Joana tidak ingat betul sejak kapan ia merasa ingin pulang ke rumah orang tuanya. Mungkin sejak Sam— kekasihnya malah mengkhianatinya cuma gara-gara ia terlalu lurus.
"Maaf, Jo. Aku nggak bisa nunggu kamu lebih lama. Kamu terlalu polos dan aku laki-laki normal." kata Sam minggu lalu, sesaat setelah ia memergoki laki-laki itu sedang bercumbu dengan wanita lain.
Sakit? Bukan lagi.
Ia akhirnya menyerah untuk menjadi terlalu ‘mandiri’. Menuju ruang tamu rumahnya, Papa dan mamanya sudah menunggu di sana, menatap Joana dengan tatapan gelisah.
"Kenapa Papa sama Mama kelihatan gelisah gitu? Enggak suka aku di rumah? Padahal baru sampai kemarin, loh."
Wicaksana, papa Joana, langsung menggeleng tegas. "Mana mungkin kami nggak suka kamu pulang. Kami seneng banget setelah akhirnya anak semata wayang kami ingat rumah," ujarnya diiringi dengan dengusan kesal. Ia masih sedikit kesal karena Joana baru pulang setelah kurang lebih satu tahun berada di luar negeri untuk bekerja.
Joana meringis malu dan meminta maaf. Tatapannya menatap mata mamanya yang juga menatapnya. "Mama kenapa lihatin aku gitu?" Joana beringsut ke samping mamanya, memeluk mamanya erat. "Kangen banget."
"Mama juga kangen banget. Kamu sih nggak pulang-pulang. Kasian mama punya anak satu malah nggak ingat rumah."
Joana kembali meringis dan meminta maaf. Satu tahun belakangan ia memang sama sekali tidak pulang ke rumah. Alasannya, Joana bekerja dan setiap libur ia pakai untuk jalan-jalan. Ia hanya ingin menikmati waktu tersisanya untuk diri sendiri.
"Em gini, Sayang. Papa mau menawarkan—"
Joana langsung menyerobot ucapan papanya. "Perjodohan?" tebaknya.
Wicaksana dan Raline saling berpandangan. "Kok kamu tau?" tanya Wicaksana.
"Aku mau, Pa. Jodohin aku sama siapa aja. Papa yang pilih calon suami aku." Joana tersenyum tipis, menyembunyikan perasaan sesaknya. Rasa sakit yang diberikan mantan kekasihnya membuatnya malas untuk mencari pasangan. Ia memilih untuk dijodohkan, setidaknya ia tidak perlu bersusah payah mencari sendiri. Dan ia yakin papanya tidak akan menjodohkannya dengan seseorang yang buruk hatinya. Joana harus bahagia, setidaknya itu bentuk balas dendamnya pada mereka yang pernah menyakitinya.
"Tapi, seenggaknya kamu harus lihat dulu calonnya, Sayang. Papa nggak akan maksa kamu kalau kamu nggak suka." Wicaksana sedikit memohon. Ia juga sedikit heran. Biasanya anak-anak temannya malah tidak mau dijodohkan. Tapi kenapa anaknya malah antusias sekali. Bahkan tidak mau tau siapa calonnya.
"Jo percaya sama Papa. Papa ayah terbaik buat Jo. Papa pasti bakal pilihin yang terbaik buat Jo." Joana lagi-lagi hanya bisa tersenyum tipis. Ia tidak punya pilihan lain. Laki-laki yang ia harapkan untuk ia kenalkan pada orang tuanya, malah tega berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Beberapa waktu sebelum Joana memutuskan untuk pulang ke Indonesia, Joana melihat Samuel, mantannya, dan juga Elina, sahabatnya tidur bersama---ini juga alasan Joana memilih untuk pulang ke Indonesia. Dan yang lebih membuat Joana sakit hati, mereka sama sekali tidak merasa bersalah dengan perbuatannya.
Wicaksana terharu dengan penuturan putrinya. Ia bergerak untuk mendekap putrinya dengan erat. "Terima kasih, Sayang. Papa akan hubungi keluarga Wijaya kalau gitu. Papa yakin anaknya Wijaya adalah laki-laki yang tepat buat kamu."
Joana mengerjap. "Siapa namanya, Pa?" tanyanya sedikit penasaran. Setidaknya ia harus tau namanya dulu.
"Don. Namanya Don. Papa sudah pernah bertemu dengannya. Dia ganteng kayak Papa."
Joana langsung tertawa, begitu juga Raline yang ikut tertawa dan mencubit gemas pinggang suaminya.
"Kenapa kamu nggak mau ketemu dia dulu, Sayang?" tanya Raline penasaran.
"Males, ah, Ma. Lagian udah tau juga kalau dia ganteng kayak Papa, kan?" Joana terkikik geli.
"Tapi, kamu siap buat jadi istri? Gimana sama karirmu?"
"Jo mau jadi ibu rumah tangga aja, Ma. Kerja capek. Jo juga udah puas jalan-jalannya."
Raline mengangguk paham. Ia menatap putrinya. Tak perlu DNA lagi, Joana adalah versi dirinya di masa lalu.****
Sore ini, Raline— mama Joana menyuruhnya untuk mampir sebentar ke supermarket, berbekal sendal jepit dan shirt pants pendeknya, juga hoodie berwarna hijau lumut yang bertengger menutup penuh rambutnya.
"Eh aduh," Joanna mengaduh dan terjungkal ke belakang saat ia tak sengaja menabrak seorang laki-laki di depannya. "Maaf, Mas," ujarnya.
Laki-laki di depannya itu menatapnya sebentar. Lalu melengos, kembali fokus mencari snack di rak yang berada di depannya.
"Minimal bantuin kek," gumam Joana sedikit keras. Ia bangkit berdiri, lalu menepuk bokongnya yang baru saja mencium lantai supermarket.
"Kamu yang salah kenapa saya yang harus tanggung jawab?" Laki-laki itu berujar datar. Tanpa menoleh ke arah Joana.
"Kirain bisu," ujar Joana menutup rasa kesalnya.
Tanpa menghiraukan Joana, laki-laki itu malah pergi meninggalkannya yang berkacak pinggang. Joana melongo, ia dikacangin, ia ditinggal begitu saja.
"Ck ... dasar kampret. Awas aja, semoga aku nggak bakal ketemu lagi sama orang kayak dia."
Joana pergi dengan perasaan kesal. Di perjalanannya berkeliling untuk mencari bahan masakan, ia terus ngedumel dalam hati. Hingga akhirnya matanya menatap laki-laki yang ia temui tadi di kasir, terlihat sedang panik.
"Dompet saya beneran ketinggalan. Saya ambil dulu, ya, Mbak. Ada di mobil di basement. Beneran."
"Kenapa, Mas. Nggak punya uang?" Joana tiba-tiba bersuara, menatap dengan tatapan merendahkan pada laki-laki itu.
"Saya bukannya nggak punya uang. Tapi dompet saya emang ketinggalan di basement." Laki-laki itu melengos. Berganti menatap kasir di depannya. "Saya ambil dulu, ya, Mbak."
Joana berdecak setelah menatap laki-laki itu yang berlari keluar. "Biar saya bayar aja, Mbak. Berapa emang mbak?"
“Enam ratus ribu, mbak,”
"Nanti bilangin ke dia, ya, Mbak. Nggak usah dibalikin," kata Joana pelan. Ia lalu meninggalkan supermarket sebelum laki-laki itu kembali datang. “Bilangin aja—,” potong Joana sambil menyunggingkan senyum tipis
“--semoga masnya dapet jodoh yang cerewet, sinis, dan gampang ngegas.”
Lalu ia pergi, meninggalkan kasir yang masih bengong, dan seorang laki-laki yang belum tahu bahwa kutukan itu sedang dalam perjalanan untuk jadi kenyataan.
Joana kembali sibuk di dapur pagi harinya. Don semalam mengatakan jika ia tidak perlu memasak makan malam untuknya. Artinya, ia tentu masih bisa memasak untuk sarapan. Begitu, kan? "Saya bantu, Non," tawar Bi Darmi. Joana menggeleng sopan. "Terima kasih, Bi. Tapi nggak papa, Bibi ngerjain yang lain aja. Saya pengen masakan untuk Mas Don full dari hasil tangan saya," Joana tersenyum manis. Darmi ikut tersenyum. Menatap nyonya barunya dengan tatapan kagum. "Pak Don beruntung banget pasti punya istri kayak Non Joana," ucapnya tulus. Joana hanya tersenyum tipis. Ia membatin, semoga saja Don memang merasa beruntung telah memilikinya. Hari ini Joana memilih untuk memasak rawon, menu yang sangat ia rindukan saat dulu ia tinggal di luar negeri. Berdasarkan obrolannya dengan Bi Darmi kemarin, Joana juga tahu bahwa rawon adalah makanan favorit Don, juga makanan nusantara yang berkuah lainnya. Asik memasa
Don pulang cukup larut. Pria itu melenggang begitu saja tanpa sepatah katapun saat Joana berusaha untuk menyambutnya pulang. Joana hanya bisa mengusap dada mencoba untuk berpikir positif. Mungkin Don sedang kelelahan dan banyak pikiran. "Kamu udah makan?" tanya Joana. Ia mengikuti langkah kaki panjang Don menuju kamarnya. Baru saja tangan Don memegang pegangan pintu, pria itu berhenti dan beralih menatap Joana. "Berhenti di sini. Jangan masuk kamar saya," ucap Don datar sambil menatap Joana dengan mata lelahnya. Don kemudian beranjak membuka pintu dan melangkahkan kakinya ke dalam. Sebelum menutup pintu kamarnya, pria itu kembali menatap Joana dengan malas. "Saya sudah makan. Kamu nggak perlu buatkan saya makan malam." Usai mengatakan itu, Don langsung membanting pintu dihadapan mata Joana. Joana hanya bisa mengelus dada. "Oke," ucapnya pelan di depan pintu kamar Don. Ia memilih untu
Joana memilih untuk membuat sarapan, mumpung Nathan masih belum ada tanda-tanda untuk bangun. Sepertinya dia terbiasa bangun siang. Dan itu adalah kebiasaan yang buruk. Mulai besok, Joana berencana akan mengajak Nathan untuk bangun pagi, agar tidak menjadi kebiasaan. Apalagi, sebentar lagi, mungkin sekitar 2 atau 3 tahun lagi, Nathan pasti sudah harus masuk di bangku sekolah. Joana membuka lemari pendingin di dapur. Bibirnya menipis saat melihat isi lemari pendingin itu. Sepertinya Don bukan tipe laki-laki yang suka memasak. Joana juga sangsi apakah laki-laki itu bisa memasak. Lihatlah, hanya ada beberapa butir telur dan beberapa potong ayam yang entah sudah berapa bulan di sana. Baunya sungguh membuat Joana ingin muntah. Joana mendesah, berhubung ia belum tahu daerah tempat tinggalnya sekarang, dan tidak mungkin juga ia hanya menggoreng telur untuk sarapan Nathan, jadi ia memilih meminta tolong Pak Mamat untuk membeli bahan masakan. Untun
Malamnya, Don akhirnya mengajak Joana pulang ke rumahnya. Don memang sudah memiliki rumah sendiri yang cukup luas untuk ia tinggali sendiri bersama Nath saja. Dulu, ia sengaja membangun rumah yang luas karena berharap ia dan Lucy, mantan istrinya, bisa memiliki banyak anak dan hidup bahagia. Namun, sayangnya Lucy telah berpulang lebih dulu setelah melahirkan putra pertamanya, sehingga impian itu hanya tinggal angan-angan saja. Dan ia tidak berharap akan memiliki anak dengan Joana. Ia belum bisa menggeser Lucy di hatinya. Ia tidak akan membiarkan Joana masuk ke hatinya dan menggantikan posisi Lucy. Don melirik ke arah Joana dan Nath yang duduk di samping kursi kemudi. Sejak tadi mereka terus saja mengoceh. Segala hal ia bahas sampai Don yang hanya mendengarnya malah ikut merasa lelah. Dan hebatnya, Joana bisa menjawab semua pertanyaan random Nathan yang Don sendiri kadang kesulitan menyusun jawaban yang tepat. "Kenapa Mama Jo pakai merah-merah di bibirnya?" Nath bertanya sambil meno
Joana membuka mata terlebih dulu sebelum Don membuka matanya. Ia tersenyum menatap wajah damai pria yang sekarang sudah resmi menjadi suaminya itu. Tangannya terulur untuk mengusap rahang tegas suaminya. Matanya meneliti wajah tampan Don yang mungkin akan menjadi kesukaannya. Joana tersenyum. Setelah semalam melalui perdebatan panjang dengan Don, ia akhirnya bisa tidur nyenyak di samping pria itu. Awalnya, Don ingin tidur di sofa. Tapi tentu saja Joana tidak mengizinkannya sebab tidak mau punggung suaminya pegal-pegal. Akhirnya, Don memberikan solusi yang menurut Joana sebetulnya tidak berguna sama sekali. Pria itu menaruh guling di tengah-tengah ranjang, dan Joana dilarang untuk menggeser atau melewati batas yang Don buat itu.Namun, setelah Don tertidur, Joana membuang guling itu ke lantai dan mendekatkan badannya ke tubuh Don. Bahkan sewaktu tidur, Joana bisa merasakan tangan Don bergerak melingkar di perutnya. Yah, meskipun Don tidak sadar, tapi itu sudah cukup membuat Joana sena
Joana merasakan hatinya sedikit lega saat selesai pemberkatan. Kini, ia dan Don sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Joana tampak cantik dengan balutan gaun pengantin yang mengembang di bagian bawah dan mengekspos bahu mulusnya. Sementara Don juga tampak gagah dengan tuxedo yang melekat pas di tubuh kekarnya."Kamu deg-degan, ya?" Tanya Joana iseng pada Don yang sedari tadi hanya diam."Nggak. Kenapa saya harus deg-degan?" Don menjawab dengan santai."Mikirin malam pertama nanti mungkin," ucap Joana sambil mengerlingkan matanya nakal. Don sontak melotot. Tidak menyangka Joana akan berbicara dengan sangat frotal seperti itu."Jangan bicara ngawur. Saya nggak akan menyentuh kamu."Joana terkekeh pelan. "Tapi aku yang akan menyentuhmu," ujarnya membuat Don menatapnya horor. Tangannya bergerak menggelendot ke lengan Don saat beberapa tamu penting menatap mereka. Joana tersenyum manis ke arah tamu-tamu, begitupun dengan Don. Bedanya, Don terlihat tampak terpaksa dan tidak nyaman."Aku