"Gue harus bisa nemuin info itu secepatnya," gumam Alex menatap lekat foto liontin dilayar ponselnya.
Namun sudah hampir satu minggu ia mencari belum ada satu informasipun yang ia peroleh, hal ini membuat Nio semakin menekan Alex untuk segera memberinya hasil.
Sudah satu minggu juga Sabrina berada dirumah sesuai keinginan suaminya, dan selama satu minggu itu juga Nio selalu memanjakan dan menemani istrinya dirumah.
"Hubby," panggil Sabrina yang kini tengah berbaring diranjang dengan suaminya yang sibuk bekerja.
"Ada apa sayang," jawab Nio tanpa melihat istrinya.
"Besok aku masuk kuliah ya."
Nio menghentikan pekerjaannya, menatap lekat Sabrina yang kini memberinya senyuman paling manis. Nio menakup wajah
Pagi yang sangat cerah dan menggembirakan, terutaman bagi Nio yang kini sangatlah ceria. Wajah itu bahkan itu bahkan sangat memerah saat mengingat permainan panasnya, mengingat bagaimana menggodanya Sabrina. "Nio," panggil Darma. "Ada apa sayang," sahutnya masih melamun. Semua orang kini menatap heran Nio yang sedang tersenyum sendiri, bahkan Sabrina merasa malu dengan tingkah suaminya saat ini. Sabrina segera menyenggol lengan Nio hingga membuatnya hampir saja jatuh. "Apa sih yank, gimana kalau tadi aku jatuh," ucap Nio. "Nio kamu sehatkan," tanya Darma. "Sehat pi, sehat banget malah ini," senyumnya yang selalu mengembang. "Maaf ya pi, lagi panas mungkin," malu Sabrina. "Kayak kamu ya yank panas," memeluk pinggang istrinya. Bulan tersedak makanannya mendengar apa yang baru saja diucapkan anaknya, rasanya ia seakan salah pendengaran. Sedang Sabrina hanya membulatkan matanya dan berusaha melepaskan diri dari suam
Syan diijinkan pulang, namun ia harus beristirahat total selama satu minggu kedepan jika tidak ingin kehilangan bayi dalam kandungannya. Namun Carisa masih saja tak terima atas apa yang terjadi dengan anaknya tadi pagi, hatinya masih saja dongkol dan mendendam dengan Sabrina yang dituduh anaknya tengah bersama dengan menantunya. "Pah, kamu jagain Syan ya. Mama mau keluar dulu." "Mau kemana?" "Ketemu temen, tadi pagi udah janjian jadi nggak enak kalau tiba-tiba dibatalin." "Yaudah, tapi jangan lama-lama." Kini Carisa melajukan mobilnya menuju kampus yang dikatakan Syan padanya, ia ingin membuktikan apa benar yang dipikirkan oleh putrinya. Sabrina baru saja tiba saat tiba-tiba Aldo datang menghampirinya. Pengawal Sabrina berusaha menghalanginya, namun Aldo yang kekeh memaksa untuk berbicara dengan Sabrina. "Bapak tunggu disini aja ya, saya bisa masuk sendiri kok," ujar Sabrina pada pengawalnya. "Baik nona."
Max dengan sangat terpaksa meninggalkan Syan seorang diri didalam kamarnya, namun ia tetap memberikan penjagaan yang ketat untuk putrinya didalam rumah. Dengan sangat panik Max pergi ke perusahaan dengan sejuta pertanyaan dalam pikirannya, mengapa tiba-tiba mereka menarik modalnya ?"Gimana bisa ini terjai, bagaimana kerja kalian semua," murkanya setelah sampai diruang meeting dengan semua staff perusahaannya."Maafkan kami pak, tapi ini juga diluar kendali kami.""Benar pak, kami juga sudah berusaha bernegosiasi dengan mereka namun mereka kekeh menarik semua modal usahanya.""Akhhh, brengsek! Kalau begini bisa-bisa kita mengalami kebangkrutan.""Sekarang kalian semua cari perusahaan yang bisa menolong kita dengan suntikan dananya, cari juga pinjaman bank untuk menutup semua kerugian yang kita alami," perintah Max."Baik pak.""Pergi kalian semua."Max terduduk seorang diri didalam ruangan, meratapi apa yang sedang terjad
Sabrina merasakan nyeri yang teramat sakit pada bagian belakang kepalanya, nyeri yang tak pernah dialaminya sebelumnya. Sabrina terus saja memegangi bagian belakang kepalanya akibat serangan nyeri yang datang tiba-tiba tersebut. "Sabrina, kamu kenapa nak," panik Lena memegangi lengan Sabrina. "Sakit tante, sakit sekali," keluhnya dengan berderai air mata. Tiga orang pengawal dengan sigap menghampiri nona mudanya, memastikan keadaan wanita yang harus dengan sangat hati-hati dijaganya. Namun mereka terkejut saat melihat wajah pucat nona mudanya, dengan panik salah satu mereka segera berpamitan dengan Lena sedang lainnya membantu Sabrina kembali ke dalam mobilnya. "Kerumah sakit," seru salah seorang pengawal. "Nggak, kita pulang aja." "Tapi nona kesakitan." "Saya hanya ingin pulang, tolong kalian hubungi suami saya," pintanya menahan sakit yang teramat menyiksanya tersebut. Antonio tak kunjung menerima panggilan dari anak
Antonio termenung seorang diri didalam ruang kerjanya, fikirannya seolah penuh dengan misteri latar belakang istrinya. Entah kenapa ia merasa jika istrinya itu bukan wanita biasa yang diadopsi Max begitu saja. Darma bersama Alex mendatangi Nio diruangannya, keduanya dengan serius duduk dan menatap Nio yang tengah terdiam di mejanya. "Nio," panggil Darma pada anaknya. "Pih, sejak kapan disini?" "Bagilah masalahmu ini sama papi, jangan disimpan sendiri." Nio berjalan mendekati papinya, duduk tepat disamping Darma juga Alex. "Aku curiga jika latar belakang Sabrina nggak semudah seperti yang kita kira pi," curhat Nio. "Maksud kamu ada yang Max sembunyikan tentang latar belakang Sabrina?" "Benar pi." "Gimana pencarian loe Lex," tanya Nio dengan tatapan penuh harapnya. Menggelengkan kepalanya ia berkata, " Masih nihil bos, semuanya seperti sudah terhapus." Nio mengusap kasar wajahnya, ia tak meny
Lena terkejut mendengar suara bariton putranya, kenyataan yang sebenarnya adalah Marshel yang tak pernah bisa merelakan adik kecilnya pergi meninggalkannya. Marshel dengan gemetar berjalan mendekati bunda juga ayahnya, ingin sekali ia mematikan jika memang benar itu adalah adiknya."Dimana adik aku bun," tanyanya."Marshel, dengarkan bunda dulu nak. Itu hanya kecurigaan bunda saja, kita harus ikhlas karena adik kamu-"Cukup bunda, adik aku masih hidup dan dia baik-baik aja sekarang."Marshel selalu menolak kematian adiknya sejak kecelakaan itu terjadi. Beruntung ia tak bisa ikut bersama keluarganya sebab ada tugas di sekolah, mungkin jika ia ikut maka nasibnya akan sama dengan sang adik yang telah tiada bagi mereka."Nana masih hidup, adik gue masih hidup diluar sana," geramnya meyakinkan diri."Gue harus cari tahu hari ini bunda ketemu sama siapa, dari situ gue bisa selidiki siapa yang dianggap bunda mirip dengan Nana," serunya.
Antonio terus saja terpikir oleh masa lalunya, tentang sakit hatinya karena terkhianati oleh istrinya sendiri. Namun kini hanya Sabrina yang sangat-sangat dikhawatirkannya, sebab jika nanti kedua orang tersebut muncul maka Sabrina adalah pihak yang pasti dicarinya."Sebaiknya gue peketat aja penjagaan Sabrina, gue nggak mau hal buruk sampai menimpanya lagi," gumam Nio yang segera mengatur barisan pengawalan untuk istrinya.Namun dilain tempat kini Sabrina merasa sangat bosan seusai mengerjakan kuliah online nya, ingin sekali rasanya ia keluar dan mencari udara segar. Tapi ucapan suaminya terus saja membuatnya kembali mengurungkan niatnya."Ahaa, kan ada taman depan rumah. Sasa pasti juga udah pulang kan," gumamnya yang langsung keluar kamar mencari anaknya.Namun sepanjang ruangan ia sama sekali tak melihat ada tanda-tanda jika anaknya itu ada. Ia hanya terdiam didepan meja makan sambil kepalanya terus menoleh ke kanan dan ke kiri."Ada yang
Sabrina memegang dadanya sambil terduduk lemas dibangkunya. "Astaga, jantung. Untung jantung gue aman ini," ocehnya yang membuat pelayan juga pengawalnya tersenyum. "Apa-apaan kalian senyum-senyum? Saya aduin suami saya loh," candanya namun dengan serius mereka menanggapinya. "Jangan nona," seru mereka besamaan. "Hahahha. Bercanda ih, mana mungkin saya laporkan kalina." Membuat mereka bernafas lega. Namun suara deru mobil yang sangat familiar membuat mereka kembali menegang. "Nah lo, suami saya pulang tuh," canda Sabrina bangkit dan berjalan mendekati sebuah mobil yang baru saja terparkir dihalaman rumah. "Hubby," teriak Sabrina sambil dengan santainya berjalan. Antonio hanya bisa termenung menggelengkan kepalanya sambil menunggu istrinya mendekat. Wajah yang semula lelah itu kini nampak berseri setelah melihat tingkah konyol istrinya. "Ngapain disana," tanya Nio sambil mendekap hangat tubuh istrinya. "Duduk lah b