Share

Obat

Penulis: Okta Novita
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-07 15:28:12

Aku ingat betul apa yang akan dilakukan suami Hana itu. Dia mengunci tubuh yang sudah terpojok ini sambil menekan kuat pergelangan tanganku di dinding. Sudah tidak ada jarak lagi antara kami, dan hanya tersekat pakaian di badan. Wajahnya tampak beringas sambil memandangku dengan tajam.

"Ja--jangan lakukan. Katamu ti-tidak akan--"

Seketika, dia membungkam mulutku dengan kasar hingga napas ini mulai tercekat. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah datang sebelumnya. Rasa bagai disengat aliran listrik hingga seluruh tubuh menegang.

Susah payah aku meronta, tapi tenaga laki-laki di hadapan ini jauh lebih besar. Entah apa yang merasukinya saat ini hingga cara berpikirnya berubah seratus delapan puluh derajat. Semalam, sangat jelas jika dia tidak ingin menyentuhku seujung rambut pun, tapi sekarang?

Aku hanya bisa menitikkan air mata karena dia tidak juga melepas cengkeraman tangan dan juga sesuatu yang menyebalkan di mulut ini.

"Aaa ... apa yang kamu lakukan?" Kudorong tubuh laki-laki itu saat tenaganya berangsur mengendur.

"Cepat pergi dari sini! Atau aku akan melakukan lebih!" bentaknya seraya memalingkan wajah.

Aku pun segera berlari ke arah pintu, tapi terkunci.

"Mana kuncinya?" teriakku dengan seluruh tubuh yang sudah bergetar.

"Hana!" ucapnya geram. Kemudian, dia melangkah cepat dan masuk ke kamar mandi.

Entah apa yang dia lakukan, tapi aku benar-benar bingung dengan keadaan ini. Laki-laki itu memang suamiku sekarang dan dia sudah menang satu langkah.

Aku mengambil selimut dan membungkus seluruh tubuh hingga kepala. Auratku sudah dilihatnya. Aku menyesal sudah menerima permintaan Hana. Di usia kedua puluh delapan ini, aku belum siap melakukan hal itu. Apalagi, tanpa adanya sebuah cinta.

***

"Apa yang kamu masukkan pada minumanku tadi, Han?"

"Nggak ada, Mas. Itu tadi cuma teh hangat biasa," jawab Hana.

"Jawab jujur atau aku akan menceraikannya sekarang juga!" hardik suami Hana.

Ya, aku memang enggan sekali menyebut namanya. Aku memang mengenalnya, tapi dia yang sekarang sudah tidak seperti dulu. Bahkan, aku makin membencinya setelah apa yang dilakukannya tadi.

Hana mulai terisak. Hatinya memang begitu sensitif dan terlalu lembut. Sangat bertolak belakang dengan suaminya yang angkuh dan menyebalkan itu.

Akan tetapi, aku tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan Hana. Dia sampai memasukkan obat untuk membuat suaminya hilang kendali. Beruntung, laki-laki itu masih setengah sadar tadi, hingga bisa kembali mengontrol diri. Ternyata, itu sebabnya dia mengunci diri di kamar mandi.

"Aku memberikan sedikit obat agar kalian segera melakukannya," lirih Hana berucap. "Aku sudah lelah menjadi gunjingan di keluargamu, Mas. Kalau Rania segera hamil, kita akan segera punya anak dan aku tidak akan malu lagi menjadi istrimu."

Ah, aku paham sekali dengan apa yang Hana rasakan, tapi apa semua ini benar? Ingin rasanya membatalkan perjanjian dengan Hana kemarin dan akan kukembalikan semua uang yang sudah diberikannya. Namun, keadaan Ibu membuatku gamang. Aku butuh uang itu.

Aku begitu benci saat ada perempuan perusak rumah tangga orang, tapi aku justru menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Hana, orang yang sangat baik kepada keluargaku. Namun, ini semua bukan mauku.

"Tolong, Mas. Aku sudah memerilsakan Rania pekan lalu dan dua hari ini adalah masa suburnya. Lakukanlah sekali saja dan semoga itu tidak gagal. Dengan begitu, kamu tidak perlu mengulanginya lagi." Hana mengiba. Tangannya meremas jemari sang suami.

Gila! Memangnya aku ini apa? Sekali jadi? Mustahil rasanya.

"Please ...." Suara Hana terdengar sangat lirih.

"Akan aku coba, tapi aku tidak bisa berjanji," jawab laki-laki genderuwo itu.

Hm, aku hanya dijadikan alat uju coba. Menyebalkan!

Setelah perdebatan itu menemui titik temu, aku bisa makan dengan tenang. Sarapan pun kesiangan gara-gara sepasang suami-istri yang layaknya langit dan bumi.

"Aku ada janji dengan Diana kalau akan mampir ke rumahnya. Tolong gunakan waktu itu dengan baik," ucap Hana setelah menghabiskan sarapannya. Lalu, perempuan cantik dengan rambut lurus sepunggung itu berdiri dari duduk.

"Han ...." Sang suami ikut berdiri dan sebentar lagi, pasti adegan sinetron ikan terbang akan tayang lagi.

"Aku percaya kalau cinta Mas Rasya sepenuhnya untukku." Hana merogoh tasnya, lalu memberikan sesuatu di genggaman suaminya. "Gunakan ini agar semuanya lancar."

Perkataan Hana makin membuatku tidak punya harga diri. Aku menyerahkan hal paling berharga di tubuh ini hanya untuk uang. Bahkan, jika ada anak yang mungkin kelahiran, harus kuberikan kepadanya. Seperti ibu yang menjual anaknya sendiri.

Setelah Hana menghilang dari pandangan, laki-laki bermanik mata hitam pekat itu menarik tanganku dengan kuat. Cukup sakit rasanya.

"Sakit tahu," kataku kesal sambil menarik tangan dengan kasar.

"Aku tidak mau buang-buang waktu. Kita lakukan sekarang dan selesai," jawabnya tak kalah kesal.

"Kamu anggap, aku ini barang, hah? Aku juga punya perasaan." Napasku memburu karena ucapannya yang benar-benar tidak bereperasaan.

Dia diam dan kembali menarik tanganku. Tidak ada hal lain yang bisa ku lakukan selain mengikuti langkah lebarnya yang tergesa-gesa.

Tiba di kamar, dia melepaskan tanganku dengan kasar hingga tubuh ini terempas di tempat tidur. Kemudian, laki-laki itu menuju meja makan dan mengambil satu gelas air mineral. Dia membuka sesuatu yang sedari tadi digenggam, lalu diminum dengan buru-buru.

"Aku melakukan ini untukmu, Han," ucapnya sembari menjatuhkan diri di kursi.

Sementara aku hanya bisa mematung, duduk di tepi tempat tidur. Apa aku akan benar-benar menyerahkannya hari ini kepada Rasya?

Ya, Rasya. Nama yang selalu membuat rasa benciku kembali memuncak. Karena dia, Ayah kehilangan perusahaan yang dibangun dari nol, hingga perlahan-lahan penyakit menggerogoti tubuh laki-laki yang begitu aku sayangi. Dan semuanya makin buruk saat Ayah pergi untuk selamanya.

Beberapa saat aku terpaku pada masa lalu hingga tanpa sadar, Rasya sudah ada di depanku dengan tatapan menusuk. Sepertinya, apa yang diminum tadi adalah obat yang sama seperti yang sengaja dimasukkan Hana pada minumannya.

"Aku membencimu, Rasya! Aku membencimu!" teriakku saat laki-laki di hadapan kian memangkas jarak. Seketika itu pula, aku berlari dan mengunci diri di kamar mandi.

"Kamu sudah membuat ayahku meninggal dan aku berjanji akan menghancurkanmu, Rasya," gumamku. Tubuh ini bersandar pada pintu kamar mandi yang tertutup.

Aku memang terlalu buru-buru menyetujui permintaan Hana tanpa tahu siapa suaminya terlebih dahulu. Dan setelan kami bertemu, aku tidak bisa mengelak dan menolak lagi hingga sekarang, aku benar-benar bingung harus berbuat apa. Aku tidak ingin mengecewakan Hana, tapi aku justru ingin menghancurkan suaminya.

"Aku tahu kamu adalah bunga mawarku yang dulu, tapi kamu terlalu berduri dan membuatku terluka. Setelah sekian lama kamu menghilang, sekarang justru kamu yang datang dengan sendirinya. Buka pintunya Rania Felisya Rose!"

Sejenak hening, tapi seketika pintu kamar mandi ini bergetar kuat bersamaan dengan suara keras. Rasya mendobrak pintu ini hingga aku jatuh terjerembab.

"Tuntaskan dendam kita sekarang juga, Rania."Dua bola mata itu menatap begitu tajam, membuat nyaliku seketika menciut.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mengejar Cinta Rania   Rasa Sakit yang Terbayar

    Jalan hidup harus dipilih meskipun tidak bisa ditebak apa yang akan terjadi. Namun, saat hati yakin menjalani, Allah pasti akan menuntun pada yang lebih baik. ***Rasa sakit ini adalah awal untuk kebahagiaan baru. Aku hanya tinggal bertahan dan berjuang sekuat tenaga agar hidup diliputi teriakan haru yang menderu. Rasa sakit ini sejenak hilang, lalu datang lagi dan memaksaku mengerahkan sisa tenaga. Aku ingin sekali memegang tangan Mas Narendra di saat seperti ini, memintanya untuk menyalurkan kekuatan, tapi apa daya, laki-laki itu terduduk lemas di sudut ruang bersalin ini. Kesal tentu saja, tapi aku harus tetap kuat demi nyawa yang sebentar lagi akan melihat dunia. Mas Narendra yang begitu gagah, ternyata dia rapuh sekarang. Entah apa penyebabnya. Aku memilih mengikuti instruksi dokter agar kedua tangan ini menggapai bagian belakang paha bawah, lalu menariknya kuat sambil mengejan saat sakitnya kontraksi kembali datang. Namun, bayi yang kutunggu belum juga mau meringankan beban

  • Mengejar Cinta Rania   Kepanikan Tengah Malam

    "Ambilkan telur, Ra!" "Berapa butir, Mbak?""Tiga."Membuat kue bersama adik ipar itu ternyata menyenangkan. Aku dan Hera memang sangat cocok saat sedang bersama. Kata Ibu, kami justru seperti kakak dan adik kandung. Wajah yang cukup mirip mungkin bisa membuat orang lain menebak hal yang sama. Bahkan, kami pun sudah punya julukan khusus pemberian Ibu, Mas Narendra, dan Rendy. Duo Bumil Doyan Ngemil. Hm, nama yang aneh, bukan? Ada-ada saja memang. Dan ngemil adalah salah satu kebiasaan baru kami sekarang. Ya, aku dan Hera memang mulai sering membuat kue sejak kepergian Febi. Kami sama-sama jenuh di apartemen karena suami masing-masing pergi bekerja. Hingga awal iseng itu pun berbuah manis saat Hera mengunggah kue buatan kami pada story Whatsapp. Boom! Kue buatan kami ada yang memesan. Awalnya, hanya teman-teman Hera sewaktu kerja dulu, tapi lambat laun makin banyak pemesan hingga aku pun ikut mencoba memasarkannya. Hasilnya sungguh tidak terduga. Kami mulai kewalahan menerima pesa

  • Mengejar Cinta Rania   Bertemu Rasya Lagi

    Aku terus memandang wajah gadis kecil yang baru saja selesai mandi. Ya, tugas memandikan Febi kali ini sudah kuambil alih. Semalam, aku sudah memberhentikan Mbak Deva karena memang Febi bukan lagi tanggung jawabku dan Mas Narendra mulai hari ini. Dengan lembut, kusisir rambut bergelombang panjang milik Febi, lalu memnguncirnya bagian kanan dan kiri. Cantik. Aku tidak menyangka jika ini moment terakhir bersama bocah berpipi tembam itu. Aku pasti akan sangat merindukannya nanti. Namun, segera kupupus semua itu dan menghibur diri jika akan ada pengganti Febi yang sebentar lagi akan lahir ke dunia. Pagi ini, Febi tidak banyak bicara. Dia seperti tahu jika akan berpisah denganku, juga papanya. Sedari bangun tidur, dia memperhatikan terus koper berwarna pink yang dulu dibawa saat pertama kali pindah ke sini. Koper itu sudah penuh dengan baju dan barang-barang milik Febi. Ada juga beberapa mainan dan boneka yang Mas Narendra belikan selama bersama kami. "Wah, Febi sudah cantik." Mas Nare

  • Mengejar Cinta Rania   Bercanda yang Keterlaluan

    Moment seru yang masih ingin kunikmati harus berhenti karena telepon dari Bi Harni. Katanya ada tamu yang menunggu. Suami-istri yang mengaku sebagai kakek dan nenek dari Febi. Aku dan Mas Narendra memutuskan untuk pulang karena dia juga mengenal siapa tamu yang dimaksud. Mereka mantan mertuanya, atau lebih tepatnya, orang tua Farah. Aku bisa menebaknya dari arah pembicaraan Bi Harni tadi karena memang dinyalakan loudspeaker saat panggilan berlangsung. "Mereka mau apa, ya, Mas? Kok, tiba-tiba aja datang nggak kasih pemberitahuan. Padahal, Febi sudah sama kita tiga bulanan." Pikiran yang tadi terus berputar di kepala, akhirnya kuungkapkan. "Aku juga nggak tahu, Ran. Semoga aja cuma kengen sama cucu," jawabnya. Aku bisa menafsirkan kalau ada keraguan dari nada suaranya.Sepasang suami-istri yang kutaksir usianya sekitar lima puluh tahunan itu saling pandang saat Mas Narendra menanyakan perihal kedatangan mereka. Keduanya seperti berdebat, tapi pelan. Mungkin agar percakapan mereka tid

  • Mengejar Cinta Rania   Nyaman Bersamanya

    Setelah dua pekan Mas Narendra dirawat, akhirnya dia diperbolehkan pulang. Dari pemeriksaan terakhir, dikatakan kalau tumornya sudah hilang. Meskipun begitu, akan tetap dilakukan MRI saat kontrol selanjutnya untuk memastikan lagi. Dan sekarang--satu pekan setelah dia menjalani rawat jalan--kami sedang berjalan-jalan di taman area apartemen. Memang kawasan apartemen ini tergolong mewah dengan penghuninya kebanyakan orang berpunya. Itu sebabnya ada fasilitas umum yang dibuat untuk warga, seperti taman yang cukup luas ini. Mas Narendra memang dianjurkan untuk melakukan olahraga ringan setiap harinya untuk menjaga kesehatan. Dan aku memulai dengan mengajaknya jalan kaki setiap pagi mulai hari ini. Dengan kaus, celana training, dan topi yang dipakai terbalik ke belakang, Mas Narendra terlihat begitu tampan. Meskipun masih ada rasa malu karena takut orang melihat kepalanya masih belum ditumbuhi rambut, dia tidak menolak ajakanku. "Sayang, apa kamu nggak capek?" tanyanya sambil menghentik

  • Mengejar Cinta Rania   Memohon Kesembuhan

    Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi sejak satu jam yang lalu. Di dalam sana, ada Mas Narendra yang sedang dalam penanganan. Opsi operasi harus diambil karena tumor di otaknya makin membesar. Apalagi, sempat dua hari dia tidak minum obat.Sepulang dari mengurus hotel yang terbakar, keesokan harinya Mas Narendra masih menolak untuk kontrol dengan alasan buru-buru bertemu klien dari Jepang. Katanya, klien itu hanya satu hari di Indonesia dan minta bertemu dengannya. Aku tidak bisa memaksa karena laki-laki itu bersikeras dan berdalih jika pertemuannya hanya di dalam kota. Namun, hal itu berakibat fatal. Sakit kepala Mas Narendra kambuh hingga dia pingsan. Bahkan, dia mengalami koma setelahnya. Setelah dua hari tidak ada perkembangan, dokter memberi opsi operasi. Aku tidak bisa berkata lagi selain mengiakan karena keselamatannya lebih penting. "Duduk, Mbak. Operasinya pasti berjalan lancar." Rendy memegang lenganku, menghentikan kaki ini yang tidak berhenti bergerak. "Ken

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status