Share

Pertemuan Pertama

Author: Pebyuna
last update Last Updated: 2025-06-29 16:55:17

"Sayang, malam ini kita akan makan malam dengan keluarga Wijaya. Sekaligus membahas tanggal pernikahan kalian. Kamu wajib ikut pokoknya."

Joana hanya tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban atas persetujuannya. Ia tak mengatakan apapun. Ia hanya berusaha untuk membahagiakan orang tuanya. Juga mencoba berbahagia atas pernikahan hasil perjodohan yang akan ia lakukan bersama laki-laki yang ia sendiri belum tau. 

Lagipula kata papanya, calon suaminya tampan. Maka akan mudah baginya untuk menyukai laki-laki yang akan menjadi suaminya itu.

"Kamu dandan yang cantik, ya."

Joana kembali mengangguk. Ia kemudian izin untuk melenggang pergi ke kamarnya. Di kamar, Joana malah berpikir bagaimana sosok laki-laki yang akan dijodohkan dengannya. Kalau tampan, sudah pasti. Wicaksana tak mungkin berbohong padanya. Kaya? Kemungkinan juga iya. Papanya tidak mungkin membiarkan ia hidup miskin. Baik? Harusnya sih iya. Papanya tidak mungkin menyerahkan putri semata wayangnya ke orang yang berniat jahat padanya.

Joana mendesah panjang. Sebenarnya, ia tahu pernikahannya ini juga salah satu alasannya adalah untuk urusan bisnis. Joana tak masalah. Hitung-hitung sambil menyelam minum air. Sambil menikah, keluarganya bisa melebarkan sayap dalam urusan bisnis.

Namun, masalahnya adalah bagaimana jika calon suaminya itu tak suka padanya. Bagaimana jika calon suaminya menyebalkan, seperti laki-laki yang ia temui di supermarket kemarin? Em, mungkin yang satu itu tak apa. Setidaknya laki-laki ini tidak akan berselingkuh, seperti Samuel. Tapi tetap saja, semoga calon suaminya tidak semenyebalkan laki-laki di supermarket itu.

Joana berdecak dan segera menggelengkan kepalanya. "Kenapa malah keinget muka dia?" Joana mengerucutkan bibirnya. "Tapi emang ganteng, sih. Sayangnya nyebelin," gumamnya pelan.

Joana kembali menggelengkan kepalanya. Sepertinya ia sudah mulai gila barusan.

"Semoga dia baik." Joana merebahkan tubuhnya di ranjang kamar. Ia menatap langit-langit kamarnya. Bertanya-tanya bagaimana kehidupan pernikahannya kelak.

Di usia 27 tahun ini, Joana memang mendambakan sosok pria yang bisa lebih dominan darinya. Menjadi anak tunggal kadang membuatnya kesepian, untuk itu ia suka tinggal di luar negeri karena orang tuanya sibuk bekerja. Jadi, ia ingin nanti suaminya bisa perhatian dan selalu ada untuknya. Lalu, ia ingin suami yang setia, tidak seperti mantan pacarnya. 

Joana tersenyum pahit. Apakah laki-laki memang selalu menjadikan perempuan sebagai objek seksual? Dulu Joana berpikir mungkin iya. Perempuan pun juga seperti itu, kan? Hanya saja, harusnya manusia tahu kapan waktu yang tepat untuk mengeluarkan pikiran-pikiran kotor itu. Dulu, Samuel pernah mengajaknya untuk berhubungan, hanya saja Joana tidak ingin melakukannya sebelum menikah. Dan pada akhirnya, laki-laki itu malah berselingkuh dengan sahabatnya dan mengatakan jika Joana adalah perempuan polos dan tak menarik.

Joana kembali tersenyum pahit. Kalau saja Samuel mau menunggu lebih lama, mungkin pria itu akan melihat sisi lain diri Joana. Ia tidak polos. Tinggal di luar negeri dengan budaya bebas membuatnya mengerti bagaimana kehidupan mereka. Hanya saja, Joana masih paham norma yang diajarkan orang tuanya. Ia tidak mau agresif sebelum waktunya.

Jam menunjukkan pukul 4 sore saat Joana terbangun. Ia ketiduran. Acara makan malam akan diakan pukul 6 malam. Dan ia masih ada waktu 2 jam untuk sampai ke tempat acara.

Joana bergegas pergi membersihkan dirinya. Tak butuh waktu lama, ia sudah selesai. Kini ia harus segera berhias, kegiatan paling lama darinya. Segala jenis make up ia poles hingga menampilkan Joana yang terlihat kalem dan cantik.

Jam menunjukkan pukul 5 lebih 20 menit saat Joana keluar kamar. Orang tuanya sudah memanggilnya beberapa saat lalu. Ketika keluar, Wicaksana dan Raline sudah menunggu di depan rumah.

"Maaf lama, Pa, Ma."

Wicaksana terkekeh pelan. "Nggak apa-apa, Sayang. Jarak rumah ke tempat acara dekat kok. Kamu cantik banget," puji Wicaksana..

"Siapa dulu, dong, Papa Mamanya," ucap Joana.

Mereka melenggang pergi membelah jalanan. Di perjalanan, Joana hanya diam. Entah kenapa hatinya berdetak lebih kencang. Ia deg-degan.

"Kamu kenapa diam aja, Sayang?" tanya Raline dengan sedikit khawatir.

"Enggak apa-apa, Ma. Jo cuma nikmatin perjalanan aja. Lama banget nggak lewat jalanan ini, ya," jawabnya bohong.

Tak butuh waktu lama, mereka sudah sampai di tempat acara. Keluarga Wijaya juga sudah sampai duluan. Mereka kemudian menyapa mereka. Joana tampak celingukan, mencari-cari seseorang.

"Cantik banget kamu, Jo," ucap Margareth. "Iya, kan, Pa?" ujarnya sambil menoleh ke arah suaminya, Wijaya.

Wijaya mengangguk antusias. Lalu mempersilakan Wicaksana dan keluarganya untuk duduk.

"Di mana, Don?" tanya Wicaksana.

"Dia masih diperjalanan. Maklum, anak itu agak bandel setelah tinggal di rumahnya sendiri," jawab Wijaya.

"Tenang, Jo. Don akan segera sampai sebentar lagi. Dan kalian bisa kena— ah itu dia orangnya." Margareth menunjuk seseorang yang baru saja berjalan masuk dengan santai ke arah tempat duduk mereka.

Semua orang yang ada di sana mengikuti arah tunjuk Margaret, tak terkecuali Joana. Namun, mata Joana langsung melotot ketika melihat seseorang yang juga tampak terkejut saat melihatnya.

"Kenapa kalian kayak kaget gitu?" tanya Raline memandang Jo dan Don yang baru sampai.

"Kalian udah kenal?" gantian Margareth yang bertanya.

"Enggak," jawab Don dan Joana bersamaan.

Raline bertepuk tangan kegirangan. "Lihat, mereka sepertinya benar-benar berjodoh."

"Harapannya begitu. Tapi, biarkan mereka kenal dulu." Wicaksana menunjuk ke arah tangga menuju lantai 2 restoran. "Kalian bisa ke atas untuk ngobrol-ngobrol dulu."

"Nggak usah," jawab Joaan dan Don bersamaan, lagi.

Melihat itu, para orang tua tampak bingung. Mereka saling berpandangan.

"Kalian ... mau atau tidak menerima perjodohan ini?"

"Eng—"

"Mau!" Joana menjawab dengan terburu dan sedikit keras. Ia menatap laki-laki bernama Don yang tengah menatapnya dengan tajam itu sambil menyeringai. "Ah kami mau. Papa, Mama, Om, dan Tante silakan cari tanggal pernikahan kami, yang paling terdekat. Tapi mohon maaf, sepertinya saya harus segera pergi karena ada urusan mendadak."

Tanpa menunggu balasan dari mereka semua, Joana meninggalkan tempat itu. Ia menyeringai. Siapa suruh laki-laki itu membuatnya kesal kemarin. Ia tidak akan mundur karena laki-laki itu menyebalkan. Ia justru malah tertantang. Ia janji, ia pasti akan bisa menaklukkan Don.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mengejar Cinta Duda Dingin   Kesempatan dalam Kesempitan

    Joana buru-buru berlari menuju meja nakas samping TV saat mendengar nada dering ponselnya berbunyi. Nama Suamiku Tersayang terpampang jelas di sana. Ia segera mengangkat telepon dari Don itu. "Jo, aku minta tolong." Joana menyunggingkan senyumnya. Suara Don terdengar panik. Tentu saja, sebab dokumennya tertinggal. Tadi, sebelum Don berangkat, Joana sudah melihat dokumen di map biru itu tergeletak di atas meja ruang tamu. Don mungkin lupa dan tak menyadarinya. Karena Don tidak mau mencium keningnya, Joana sedikit kesal. Akhirnya, ia diam saja, membiarkan dokumen itu ketinggalan. Dan kini, Don panik. Rasakan itu, batin Joana. "Minta tolong apa, Suamiku?" tanyanya dengan nada lembut. "Di ruang tamu, ada map warna biru. Tolong antarkan ke kantor. Jangan lewat ojek online. Itu dokumen penting," peringat Don menekankan di akhir kalimatnya. Joana tersenyum miring. "Aku dapat apa kalau nganterin dokumen penting ini?" tanyanya. Terd

  • Mengejar Cinta Duda Dingin   Makan Bersama

    Joana belum puas menggoda Don. Malam itu adalah makan malam pertama mereka bersama sebagai keluarga. Bagi Joana, ini kesempatan emas. Bagi Don, ini justru ujian kesabaran.Meja makan penuh hidangan: nasi hangat, capcay, ayam bakar yang masih mengepulkan aroma gurih. Joana duduk di samping Don, sengaja membuat jarak di antara mereka nyaris hilang. Senyumnya lebar, tangannya cekatan mengisi piring Don tanpa memberi kesempatan pria itu bergerak.“Mau lauk apa? Ini buatan aku semua, loh. Pastinya enak banget. Iya, kan, Nath?” tanyanya riang.Nathan, bocah kecil itu, mengangguk sambil terus mengunyah. Dari tadi Joana sudah mengambilkan makanan lebih dulu untuknya. Bocah itu tampak bahagia dengan piring penuh capcay dan ayam bakar, seolah dunia hanya milik dia dan makanannya.Don menatap piringnya yang sudah penuh, tapi tangannya belum sempat menyentuh sendok. Rahangnya mengeras. “Aku bisa ambil sendiri.”Joana pura-pura tidak mendengar, m

  • Mengejar Cinta Duda Dingin   Nonton Bersama

    Sore harinya, setelah Joana baru terbangun setelah tak sengaja ketiduran di kamarnya, ia mendengar suara tawa dari arah ruang keluarga. Joan melangkah ke sana dan melihat Don dan Nathan yang asik bersenda gurau. "Wah, seru banget kayaknya. Nggak ajak-ajak aku," ucapnya dengan muka cemberut. Joana langsung duduk mepet di samping Don. Lalu dengan tiba-tiba tangannya melingkar di lengan Don. Joana mendongak dan tersenyum manis menatap Don. Suara decakan dengan sedikit dorongan membuat Joana menghentakkan kakinya kesal. Tak mau berlarut, kini ia berpindah ke samping Nathan. Bocah itu langsung menyodorkan tangannya, meminta Joana memangkunya. Tentu saja Joana senang. Ia dengan antusias meraih Nathan dan meletakkannya di pangkuannya. Tak sampai di situ, Joana memepetkan badannya lagi ke arah Don, namun kini ada Nathan yang menjadi pelindungnya. Dengan begitu, tentu saja Don tidak akan mendorongnya. "Nath mau nonton kartun," ucap Nathan. Jo

  • Mengejar Cinta Duda Dingin   Kamar Rahasia

    Joana mulai melancarkan aksinya. Setelah Don berangkat bekerja, ia segera pergi ke kamar belakang untuk membuka kuncinya. Joana sedikit bersemangat. Dengan segala harapan, semoga saja salah satu kuncinya benar. Tangannya bergerak mengambil satu persatu kunci yang ia bawa. Ia mencobanya. Kunci pertama Gagal. Kunci kedua juga gagal. Kunci ketiga apalagi. Joana mendesah. Hanya tersisa satu kunci dan semoga saja memang itu kuncinya. Mata Joana membulat saat bunyi klik terdengar di telinganya. Ia mengerjapkan mata dan mulai memutar knop pintu kamar itu. Terbuka. Joana tersenyum senang. Ia melompat-lompat pelan, mencoba menahan teriakan senangnya. Joana menahan napasnya. Perlahan tangannya mendorong pintu itu agar terbuka. Bibirnya mulai tertarik ke atas. Dadanya berdebar-debar. Dan... "What? Apa ini?" Senyum Joana langsung luntur. Alisnya menukik sambil matanya menatap ke sekeliling ruangan. Ia menghela napas kasar. Joana melangkahkan kakinya ke da

  • Mengejar Cinta Duda Dingin   Kejutan Pagi Hari

    "Joana!" Suara teriakan Don menggema di seluruh kamarnya. Pria itu sudah berdiri di samping ranjang dengan napas ngos-ngosan. Matanya menatap tajam Joana yang masih tertidur di ranjang kamarnya. "Bangun Joana!" geramnya setengah berteriak. Ia dengan kasar menarik selimut yang Joana pakai, hingga membuat Joana terbangun dengan sebuah pekikan yang cukup keras. "Aduh. Sakit tau, Mas," keluh Joana. Ia lalu ikut berdiri dan menatap Don yang terlihat marah. Dalam hati Joana sedikit takut. Tapi lagi-lagi ia mencoba menguatkan dan memberanikan diri. Jika ia takut, ia tidak akan mendapatkan hari Don. "Kenapa kamu tidur di kamar saya?" tanya Don. Kedua alisnya menukik tajam dengan rahang yang mengetat. Ia masih menatap Joana dengan tajam, menuntut penjelasan. "Nggak tau. Mas kali yang gendong aku ke sini," Joana berujar santai, tidak mengaku. Ia memutar bola matanya jengah saat melihat tatapan tajam Don yang mengar

  • Mengejar Cinta Duda Dingin   Usaha Terus

    Joana memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang ada di kamar itu. Ia bertanya pada Rudi, Mamat, dan Darmi, tetapi mereka semua mengatakan mereka tidak tahu. Tak kehabisan akal, Joana berniat masuk ke kamar Don mumpung pria itu masih berada di kantor. Mungkin kunci kamar misterius di belakang itu Don simpan di kamarnya. Tapi usahanya lagi-lagi gagal sebab ternyata Don mengunci kamarnya. Mau tak mau, Joana harus masuk kamar Don di malam hari, saat pria itu sudah tertidur. Joana harus menyusun rencana. Namun, sebelum itu ia perlu tetap terus berusaha mengambil hati Nathan. Bocah itu menang sudah cukup dekat dengannya, namun belum sepenuhnya. Kalau kata orang, kan, ambil dulu hati anaknya, baru bapaknya. Setidaknya ia punya pegangan ketika Nathan sudah terikat padanya. "Mau main apa kita hari ini?" tanya Joana antusias. Nathan sudah selesai mandi baru saja. Ia juga sudah sarapan. Sepertinya energinya sudah full dan siap memporak-porandakan seisi rum

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status