Flora menuruni tangga dengan langkah berat, membiarkan pikirannya dipenuhi berbagai hal yang mengganggu. Setelah menikah, ia tinggal di rumah besar ini bersama Lia, mertuanya yang penuh kasih sayang, dan Violet, kakak perempuan Birru, yang sudah menikah lebih dari tiga tahun namun belum memiliki anak.
"Pagi, sayang," sapa Lia dengan suara lembut penuh kehangatan ketika melihat Flora sudah berada di ruang makan.
Flora membalas sapaan itu dengan senyuman tipis, membiarkan mertuanya memeluknya singkat. Pelukan Lia selalu terasa nyaman, meski kali ini tak cukup mengusir kegundahan yang ia rasakan.
"Kamu kenapa, Nduk? Wajahmu kok terlihat murung. Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Lia dengan nada penuh perhatian. Wajahnya memancarkan kasih sayang yang tulus, meskipun garis-garis kelelahan dan sakit masih jelas terlihat.
Flora tertegun sejenak, berusaha menutupi perasaannya. Ia menarik napas panjang lalu tersenyum kecil. "Masa sih, Bun? Mungkin Flo cuma kelelahan aja karena tugas-tugas sekolah lagi banyak," jawabnya, setengah jujur. Memang benar ia lelah, tetapi yang membuat hatinya berat bukan hanya itu.
Lia mengangguk pelan, matanya penuh simpati. "Jangan terlalu dipaksakan, ya, Nduk. Sesekali coba istirahat dan refreshing biar pikiranmu lebih segar. Kalau perlu, nanti Bunda minta Birru ajak kamu jalan-jalan, ya."
Perkataan Lia yang melibatkan Birru, suami Flora, membuatnya tersentak panik. "Nggak usah repot-repot, Bun," tolak Flora cepat, suaranya terdengar tergesa-gesa. "Flo pikir, weekend nanti kalau istirahat di rumah aja pasti udah cukup buat Flo lebih baik," lanjutnya sambil berusaha memasang senyum ceria, berharap mertuanya tidak curiga.
Lia hanya tersenyum lembut, tetapi matanya seolah memahami lebih banyak daripada yang Flora ungkapkan. "Ya sudah, kalau begitu. Yang penting kamu jangan terlalu keras sama diri sendiri, ya, Nduk," ucapnya menutup pembicaraan dengan nada penuh perhatian.
"Ah, Flo cuma jalan-jalan aja. Ngapain juga Birru harus repot," sahut Violet tiba-tiba. Ia duduk santai di depan Flora, sambil melirik sekilas ke belakangnya.
Flora mengerti arah pandang itu. Detik berikutnya, ia merasakan kehadiran Birru yang kini berdiri di dekatnya, seperti bayangan yang tak bisa ia abaikan.
“Birru itu suami kamu, Flo. Tugasnya ya bikin kamu bahagia, bukan malah bikin kamu tambah stres,” lanjut Violet, kali ini nada bicaranya lebih menohok, jelas ditujukan untuk menusuk Birru.
Flora tetap diam, menunduk tanpa keberanian untuk menoleh ke arah Birru. Ia tidak mau membuat situasi jadi lebih rumit atau malah menyulut perdebatan.
“Apaan sih, Mbak? Sok tahu banget,” jawab Birru santai dengan nada cuek khasnya. Namun, tak lama ia menoleh pada Flora, membelai bahunya ringan dan berkata, “Besok kita jalan-jalan, ya.” suaranya berubah lembut, penuh kehangatan yang hampir terdengar tulus. Hampir.
Flora akhirnya mendongak, menatap wajah Birru yang tersenyum. Itu senyum yang pernah ia kenal, senyum yang dulu membuat hatinya terasa seperti hangat dan nyaman. Tapi kini, senyum itu terasa hampa. Ia tahu itu hanya bagian dari pertunjukan Birru—senyum yang dipamerkan hanya di depan keluarganya, sekadar memastikan semua orang percaya bahwa mereka adalah pasangan yang bahagia dan saling mencintai.
“Iya, Mas. Terima kasih,” jawab Flora dengan suara lembut yang dibuat-buat. Ia tersenyum, senyum yang ia tahu harus dipaksakan. Jika Birru bisa bermain peran, maka ia juga harus bisa.
Di ruangan itu, hanya Lia yang terlihat benar-benar percaya pada kebahagiaan mereka. Violet memandang mereka dengan tatapan menghakimi, sementara Birru dan Flora tetap memelihara ilusi itu. Sebuah sandiwara panjang yang terus berjalan tanpa tahu kapan panggungnya akan benar-benar berakhir.
*
Saat jam istirahat, Flora tanpa sengaja berpapasan dengan Riki di koridor sekolah. Refleks, ia menyunggingkan senyuman hangat, senyuman yang selalu ia simpan untuk lelaki yang diam-diam ia sukai selama bertahun-tahun. Namun, senyuman itu menggantung tanpa balasan.
Riki menatapnya datar, tanpa emosi. Seolah ada tembok besar yang tiba-tiba membatasi mereka. Detik berikutnya, lelaki itu berbalik, menghindari Flora tanpa sepatah kata pun.
Flora berdiri mematung, dadanya terasa sesak. Sikap Riki yang tiba-tiba dingin dan terang-terangan menjauhinya membuat hatinya panas sekaligus sedih. Ia mengepalkan tangannya, mencoba menenangkan diri, tapi rasa kecewa terlalu sulit untuk diabaikan.
Di kepalanya, hanya ada satu kesimpulan: ini pasti ulah Birru. Flora yakin suaminya telah memanggil Riki, mungkin memperingatkannya atau mengatakan sesuatu yang membuat Riki berubah drastis terhadapnya.
Hatinya bergejolak. Ada luka yang tercipta, bukan hanya karena sikap Riki, tetapi juga karena kendali Birru yang terasa seperti rantai yang mengekangnya tanpa ampun. Saat itu, Flora merasa dunianya semakin sempit, seperti tak ada ruang untuk dirinya sendiri, bahkan untuk sekadar menyukai seseorang.
"Kenapa, sih? Dari tadi lu kayak hilang arah gitu mukanya," celetuk Adel sambil melahap batagor di didepannya, ekspresinya penasaran seperti biasa.
Flora hanya mendesah pelan, napasnya berat. Tangannya sibuk memutar-mutar sedotan jus alpukat di gelasnya, tanpa niat untuk meminumnya.
"Ini bukan gara-gara uang taruhan lu kemarin, kan?" tanya Dara dengan nada khawatir.
"Bukan," jawab Flora cepat. Memang, ia sama sekali tidak mempermasalahkan soal uang taruhan itu.
"Terus kenapa dong?" desak Adel, penasaran.
Flora menunduk, suara kecilnya akhirnya keluar, "Riki jauhin gue."
Mendengar itu, Adel dan Dara saling pandang. Ekspresi mereka berubah serius.
Adel mendekatkan tubuhnya, lalu melirik ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada orang yang menguping. Setelah yakin, ia berbisik, "Gue tadi pagi lihat Riki keluar dari ruangan Pak Birru. Mukanya kayak abis ditabrak bad mood. Gue yakin ini ada hubungannya sama lu tentang kemarin."
Flora mendongak sedikit, keningnya berkerut mencoba memahami. Kata-kata Adel membangkitkan sesuatu di pikirannya. Dugaan yang sejak tadi kini semakin nyata. Namun, ia memilih untuk diam.
"Sorry to say, Flo," Dara memecah keheningan, nada suaranya hati-hati. "Kita-kita ini, sebagian anak sekolah, memang tahu lu ada hubungan keluarga sama Pak Birru. Tapi makin ke sini gue sama Adel ngerasa ada yang aneh."
Flora mengangkat alis, bingung. "Aneh gimana maksud lu?" tanyanya, meski rasa gelisah sudah mulai merayap di hatinya.
Dara menatap Flora dalam-dalam sebelum berkata, "Kayak lebih… ngatur. Lu sadar nggak? Sikap Pak Birru kayak posesif banget belakangan ini."
Adel mengangguk cepat. "Iya, Flo. Gue nggak tahu lu nyadar atau nggak, tapi Pak Birru tuh kayak nggak mau ada orang lain yang deketin lu."
Flora hanya diam. Dalam hati, ia tahu sikap Birru yang terkesan mengatur hidupnya itu semata-mata karena statusnya sebagai istri. Sebuah tanggung jawab yang dijalankan tanpa cinta.
Tapi sekarang, apa yang harus ia lakukan? Laki-laki yang diam-diam ia sukai selama ini, Riki, telah menjauhinya tanpa penjelasan. Perasaan yang selama ini ia pendam kini terasa seperti beban yang tak punya tujuan. Ke mana ia harus membawa semua ini?
Pikiran itu terus bergulir di kepalanya, membuat wajah Flora semakin murung. Hatinya terasa sesak saat ia menyadari satu hal yang menyakitkan: hidupnya seakan menutup semua ruang untuk cinta. Ia terjebak dalam peran yang harus ia jalani, tapi tak pernah benar-benar ia pilih.
Hatinya yang dulu penuh harapan kini terasa hampa. Ia hanya ingin bahagia, tapi kebahagiaan itu terasa seperti bintang di langit—terlihat, namun terlalu jauh untuk diraih.
***
Hari-hari berikutnya, Birru mulai mencari rumah yang sesuai dengan keinginan mereka. Ia meminta bantuan Dion dan beberapa rekannya untuk mencari lokasi yang nyaman, tidak terlalu jauh dari kantor, tetapi tetap tenang dan ideal untuk keluarga kecil. Sementara itu, Flora juga mulai mempersiapkan diri untuk perubahan besar ini. Ia mulai menyortir barang-barangnya, membayangkan seperti apa kehidupan mereka nanti setelah pindah. Namun, di lubuk hatinya, ada sedikit kekhawatiran—bagaimana reaksi Lia ketika mereka benar-benar pindah? Suatu malam, setelah makan malam bersama keluarga, Birru memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. "Bun, aku dan Flora ada rencana untuk pindah ke rumah sendiri," kata Birru dengan hati-hati. Lia, yang sedang merapikan piring, terdiam sejenak sebelum menoleh ke putranya. "Kenapa tiba-tiba ingin pindah?" "Bukan tiba-tiba, Bun," Birru tersenyum kecil. "Aku pikir sudah saatnya aku dan Flora mandiri, membangun rumah tangga kami sendiri. Tapi bukan berarti aku m
Pagi ini, Birru sengaja tidak pergi ke kantor. Ia menyerahkan masalah perusahaan akibat ulah Fani kepada Juna dan Dion. Setelah mengabarkan Dion melalui telepon, Birru meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, lalu berbalik dan merengkuh istrinya dalam pelukan.Ia ingin menghabiskan waktu seharian bersama Flora, tanpa gangguan pekerjaan atau hal lain yang membebani pikirannya.Flora menggeliat kecil ketika tangan Birru dengan lembut menyusuri setiap inci tubuhnya di balik piyama tipis yang ia kenakan. Napasnya masih teratur, matanya masih terpejam, tetapi ia sadar sepenuhnya akan sentuhan suaminya."Mas..." gumamnya pelan, suaranya serak karena baru bangun tidur."Hm?" Birru menempelkan bibirnya di puncak kepala istrinya, menghirup aroma khas tubuh Flora yang selalu membuatnya tenang."Kenapa nggak ke kantor?" tanya Flora dengan mata yang masih setengah tertutup."Aku mau sama kamu seharian," jawab Birru tanpa ragu.Flora membuka matanya, menatap suaminya yang kini tersenyum tipis.
Hingga malam tiba, Birru masih belum memberi kabar. Flora yang awalnya berusaha menunggu di kamar akhirnya tertidur, meski tidurnya terasa gelisah dan tidak tenang. Sesekali ia tersentak bangun, lalu kembali mencoba memejamkan mata, tetapi pikirannya terus dihantui kecemasan. Ketika akhirnya ia terbangun lagi, matanya langsung melirik jam di atas nakas. Sudah lewat tengah malam. Dengan jantung yang berdebar cemas, ia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Birru. Tidak ada jawaban. Panggilan kedua pun tak berbalas. Saat ia akan mencoba untuk ketiga kalinya, suara nada sambung terdengar bersamaan dengan bunyi pintu kamar yang terbuka. Flora menoleh cepat, ponsel masih menempel di telinganya. Ketika pandangannya bertemu dengan suaminya, mereka sama-sama terkejut. "Kamu belum tidur, Flo?" suara Birru terdengar serak. Flora mengernyit, lalu berdiri, mendekat untuk melihat lebih jelas. Penampilan Birru jauh berbeda dari saat ia berangkat pagi tadi—kemejanya kusut, dasinya sudah dilep
Di dalam air hangat yang penuh dengan busa sabun wangi, tangan Birru dengan lembut menjelajahi setiap inci tubuh istrinya, memanjakannya dengan sentuhan yang penuh kasih. Flora bersandar di dadanya, merasakan kehangatan yang menyelimuti mereka berdua. Birru menciumi bahu dan leher Flora, membisikkan kata-kata manis yang membuat tubuh istrinya semakin melebur dalam keintiman. Napas mereka berbaur dengan uap air, menciptakan kehangatan yang lebih dari sekadar suhu di dalam kamar mandi. Tak lama, Birru mengangkat tubuh Flora dari bathtub, membawanya ke bawah guyuran shower. Air hangat mengalir membasahi mereka, menciptakan sensasi yang lebih intens. Di bawah aliran air yang jatuh membasahi tubuh mereka, Birru melanjutkan cumbuan penuh gairah, menyatukan mereka dalam keintiman yang lebih dalam. Ketika mereka mencapai puncak bersama, Birru memeluk Flora erat, napasnya masih memburu. Lalu, dengan suara serak dan lembut, ia berbisik di telinga istrinya, "Aku ingin kita punya anak, saya
Hari ini adalah hari terakhir semester awal sebelum liburan. Flora sibuk dengan buku-buku perpustakaan yang harus ia kembalikan. Tiba-tiba, seseorang datang menghampirinya dari belakang. Flora terperanjat dan hampir tersandung kakinya sendiri, untung saja orang itu sigap menangkapnya. Dalam sekejap, ia berada dalam dekapannya—begitu dekat hingga ia bisa merasakan napas hangatnya. "Maaf, aku bikin kamu kaget, Flo," suara itu terdengar pelan sebelum orang itu melepaskan pegangannya dan memastikan Flora sudah berdiri stabil. Flora menelan ludah begitu menyadari siapa yang berdiri di depannya. "Thanks," jawabnya datar, lalu segera mengambil satu langkah mundur untuk menjaga jarak. "Boleh bicara sebentar?" Flora mendongak, menatap mata Riki yang tampak penuh arti. "Soal apa?" tanyanya hati-hati. "Ssttt!" suara teguran dari penjaga perpustakaan membuat Riki buru-buru menutup mulutnya. Ia tersenyum kecil, sementara Flora hanya menghela napas. "Kita ngomong di luar," kata Flora setelah
"Flora!"Renata berlari menghampiri Flora dan Kirana yang baru saja keluar dari perpustakaan."Hai, Na!" sapanya begitu sadar bahwa yang bersama istri sepupunya adalah Kirana. "Oh iya, lu dapat salam dari Boy, teman sekelas gue," tambahnya, sambil mengedipkan sebelah mata.Kirana tersenyum simpul. "No thanks, he’s not being a gentleman," jawabnya santai.Renata tertawa kecil. "Nanti gue bilangin, biar Boy grow up and be a man."Mereka pun tertawa bersama."Udah ah, cukup gibahnya. Lu tadi mau ngomong apa?" tanya Flora kemudian."Oh iya!" Renata menepuk jidatnya pelan. "Riki pindah kuliah, Flo. Ke luar negeri."Langkah Flora sempat terhenti sesaat, tapi ia cepat-cepat mencoba bersikap biasa saja.Semester awal memang sudah berakhir, dan sebulan terakhir Riki benar-benar menjaga jaraknya. Meskipun begitu, terkadang mata mereka masih saling bertemu—di kelas, saat berpapasan di lorong, atau saat salah satu dari mereka maju untuk presentasi.Kirana melirik Flora dengan tatapan penuh arti.