Pagi datang seperti biasanya—tenang dan sejuk. Tapi bagiku, pagi ini terasa berbeda.Aku bangun lebih dulu. Gasan masih terlelap di ranjang sebelah, wajahnya tenang, napasnya teratur. Ada senyum kecil di bibirku saat melihatnya. Apalagi, kalau mengingat kejadian kemarin sore."Bagaimana bisa gue senyum-senyum sendiri begini?" gumamku pelan, menahan tawa kecil sambil menarik selimut sampai menutupi wajah.Dari arah ranjang, terdengar dengkuran halus. Syukurlah dia belum bangun. Kalau tahu aku kayak orang jatuh cinta lagi, bisa-bisa dibully seharian.Kukibaskan rasa malu yang nggak jelas arah itu. Udara pagi di vila menyapa kulitku dengan dingin lembut. Wangi tanah basah masih tertinggal dari hujan semalam. Dengan langkah ringan, aku keluar kamar secara mengendap-endap sambil mengikat rambut yang awut-awutan. Mataku melirik jam dinding di ruang tengah. Baru jam tujuh lewat sedikit. Vila masih sepi.Dari balik jendela, kulihat burung-burung kecil hinggap di dahan pohon mangga yang menjul
Gasan berdiri tiba-tiba, lalu berjalan ke arahku. Aku sempat bingung, tapi belum sempat bertanya, dia sudah jongkok di depanku dan meraih kakiku.“Eh, ngapain, lo?” tanyaku reflek, panik karena belum siap dengan gesture mendadak semesra itu.Dia tidak menjawab. Hanya meletakkan kakiku perlahan ke pangkuannya, lalu mulai memijat pergelangan kakiku yang entah kenapa terasa pegal sejak kemarin.“Gue lihat lo jalannya agak miring pas dari lift tadi. Pasti masih pegal gara-gara kelamaan berdiri di acara tadi, ya?”Aku menatapnya, terdiam.Tangannya hangat. Gerakannya pelan, seperti takut menyakitiku, tapi cukup mantap untuk membuat otot-otot kakiku rileks.“Lo ngamatin gue sedetail itu?” gumamku, sedikit mencairkan suasana.“Gue bukan detektif, tapi gue apal cara jalan lo, Ren. Bahkan, dari jauh.”Aku ingin menjawab sesuatu yang sarkas atau lucu. Tapi, tenggorokanku seolah tertelan kata-kata sendiri.Dia mendongak sebentar, menatapku. “Kalau gue bisa bantu lo ngelewatin hari tanpa pegal, t
Gasan menoleh, menunggu. Tapi, aku ragu melanjutkan. Bukan karena tak tahu harus bilang apa, justru karena terlalu banyak.“Lo nyebelin,” kataku akhirnya, pelan.Alisnya terangkat. “Maksudnya?”“Lo bikin gue mikir ribuan kali, nanya ke diri sendiri terus-menerus, ‘Apa gue segitu nggak pentingnya buat lo?’ Padahal, lo juga yang dulu bilang pengen gue ada terus.”Dia mendesah. “Ren…”“Dan sekarang, lo bilang mau bareng-bareng lagi, tapi tetap dengan gaya lo yang sok misterius, nyebelin, dan terlalu hemat kata-kata!”“Gue gak hemat kata-kata,” balasnya, mulai terdengar defensif. “Gue cuma gak tahu harus ngomong apa, kalau lo selalu pasang tameng tiap gue coba deketin!”Aku berdiri, menatapnya dengan campuran marah dan bingung. “Karena gue gak ngerti posisi gue, Gas! Lo pernah bilang kangen, tapi hilang dua minggu. Lo muncul sekarang, seperti jelangkung."Dia ikut berdiri. “Ya karena gue takut! Lo pikir gue nggak mikirin lo? Gue tiap hari nahan buat nggak balas chat lo karena gue kira, lo
Tadinya aku hampir batal ikut proyek di Lombok. Tapi, Pras dengan mulut julidnya, malah jadi penyemangat paling nggak romantis.“Kalau lo sampe gak berangkat ke Lombok gara-gara cowok, mending gue potong kartu ATM lo sekarang,” katanya dengan nada sarkas penuh dedikasi.Jadi, aku berangkat.Proyek WO kali ini memang cukup besar—klien kami adalah pasangan influencer yang ingin konsep intimate wedding di private villa dekat pantai. Timku terbagi dua. Bagian vendor dan bagian dekor, sementara aku bertugas sebagai liaison antara klien, venue, dan semuanya yang bisa bikin acara ini berjalan smooth.Aku baru tiba di villa tempat acara akan digelar ketika melihat mobil hitam berhenti di area parkir. Pintu depan terbuka dan dari dalam, keluar seseorang yang selama ini cuma muncul di kepala.Gasan Ishaaq.Dia mengenakan kemeja putih dan celana khaki, kacamata hitam bertengger di kepala. Aku refleks melangkah mundur sedikit, seolah butuh jeda napas.Gasan menoleh ke arahku, dan mata kami bertem
Malam itu, setelah Pras tertidur di kamarnya, aku duduk sendirian di ruang tamu. Lampu sengaja kupadamkan, kecuali lampu sudut, dan jendela kubiarkan terbuka setengah. Hawa sejuk sisa hujan sore tadi menyelinap pelan ke dalam ruangan.Ponselku sudah beberapa kali kubuka dan kututup. Jemariku menggulir layar ke nama yang beberapa minggu terakhir lebih sering kulewati, Gasan Ishaaq.Aku menarik napas panjang, lalu menyentuh ikon pesan.Hai, Gas...Lama aku menatap satu baris itu. Terlalu pendek. Terlalu canggung. Terlalu banyak makna yang belum terucap.Kuhapus.Ketik ulang.Maaf baru ngabarin. Gimana kabarnya?Kirim.Seketika, dada terasa kosong. Penyesalan datang seperti gelombang. "Serius ini gue yang ngubungi duluan? Tapi, apa dia gak bakalan ilfill sama gue? Haruskah, gue telepon?"Aku menunggu dengan harap-harap cemas. Mata ini beberapa kali melirik ke layar, tapi centang 2 itu masih abu-abu. "Apa jangan-jangan dia udah tidur, ya?" Aku memeluk lutut, menyandarkan kepala di sofa.
Aku sedang menyendokkan bubur ke mangkuk saat Pras masuk ke dapur dengan rambut masih acak-acakan. Sudah dua minggu Papa pulang dari rumah sakit, dan sejak itu aku belum kembali ke apartemen.“Lo kerja kapan, Mbak?” tanyanya sambil menuang air mineral ke gelas.“Lusa,” jawabku pelan. “Masih banyak yang perlu diurus.”Pras duduk di seberang meja, menggigit roti tawar tanpa selai. “Bukan kerjaannya yang gue maksud.”Aku menoleh. “Terus?”“Gasan.”Aku diam.Dia menatapku sambil mengunyah malas. “Lo sadar nggak sih, dia udah gak pernah nongol?”“Dia sibuk, mungkin,” kataku, ragu.“Dia bukan orang yang ninggalin lo pas lo sibuk. Lo aja yang gak pernah nyisihin ruang buat dia akhir-akhir ini.”Aku menghela napas. “Pras, gue cuma lagi fokus ke Papa. Apa itu salah?”“Enggak,” sahutnya cepat. “Tapi, lo juga harus sadar, fokus itu bukan berarti lupa sama siapa yang pernah peduli. Lo tahu nggak, waktu malam Papa masuk rumah sakit, Gasan tuh langsung cabut dari meeting cuma buat dateng. Lo tahu g