Share

Mengejar Cinta Rania
Mengejar Cinta Rania
Penulis: Okta Novita

Terpaksa Menerima

"Aku nggak bisa, Han." Laki-laki berwajah tampan dengan kulit sawo matang itu menatap nyalang perempuan di sampingnya.

"Tolong aku, Mas. Aku nggak ingin kita berpisah. Ini satu-satunya cara agar Mama tetap merestui hubungan kita," jawab perempuan cantik, berkulit putih dengan bulu mata lentik itu. Suaranya terdengar serak dengan mata berkaca-kaca.

Aku? Tentu hanya bisa diam dan menunduk, tapi sesekali melirik ke arah depan di mana sepasang suami-istri itu sedang bernegosiasi.

Entah ini keputusan yang benar atau tidak. Yang pasti, aku sedang membutuhkan banyak uang untuk melunasi utang peninggalan Ayah, sekaligus membantu biaya pernikahan Rendy--adikku. Sebagai anak sulung dari dua bersaudara, tentunya akulah yang menggantikan posisi Ayah karena Ibu memiliki penyakit asma sejak beberapa tahun yang lalu--tepatnya beberapa hari setelah kepergian Ayah untuk selamanya.

"Kamu mau, kan, Ran?"

Lamunanku tersadar dengan panggilan perempuan di hadapan.

Ah, apa yang harus kukatakan? Sejujurnya, aku juga tidak siap. Namun, Lagi-lagi demi keluarga aku harus berkorban.

Sebelumnya, aku merelakan kuliah yang sudah berjalan dua tahun untuk mengurangi pengeluaran. Dan sekarang, aku kembali harus mengalah dan menekan perasaan.

"Jangan paksa dia, Han. Mas juga nggak mau." Kembali, laki-laki berpostur gagah itu menyela.

"Kalau Mas masih menolak, ceraikan aku!" Senjata andalan sang istri pun keluar.

Dan seketika, sebuah anggukan terlihat meskipun samar dari laki-laki yang baru saja mendesah berat. "Terserah kamu saja, tapi mas nggak bisa janji untuk melakukannya nanti."

Perempuan yang selalu dipanggil Han itu menarik tanganku yang sedari tadi di atas meja. Lalu meremasnya pelan. "Kamu dengar, kan, Ran. Hari ini juga, akan digelar akad nikahnya."

Aku mendongak. Tentu sangat terkejut. Kenapa secepat ini? Meskipun sudah kupikirkan masak-masak, tapi tetap saja hati kecil ini merasa belum siap. Ya, memangnya siapa yang mau menjadi istri kedua?

Ah, Rania. Aku begitu terburu-buru. Namun, memang tidak ada pilihan lain untuk saat ini.

***

"Jangan harap aku akan menyentuhmu! Aku hanya menikahimu karena Hana. Dan kalau sampai tiga bulan kamu belum hamil juga, tentu Hana akan segera menyuruhku menceraikanmu."

Kalimat yang mungkin akan membuat hati seorang istri terluka, tapi tidak untukku. Itu justru lebih baik. Tanpa harus menyerahkan harta berharga dari tubuhku, aku tetap akan mendapatkan uang. Paling tidak, untuk tiga bulan ke depan.

"Kamu tidur di sofa. Hotel ini, Hana yang membayar dan seharusnya, dia yang ada di sini bersamaku. Tapi ... ya sudahlah! Intinya, kamu harus bilang ke Hana kalau kita sudah melakukannya!" ucap laki-laki yang baru dua jam lalu sah menjadi suamiku secara agama.

Aku menghela napas pelan, lalu beranjak dari ranjang berukuran super besar di kamar ini menuju sofa. Baiklah, aku mengalah.

Laki-laki itu pun langsung mengempaskan tubuh dengan posisi tengkurap di tempat tidur tanpa melepas sepatu ataupun jas yang masih melekat di badan.

Akan tetapi, tidak berapa lama, laki-laki itu bangkit. Dia merogoh saku celananya, sebuah ponsel sudah berpindah ke tangannya. Beberapa kali dia melirik ke arahku, lalu kembali menekuri ponselnya.

Ah, aku tidak peduli dan memilih merebahkan badan di sofa yang lumayan empuk ini. Seharian yang cukup melelahkan karena perjalanan yang cukup jauh. Ya,karena untuk mengelabuhi keluarga besar Hana dan suaminya, acara pernikahan dadakanku dilakukan di luar kota.

Laki-laki bertubuh atletis itu berjalan menuju pintu sambil menatapku dengan tajam. Entah apa yang dia pikirkan, seolah-olah aku ini musuh yang siap untuk ditebas lehernya.

Aku tersenyum miring. Apa yang membuat Hana begitu mencintai laki-laki kaku dan menyeramkan itu. Kulitnya yang sawo matang membuat kesan garang menjadi lebih kentara. Aku bergidik jika membayangkan laki-laki yang mungkin mirip genderuwo, tapi ganteng itu berkata romantis. Pasti aneh dan sangat tidak pantas. Namun, dia terlalu beruntung bisa mendapatkan istri sebaik Hana yang bisa bertahan selama sepuluh tahun pernikahan mereka.

Hanya saja, orang sebaik Hana harus menerima takdir yang kurang baik. Dia dinyatakan mandul setelah melakukan pengobatan selama delapan tahun terakhir. Bahkan, proses bayi tabung pun lima kali dilakukan dan selalu gagal.

Selain untuk mendapatkan uang, ini kylakukan demi membalas budi baik Hana kepada Ibu. Di saat Ayah meninggal, semua aset keluarga disita karena utang Ayah yang terlalu banyak dan bahkan utang itu masih tersisa sampai saat ini.

Entah malaikat dari mana Hana itu, dia datang di saat yang sangat tepat. Saat itu, Ibu tiba-tiba mengalami sesak napas dan harus dirawat, sedangkan aku tidak punya uang sepeser pun. Hana yang tengah menangani Ibu dibuang UGD bersedia menanggung semua biaya perawatan Ibu yang harus dipindahkan ke ruang ICU.

Air mata ini luruh jika mengingat kejadian itu. Seandainya tidak ada Hana, mungkin aku sudah menjadi yatim-piatu.

Aku menghela napas kasar sembari menghapus jejak air mata di wajah. Lebih baik segera tidur, tapi entah kenapa mata ini enggan untuk memejam. Ada sedikit kekhawatiran jika laki-laki itu masuk dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai pengantin baru saat aku tengah terlelap. Namun, seiring waktu yang kian larut dan laki-laki itu tidak kunjung kembali, kantuk pun mulai menyerang.

***

Bunyi alarm membangunkanku dari tidur yang cukup nyenyak. Kupindai sekeliling kamar dan laki-laki itu tidak ada di mana pun. Sepertinya, dia tidur di kamar Hana.

"Syukurlah," ucapku lirih seraya menyembuhkan napas lega.

Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi. Aku pun bergegas mengambil wudu untuk melaksanakan salat Subuh. Setelah itu, membersihkan diri alias mandi untuk menyegarkan badan yang terasa sangat lengket.

Akan tetapi, tas yang semalam kubawa tidak ada di lemari kamar ini. Padahal, aku sudah melepas pakaian dan tinggal memakai handuk kimono. Bagaimana kalau laki-laki itu tiba-tiba masuk ke kamar ini? Mau memakai pakaian semalam pun rasanya tidak mungkin karena sudah basah di beberapa bagian dan baunya sangat sedap sekarang.

Dasar Rania! Kenapa tadi tidak mengecek tas dulu, baru mandi? Kalau seperti ini, harus bagaimana lagi?

Aku menepuk jidat, kesal pada diri sendiri.

Aku pun meraih ponsel di sofa untuk menelepon Hana. Namun, sudah beberapa kali panggilan tidak diangkat juga. Akhirnya, hanya pesan W******p yang kukirimkan untuk menanyakan di mana tasku berada.

Beberapa saat menunggu, pesanku akhirnya dibaca oleh Hana dan dia menjawab akan mengantarnya.

Aku bergegas menuju kamar mandi saat terdengar pintu kamar ini yang mulai terbuka. Pasti Hana membawakan tas dan pakaianku.

Dari dalam kamar mandi, aku masih bisa mendengar suara dari luar. Sepertinya, Hana dan suaminya berdebat. Dan tak lama setelah itu, suara pintu ditutup cukup kencang membuatku terlonjak. Pasti mereka bertengkar hanya karena masalah kecil. Lalu, bagaimana dengan pakaianku?

"Siapa pun! Aku di kamar mandi. Bisa bawakan pakaianku ke sini?" teriakku, tapi tidak ada jawaban.

Mungkinkah mereka pergi lagi? Mungkin juga Hana sudah mengantarkan tasku dan langsung pergi dengan suaminya yang mirip genderuwo itu.

Benar saja, tasku sudah ada di atas tempat tidur, tapi tidak ada satu pun pakaianku di dalamnya.

Apa-apaan Hana ini? Aku yakin sekali kalau sudah memasukkan dia potong pakaian di dalamnya.

"Sial! Suami-istri itu mempermainkanku." Aku menggerutu kesal.

"Apa katamu?"

Deg!

Aku terkesiap. Suara itu? Genderuwo itu? Mati aku! Mana aku hanya memakai handuk saja. Dan jilbabku!

Astaga! Laki-laki itu ternyata masih ada di dekat pintu kamar dan aku tidak menyadarinya. Lalu, Hana? Di mana dia?

"Kamu sengaja, ya, hanya memakai handuk itu?" Laki-laki tiga puluh tahun itu berjalan mendekat.

Aku yang tadinya duduk di tepi tempat tidur segera berdiri dan buru-buru melangkah ke kamar mandi. Namun, sebuah tangan kekar mencekal pergelangan tangan kiriku dengan kencang.

"Sa--sakit, le--lepaskan," ucapku gugup. Aku takut saat melihat wajah layaknya harimau yang akan menerkam mangsanya.

"Aku akan melakukan apa yang Hana minta agar kesalahan ini segera berakhir." Dia berkata dengan sorot mata yang begitu tajam.

Aku menggeleng kuat. "Ja--jangan ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status