"Let me go! son of a bitch!" pekik Enzo saat tubuhnya di seret paksa oleh orang bayaran Barra. "Shut your nagging mouth, Enzo! Or do you want me to give you a few more punches." Enrique menendang pinggang Enzo hingga pria itu mengerang kesakitan. Enrique melempar Enzo ke dalam sebuah rumah yang tidak Enzo ketahui siapa pemilik rumah tersebut, aura dari rumah ini begitu elegan namun terbalut dengan kesan yang dingin hingga membuat Enzo merinding. Setelah di seret cukup jauh, akhirnya Enzo di lemparkan ke hadapan seorang pria muda yang memiliki wajah ras campuran. Enzo menatapnya lekat, sampai akhirnya ia terdiam dengan mulut menganga karena saking terkejutnya."Kau, apakah kau putranya Arista?" tunjuk Enzo, berada di Indonesia cukup lama membuat Enzo fasih berbahasa Indonesia. "Apa kau mengenaliku, pria brengsek?" Barra bangkit menghampiri Enzo yang terkulai lemah di lantai. Semakin Barra mendekat, semakin Enzo yakin kalau yang ada di hadapannya saat ini adalah putranya. Barra Ars
Sarah melangkah gontai ke dalam kondominium, hari ini pekerjaan di kantor begitu banyak dan melelahkan untuknya. Saat membuka pintu kamar netra Sarah melihat sosok yang sudah dua hari ini sangat ia rindukan, pria itu kini tengah duduk di bibir ranjang dengan handuk melilit tubuh bagian bawahnya dan segelas wine di tangannya. Sarah langsung berlari ke arahnya dan memeluknya erat, mereka baru tidak bertemu selama dua hari tapi rasanya seperti sudah dua abad. "Sebegitu rindunya kah kamu kepadaku, Sarah?" tanya Barra."Tentu, apa kamu tidak merindukan aku?" tanya Sarah ketus."Aku tidak bilang begitu," "Lantas kenapa malah bertanya seperti itu?""Aku hanya menggodamu sayang, kenapa kamu sensitif sekali. Apa kamu sedang datang bulan?" Sarah tersenyum lebar dengan bola mata berbinar, "Aku tidak sedang datang bulan, tapi aku sedang hamil." "Oh, kamu sedang hamil." angguk Barra santai, "Apa Sarah?! kamu hamil? aku tidak salah dengar kan?" "Tidak, aku memang sedang hamil." Barra langsung
Sarah tiba di kota J pada sore hari dengan di temani oleh Barra dan Gabriel, saat mereka tiba di rumah sakit jenazah Helena rupanya baru saja selesai di autopsi dan hendak dimandikan oleh pihak rumah sakit. Dokter mengatakan jika Helena mengalami tindak kekerasan dengan bukti pukulan benda tumpul di tengkorak kepalanya, juga pendarahan di area intimnya yang diyakini karena percobaan pengguguran kandungan. "Kami menemukan jejak seseorang yang terakhir keluar dari unit apartemen itu lewat rekaman kamera pengawas," "Saya ingin melihatnya, boleh?" pinta Sarah, karena sepertinya ia memiliki firasat jika yang melenyapkan Helena adalah Tyo. "Silahkan ikut saya," Ternyata tebakan Sarah benar, yang melenyapkan Helena adalah Tyo bahkan lelaki itu masih sempat-sempatnya menyetubuhi Helena di titik terakhir nafas Helena. Bola mata Sarah memerah menampakkan kebencian yang begitu mendalam, tangannya mengepal erat hingga kukunya tertancap di telapak tangan. "Pria itu adalah Tyo Hartanto, seoran
Sarah duduk di depan cermin besar dan memperhatikan penampilannya lekat, ini memang bukan pernikahan pertamanya namun entah mengapa Sarah merasa gugup sekali melebihi saat menikah dengan Mario dulu. Sarah mengambil secarik foto usang yang selama ini selalu ia bawa kemanapun, hanya ini satu-satunya kenangan yang bisa mengobati rasa rindu Sarah kepada mereka. Lewat batin, Sarah memohon restu kepada kedua orangtuanya dan memanjatkan harapan kalau Barra adalah pelabuhan terakhirnya hingga menutup usia nanti. "Anda sudah sangat cantik nyonya, tidak perlu cemas seperti itu." ucap si penata rias saat melihat Sarah yang nampak gelisah, Sarah hanya bisa tersenyum menanggapi ucapan penata rias tersebut.Penata rias itu keluar dari kamar Sarah setelah tugasnya selesai, namun beberapa saat kemudian seorang wanita paruh baya masuk ke kamarnya dan menatapnya dengan penuh kebencian. "Ibu Arista?" "Kamu benar-benar wanita yang tidak tau diri Sarah!" Arista melayangkan tangannya hendak menampar Sar
"Sudah lama saya mencari keberadaan Indah dan Petra, ternyata saya malah menemukan putrinya." ujar Arista seraya memandangi foto ibunya Sarah. "Apa ibu mengenal kedua orang tuaku?" tanya Sarah. "Tentu, ibumu adalah sahabat terbaik saya Sarah. Tapi dimana dia sekarang?" "Ibu dan ayah sudah meninggal dunia, karena kecelakaan." jawab Sarah lirih. Arista terkejut bukan main, "Ya Tuhan, kapan itu terjadi Sarah? tapi kenapa keluarga ibumu malah mengatakan kalau mereka tidak tau dimana keberadaan Indah?" "Saat aku kuliah semester dua, karena ibu tidak lagi di akui sebagai anak mereka sejak ibu nekat menikah dengan ayah." Arista mengambil dokumen yang ada di dalam tasnya, sebuah surat kepemilikan saham yang selama ini Arista simpan rapat-rapat atas nama Indah. Seharusnya saham ini jatuh ke tangan Indah, tapi karena Indah sudah tiada maka saham ini akan jatuh ke tangan Sarah. "Apa ini bu?" tanya Sarah. "Surat kepemilikan saham milik ibumu di Amethyst, ibumu memiliki saham di perusahaan
Barra terbangun dari tidurnya saat merasakan ada tangan kecil yang mengelus pelan wajahnya, lembut dan hangat bahkan sesekali mencubit ujung hidungnya. Dhafin beringsut mundur ketika mata Barra terbuka sempurna, "Maaf, aku pasti mengganggu." "Tidak apa-apa, sekarang sepertinya sudah pagi ya?" tanya Barra sembari meregangkan tubuhnya, Dhafin mengangguk. "Dimana ibumu?" "Mama sedang di dapur menyiapkan makan untuk kita semua," Barra bangkit dan menggandeng Dhafin keluar dari kamar, harum aroma masakan Sheila merebak ketika mereka tiba di meja makan. Sheila memang pintar memasak jenis makanan apapun, karena dulu ia sempat mengikuti kursus memasak agar bisa memasak semua makanan kesukaan Barra."Kalian sudah bangun? ayo silahkan dinikmati, mumpung masih hangat." Sheila menuangkan sepiring nasi dan lauk pauk untuk Barra dan juga Dhafin. Dhafin yang tidak tebiasa memakan nasi, agak tidak bersemangat saat melihat sarapannya. Dhafin mendorong makanan tersebut bahkan sebelum mencicipinya
Sarah tiba di rumah bertepatan dengan kembalinya Barra setelah mengajak Dhafin jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, terlihat dari bagasi mobil Barra yang nampak penuh juga paper bag yang Gabriel bawakan dengan merek pakaian anak-anak terkenal. Sarah agak terkejut saat melihat Dhafin, namun Arista segera menyadarkannya agar bersikap tenang. Sarah maju mendekati Barra dan memeluknya dengan penuh cinta, meskipun saat ini ia sangat marah karena Barra meninggalkannya di malam pernikahan mereka hanya demi menemui Sheila. Barra pun sempat tercengang saat melihat Sarah datang bersama ibunya, padahal yang ia tau Arista sangat tidak menyukai Sarah bahkan sempat menentangnya. Tapi hari ini mereka muncul di hadapan Barra seperti seorang ibu dan anak, bahkan Arista sangat perhatian pada Sarah melebihi ke Luna dulu. "Kalian darimana?" tanya Barra dengan wajah heran. "Dari dokter kandungan, ibu kan mau lihat calon cucu ibu." ujar Arista seraya mengelus perut Sarah. "Oh ya? kenapa kamu tidak menung
Sarah dan Barra menghampiri Dhafin di kamarnya setelah urusan pribadi mereka selesai, Sarah tadinya enggan menghampiri Dhafin karena ia tau Dhafin mungkin akan menolaknya tapi Barra terus memaksanya untuk ikut. Sarah berjalan mengekori Barra di belakang, ia membawa sebuah pesawat remote control yang baru saja Gabriel bawakan demi membuat Sarah bisa mendekati Dhafin. "Dhafin ini ayah, boleh ayah masuk?"Tidak lama pintu kamar terbuka, begitu melihat Barra Dhafin langsung menghambur ke dalam pelukannya namun saat melihat Sarah tatapan polosnya berubah menjadi ketakutan. "Halo sayang, tante bawa sesuatu untuk kamu." ucap Sarah seraya mengacungkan pesawat remote di tangannya.Dhafin menepis pesawat remote tersebut hingga menabrak dinding dan patah sayapnya, "Aku gak mau! tante jahat! tante ibu tiri jahat!" Barra mulai tidak bisa menahan kesabarannya lagi, meskipun Dhafin adalah anak kandungnya namun tingkah Dhafin benar-benar sudah kelewatan. Dhafin bahkan belum mengenal Sarah, tapi di