LOGIN
Chacha benar-benar dibuat berpikir keras oleh suaminya. Bagaimana tidak, setelah menenangkannya menghadapi komentar pedas netizen dia lalu menghilang. Berpamitan akan mengurus beberapa pekerjaan di ruang kerjanya, hingga malam hari belum keluar. “Chalya,” Birru menghampiri Chacha di ruang tengah. Gadis itu menghela napas. Akhirnya Chacha mendengar panggilan itu juga. Bukan dia sangat mengharapkan, Chacha hanya tidak tahu saja harus melakukan apa di rumah besar itu. Nonton tv sudah, beres-beres sudah, scroll media sosial? Chacha tidak akan melakukannya. Hanya akan menambah beban mental saja. “Yaa?” “Mm, mau makan di luar?” tawar Birru. Chacha kontan mengangguk. “Aku siap-siap dulu, bentar.” Tidak berselang lama, Chacha berlarian kecil menuruni tangga sudah mengganti pakaiannya dengan gamis simpel warna hitam, lengkap dengan hijabnya juga. Sampai di bawah Birru mempersilahkan dia untuk jalan lebih dulu. Di depan rumah ada dua mobil yang terlihat sudah siap, Chacha menghentikan
Birru terkekeh geli, “Suka parfumnya?”Istri barunya itu nyaris tersedak ludahnya sendiri, dia masih tidak sadar kalau jarak di antara mereka tersisa beberapa inch saja. Ia buru-buru memperbaiki posisinya. Memalingkan wajah untuk menutup wajah, Chacha benar-benar ingin menghilang darii bumi saat itu juga.“Sarapan di kantin aja, mau?” tawar Birru. Biasanya ada Delfin yang mengurus sarapannya, tapi pria itu pasti juga tidak ingin mengganggu Birru, yang baru saja menyandang status pasutri baru.“Kantin mana?”“Kantin pesantren, enak-enak kok makanannya. Mau coba?”Sebelum mereka benar-benar keluar rumah, ponsel Birru berdering. Ia tahu dari semalam berita tentang perrnikahannya kembali menjadi trending di beberapa platform. Selain ucapan selamat dan pujian untuk Chacha, ada beberapa hate komen juga yang nylekit.“Mas,” panggil Chacha, gadis itu sudah berdiri siap menunggu di depan pintu.“Iyaa? Bentar,” Birru tampak tenang, tapi gelagatnya menunjukan bahwa ada sesuatu hal berat sedang m
Chacha mengangguk, “Ok, satu lagi. Kita … nggak tidur sekamar, kan?” Pertanyaan Chacha yang terdengar gamang itu, ia lontarkan dengan memiringkan badannya sedikit. Harap-harap cemas, takut jawabannya tidak sesuai dengan apa yang ada dalam kepalanya.“Nggak. Saya tidur di bawah, saya juga belum terbiasa dengan orang asing.” Jawaban yang sederhana, singkat dan … menohok.Chacha diam sejenak, tidak tahu harus menjawab apa. Bukan perkara kamar yang terpisah tapi kata ‘orang asing’ nya. Padahal pria itu yang memintanya untuk menikah, seolah Chacha yang memaksanya.“Kemarin umma yang beresin kamar atas jadi barang-barang saya masih di sana. Mungkin besok baru saya pindah,” lanjut Birru.“Oh, iyaa. Nggak masalah, ya udah kalau gitu, aku naik dulu,” pamit Chacha buru-buru.“Sebentar,” sela Birru cepat. “Saya mau bilang kalau, saya suami kamu. Mulai sekarang biasakan jangan panggil saya ustaz terus.”“Terus, panggil apa?” Chacha balik menanyainya.Birru melirik sekilas, “Terserah,”“Mm, mas
Birru menuntun Chacha melewati rumah ndalem, menuju bangunan lain yang ada di belakang asrama santri putra. Langkah mereka terhenti di halaman depan rumah berlantai dua dengan dominan warna beige bergaya American klasik yang anggun. Seperti rumah yang biasa Chacha liat di feed pinterest.“Ini …” suara Chacha menggantung di udara. Namun, tetap saja matanya terus menatap takjub dan suka bersamaan pada pemandangan di depannya.“Rumah kita,” sahut Birru santai, mempersilahkan Chacha untuk masuk lebih dulu setelah membuka kuncinya.Chacha sempat mengeluh pada Allah karena harus dipertemukan dengan pria asing yang seenaknya saja mengajak menikah. Walau sebenarnya Chacha banyak diuntungkan juga, daripada menikahi om-om pemilik toko lebih baik menjadi istri Albirru yang masih muda dan nyatanya jauh lebih tampan.Memasuki rumah lebih dalam, Chacha disambut oleh kucing ras Persia berwarna putih dengan bulu lebat. Chacha reflek menggendongnya dan mengayun-ayun gemas.“Namanya Moly,” ujar Birru
Sesuai rencana dua keluarga, pernikahan keduanya digelar di pesantren dengan konsep tertutup. Hanya dua keluarga dan kerabat saja yang hadir di sana, tapi cukup untuk memberitahu pada seluruh netizen yang terhormat kalau status Chalya Medina dan Zayn Albirru saat ini adalah sepasang suami istri.Mentari hangat menyapa pesantren Al-Muntazhar. Angin sejuk menerbangkan aroma tanah basah sisa hujan semalam. Jam menunjukan pukul 09:00. Pagi yang sejak kemarin redup tertutup kabut tebal, hari ini terasa mendukung momen dua manusia yang akan berikrar janji suci di hadapan Allah.Ruang tamu ndalem yang cukup luas disulap menjadi tempat sakral dengan dekorasi dominan warna putih. Ada dua rangkaian bunga-bunga putih tersusun sangat rapi di tiap sudut ruangan tersebut. Di dalamnya dua keluarga duduk saling berdampingan menyimak dengan khidmat rangkaian akad yang baru saja dilaksanakan.Suara Birru saat mengucapkan akad menggema di seluruh penjuru pesantren, memunculkan decak kagum sekaligus
“Apa–siapa ini?” Fahri langsung merengut mendapati kehadiran Birru.Chacha mengernyit. Tidak mungkin Fahri tidak mengenali Birru, mengingat Birru merupakan ustaz populer. Semua konten-konten dan acara live dakwahnya selalu penuh oleh anggota majelis baik laki-laki maupun perempuan muda, Namun, jika diperhatikan lagi, penampilan Birru memang sedang tidak seperti biasanya. Wajahnya luka-luka–bahkan sedikit bengkak. Sementara penampilannya tampak sedikit kumuh.Meski begitu, suaranya masih tenang seperti saat membawakan kajian, saat mengatakan, “Tidak boleh berisik di klinik.”Fahri jelas tidak terima ditegur seperti itu.“Eh, kamu–!”“Sepertinya perban Anda akan terlepas, Pak,” sela Chacha buru-buru, berkata pada Birru. “Mari ikut saya.”Tanpa menunggu respons, Chacha membawa Birru ke bilik lain agar lebih aman.“Itu mantan Dokter?” Chacha mendongak pada pria yang tengah berjalan tertatih itu. Birru tengah menatapnya dengan raut wajah serius.“Ustaz dengar?” gumam Chacha, mengalihkan







