“Seratus juta! Saya lepas seratus juta!” seru seorang pria paruh baya lantang, menyebut harga untuk Kalea—putrinya yang kini menggigil ketakutan di belakang punggungnya.
Dion sudah gelap mata. Tumpukan utang akibat keranjingan judi online semakin mencekik. Semua jalan sudah buntu. Dia tak lagi tahu harus bagaimana menyelesaikan jeratan setan itu.
Segala yang dimilikinya telah habis. Rumah tergadai, harta benda ludes, pekerjaan pun hilang. Satu-satunya cara yang terlintas di pikirannya hanyalah mengorbankan Kalea. Putrinya sendiri.
“Bagaimana, Bos?”
Seorang pengawal berbadan besar yang berdiri di depan Dion menoleh pada tuannya. Dia sedikit membungkuk penuh hormat pada pria jangkung yang duduk bersilang kaki di kursi bersandaran tinggi.
Pria bertampang dingin itu tak segera menjawab. Matanya yang tajam melirik Kalea, yang terus berusaha menyembunyikan diri di balik tubuh ayahnya.
“Apa kelebihan putrimu, sampai berani-beraninya kamu datang padaku?” tanyanya dengan suara rendah namun menekan.
“Putri saya cantik, Tuan. Sangat cantik! Dan saya jamin seratus persen, Kalea masih segelan. Dia belum pernah disentuh lelaki mana pun. Masih suci. Pacaran saja belum pernah. Bonusnya, dia masih segar, masih muda, baru saja lulus SMA tahun ini. Dia pasti bisa memuaskan Anda.” Dion buru-buru menjelaskan, lalu menarik Kalea dan mendorongnya ke hadapan pria itu.
Dion tak ingin kesempatan ini hilang. Dia sudah bersusah payah menggunakan berbagai cara agar bisa bertemu langsung dengan pengusaha muda kaya raya bernama Hamish ini.
Baginya, tak ada orang yang lebih cocok untuk membeli Kalea selain Hamish. Bukan hanya karena uangnya tak berseri, tapi juga karena kegemarannya mengoleksi perempuan sudah terdengar ke mana-mana.
Kabar yang beredar, Hamish memiliki kediaman khusus berisi wanita-wanita simpanannya. Dion ingin Kalea menjadi salah satunya, agar kelak putrinya itu bisa berguna sebagai mesin uang.
“Aku tak yakin….” Hamish bersedekap, menilai Kalea. Gadis itu gemetar dengan pakaian sangat terbuka. Crop top tanpa lengan dan celana super mini, mengekspos kulit putih bersihnya.
Riasannya begitu mencolok. Bibirnya dilapisi lipstik merah terang, bedak tebal menutupi wajahnya, ditambah pemerah pipi yang tampak seperti bekas tamparan.
Hamish mendengkus. Senyum sinis muncul di bibirnya. Gadis di depannya jelas bukan seleranya.
Baginya, Kalea masih terlalu hijau. Apalagi usianya terlalu jauh dibanding dirinya yang sudah tiga puluh lima tahun.
Melihat ekspresi Hamish, sang pengawal langsung menyimpulkan.
“Pergilah! Bosku tidak suka anakmu!”
“Apa?” Dion terperangah.
“T-tapi… oh, Tuan! Lihatlah sekali lagi. Kalea cantik, tubuhnya bagus. Lihatlah!” Dion menarik tangan Kalea, berusaha melucuti pakaian putrinya.
“Jangan, Bapak! Jangan!” Kalea meronta dan menangis keras. Tapi Dion sudah tumpul rasa kemanusiaannya. Dia tak peduli, tak punya iba sedikit pun.
“Sudah kubilang! Berpakaian yang benar! Yang seksi! Tunjukkan tubuhmu pada Tuan Hamish!” Dion menggeram, memaksa melepaskan pakaian putrinya.
“Jangan, Pak!” Kalea meronta, terus melawan, hingga tanpa sengaja tangannya menampar wajah sang ayah.
“Kurang ajar kamu, Kalea!” Dion murka. Dia mendorong Kalea hingga jatuh tersungkur, lalu mengepalkan tangannya hendak memukul.
“Ampun, Pak! Jangan!” Kalea memohon dengan air mata bercucuran. Tubuhnya gemetar melihat tangan ayahnya yang siap menghantam.
Tepat sebelum tangan itu mendarat ke tubuhnya, Hamish tiba-tiba saja bersuara. “Berhenti!”
Tangan Dion langsung menggantung di udara.
“Berani-beraninya membuat keributan di tempatku. Kau kira siapa dirimu?” Hamish menggeretakkan gigi.
“A-ampun, Tuan!” Dion tersadar, lalu bersimpuh meminta maaf.
Hamish menghela napas kasar. Tatapannya berpindah ke Kalea yang menangis tersedu, memeluk dirinya sendiri.
“Jordi!” Hamish menoleh pada pengawal pribadinya, lalu memberikan kode lewat anggukan kepala.
Jordi mengangguk, lalu keluar. Tak sampai lima menit, dia kembali membawa sebuah paper bag cokelat. Saat Hamish mengayunkan dagunya, Jordi pun melemparkan paper bag cokelat itu ke lantai, tepat di hadapan Dion.
Bergepok-gepok uang di dalamnya pun terburai.
“Aku beli dia. Seratus lima puluh juta.”
Melihat itu, Dion tersenyum semringah. Wajahnya langsung berseri-seri saat dirinya berlutut dan mulai mengumpulkan uang yang berhamburan di lantai itu.
Saat Dion selesai mendapatkan uangnya, Hamish pun berkata, “Pergi, dan jangan pernah muncul lagi di hadapanku. Anakmu sudah jadi milikku. Jangan sekali pun mencarinya, atau kau akan menanggung akibatnya.”
“Hah? Ah! B-baik, Tuan! Baik!” balas Dion seraya cepat-cepat pergi. Tanpa menoleh, dia meninggalkan Kalea yang menangis gemetar.
Kalea beringsut. Wajahnya pucat saat Hamish berdiri menjulang di depannya. Dengan tangan gemetar, dia berusaha menarik celana pendeknya lebih ke bawah, sementara tangan lain menutupi bagian atas tubuhnya.
“A-ampun, Tuan,” ucapnya lirih ketika Hamish berjongkok dan menatapnya dengan begitu lekat.
Gadis itu memejam. Air mata jatuh membasahi pipinya. Dia sangat takut.
“Siapa namamu?” tanya Hamish.
“K-Kalea,” jawabnya terbata. Lidahnya kelu saking tak sanggupnya berhadapan dengan Hamish.
“Berapa usiamu?”
“D-delapan belas.”
Hamish menatapnya dalam. Dari dekat, dia melihat lebam samar di balik bedak tebal Kalea, juga di beberapa bagian tubuh.
“Jangan menangis, Lea.”
Kalea tertegun mendengar panggilan yang Hamish gunakan untuknya.
Lea... ah, dia sangat merindukan panggilan itu.
Sejak ibunya meninggal, tak ada lagi yang memanggilnya begitu.
Perlahan, Kalea membuka mata, memberanikan diri menatap Hamish. Dan di saat itulah, dia terpana. Baru kali ini dia melihat wajah pria itu dengan jelas. Kontur tegas, hidung mancung, dan sepasang iris cokelat terang.
Jadi, dia yang bernama Tuan Hamish….
Pria itu tampan dan berkarisma. Tak heran banyak wanita rela menyerahkan diri padanya.
“Jangan takut. Aku bukan monster.” Hamish menatap tubuh Kalea yang masih gemetar. Dia melepas jasnya, lalu menyodorkannya.
“Pakailah. Tutupi tubuhmu.”
Dengan takut-takut, Kalea menerima jas itu, lalu memakainya. Aroma parfum maskulin dengan sentuhan woody dan musk langsung menyergap inderanya.
“Aku ada meeting jam dua dengan orang pertambangan. Panggil asistenku dan siapkan mobil,” perintah Hamish.
“Baik, Tuan,” jawab Jordi sambil mengeluarkan ponsel untuk menghubungi seseorang.
“Oh iya, Tuan…”
“Apa?” Hamish menoleh singkat.
“Kalea. Maksud saya, Nona Kalea… Anda akan tempatkan di kediaman yang mana?”
“Di dapur.”
“D-dapur?” Jordi terkejut.
“Ya. Suruh saja dia jadi tukang cuci piring, atau apa pun terserah.”
“Bukan untuk dijadikan wanita…?” Ucapan Jordi menggantung.
Hamish berdecak pelan.
“Aku tak berminat. Dia terlalu muda. Terlalu polos. Aku membayarnya hanya karena kemanusiaan. Kalau tidak, ayahnya pasti tetap menjualnya, dan mungkin hidupnya akan berakhir jauh lebih buruk.”
Jordi terdiam, lalu mengangguk paham. Diam-diam dia melirik majikannya, menyimpan rasa heran. Tak pernah disangka, di balik sikap dingin itu, Hamish masih menyimpan secuil rasa iba pada orang asing.
Hal ini pun membuat Jordi bertanya-tanya, apa… hubungan Kalea dan Hamish hanya akan berhenti sebatas majikan dan pelayan saja?
Dengan alis tertaut, Jordi membatin, ‘Rasanya … tidak akan sesederhana itu ….’
Pria itu melumat dan menyesap bibir Kalea bergantian. Atas dan bawah, bergelora penuh desakan. Bahkan lidahnya ikut merangsek, menelusup mencari-cari lidah Kalea yang pasif, tak bergerak.Kalea kewalahan. Napasnya memburu, dadanya naik-turun tak terkendali. Ia belum pernah merasakan ciuman sama sekali. Semua terasa asing, terlalu cepat, terlalu mendebarkan. Gadis itu hanya bisa megap-megap, lalu pasrah. Membiarkan dirinya hanyut pada arus yang Hamish ciptakan untuknya.Tautan bibir mereka terlepas sejenak. Hamish mundur, menatap wajah Kalea yang memerah padam, rambutnya sudah berantakan. Napas pria itu berat, tersengal, namun tatapannya masih begitu membakar. Tanpa berkata apa pun, ia menggamit lengan Kalea untuk berdiri, lalu kembali meraih bibirnya.Kali ini, ciuman Hamish tak seburu-buru sebelumnya. Pria itu jauh lebih lembut dan perlahan seperti tahu bahwa lawannya masihlah sangat amatir. Dan kali ini, Kalea dengan malu-malu mulai membalas ciuman pria itu. Keduanya saling berpagut
Seperti terkena mantra beku, Kalea tak bergerak sama sekali. Kaku. Bahkan untuk sesaat, nyawanya seperti keluar dari tubuhnya.Ia tak percaya sama sekali dengan apa yang sedang terjadi. Kalea bisa merasakan bibir yang lembut dan hangat itu menempel di bibirnya. Benarkah Hamish menciumnya? Kenapa dia menciumnya?Namun, tiba-tiba Hamish menjauh. Pria itu tampak linglung sejenak, menatap Kalea, lalu berdehem sebelum duduk tegak kembali.“Ayo, kita keluar,” ucapnya seraya bangkit.Hamish menoleh karena Kalea tak ikut berdiri bersamanya. Gadis itu masih mematung di tempatnya.“Sudah malam,” ucap Hamish.Kalea yang masih kaget juga bingung akhirnya bangkit dan mengikuti langkah Hamish keluar dari sana.“Jangan salah paham. Aku … hanya ingin meredakan ketakutanmu,” ucap Hamish setelah beberapa saat hanya mereka habiskan dengan diam.“Besok aku akan suruh seseorang mengganti lampunya. Sekarang, pergilah tidur,” sambungnya, lalu berjalan lebih dulu meninggalkan Kalea.***Sejak malam itu, seja
“Semua orang mencarimu, dan kamu malah bersembunyi di sini.” Hamish berkata seraya membuka lembar-lembar buku sketsa milik Kalea.“Jam berapa sekarang? Saya ketiduran! Saya belum merapikan makan malam Tuan.” Kalea grasak-grusuk. Sementara itu, Hamish justru duduk santai di kursi lipat kosong di sebelah Kalea.“Jangan cemas, semua tugasmu sudah dikerjakan Diana. Sekarang sudah jam sepuluh.”“Apa? Jam sepuluh?” Kalea memekik kaget.Hamish tidak menanggapi. Perhatiannya terpusat pada salah satu halaman buku sketsa. Sampai kemudian, dia melihat satu gambar yang membuatnya terdiam cukup lama.“Apa ini… aku?”DEG!Jantung Kalea serasa berhenti berdetak saat Hamish menanyakan hal itu. Ia baru teringat sesuatu!Gadis itu membeliak dan langsung berusaha merebut buku sketsanya. Namun, dengan cepat Hamish menjauhkan buku tersebut hingga tak terjangkau Kalea. “Kamu diam-diam menggambarku?” Hamish berdiri dengan satu tangan menahan buku tinggi-tinggi. “Kenapa menggambarku tanpa izin?”“I-Itu…” Ka
Sejak Hamish memberinya satu set alat gambar untuk membuat desain, Kalea kembali mengurus meja makan untuk Hamish.Gadis itu juga sudah tak pernah murung lagi. Lebih sering tersenyum dan bertingkah ceria. Ia juga mulai senang tertawa saat berkumpul dengan pekerja yang lain.“Apa … Tuan sudah memutuskan?” tanya Jordi pada Hamish yang sedang duduk santai di balkon lantai dua yang menghadap ke halaman belakang.Sudah setengah jam Hamish duduk diam di sana dengan mata tak putus memperhatikan ke para pekerjanya yang sedang merapikan rumpun-rumpun bunga. Di sana, ada May, Diana, Kalea, dan dua orang tukang kebun. Mereka sedang gotong royong sambil bersenda gurau.“Memutuskan apa?” tanya Hamish tanpa menoleh. Matanya kini mengekori Kalea yang berlari gara-gara melihat seekor ulat bulu.“Bukankah Tuan memperhatikan Kalea? Apakah Tuan akan menjadikannya salah satu wanita Tuan?”Hamish sontak menegakkan tubuh, lalu menoleh tajam.“Sejak kapan mulutmu selancang itu, Jordi?”“Maaf, Tuan.” Jordi m
“Hah?”“Apa kamu tuli?”Kalea mengerjap, lalu buru-buru bangkit dan berlari menuju mobil Hamish.Pria yang selalu tampil perlente dan rambut tersisir rapi ke samping itu menyusul, lalu membukakan pintu mobil untuk Kalea. “Masuk!”Kalea menurut, duduk kaku di kursi depan. Hamish pun masuk ke sisi kemudi.“Besok mau sembunyi di mana lagi?” tanyanya dingin. “Apa kamu tidak lelah terus-terusan menghindariku?”Kalea menelan ludah. “Apa selama ini Tuan tahu?” batinnya.“Tapi… bukankah itu perintah Tuan? Tuan melarang saya menampakkan diri. Saya hanya menjalankan perintah Tuan.”Hamish terdiam sejenak, lalu mengangguk pendek.“Tuan… apa saya akan dikirim kembali pada ayah saya?” Kalea memberanikan diri bertanya dengan perasaan was-was.Hamish menatapnya. Melihat wajah Kalea yang pucat dengan mata berkaca-kaca, ia memilih menjawab singkat.“Tidak.”Mendengar itu, Kalea langsung meniup napas lega sambil memegangi dada. “Lea,” ucap Hamish ketika mobil berhenti di halaman rumah. “Ikut aku ke r
Sudah dua hari Hamish tidak melihat keberadaan Kalea. Saat sarapan pun, meski ia datang lebih awal, gadis itu tak pernah tampak.“Apa Kalea sakit lagi?” tanya Hamish pada Diana yang sedang membereskan meja.“Tidak, Tuan. Kalea sehat.”“Lalu kenapa dia tidak pernah terlihat? Maksudku, kenapa sekarang yang bertugas di meja makan bukan dia lagi?”“Kami bertukar tugas, Tuan. Kalea meminta pekerjaan di gudang dan area belakang.”Hamish terdiam. Ingatannya kembali pada kejadian di tepi kolam renang.“Apa Tuan mencari Kalea?” tanya Diana hati-hati.“Apa? Tidak!” Hamish menjawab terlalu cepat.Selepas sarapan, bukannya bersiap ke kantor, Hamish justru berjalan ke belakang rumah, menyusuri petak-petak halaman luas yang dipenuhi pepohonan langka. Langkahnya terhenti ketika dari kejauhan ia melihat Kalea sedang membawa sapu sambil berbicara pada sebatang pohon.Sesekali gadis itu berkacak pinggang dengan wajah marah, bahkan mengacungkan tinju berkali-kali ke arah pohon, seakan batang kayu itu la