LOGIN“Di mana Putra Mahkota?”
Pertanyaan Kaisar memecahkan lamunan Diana seperti bilah pedang yang memotong benang halus.Diana tersentak kecil, lalu segera menoleh pada pria paruh baya dengan wajah tegas namun berwibawa itu.Senyumnya langsung muncul—tipis, teratur, tidak lebih dan tidak kurang dari apa yang seharusnya dimiliki seorang Putri Mahkota yang tahu betul bagaimana menjaga wibawa suaminya.“Putra Mahkota…” Diana menunduk anggun. “Masih cukup sibuk di ruang kerjanya. Jadi saya berinisiatif datang seorang diri karena tidak mau merepotkan beliau.”Lyra—yang duduk anggun di sisi Kaisar—mengibaskan kipas halus menutupi bagian bawah wajahnya.Gerakan itu tampak lembut, namun tatapan matanya menyimpan kilatan meremehkan yang jelas ingin ditunjukkan kepada Diana.“Astaga…” gumam Lyra pelan, suaranya manis namun penuh racun. “Tapi seharusnya Putra Mahkota tidak membiarkan istrinya memberi salam sendirian. Ini akan berkai“Yang Mul—”Sai hendak melangkah maju dengan wajah penuh kecemasan. Namun tangan kanan Arthur terangkat perlahan, telapak tangannya menghadap ke samping—sebuah isyarat dingin yang jelas. Jangan mendekat. Ini bukan urusanmu.Sai membeku di tempat.Seluruh aula terdiam dalam ketegangan yang mencekik. Para bangsawan menahan napas. Para kasim menunduk lebih dalam. Bahkan prajurit yang masih berdiri tampak ragu untuk bergerak.Semua orang menunggu.Menunggu apakah Putra Mahkota Norvenia—monster berdarah dingin yang dikenal tak memiliki belas kasih—akan membunuh istrinya sendiri di depan umum setelah ditampar tak terduga.Raut wajah Arthur tetap datar di balik topeng emasnya. Tatapannya dingin seperti biasa, tak terbaca, tak menunjukkan emosi apa pun. Namun justru itulah yang membuat suasana semakin mengerikan.Diana masih berdiri di tempatnya.Telapak tangan kanannya meneteskan darah, merah pekat kontras dengan kulit pucatnya. Napasnya memburu, dadanya naik turun tak beraturan. Air
“Nona Rany? Ah… senang bertemu dengan Anda.”Diana menanggapi dengan senyum tipis yang terjaga rapi. Nada suaranya lembut, tetapi langkah kakinya sedikit bergeser—secara halus menempatkan tubuhnya agar Rany berada di antara dirinya dan Alon. Sebuah gerakan kecil, nyaris tak kentara, namun cukup jelas bagi mereka yang peka.Alon berdiri beberapa langkah di belakangnya.Pria itu terdiam.Tatapan matanya yang selama ini dikenal teduh dan hangat perlahan berubah. Sejenak saja—sangat singkat—namun cukup bagi Diana untuk menangkapnya. Dingin. Asing. Seperti seseorang yang kehilangan sesuatu yang seharusnya masih berada dalam genggamannya.Alon mengepalkan kedua tangannya. Rahangnya mengeras, tetapi ia tidak berkata apa pun. Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Diana begitu saja.Diana sempat menoleh singkat, memastikan pria itu benar-benar menjauh. Saat punggung Alon menghilang di balik kerumunan, Diana menghela napas lega tanpa suara.Tak
Diana mengalihkan pandangannya dari Harsa, lalu mengambil langkah mundur setengah tapak. Gerakannya tampak terukur, seolah setiap inci jarak yang ia ciptakan adalah tembok tak kasat mata yang sengaja ditegakkan. Ia mengatur napas, menenangkan degup jantungnya yang sempat terpaut tidak wajar oleh sikap Pangeran Kedua itu. Kemudian, sambil menjaga postur proporsionalnya, ia berkata dengan nada netral, “Saya tidak mengerti apa yang Pangeran Kedua katakan.”Harsa menaikkan satu alisnya, sedikit terlalu santai, sedikit terlalu percaya diri. Satu gerakan ringan dari pergelangan tangannya membuka kipas lipat berwarna gelap, suaranya lembut tetapi tajam, “Benarkah?”Diana mengepalkan kedua tangannya erat—gerakan kecil yang tersembunyi di balik lengan bajunya. Tidak, ia tidak boleh mengaku begitu saja. Meskipun pria itu jelas berada di garis keinginan yang berbeda dengan ibunya, meskipun tatapan Harsa seakan mengatakan ia tidak berniat menyakitinya, tetap saja… apakah Harsa itu baik atau
Kereta Diana berhenti tepat di pelataran depan Istana Kekaisaran, tempat para tamu terhormat diturunkan sebelum melangkah menuju Aula Utama. Sore telah turun perlahan, mengubah langit menjadi warna keemasan yang megah. Cahaya lampu-lampu lentera mulai dinyalakan, menggantung di sepanjang jalan menuju pintu masuk utama, memantulkan kilau hangat di permukaan batu marmer yang bersih.Bibi Erna dan Embun segera turun lebih dulu, lalu membantu Diana menyusul. Tangan Embun menopangnya perlahan, sementara Bibi Erna menahan bagian bawah hanfu putih keemasannya agar tidak menyentuh tanah.“Yang Mulia, tetap berhati-hati,” bisik Bibi Erna. “Keramaian malam ini… membuat saya tidak tenang.”Diana memberi anggukan kecil. “Aku tahu.”Setelah berdiri dengan stabil, ia menatap ke arah bangunan besar Istana yang megah menjulang. Namun sebelum ia bergerak, Embun berkata dengan sopan,“Kami akan menunggu di area pelayan, Yang Mulia. Tempatnya tidak jauh dari sini.”Diana mengangguk. “Jangan jauh-jau
Hari ulang tahun Kekaisaran akhirnya tiba. Pagi itu, udara terasa berbeda—lebih padat, lebih berat, seolah seluruh langit tengah menahan napas untuk menyaksikan apa yang akan terjadi malam nanti. Diana berdiri di depan cermin tingginya yang dipenuhi ukiran phoenix emas, tubuhnya telah diselimuti hanfu putih keemasan yang tampak berpendar ketika disentuh cahaya matahari.Hanfu itu memeluk tubuhnya dengan anggun, lapisan-lapisan kain tipis menjuntai lembut hingga menyentuh lantai, bordiran phoenix emas menjalar dari pinggang hingga ke dada, dan lengan bajunya yang lebar melambai setiap kali ia bergerak. Rambutnya disanggul rapi, namun lebih tinggi daripada biasanya. Kali ini, tusuk rambut phoenix yang ia kenakan sedikit lebih besar—lebih megah, lebih berwibawa. Menandai satu hal, ia bukan lagi sekadar Putri Sinclair yang terombang-ambing oleh politik istana. Ia sedang bersiap menjadi Permaisuri Kekaisaran.Bibi Erna berdiri di belakangnya, kedua tangannya saling menggenggam cemas.
Dinginnya malam menelusup sampai ke tulang. Bahkan bagi seseorang sekuat Arthur, udara di penjara bawah tanah Istana Putra Mahkota memiliki jenis dingin yang berbeda—dingin yang lahir dari penderitaan, ketakutan, dan darah yang tumpah. Cahaya obor yang berkelip-kelip hanya mempertegas kesuraman tempat ini, membuat setiap sudut seolah memiliki nyawa tersendiri.Arthur melangkah menyusuri lorong gelap itu. Lantai batu yang basah memantulkan suara langkahnya dalam gema rendah. Di belakang, Sai mengikuti tanpa suara, menjaga jarak satu setengah langkah seperti tata krama resmi menuntutnya. Di penjara bawah tanah ini, bahkan nafas Sai terdengar seperti sesuatu yang harus ditahan.Mereka berhenti di depan salah satu jeruji besi.Di dalamnya, tiga orang tergeletak. Tubuh mereka hancur, penuh luka sayatan, cambuk, dan tusukan kecil yang dilakukan berulang. Kuku-kuku jari tangan dan kaki mereka telah dicabut paksa, meninggalkan bekas darah basah dan kering yang menyatu. Udara penuh bau a







