasi baju tersebut, sedangkan pengantin lelaki terlihat gagah dan menggoda. Ya, Bambang terlihat berbeda saat acara resepsi, tuxedo biru dongker dan sepatu yang pas ia kenakan serta senyumannya selalu terurai saat bersalaman dengan para tamu, sesekali Risti memandangi wajah suaminya kini. “Handsome,” bisiknya memuji.“Wah, selamat ya. Mas,” ucap lelaki tampan; tamu undangan itu bersalaman dan mengucapkan selamat kepada Bambang sambil tersenyum. “I