LOGINSetelah pertemuannya dengan Hamish yang berakhir dengan keputusan pria itu membelinya, Kalea dijemput oleh dua pelayan yang ditugaskan untuk membawanya.
“Namamu Kalea, kan? Aku Diana,” ucap salah satu pelayan dengan suara lembut, usai Kalea mengganti pakaiannya dengan seragam pelayan.
“Dan aku May. Senang bertemu denganmu,” sambung pelayan satunya yang tampak lebih ceria dan bersemangat.
Kalea hanya mengangguk kecil, lalu menunduk dalam diam.
Diana dan May pun membawa Kalea untuk melihat-lihat dapur dan sekeliling rumah besar milik Hamish itu. Langkah mereka menyusuri lorong-lorong megah, melewati perabotan mahal, juga lukisan-lukisan antik yang membuat Kalea semakin merasa asing.
Hingga akhirnya, di tengah tur, May memberanikan diri bertanya, “Kalau boleh tahu… bagaimana bisa kamu sampai di sini, Kalea?”
Pertanyaan itu membuat langkah Kalea terhenti sejenak. Kedua tangannya meremas ujung pakaian yang dikenakan. Dia tampak ragu—malu, tetapi akhirnya dengan suara lirih menjawab, “Tuan Hamish membeliku dari ayahku.”
May dan Diana saling berpandangan terkejut. Lalu, May berkata, “Beli? Bagaimana bisa?!”
Tapi, Diana dengan cepat menepuk pundaknya pelan, memperingatkan untuk tidak terlalu jauh bertanya dan membuat Kalea tidak nyaman. Kemudian, dia buru-buru mendekat dan menggenggam tangan Kalea.
“Kalau kamu tidak bersedia cerita juga tidak apa-apa, Kalea. Jangan paksakan diri.”
Merasakan kelembutan Diana, Kalea merasa sedikit tenang. Lalu, dia menunduk lebih dalam seraya mulai bercerita, “Aku ....”
May dan Diana terdiam selagi mendengarkan Kalea bercerita tentang segala hal yang dialaminya. Mulai dari tentang ayahnya yang tenggelam dalam utang, tentang jeratan judi, dan bagaimana akhirnya dirinya dijadikan tumbal.
Usai Kalea bercerita singkat, Diana terperangah, wajahnya memerah karena ikut murka mendengar bagaimana gadis itu diperlakukan oleh Dion. “Ayahmu bukan manusia, Kalea.”
“Iya. Dia tak pantas jadi ayah! Manusia durjana!” May ikut menyahut. Kesal.
Air mata yang sempat mereda kembali jatuh di pipi Kalea. Namun kali ini, dia menghapusnya cepat.
Melihat hal itu, Diana menggenggam tangannya lebih erat, sementara May menepuk punggungnya perlahan.
“Sudah, jangan takut lagi,” ucap Diana menenangkan.
“Benar,” tambah May tegas. “Mulai sekarang, kamu aman di sini. Tidak akan ada yang berani macam-macam padamu di rumah Tuan Hamish.”
Kalea menatap kedua pelayan itu dengan mata berkaca-kaca. Ada sedikit kelegaan yang perlahan tumbuh di dadanya. Untuk pertama kali setelah malam kelam itu, dia mendengar kata-kata yang membuatnya merasa sedikit lebih… terlindungi.
“Mungkin di sini lebih baik. Setidaknya kamu tak akan jadi samsak hidup ayahmu lagi. Kamu juga tak akan kelaparan dan tak terus-terusan dijajakan seperti barang dagangan. Tapi, peraturan di sini, jangan sekali-kali buat Tuan Hamish tak senang, menyinggung, apalagi bikin marah. Kamu bisa langsung ditendang keluar dari sini. Tuan juga bukan orang yang mudah berbelas kasih.” May berkata.
“Betul. Tapi tak disangka Tuan kita mau membelimu tanpa menjadikanmu wanitanya. Terus malah ditempatkan di dapur. Apa jangan-jangan kamu akan dijadikan tenaga gratis di sini? Tak akan dibayar lagi karena kamu sudah dibeli di muka?”
Mereka saling tatap dan May mendadak memasang tampang iba pada Kalea. Gadis itu akan menghabiskan waktu entah sampai kapan dengan hanya berkutat di dapur. Sangat disayangkan apalagi setelah tahu Kalea ternyata siswa berprestasi selama sekolah.
“Kasian kamu. Padahal masa depanmu masih sangat panjang, Kalea.”
Diana mengangguk, lalu mulai menilik gadis itu dari mulai kepala sampai kaki.
“Kalea… mungkin ini kedengarannya salah, tapi jujur saja, kamu cantik, tubuhmu bagus. Kalau kamu tidak keberatan, kenapa kamu tidak coba peruntungan dengan menjadi wanita Tuan Hamish?” ucap Diana.
“Tuan royal pada wanita-wanitanya asal mereka pandai memuaskan dan menyenangkan hatinya. Contohnya, Nona Gwen. Sekarang dia sudah punya bisnis sendiri. Kaya raya. Disokong oleh Tuan. Dia pintar memanfaatkan peluang selama menjadi kesayangan Tuan.”
“Nah, betul!” May menyahut.
“Andai kamu bisa ambil hatinya, lebih baik kamu minta Tuan untuk menyekolahkan kamu yang tinggi. Minta Tuan dukung pendidikan kamu dan raih cita-cita supaya kamu punya bekal ketika misal ke depannya Tuan sudah bosan padamu. Jadikan saja Tuan batu loncatan buat masa depan yang lebih baik dan lepas dari bayang-bayang ayahmu yang jahat.”
Kalea terdiam. Otaknya berpikir keras. Ucapan May dan Diana begitu meresap dalam kalbunya.
“Apa itu berarti … aku harus mulai belajar untuk bisa memikat Tuan Hamish?”
***
“Apa kita tak berpamitan dulu pada Pak Elias?” tanya Kalea. Ia menonton Hamish yang sedang menutup koper kecilnya di ambang pintu flatnya.“Buat apa? Tak perlu!” jawab Hamish pendek.“Dan aku tak ingin kamu berkomunikasi dengan pria tua itu! Kalau dia menghubungimu, bilang padaku! Aku harus tahu apa saja yang dia bicarakan denganmu. Jangan meladeninya! Dan jangan pernah mau diajak bertemu lagi. Kamu hanya boleh menemuinya jika bersamaku!”Kalea mengerjap, tetapi tak ada pilihan selain mengangguk.“Pria tua bangka itu malah mau jadi duda, lagi! Sialan!” Hamish mengerutu. Kesal dengan status yang akan disandang ayahnya. Tak dipungkiri jika dalam dadanya tersimpan was-was ayahnya akan menggatal pada Kalea.Tentu saja kekhawatirannya itu bukan tanpa alasan, pengalaman di masa lalu sudah memberikannya trauma mendalam.“Kamu yakin akan membiarkan dua temanmu itu ikut mengantar sampai ke bandara?” Hamish berbisik pada Kalea, lalu melirik ke belakang, ke dalam ruangan flat. Di sana, Ginna dan
Hamish mondar-mandir gelisah di depan kamar mandi. Kalea lama sekali di dalam sana. Membuatnya benar-benar khawatir.Ia tak bisa masuk untuk melihat keadaan gadis itu karena pintu terkunci dari dalam.“Lea, lagi apa? Kamu kalau kesulitan tak apa minta tolong padaku. Aku mau bantu.” Hamish mengetuk lagi pintu kamar mandi.“Kamu sedang sakit, Lea. Kamu jangan malu.” Pria itu tak putus asa. Sesekali menempelkan telinganya ke daun pintu.“Aku janji akan menutup mataku. Aku bukan pria mesum, Lea. Aku hanya mencemaskanmu.”Di dalam, Kalea memang kesulitan. Mengandalkan satu tangan dan tangannya pun tersambung ke selang infus. Ia harus dengan sabar melakukan segalanya pelan-pelan dan bergantian.Saat gadis itu menyelesaikan urusannya, ia keluar dengan bagian depan piyama yang basah dan selang infus yang berdarah karena terlalu banyak bergerak.Hamish menghela napas melihat Kalea. Tetapi tak banyak bicara.Pria itu hanya memeluknya dan mengatakan semua akan baik-baik saja.“Aku sudah menyuruh
Langit seakan langsung mendung kelabu saat dokter menyatakan bahwa tangan Kalea memerlukan pemulihan hingga satu sampai dua bulan untuk kembali ke kondisi semula. Ada bagian syaraf yang terkena ujung pisau yang membuat fleksibilitas jari-jari Kalea terganggu. Dan itu artinya, Kalea tak bisa menggambar hingga selama itu.“Bagaimana project tugas akhir saya?” Kalea menatap hampa ujung ranjang pasiennya. Padahal ia tengah semangat-semangatnya.Ia juga sudah merencanakan banyak hal termasuk menyelesaikan kuliah di tenggat waktu yang sudah dirancang sedemikian rupa dari jauh hari. Ia bahkan sudah membayangkan hari wisudanya.Dengan tangan seperti ini, bagaimana ia mengerjakan semua tugasnya dengan baik dan tepat waktu? Bisa-bisa ia tak bisa lulus tahun ini bersama Ginna dan Brady.“Masih ada waktu sedikit lagi sampai tenggat akhir biar bisa ikut wisuda tahun ini. Kalau pun memang tak bisa, tak apa, Lea. Kamu masih bisa ikut wisuda tahun depan. Tak perlu terburu-buru. Yang terpenting tangan
Mendengar pertanyaan Kalea, Hamish hanya mendengkus, lalu mencubit pipi gadis itu.“Aku lupa kalau kau juga perempuan. Perempuan senang sekali validasi, kan?” ucapnya, lalu menyimpan mangkuk di tangannya ke nakas.Ia menatap lekat Kalea. Keduanya pun bertatapan.“Kamu ingin tahu?” tanyanya, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu hingga hampir tak berjarak.Kalea sontak memundurkan kepalanya, tetapi dengan cepat tengkuknya ditahan oleh tangan Hamish.“Ya. Aku cemburu!” bisik pria itu dengan suara parau.“Cemburu sampai rasanya ingin kupatahkan tangan siapa saja yang berani mengusikmu. Cemburu hingga rasanya ingin kumusnahkan siapa saja yang berani menggodamu.”Kalea meremang. Matanya memejam dengan tubuh menegang. Embusan hangat napas Hamish membelai kulitnya dan ia bisa merasakan bibir lembut pria itu menyentuh ujung hidungnya.“Kamu … milikku. Hanya milikku,” bisiknya lagi dan perlahan bibirnya turun, mengecup ringan bibir Kalea yang mengatup erat.Hamish tersenyum, lalu mengec
Elias panik. Ia tahu betul tempramen anaknya. Memang, sebelas dua belas dengannya.Putranya yang pemarah itu tak ada bedanya dengan dirinya ketika muda. Mudah meledak dan tak segan melakukan apa pun untuk mencapai sesuatu.Dan ia yakin Hamish akan lebih parah lagi karena didorong rasa sakit dan dendam yang dipendam sejak lama.“Tidak, Hamish! Hentikan!” Elias segera mendekat dan mencekal lengan putranya. Ia pun menoleh pada Jordi, meminta pria itu untuk mencegah Hamish melakukan hal gila.Akan tetapi, Jordi hanya bisa menggeleng lemah. Suatu kemustahilan baginya meredam amarah Hamish jika sudah seperti itu. Yang ada, ia akan menjadi bagian dari kegilaan atasannya tersebut.“Jangan ikut campur! Perempuan itu sudah terlalu banyak berulah!” sergah Hamish.“Tidak! Tolong jangan main hakim sendiri! Ini urusanku. Bagimanapun dia masih istri sahku!”Hamish menoleh perlahan. Menatap Elias dengan api kebencian yang menyala.“Jika kau dan istrimu itu tak ingin kusentuh, tak bisakah kalian biark
“Sabar dulu. Dengarkan dulu! Tak bisakah kamu atur sedikit emosimu yang meledak-ledak itu?” Elias berkata dengan tenang. Berusaha mendinginkan situasi.“Tidak! Aku tak bisa sabar jika itu menyangkut denganmu! Aku tak bisa menahan emosi jika itu ada sangkut pautnya denganmu!” balas Hamish dengan tajam.“Sekarang katakan! Kenapa Kalea sampai terluka? Kau apakan dia, hah?” Hamish benar-benar tak terkendali setiap bertatap muka dengan Elias. Dipaksa untuk tak emosi pun sangat sulit.Amarah yang sudah terlanjur tertimbun begitu lama membuatnya selalu ingin menyerang tiap kali melihat ayahnya dari dekat.“Tuan, tenang dulu. Lebih baik Anda lihat keadaan Nona Kalea dulu.” Jordi berusaha menengahi.Ia tak ingin ada pertumpahan darah lebih awal di rumah sakit.Hamish tersentak. Ia baru saja melupakan Kalea. Padahal ia begitu mencemaskannya dari sejak di perjalanan hingga sesak napas.Pria itu pun mendekati ranjang pasien dan Elias dengan cepat menyingkir. Tak ingin pergesekan mereka semakin me







