“Saya terima nikah dan kawinnya Flora Adisti Zaviyar binti Didit Zaviyar dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!”
"Bagaimana saksi, sah? Sah?"
“Sah!” suara saksi terdengar tegas, memastikan bahwa pernikahan itu sah. Penghulu kemudian melanjutkan dengan doa, mengiringi ikatan yang baru saja terjadi.
Di kasur perawatan, Lia terbaring lemah, namun senyuman penuh haru mengembang di wajahnya. Air mata mengalir, tak bisa dibendung. Perasaan campur aduk, antara bahagia dan haru, memenuhi hatinya.
"Akhirnya, kalau pun aku harus pergi, aku bisa pergi dengan tenang, Des. Tenang karena melihat semuanya terwujud" ujar Lia lirih, suaranya begitu lemah namun penuh ketulusan. Ia menatap sahabatnya yang sejak awal menemani di sisinya.
Desi menggenggam tangan Lia dengan erat, seakan memberikan kekuatan. “Jangan bicara seperti itu, Li. Kamu akan sembuh, kamu akan sehat. Kamu akan menyaksikan Birru dan Flora tumbuh bersama, punya anak, dan melihat cucu-cucu kita yang akan tumbuh besar. Kamu akan ada di sana, mendampinginya."
Lia hanya mengangguk, meski hatinya berat. Desi dengan cepat menyeka air mata yang mengalir, takut Lia melihatnya, dan mencoba tersenyum meski hati tak sekuat yang terlihat.
"Terima kasih, Des. Kamu dan suamimu sudah menikahkan Flora meski dia masih sekolah. Itu bukan hal yang mudah," ujar Lia dengan penuh rasa terima kasih.
Desi mengusap tangan Lia dengan lembut. "Jangan jadikan itu masalah, Li. Semua syarat sudah terpenuhi, usianya bukan halangan. Kita sudah menjodohkan mereka sejak dulu, dan janji ini harus dipenuhi. Mereka saling menyayangi, itu yang paling penting."
Keduanya terdiam sejenak, menikmati kebersamaan yang penuh makna. Lalu mereka saling berpelukan, saling menguatkan dalam cinta dan persahabatan yang abadi.
***
Flora duduk bersandar di kursi belajarnya, matanya menatap kosong ke depan. Sejak pernikahan yang tiba-tiba itu, hari-harinya berubah drastis. Ia merasa seperti terjebak dalam sesuatu yang tak pernah ia bayangkan. Dia menjadi lebih banyak diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Dia kembali menghela napas berat, entah sudah keberapa kali sejak tadi. Pandangannya jatuh pada buku tulis yang terbuka di hadapannya. Baru dua soal yang berhasil ia selesaikan, sementara tiga soal lainnya masih menunggu. Rasanya berat, seperti ada ribuan hal lain yang membebani pikirannya.
"Gini amat hidup," gumamnya lirih, hampir tak terdengar. Dengan lesu, dia mencoba kembali fokus pada tugasnya. Namun pikirannya terus melayang, seperti menolak untuk berkonsentrasi. Tangannya mulai bergerak, menyentuh pena yang tergeletak di atas meja.
Namun, sebelum sempat menulis, suara pintu kamar yang terbuka membuyarkan konsentrasinya. Ia menoleh dan melihat Birru melangkah masuk.
Mereka saling pandang. Tak ada kata yang keluar, hanya keheningan yang terasa dingin menyelimuti. Tatapan Birru datar, seperti biasa, sementara Flora hanya menatapnya dengan kosong sebelum kembali memalingkan wajah ke buku tulisnya mencoba melanjutkan apa yang sempat tertunda.
Birru tak berkata apa-apa. Ia berjalan melewati Flora begitu saja dan menuju kamar mandi. Langkahnya tenang, nyaris tanpa suara.
Keheningan kembali mengisi ruangan, hanya suara samar dari gesekan pena di atas kertas yang terdengar. Flora mencoba tenggelam dalam tugasnya, namun hatinya tetap terasa berat, seolah ada beban yang tak bisa ia ungkapkan.
Flora menguap lebar, menahan kantuk yang tak tertahankan. Matanya berair, tanda kelelahan yang tak bisa lagi disembunyikan. Ia hanya mampu menyelesaikan satu soal sebelum akhirnya menyerah. Dengan perlahan, ia merebahkan kepalanya di atas meja belajar, berharap bisa memberikan jeda pada mata dan pikirannya yang penat.
Birru keluar dari kamar mandi dengan langkah santai. Tanpa berkata apa-apa, ia menuju walk-in closet untuk mengenakan pakaian bersih. Setelah rapi, pandangannya sempat tertuju pada Flora yang masih tertunduk di meja. Namun, ia hanya menatap sekilas, tidak menunjukkan rasa peduli. Dengan sikap dingin, ia berjalan ke ranjang, duduk bersandar di headboard, dan mulai membaca buku di tangannya.
Waktu berlalu. Setengah jam kemudian, Birru menutup bukunya dan meletakkannya di atas nakas di samping tempat tidur. Ia bersiap merebahkan tubuh untuk tidur, tetapi pandangannya kembali tertuju pada Flora. Gadis itu masih berada di posisi yang sama, kepala tertunduk di atas meja.
Birru menghela napas panjang, ekspresinya terlihat kesal. Dengan langkah berat ia menghampiri Flora. “Flo!” panggilnya seraya mencolek jari-jari Flora. Tidak ada respons. “Flo, bangun!” katanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih keras. Namun, Flora tetap tak bergerak, benar-benar terlelap.
Birru mendesah panjang, merasa frustrasi. “Terserah lu, mau tidur di mana kek, posisi apa kek,” gumamnya pelan sambil kembali ke ranjang. Ia menarik selimut dan mencoba memejamkan mata, berusaha untuk tidak peduli.
Namun, meskipun tubuhnya lelah, pikirannya justru gelisah. Belum sampai lima menit, rasa kantuk yang tadinya menghampiri mendadak hilang. Ia menghela napas lagi, kali ini lebih berat.
“Ck!” Birru mendecak pelan, menahan rasa kesal yang tiba-tiba muncul. Ia tak ingin peduli, tapi nuraninya berkata lain. Dengan enggan, ia bangkit dari tempat tidur dan menghampiri Flora lagi.
Tanpa berkata sepatah pun, ia membungkuk dan mengangkat tubuh gadis itu. Birru meletakkannya di atas kasur dengan hati-hati. Flora menggeliat kecil dalam tidurnya, meregangkan tubuh sejenak sebelum kembali meringkuk. Wajahnya terlihat damai, benar-benar tak sadar akan apa yang baru saja terjadi.
Birru kembali ke tempatnya di sisi ranjang. Ia menarik selimut dan memejamkan mata. Kali ini, suasana terasa hening dan nyaman. Dalam hitungan detik, kantuk kembali menghampiri, dan Birru akhirnya tertidur lelap.
**
Flora kecil berlari pelan, kakinya menyusuri rerumputan basah sambil mengejar seekor kupu-kupu yang terbang bebas di depannya. Tawanya sempat terdengar riang, hingga tiba-tiba kakinya tersandung dan tubuhnya terjatuh ke tanah. Flora meringis, pandangannya tertuju pada lututnya yang kini tergores dan berdarah.
"Kamu nggak apa-apa, Flo?" Suara itu membuat Flora menoleh. Sosok Birru berdiri tak jauh darinya, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Mendengar suara itu, Flora berusaha menenangkan dirinya. Ia menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang mulai memenuhi dadanya.
"Nggak apa-apa, Mas," jawabnya pelan, meski suaranya sedikit gemetar.
Birru mendekat, setengah berjongkok di hadapan Flora. "Ayo sini," katanya seraya membalikkan badan, menunjukkan punggungnya agar Flora naik.
Flora tampak ragu. "Nanti Mas capek. Flo berat, Mas," ujarnya polos, menatap Birru dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Birru menoleh dan tersenyum, seolah meyakinkannya. "Nggak apa-apa, Flo. Mas kan kuat. Laki-laki itu harus kuat. Ayo, naik sebelum hujan turun," ucapnya sambil melirik ke langit yang mulai mendung, awan hitam sudah menguasai cakrawala.
Dengan ragu, Flora akhirnya menurut. Ia naik ke punggung Birru, membiarkan tubuh kecilnya digendong. Langkah Birru mantap meski tanah basah di bawahnya terasa licin. Namun, baru beberapa langkah, hujan tiba-tiba turun, rintiknya berubah deras hanya dalam hitungan detik.
"Mas hujan!" seru Flora panik. Tangannya refleks menutupi kepala Birru, mencoba melindunginya dari air hujan yang mulai membasahi mereka berdua.
Birru hanya tertawa kecil, melanjutkan langkahnya tanpa menghiraukan hujan yang semakin deras. Tapi Flora semakin gelisah. "Mas! Kita kehujanan!" katanya lagi, suaranya mulai panik.
Tiba-tiba, semuanya menghilang. Flora membuka matanya, napasnya tersengal-sengal. Tubuhnya terasa lembap, seolah masih basah oleh hujan yang baru saja ia rasakan dalam mimpinya. Tangannya menyentuh wajah, menyeka keringat yang bercampur dengan air mata.
Ia menatap sekeliling, menyadari dirinya masih berada di kamar. Perasaan itu masih membekas, seolah luka di lutut yang perih dan hujan yang dingin benar-benar nyata.
Beberapa hari terakhir, momen masa kecilnya bersama Birru sering muncul di mimpinya, mengingatkan kenangan penuh keakraban yang dulu pernah mereka miliki. Tapi semua itu kini terasa jauh, hilang ditelan kebencian yang tumbuh karena pernikahan mendadak yang tak pernah mereka harapkan. Mimpi itu hanya menyisakan luka dan rindu yang tak terucapkan.
Flora menatap ke arah Birru yang masih terlelap di sisi ranjang. Wajahnya terlihat begitu tenang, tanpa beban, seperti seseorang yang sedang menikmati tidur paling damai. Pemandangan itu membawa ingatannya kembali ke masa kecil mereka—masa ketika semuanya terasa sederhana, penuh tawa, dan tanpa jarak.
Namun, kenyataan kini jauh berbeda. Flora menghela napas panjang, dadanya terasa sesak oleh perasaan yang sulit ia ungkapkan. Tanpa mengucapkan sepatah kata, ia perlahan bangkit dari kasur.
Langkahnya pelan menuju kamar mandi. Ia menatap bayangannya di cermin, mencoba menyusun kembali ketegaran yang terasa mulai rapuh. Hari ini, ia harus kembali ke sekolah, kembali menjalani rutinitas yang terasa aneh setelah semua perubahan besar dalam hidupnya.
Flora menarik napas panjang sekali lagi, lalu mulai bersiap-siap, meninggalkan segala kerumitan pikiran untuk sesaat. Meski hatinya berat, ia tahu hari harus terus berjalan.
***
Hari-hari berikutnya, Birru mulai mencari rumah yang sesuai dengan keinginan mereka. Ia meminta bantuan Dion dan beberapa rekannya untuk mencari lokasi yang nyaman, tidak terlalu jauh dari kantor, tetapi tetap tenang dan ideal untuk keluarga kecil. Sementara itu, Flora juga mulai mempersiapkan diri untuk perubahan besar ini. Ia mulai menyortir barang-barangnya, membayangkan seperti apa kehidupan mereka nanti setelah pindah. Namun, di lubuk hatinya, ada sedikit kekhawatiran—bagaimana reaksi Lia ketika mereka benar-benar pindah? Suatu malam, setelah makan malam bersama keluarga, Birru memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. "Bun, aku dan Flora ada rencana untuk pindah ke rumah sendiri," kata Birru dengan hati-hati. Lia, yang sedang merapikan piring, terdiam sejenak sebelum menoleh ke putranya. "Kenapa tiba-tiba ingin pindah?" "Bukan tiba-tiba, Bun," Birru tersenyum kecil. "Aku pikir sudah saatnya aku dan Flora mandiri, membangun rumah tangga kami sendiri. Tapi bukan berarti aku m
Pagi ini, Birru sengaja tidak pergi ke kantor. Ia menyerahkan masalah perusahaan akibat ulah Fani kepada Juna dan Dion. Setelah mengabarkan Dion melalui telepon, Birru meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, lalu berbalik dan merengkuh istrinya dalam pelukan.Ia ingin menghabiskan waktu seharian bersama Flora, tanpa gangguan pekerjaan atau hal lain yang membebani pikirannya.Flora menggeliat kecil ketika tangan Birru dengan lembut menyusuri setiap inci tubuhnya di balik piyama tipis yang ia kenakan. Napasnya masih teratur, matanya masih terpejam, tetapi ia sadar sepenuhnya akan sentuhan suaminya."Mas..." gumamnya pelan, suaranya serak karena baru bangun tidur."Hm?" Birru menempelkan bibirnya di puncak kepala istrinya, menghirup aroma khas tubuh Flora yang selalu membuatnya tenang."Kenapa nggak ke kantor?" tanya Flora dengan mata yang masih setengah tertutup."Aku mau sama kamu seharian," jawab Birru tanpa ragu.Flora membuka matanya, menatap suaminya yang kini tersenyum tipis.
Hingga malam tiba, Birru masih belum memberi kabar. Flora yang awalnya berusaha menunggu di kamar akhirnya tertidur, meski tidurnya terasa gelisah dan tidak tenang. Sesekali ia tersentak bangun, lalu kembali mencoba memejamkan mata, tetapi pikirannya terus dihantui kecemasan. Ketika akhirnya ia terbangun lagi, matanya langsung melirik jam di atas nakas. Sudah lewat tengah malam. Dengan jantung yang berdebar cemas, ia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Birru. Tidak ada jawaban. Panggilan kedua pun tak berbalas. Saat ia akan mencoba untuk ketiga kalinya, suara nada sambung terdengar bersamaan dengan bunyi pintu kamar yang terbuka. Flora menoleh cepat, ponsel masih menempel di telinganya. Ketika pandangannya bertemu dengan suaminya, mereka sama-sama terkejut. "Kamu belum tidur, Flo?" suara Birru terdengar serak. Flora mengernyit, lalu berdiri, mendekat untuk melihat lebih jelas. Penampilan Birru jauh berbeda dari saat ia berangkat pagi tadi—kemejanya kusut, dasinya sudah dilep
Di dalam air hangat yang penuh dengan busa sabun wangi, tangan Birru dengan lembut menjelajahi setiap inci tubuh istrinya, memanjakannya dengan sentuhan yang penuh kasih. Flora bersandar di dadanya, merasakan kehangatan yang menyelimuti mereka berdua. Birru menciumi bahu dan leher Flora, membisikkan kata-kata manis yang membuat tubuh istrinya semakin melebur dalam keintiman. Napas mereka berbaur dengan uap air, menciptakan kehangatan yang lebih dari sekadar suhu di dalam kamar mandi. Tak lama, Birru mengangkat tubuh Flora dari bathtub, membawanya ke bawah guyuran shower. Air hangat mengalir membasahi mereka, menciptakan sensasi yang lebih intens. Di bawah aliran air yang jatuh membasahi tubuh mereka, Birru melanjutkan cumbuan penuh gairah, menyatukan mereka dalam keintiman yang lebih dalam. Ketika mereka mencapai puncak bersama, Birru memeluk Flora erat, napasnya masih memburu. Lalu, dengan suara serak dan lembut, ia berbisik di telinga istrinya, "Aku ingin kita punya anak, saya
Hari ini adalah hari terakhir semester awal sebelum liburan. Flora sibuk dengan buku-buku perpustakaan yang harus ia kembalikan. Tiba-tiba, seseorang datang menghampirinya dari belakang. Flora terperanjat dan hampir tersandung kakinya sendiri, untung saja orang itu sigap menangkapnya. Dalam sekejap, ia berada dalam dekapannya—begitu dekat hingga ia bisa merasakan napas hangatnya. "Maaf, aku bikin kamu kaget, Flo," suara itu terdengar pelan sebelum orang itu melepaskan pegangannya dan memastikan Flora sudah berdiri stabil. Flora menelan ludah begitu menyadari siapa yang berdiri di depannya. "Thanks," jawabnya datar, lalu segera mengambil satu langkah mundur untuk menjaga jarak. "Boleh bicara sebentar?" Flora mendongak, menatap mata Riki yang tampak penuh arti. "Soal apa?" tanyanya hati-hati. "Ssttt!" suara teguran dari penjaga perpustakaan membuat Riki buru-buru menutup mulutnya. Ia tersenyum kecil, sementara Flora hanya menghela napas. "Kita ngomong di luar," kata Flora setelah
"Flora!"Renata berlari menghampiri Flora dan Kirana yang baru saja keluar dari perpustakaan."Hai, Na!" sapanya begitu sadar bahwa yang bersama istri sepupunya adalah Kirana. "Oh iya, lu dapat salam dari Boy, teman sekelas gue," tambahnya, sambil mengedipkan sebelah mata.Kirana tersenyum simpul. "No thanks, he’s not being a gentleman," jawabnya santai.Renata tertawa kecil. "Nanti gue bilangin, biar Boy grow up and be a man."Mereka pun tertawa bersama."Udah ah, cukup gibahnya. Lu tadi mau ngomong apa?" tanya Flora kemudian."Oh iya!" Renata menepuk jidatnya pelan. "Riki pindah kuliah, Flo. Ke luar negeri."Langkah Flora sempat terhenti sesaat, tapi ia cepat-cepat mencoba bersikap biasa saja.Semester awal memang sudah berakhir, dan sebulan terakhir Riki benar-benar menjaga jaraknya. Meskipun begitu, terkadang mata mereka masih saling bertemu—di kelas, saat berpapasan di lorong, atau saat salah satu dari mereka maju untuk presentasi.Kirana melirik Flora dengan tatapan penuh arti.