Suara dentingan sendok beserta garpu yang beradu dengan piring terdengar di seluruh ruangan kantin. Riuh ramah orang berbincang pun nampak berpadu apik dengan suara dentingan sendok tersebut. Berbeda dengan para staf dan karyawan yang menyantap makan siang dengan para kawannya, Rafa menyantap makan siangnya dengan tenang tanpa ada lawan untuk diajak bicara. Pandangannya fokus melihat ke arah bawah gedung yang menampilkan jalanan padat ibu kota dibawah sengatan surya.
Suara decitan kursi membuat Rafa menoleh, pemuda yang mengenakan seragam biru sama sepertinya tengah tersenyum canggung. "Maaf pak, boleh saya duduk disini? Semua bangku sudah penuh," ujarnya dengan sopan.Rafa menoleh kebelakang dan menyapu pandangan di sekeliling. Memang kantin tengah begitu ramai pengunjung. Hanya ada beberapa kursi kosong yang berada di antara staf dan karyawan kantor. Tentu membuat pemuda itu sungkan untuk sekedar duduk makan berdampingan dengan mereka. Rafa kembali menatap pemuda yang masih berdiri menunggu ijinnya. "Duduk saja," ujar Rafa mempersilahkan. "Jangan lagi panggil saya 'pak', karena saya sudah bukan pemimpin perusahaan. Panggil saja saya mas atau kak."Pemuda tersebut mendaratkan bokongnya dengan tersenyum lega dan mulai menyantap makan siangnya dengan sangat lahap."Siapa namamu?" tanya Rafa membuka perbincangan.Pemuda tersebut tersedak lalu terbatuk dan memukul pelan dadanya ketika menenggak segelas air putih. "Maaf pak... eh mas, nama saya Dika." Wajah dan tubuhnya terlihat menegang."Kenapa wajahmu terlihat begitu tegang? Sudah saya bilang bahwa saya tidak lagi menjadi pemimpin perusahaan. Profesi saya sekarang sama sepertimu, menjadi cleaning service.""Maaf mas, itu karena saya sudah terbiasa," ujarnya dengan menggaruk tengkuk."Berapa umurmu? Wajahmu terlihat masih muda. Oh ya, sambil dimakan, nanti keburu jam makanmu habis."Setelah patuh menyuap nasi dengan lauk ke dalam mulutnya, Dika menjawab, "19 tahun, mas.""Tidak kuliah?""Gak mas. Ibu saya sakit-sakitan, jadi mau tak mau saya harus banting tulang untuk membiayai perawatan rumah sakitnya.""Sakit apa?""Kan-"Belum sempat Dika menjawab, seorang Supervisor datang mendekati keduanya. "Woi! Kalau udah selesai, jangan enak-enakan ngobrol! Terutama kau, Rafa! Jabatanmu sudah turun, jadi jangan lagi merasa seperti pemimpin di perusahaan." Keangkuhan jelas terlihat di wajah pria bernama Bari ketika melihat Rafa."Maaf pak, beri saya waktu untuk menghabiskan makan siang saya. Sayang kalau tidak dihabiskan," ujar Dika."Oke. Saya beri kamu waktu 5 menit lagi, dan kau, Rafa! Ikut saya keruangan."***"Nih tugasmu untuk esok," ujar Bari menyerahkan selembar kertas ketika sudah berada di ruangannya dengan Rafa.Kening Rafa mengerut ketika matanya teliti membaca tugas-tugas yang harus di kerjakannya. "Loh, mengapa tugas saya jadi bersih-bersih wc?"Tawa Bari menggelegar ke seluruh ruangan. "Cleaning service emang kerjanya kayak gitu, kenapa? Kau kira kerjaanmu duduk santai sambil ngetik di komputer?"sindir Bari."Bukankah tadi pagi kerjaan saya hanya mengepel ruangan staf dan karyawan?""Itu harusnya di lakukan oleh Office Boy. Apa yang kau lakukan tadi itu karena perintah pak Xavier.""Xavier?""Huss, mulai sekarang biasakan panggil dia dengan sebutan 'pak'. Jabatan dia lebih tinggi darimu, tau! Harusnya kau merasa beruntung, pak Xavier menganggapmu masih belum terbiasa. Jadi beliau ingin kau mengerjakan yang ringan sebelum mengerjakan hal-hal yang berat."Xavier sialan! Apa ini pertunjukan drama yang ingin kau tunjukkan?Rafa baru menyadari selagi dia mengepel ruangan tadi, banyak para staf dan karyawan yang mencaci bahkan meludah di lantai ataupun sengaja mondar-mandir untuk mengotori lantai.Dasar kekanak-kanakan!***"Apa kau sudah mengetahui semuanya?" tanya Rafa saat sudah berada di rumah mungilnya dengan Liam yang duduk di sofa."Tahu apa?""Soal Pevita yang selingkuh dengan Xavier," ujar Rafa.Liam tertawa. "Aku sudah pernah memberitahumu, tapi kau tak percaya."Rafa memukul meja dengan keras. "Sialan.""Kudengar, Xavier tadi menyuruh Bari untuk menugaskanmu bersih-bersih dalam ruangan?" tanya Liam sembari menyesap kopi hitam yang dibuatnya sendiri di dapur Rafa."Ya." Senyum menyeringai tercetak jelas di wajah Rafa. "Akan aku lihat seberapa menariknya drama yang akan dia perlihatkan padaku."Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh. "Mas ganteng, aku tahu kalau kau ada di dalam. Jadi lebih baik keluar secepatnya, sebelum saya suruh suami saya untuk membangunkan warga untuk mengusirmu!" teriakan tersebut jelas dari suara Lina."Siapa?" tanya Liam pada Rafa.Rafa terlihat memijit pelipisnya yang berkedut. "Ini yang ingin aku bicarakan sebenarnya, aku ingin pindah rumah. Aku tak tahan mempunyai tetangga seperti genderuwo sepertinya."Liam tertawa serta menggelengkan kepalanya. "Biar aku yang menghadapinya."Pintu terbuka. Menampilkan wajah Lina yang semula bersungut-sungut, kini bibirnya menganga menatap ketampanan luar biasa dari Liam. Pria bernetra hitam gelap tersebut seolah mampu menenggelamkan jiwa Lina kesepian.Kening Liam mengernyit. Dia menjentikkan jari di depan mata Lina yang tak berkedip. "Pardon?"Lina mengerjapkan matanya "Ah, maaf. Saya kira saya sedang melihat malaikat," ujar Lina dengan senyum menggoda ala dirinya."Ah, bisa saja ibu ini. Oh iya, ada keperluan apa ya malam-malam datang ke rumah saudara saya?" tanya Liam dengan ramah."Kenalkan dulu, nama saya Karlina. Panggil saja Lina." Lina mengulurkan tangannya yang segera dijabat oleh Liam. "Kedatangan saya disini, hanya ingin meminta fotokopi ktp sama kk milik mamas ganteng. Saudara anda," jelas Lina. Sesekali matanya mengerling, seperti apa yang sudah ia lakukan pada Rafa sebelumnya."Oh, baik. Ibu Lina tunggu disini sebentar. Saya ambilkan fotokopinya, ya.""Kok panggilnya bu? Ya panggil mbak aja."Liam tertawa kecil, menampilkan kedua lesung pipinya. Membuat Lina semakin salah tingkah di hadapannya.Beberapa menit kemudian, Liam kembali dengan membawa lembaran fotokopi kk dan ktp milik Rafa."Makasih ya mas, saya pamit dulu. Besok saya akan kesini lagi njenguk mas ganteng sama mas malaikat," ujarnya dengan mengedipkan mata sebelah.Rafa menghampiri Liam setelah menengok kepergian Lina dari balik jendela. "Kau suka?" tanya Rafa.Kening Liam mengerut. "Sama siapa?""Itu, si makhluk gempal."Liam tertawa dengan terbahak-bahak, lalu mengusap air mata yang muncul di ekor matanya. "kenapa kau berpikir begitu?""Karena ku lihat, kau tersenyum terus ketika berbicara dengannya," jelas Rafa dengan raut wajah yang serius."Apa kalau tersenyum itu sudah pasti tandanya suka? Aku hanya beramah tamah saja.""Hey, Liam. Mengakulah, semuanya terlihat jelas di wajahmu ketika melihatnya.""A-apa? Aku tidak-"Rafa memotong kalimat Liam. "Sst, sudah cukup. Aku mengerti. Aku akan merahasiakannya."Liam tak terima. Dia ingin menjelaskannya pada Rafa yang sudah berjalan menuju ke kamar. "Hei, Rafa! Bukan begitu.""Sudahlah." Tangan Rafa melambai pada Liam tanpa menoleh ke arahnya. Dalam hatinya dia tertawa puas, merasa berhasil sedikit membalas drama yang diperbuat Liam.Tubuh Rafa melemas saat dirinya mencoba bangun setelah ketiduran di sofa tadi siang. Rafa mengusap wajahnya lalu mengambil ponsel. Diusapnya layar ponsel yang menunjukkan pukul setengah empat sore. "Sudah lebih dari tiga jam ternyata aku ketiduran," gumamnya lirih. Banyak pesan yang masuk di ponselnya tak membuat Rafa ingin segera membuka. Dia memilih memijit pelipis kepalanya yang berdenyut-denyut dengan pelan. Memang hal yang tak biasa bagi Rafa untuk tidur siang, terlebih dia tidur selama kurang lebih tiga jam. Setelah itu ketukan pintu disertai suara salam kembali terdengar. "Assalamu'alaikum."Rafa menajamkan pendengarannya, merasa pernah mendengar suara tamu tersebut di suatu tempat. "Wa'alaikumsalam," serunya seraya mencoba bangkit berdiri.Dengan langkah sedikit terhuyung, Rafa berjalan dengan pelan karena penglihatannya juga terasa berkunang-kunang. Rafa menyipitkan mata karena efek sakit kepala yang dirasakannya."Siapa ya-" Suara Rafa terhenti saat ia membuka pintu dan m
"Apa sekarang kau juga berani mempertanyakan keputusanku sekarang, Xavier?" Liam tak kalah berani dihadapan Xavier. Liam sungguh merasa tersinggung dengan ucapan Xavier, seolah Xavier benar-benar sedang merendahkan dirinya.Sial! Xavier memaki dirinya dalam hati. Rupanya Liam bukanlah pria yang mudah untuk dihasut. Liam lebih sulit dari Rafa yang mudah dibohongi. "Tidak, Pak."Liam menghela napasnya berat, dia mendudukkan pantat di atas kursi dan menatap seksama wajah Xavier dan Rafa. Sesaat Liam melihat gelagat Rafa yang menganggukkan kepalanya. "Baiklah, Xavier. Aku tidak akan memperpanjang masalah ini selama kau mau untuk diajak bekerja sama."Kening Xavier mengerut dalam, merasa aneh dengan Liam. "Kerja sama?""Ya. Kau tahu Berlian Company bukan?" Mata Xavier berbinar mendengar kata Berlian Company. Berlian Company merupakan perusahaan yang sudah menduduki peringkat pertama di dalam negeri sebagai perusahaan terbesar. Terlebih Aliee-sang istri memiliki hubungan pertemanan dengan
"Hentikan!"Seruan dari arah eskalator seketika membuat gerakan Xavier terhenti di udara. Semua orang ikut menatap ke arah seruan tersebut dengan tercengang, mengubah ekspresi wajah mereka menjadi tegang.Kedatangan sang bos pengganti membuat suasana menjadi dingin dan mencekam. Hawa amarah menyelimutinya saat ia berjalan mendekat. "Apa yang sedang kau lakukan, hah?" teriaknya murka. Tatapan Liam begitu tajam, seolah ingin mencabik-cabik wajah Xavier secara sadis."P-pak Liam." Bergetar bibir Xavier saat bersuara. Ia tak menyangka, Liam dapat menampilkan wajah murka yang begitu menyeramkan. Ingin rasanya Xavier kabur dan berlari menjauh dari hadapannya.Jika semua orang sedang bergidik ngeri melihat kemurkaan yang ditampilkan di wajah Liam, berbeda dengan Pevita yang memang sejatinya angkuh, menganggap Liam sebelah mata hanya karena Liam dulunya adalah sahabat Rafa. Tak sedikitpun kepala Pevita menunduk rendah untuk menunjukkan rasa hormatnya."Aku tanya apa yang kau lakukan pada Rafa
Rafi menatap Lina dengan tatapan heran. Sama sekali tak mengerti dengan maksud ucapan dari budhenya itu. "Memangnya kenapa budhe? Kayaknya om tadi baik deh."Lina mencebikkan mulutnya, matanya masih melirik ke arah jalan yang dilalui Rafa tadi. "Memangnya kamu anak kecil tahu apa? Kita ini gak boleh sembarangan akrab dengan orang yang belum kita kenal, Rafi!" Pandangannya beralih pada Rafi. "Apalagi kamu ini anak kecil, bisa-bisa diculik kamu sama dia! Mau kamu, diculik sama om-om tadi?"Rafi menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Gak mau budhe, Rafi takut!""Makanya, nurut aja apa kata budhe, Ya?"Rafi hanya menganggukkan kepala dan menggenggam erat jari Lina yang menariknya pergi dari tempatnya berdiri.***"Aku ingin kau mengetes rambut ini untukku."Rafa datang tiba-tiba, menatap serius ke arah Liam yang tengah sibuk menatap layar laptop. Kening Liam mengernyit saat menatap plastik berisi dua helai rambut yang disodorkan oleh Rafa tepat di sebelah laptopnya. "Ini milik siapa?""Pu
"Siapa yang kau maksud?" tanya Liam menaikkan satu alisnya.Rafa hanya diam, enggan mengucapkan sebuah nama yang telah membuatnya patah hati. "A..!" Liam menepuk tangannya satu kali saat ia sudah mendapat jawaban nama yang dimaksud oleh Rafa. "Apa yang kau maksud itu Dewi?"Melihat reaksi Rafa yang hanya diam, sudah pasti jika jawaban Liam benar. Liam menghela napasnya, lalu mendekati Rafa. "Lupakanlah dia." Hanya itu kata-kata penghibur dari Liam untuk sahabatnya. Seharusnya Rafa bisa membuatnya sederhana, jika Dewi sudah tak ingin bersama Rafa, maka seharusnya Rafa tak perlu menangisi semua itu. "Wanita akan terus lari jika pria semakin giat mengejar. Satu-satunya cara hanyalah melepaskan dan dia akan kembali padamu dengan sendirinya.""Aku sudah melakukan itu dulu, tapi nyatanya dia tak juga kembali."perasaannya pada Dewi sudah terlalu dalam hingga membuatnya susah untuk menghapus segala kenangan yang sudah dibuat bersamanya. Apalagi Dewi pergi meninggalkannya tanpa alasan yang j
Kecanggungan sangat terasa diantara Dewi dan Rafa yang kini tengah berada di halaman belakang rumah Dewi. Berpisah terlalu lama membuat keduanya bingung untuk sekedar mengutarakan isi pikiran masing-masing. Padahal, dulunya mereka adalah sepasang kekasih yang saling menyayangi dan mengasihi. Rafa sempat tertegun melihat banyaknya bunga anyelir yang menjadi penghias belakang rumah. Mengingatkannya akan masa lalu yang menyenangkan sebelum Dewi pergi meninggalkannya. "Apa-""Sebenarnya-"Keduanya bersuara diwaktu yang sama, semakin menambah kecanggungan diantara mereka. Rafa menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal. "Kau saja yang duluan bicara.""Sebenarnya apa tujuanmu tiba-tiba datang di acara seperti ini?" Dewi merasa was-was akan maksud kedatangan Rafa yang secara tiba-tiba datang dan mengikuti acara warga. Dewi hapal tentang Rafa secara keseluruhan, baik sifat ataupun watak dalam diri Rafa. Bukan satu atau dua jam Dewi mengenal Rafa, melainkan bertahun-tahun lamanya ia kenal d