"Sayang, malam ini kita akan makan malam dengan keluarga Wijaya. Sekaligus membahas tanggal pernikahan kalian. Kamu wajib ikut pokoknya."
Joana hanya tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban atas persetujuannya. Ia tak mengatakan apapun. Ia hanya berusaha untuk membahagiakan orang tuanya. Juga mencoba berbahagia atas pernikahan hasil perjodohan yang akan ia lakukan bersama laki-laki yang ia sendiri belum tau. Lagipula kata papanya, calon suaminya tampan. Maka akan mudah baginya untuk menyukai laki-laki yang akan menjadi suaminya itu. "Kamu dandan yang cantik, ya." Joana kembali mengangguk. Ia kemudian izin untuk melenggang pergi ke kamarnya. Di kamar, Joana malah berpikir bagaimana sosok laki-laki yang akan dijodohkan dengannya. Kalau tampan, sudah pasti. Wicaksana tak mungkin berbohong padanya. Kaya? Kemungkinan juga iya. Papanya tidak mungkin membiarkan ia hidup miskin. Baik? Harusnya sih iya. Papanya tidak mungkin menyerahkan putri semata wayangnya ke orang yang berniat jahat padanya. Joana mendesah panjang. Sebenarnya, ia tahu pernikahannya ini juga salah satu alasannya adalah untuk urusan bisnis. Joana tak masalah. Hitung-hitung sambil menyelam minum air. Sambil menikah, keluarganya bisa melebarkan sayap dalam urusan bisnis. Namun, masalahnya adalah bagaimana jika calon suaminya itu tak suka padanya. Bagaimana jika calon suaminya menyebalkan, seperti laki-laki yang ia temui di supermarket kemarin? Em, mungkin yang satu itu tak apa. Setidaknya laki-laki ini tidak akan berselingkuh, seperti Samuel. Tapi tetap saja, semoga calon suaminya tidak semenyebalkan laki-laki di supermarket itu. Joana berdecak dan segera menggelengkan kepalanya. "Kenapa malah keinget muka dia?" Joana mengerucutkan bibirnya. "Tapi emang ganteng, sih. Sayangnya nyebelin," gumamnya pelan. Joana kembali menggelengkan kepalanya. Sepertinya ia sudah mulai gila barusan. "Semoga dia baik." Joana merebahkan tubuhnya di ranjang kamar. Ia menatap langit-langit kamarnya. Bertanya-tanya bagaimana kehidupan pernikahannya kelak. Di usia 27 tahun ini, Joana memang mendambakan sosok pria yang bisa lebih dominan darinya. Menjadi anak tunggal kadang membuatnya kesepian, untuk itu ia suka tinggal di luar negeri karena orang tuanya sibuk bekerja. Jadi, ia ingin nanti suaminya bisa perhatian dan selalu ada untuknya. Lalu, ia ingin suami yang setia, tidak seperti mantan pacarnya.Joana tersenyum pahit. Apakah laki-laki memang selalu menjadikan perempuan sebagai objek seksual? Dulu Joana berpikir mungkin iya. Perempuan pun juga seperti itu, kan? Hanya saja, harusnya manusia tahu kapan waktu yang tepat untuk mengeluarkan pikiran-pikiran kotor itu. Dulu, Samuel pernah mengajaknya untuk berhubungan, hanya saja Joana tidak ingin melakukannya sebelum menikah. Dan pada akhirnya, laki-laki itu malah berselingkuh dengan sahabatnya dan mengatakan jika Joana adalah perempuan polos dan tak menarik.
Joana kembali tersenyum pahit. Kalau saja Samuel mau menunggu lebih lama, mungkin pria itu akan melihat sisi lain diri Joana. Ia tidak polos. Tinggal di luar negeri dengan budaya bebas membuatnya mengerti bagaimana kehidupan mereka. Hanya saja, Joana masih paham norma yang diajarkan orang tuanya. Ia tidak mau agresif sebelum waktunya.
Jam menunjukkan pukul 4 sore saat Joana terbangun. Ia ketiduran. Acara makan malam akan diakan pukul 6 malam. Dan ia masih ada waktu 2 jam untuk sampai ke tempat acara. Joana bergegas pergi membersihkan dirinya. Tak butuh waktu lama, ia sudah selesai. Kini ia harus segera berhias, kegiatan paling lama darinya. Segala jenis make up ia poles hingga menampilkan Joana yang terlihat kalem dan cantik. Jam menunjukkan pukul 5 lebih 20 menit saat Joana keluar kamar. Orang tuanya sudah memanggilnya beberapa saat lalu. Ketika keluar, Wicaksana dan Raline sudah menunggu di depan rumah. "Maaf lama, Pa, Ma." Wicaksana terkekeh pelan. "Nggak apa-apa, Sayang. Jarak rumah ke tempat acara dekat kok. Kamu cantik banget," puji Wicaksana.. "Siapa dulu, dong, Papa Mamanya," ucap Joana. Mereka melenggang pergi membelah jalanan. Di perjalanan, Joana hanya diam. Entah kenapa hatinya berdetak lebih kencang. Ia deg-degan. "Kamu kenapa diam aja, Sayang?" tanya Raline dengan sedikit khawatir. "Enggak apa-apa, Ma. Jo cuma nikmatin perjalanan aja. Lama banget nggak lewat jalanan ini, ya," jawabnya bohong. Tak butuh waktu lama, mereka sudah sampai di tempat acara. Keluarga Wijaya juga sudah sampai duluan. Mereka kemudian menyapa mereka. Joana tampak celingukan, mencari-cari seseorang. "Cantik banget kamu, Jo," ucap Margareth. "Iya, kan, Pa?" ujarnya sambil menoleh ke arah suaminya, Wijaya. Wijaya mengangguk antusias. Lalu mempersilakan Wicaksana dan keluarganya untuk duduk. "Di mana, Don?" tanya Wicaksana. "Dia masih diperjalanan. Maklum, anak itu agak bandel setelah tinggal di rumahnya sendiri," jawab Wijaya. "Tenang, Jo. Don akan segera sampai sebentar lagi. Dan kalian bisa kena— ah itu dia orangnya." Margareth menunjuk seseorang yang baru saja berjalan masuk dengan santai ke arah tempat duduk mereka. Semua orang yang ada di sana mengikuti arah tunjuk Margaret, tak terkecuali Joana. Namun, mata Joana langsung melotot ketika melihat seseorang yang juga tampak terkejut saat melihatnya. "Kenapa kalian kayak kaget gitu?" tanya Raline memandang Jo dan Don yang baru sampai. "Kalian udah kenal?" gantian Margareth yang bertanya. "Enggak," jawab Don dan Joana bersamaan. Raline bertepuk tangan kegirangan. "Lihat, mereka sepertinya benar-benar berjodoh." "Harapannya begitu. Tapi, biarkan mereka kenal dulu." Wicaksana menunjuk ke arah tangga menuju lantai 2 restoran. "Kalian bisa ke atas untuk ngobrol-ngobrol dulu." "Nggak usah," jawab Joaan dan Don bersamaan, lagi. Melihat itu, para orang tua tampak bingung. Mereka saling berpandangan. "Kalian ... mau atau tidak menerima perjodohan ini?" "Eng—" "Mau!" Joana menjawab dengan terburu dan sedikit keras. Ia menatap laki-laki bernama Don yang tengah menatapnya dengan tajam itu sambil menyeringai. "Ah kami mau. Papa, Mama, Om, dan Tante silakan cari tanggal pernikahan kami, yang paling terdekat. Tapi mohon maaf, sepertinya saya harus segera pergi karena ada urusan mendadak." Tanpa menunggu balasan dari mereka semua, Joana meninggalkan tempat itu. Ia menyeringai. Siapa suruh laki-laki itu membuatnya kesal kemarin. Ia tidak akan mundur karena laki-laki itu menyebalkan. Ia justru malah tertantang. Ia janji, ia pasti akan bisa menaklukkan Don.Joana kembali sibuk di dapur pagi harinya. Don semalam mengatakan jika ia tidak perlu memasak makan malam untuknya. Artinya, ia tentu masih bisa memasak untuk sarapan. Begitu, kan? "Saya bantu, Non," tawar Bi Darmi. Joana menggeleng sopan. "Terima kasih, Bi. Tapi nggak papa, Bibi ngerjain yang lain aja. Saya pengen masakan untuk Mas Don full dari hasil tangan saya," Joana tersenyum manis. Darmi ikut tersenyum. Menatap nyonya barunya dengan tatapan kagum. "Pak Don beruntung banget pasti punya istri kayak Non Joana," ucapnya tulus. Joana hanya tersenyum tipis. Ia membatin, semoga saja Don memang merasa beruntung telah memilikinya. Hari ini Joana memilih untuk memasak rawon, menu yang sangat ia rindukan saat dulu ia tinggal di luar negeri. Berdasarkan obrolannya dengan Bi Darmi kemarin, Joana juga tahu bahwa rawon adalah makanan favorit Don, juga makanan nusantara yang berkuah lainnya. Asik memasa
Don pulang cukup larut. Pria itu melenggang begitu saja tanpa sepatah katapun saat Joana berusaha untuk menyambutnya pulang. Joana hanya bisa mengusap dada mencoba untuk berpikir positif. Mungkin Don sedang kelelahan dan banyak pikiran. "Kamu udah makan?" tanya Joana. Ia mengikuti langkah kaki panjang Don menuju kamarnya. Baru saja tangan Don memegang pegangan pintu, pria itu berhenti dan beralih menatap Joana. "Berhenti di sini. Jangan masuk kamar saya," ucap Don datar sambil menatap Joana dengan mata lelahnya. Don kemudian beranjak membuka pintu dan melangkahkan kakinya ke dalam. Sebelum menutup pintu kamarnya, pria itu kembali menatap Joana dengan malas. "Saya sudah makan. Kamu nggak perlu buatkan saya makan malam." Usai mengatakan itu, Don langsung membanting pintu dihadapan mata Joana. Joana hanya bisa mengelus dada. "Oke," ucapnya pelan di depan pintu kamar Don. Ia memilih untu
Joana memilih untuk membuat sarapan, mumpung Nathan masih belum ada tanda-tanda untuk bangun. Sepertinya dia terbiasa bangun siang. Dan itu adalah kebiasaan yang buruk. Mulai besok, Joana berencana akan mengajak Nathan untuk bangun pagi, agar tidak menjadi kebiasaan. Apalagi, sebentar lagi, mungkin sekitar 2 atau 3 tahun lagi, Nathan pasti sudah harus masuk di bangku sekolah. Joana membuka lemari pendingin di dapur. Bibirnya menipis saat melihat isi lemari pendingin itu. Sepertinya Don bukan tipe laki-laki yang suka memasak. Joana juga sangsi apakah laki-laki itu bisa memasak. Lihatlah, hanya ada beberapa butir telur dan beberapa potong ayam yang entah sudah berapa bulan di sana. Baunya sungguh membuat Joana ingin muntah. Joana mendesah, berhubung ia belum tahu daerah tempat tinggalnya sekarang, dan tidak mungkin juga ia hanya menggoreng telur untuk sarapan Nathan, jadi ia memilih meminta tolong Pak Mamat untuk membeli bahan masakan. Untun
Malamnya, Don akhirnya mengajak Joana pulang ke rumahnya. Don memang sudah memiliki rumah sendiri yang cukup luas untuk ia tinggali sendiri bersama Nath saja. Dulu, ia sengaja membangun rumah yang luas karena berharap ia dan Lucy, mantan istrinya, bisa memiliki banyak anak dan hidup bahagia. Namun, sayangnya Lucy telah berpulang lebih dulu setelah melahirkan putra pertamanya, sehingga impian itu hanya tinggal angan-angan saja. Dan ia tidak berharap akan memiliki anak dengan Joana. Ia belum bisa menggeser Lucy di hatinya. Ia tidak akan membiarkan Joana masuk ke hatinya dan menggantikan posisi Lucy. Don melirik ke arah Joana dan Nath yang duduk di samping kursi kemudi. Sejak tadi mereka terus saja mengoceh. Segala hal ia bahas sampai Don yang hanya mendengarnya malah ikut merasa lelah. Dan hebatnya, Joana bisa menjawab semua pertanyaan random Nathan yang Don sendiri kadang kesulitan menyusun jawaban yang tepat. "Kenapa Mama Jo pakai merah-merah di bibirnya?" Nath bertanya sambil meno
Joana membuka mata terlebih dulu sebelum Don membuka matanya. Ia tersenyum menatap wajah damai pria yang sekarang sudah resmi menjadi suaminya itu. Tangannya terulur untuk mengusap rahang tegas suaminya. Matanya meneliti wajah tampan Don yang mungkin akan menjadi kesukaannya. Joana tersenyum. Setelah semalam melalui perdebatan panjang dengan Don, ia akhirnya bisa tidur nyenyak di samping pria itu. Awalnya, Don ingin tidur di sofa. Tapi tentu saja Joana tidak mengizinkannya sebab tidak mau punggung suaminya pegal-pegal. Akhirnya, Don memberikan solusi yang menurut Joana sebetulnya tidak berguna sama sekali. Pria itu menaruh guling di tengah-tengah ranjang, dan Joana dilarang untuk menggeser atau melewati batas yang Don buat itu.Namun, setelah Don tertidur, Joana membuang guling itu ke lantai dan mendekatkan badannya ke tubuh Don. Bahkan sewaktu tidur, Joana bisa merasakan tangan Don bergerak melingkar di perutnya. Yah, meskipun Don tidak sadar, tapi itu sudah cukup membuat Joana sena
Joana merasakan hatinya sedikit lega saat selesai pemberkatan. Kini, ia dan Don sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Joana tampak cantik dengan balutan gaun pengantin yang mengembang di bagian bawah dan mengekspos bahu mulusnya. Sementara Don juga tampak gagah dengan tuxedo yang melekat pas di tubuh kekarnya."Kamu deg-degan, ya?" Tanya Joana iseng pada Don yang sedari tadi hanya diam."Nggak. Kenapa saya harus deg-degan?" Don menjawab dengan santai."Mikirin malam pertama nanti mungkin," ucap Joana sambil mengerlingkan matanya nakal. Don sontak melotot. Tidak menyangka Joana akan berbicara dengan sangat frotal seperti itu."Jangan bicara ngawur. Saya nggak akan menyentuh kamu."Joana terkekeh pelan. "Tapi aku yang akan menyentuhmu," ujarnya membuat Don menatapnya horor. Tangannya bergerak menggelendot ke lengan Don saat beberapa tamu penting menatap mereka. Joana tersenyum manis ke arah tamu-tamu, begitupun dengan Don. Bedanya, Don terlihat tampak terpaksa dan tidak nyaman."Aku