Laki-laki berhidung mancung dan berkulit sawo matang itu, masih menikmati segelas susu jahe favoritnya. Ia hanya bergeming di tengah hiruk pikuk orang-orang di sekelilingnya, yang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
"Nyonya, bunga ini ditaruh dimana?" seorang bertanya pada Mama Tita sambil membawa bucket bunga ditangannya. "Simpan saja di atas meja sana!!" Perintah Tita sambil menunjuk meja kosong, di sebelah kursi pengantin. Tita menatap ke arah Barak, si calon pengantin laki-laki yang sama sekali tak ingin pindah posisi dari duduknya, atau pun hanya berkomentar tentang apapun yang terjadi di sekitarnya. Tita mendekati Barak, anak semata wayangnya yang semenjak tadi hanya fokus pada ponsel di tangannya. "Barak, besok hari pernikahanmu, tapi Kau sama sekali tak bersemangat menyambutnya, apa ada masalah?" Tita mencoba bertanya pada anaknya itu. Barak meletakan ponsel di tangannya, lalu ia menatap mata ibunya dengan dalam. Mata perempuan itulah yang selalu membuat Barak mengalah. Sekalipun ia melawan, namun jika sudah berhubungan dengan ibunya, maka seorang Barak, tak mempunyai kekuatan sama sekali. "Mama, aku sudah menuruti kemauan Mama untuk menikahi gadis pilihan Mama. Yang aku sendiri tak mengenalnya, bahkan melihatnya pun aku belum pernah. Jadi Barak mohon, Mama jangan memaksa Barak untuk ikut terlibat dalam persiapan pernikahan yang tak Barak inginkan," dengan pelan, Barak mencoba menunjukan pada ibunya, kalau dirinya kecewa karena harus menuruti keinginan ibunya, untuk menikahi wanita yang tak ia kenal sama sekali.Sikap Barak yang semakin lama semakin tertutup dan introvert, membuat Mama Tita berupaya untuk menjodohkan Barak dengan anak temannya. Hal itu ia lakukan, agar Barak bisa melupakan kenangan masa lalunya itu. Mendengar Barak berbicara, Tita hanya menghela nafasnya. Ia merasa bersalah, karena memang inilah kemauannya. Namun, ia melakukan ini semua karena Tita tahu, seperti apa istri yang ia pilihkan untuk Barak. "Mungkin saat ini kau membenci pernikahan ini, tapi Mama yakin, suatu saat nanti, kau akan begitu berterima kasih pada Mama, karena telah memilihkanmu istri seperti dia," timpal Tita pelan. Tita hanya memandang nanar anak laki-laki nya yang malah pergi menjauhinya. Semua perasaan yang ia rasakan saat ini, terasa sangat tak karuan. Sehingga akhirnya, ia menyibukan dirinya, untuk membantu mengurus keperluan pernikahan anaknya besok. Sambil memberikan instruksi pada orang-orang yang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, Tita sesekali melirik anaknya, yang kini sudah bersiap entah akan pergi kemana. Ia takut kalau Barak akan pergi dan menggagalkan pernikahnnya besok. Dengan segera, ia mendekati Barak. Secara pelan, Tita memegang pundak anaknya. "Kau mau kemana nak? Mama mohon, jangan lakukan hal aneh yang akan membuat Mama dan keluarga kita malu," pinta Mama, memelas. "Maksud Mama aku akan kabur?" dengan pandangan heran, Barak bertanya pada ibunya. Ia tak habis pikir, kenapa ibunya punya pikiran sedangkal itu. Walaupun ia tak menyukai pernikahannya, tapi dia bukanlah seorang pecundang, yang akan lari dari kenyataan. Mama tak menjawab pertanyaan Barak. Dia hanya menganggukan kepalanya, sambil matanya berkeliaran tak menentu, mencoba menghindari kontak mata dengan Barak. Tangan Barak memegang lengan Tita. Dia menciumnya, sebagai tanda hormat pada ibu tersayangnya. "Aku tak mungkin sebodoh itu Ma, Aku mau keluar sebentar, mencari angin segar. Siapa tahu, aku bisa sedikit merasa tenang dan siap menghadapi hari esok!" pinta Barak pada ibunya. Kemudian, ia mengambil kunci motor yang tersimpan diatas vas bunga. Saat semua orang sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya, justru Barak malah tak ingin ikut terlibat didalamnya. Ia memilih pergi menjauh, untuk menenangkan dirinya, sebelum pernikahan yang tak diinginkannya di laksanakan. "Bagaimana aku bisa hidup bersama perempuan yang tak aku cintai? Bahkan, melihatnya pun aku belum pernah. Seperti apa calon istriku kelak, aku tidak tahu. Kalau bukan karena Mama yang memintaku, aku tak mungkin mau menerima pernikahan konyol ini!" Bara bersitegang dengan dirinya sendiri.*** Di tepi Pantai, Ia duduk sendiri menikmati dinginnya suasana Pantai di malam hari. Matanya memandang lurus ke depan, menyaksikan ombak yang bergulung, dan saling berkejaran. Walaupun ini sudah larut, tapi suasana Pantai tak pernah surut. Justru semakin lama, dia semakin menarik pengunjung, untuk mencicipi suasana nya di malam hari. "Maaf mengganggu mas, barangkali mau kopi hangatnya?" suara halus terdengar di telinganya. Membuat ia memalingkan wajahnya, melihat ke arah suara di sampingnya. "Boleh! Buatkan aku satu gelas kopi pahit yang panas!" perintah Barak, pada perempuan penjaja kopi. Dengan terampil, ia membuatkan kopi yang diminta Barak Dan tak butuh waktu lama, Barak sudah memegang kopi di tangannya. Mata Barak terus memperhatikan gadis si penjual kopi barusan. Namun kembali ia menyeruput kopi hangat itu, dan meneruskan lamunannya. Dua jam lebih ia habiskan sendirian dengan lamunan, Barak melihat jam di tangannya. Waktu sudah semakin larut dan saatnya Barak harus pulang kembali, menuju rumahnya dengan suasana ramai dengan segala persiapan pernikahannya besok. Dengan rasa malas, Barak memasuki rumahnya, yang saat ini sedang ramai oleh banyak orang. Dilihatnya ibunya yang masih duduk berpangku tangan. Terlihat dari matanya, dia begitu merasa kelelahan. Bagaimana tidak? dari kemarin, Tita kurang tidur, karena terlalu bersemangat mempersiapkan pernikahan anak semata wayangnya, Barak. "Kamu baru pulang nak?" tanya Tita dengan muka lelahnya. Ia mengulas senyum melihat anak tersayangnya pulang. Kemudian Barak menghampiri ibunya dan memijat pundak Tita, mencoba menghilangkan rasa pegal yang pasti mengganggunya, sehingga ia belum tidur selarut ini. "Mama kenapa belum tidur?" Barak bertanya, sambil terus memijat pundak ibunya. Tita menoleh ke belakang, menatap wajah Barak dengan intens. "Mama menunggumu nak. Mama khawatir, karena kau belum pulang selarut ini," jawabnya lirih. Barak hanya menghela nafasnya panjang. "Mama pasti takut aku kabur kan? " Barak tahu, ibunya sangat trauma dengan kejadian dulu, dimana. "Barak tak akan melakukan kesalahan fatal Ma.. Jadi Mama tak usah khawatir," Barak mencoba menenangkan ibunya. "Barak akan melakukan apapun demi Mama. Sekalipun harus melakukan pernikahan yang tak Barak inginkan," batinnya dalam hati. Entah mengapa, kegagalannya saat menikah kemarin, membuat Barak merasa trauma, dan mempunyai pemikiran, kalau semua wanita itu sama saja.Muka Barak terlihat sangat frustasi saat tahu kalau Miranda tak ada dirumah nenek Ida. Kini ia bingung harus kemana lagi mencari sosok Miranda. "Apa mungkin dia merasa sangat tersiksa saat bersamaku? itu makanya, dia pergi egitu saja tanpa pamit padaku," terka Barak, tentang hati Miranda. Sebenarnya, Barak tak begitu peduli pada keadaan dan keberadaan Miranda. Hanya saja, ia begitu mengkhawatirkan kesehatan mama nya, yang akan kembali terganggu saat mengetahui kalau Miranda belum juga ditemukan. Ia hampir putus asa karena usahanya mencari Miranda, semuanya sia-sia. Saat ia duduk teemenung di pesisir pantai, berharap ia akan menemukan Miranda, seperti pertemuan awalnya dengan istrinya itu, ponselnya berdering membuyarkan lamunannya. Rasa malas menghinggapi Barak. Ia hanya sedang ingin sendiri, dan melupakan semua masalah yang sedang ia hadapi saat ini. Namun seolah ingin diperhatikan, ponselnya terus berdering sampai beberapa kali. "Siapa sih? mengganggu sekali. Apa tak bol
"Apa dia punya riwayat penyakit berat?" "Entahlah! aku tak tahu!" jawab Miller singkat. "Sebaiknya tuan bawa saja nona ini ke rumahku. Biar kita lakukan cek lab. Agar terlihat penyakit apa yang sebenarnya sedang dialami nona ini," " Miranda! namanya Miranda!" tegas Miller. "Ya! siapapun namanya, sebaiknya harus segera ditangani serius. Ini bukanlah penyakit enteng!" imbuh dokter kembali, membuat Miller semakin khawatir. "Ya sudah! kita bawa saja sekarang! tunggu apalagi!" tegas Miller, yang kemudian dengan kedua tangannya, ia menggendong tubuh Miranda, dan memasukannya ke dalam mobil mewahnya. "Bawa semua keperluan yang akan di butuhkan Miranda!" perintah Miller pada Mia perawat khusus Miranda. Tak ingin kena marah Tuannya, Mia dengan cepat mempersiapkan semua kebutuhan Miranda. Dari mulai pakaian, pakaian dalam, dan apapun itu, sampai hal terkecil sekalipun, Mia menyiapkannya dengan sangat teliti. "Enaknya jadi perempuan ini. Kenapa tuan bisa jatuh cinta pad
Miranda mengerjapkan matanya sampai beberapa kali. Kepalanya terasa sangat pusing. Ia memijat keningnya menggunakan beberapa jarinya. "Aakhh.. bisa nya aku sampai pusing begini? ini kenapa ya?!" Miranda bertanya pada dirinya sendiri, sambil bangun dari tidurnya, dan bersandar di ranjangnya. Matanya terasa pegal saat harus berhadapan dengan tajamnya sinar matahari. "Apa mau aku pijatkan kepala nona?" "Aah tidak terimakasih!" jawab Miranda. Namun tiba- tiba ia sadar. "Siapa yang menawarkan pijatan padaku?" perlahan, Miran memaksakan matanya untuk terbuka. Dan_ alangkah terkejut ia, saat melihat sosok wanita cantik, masih muda, berseragam suster, berdiri dengan anggunnya didepannya. "Siapa kamu!" Miranda mundur dari tempat awal duduknya. "Tenang nyonya! saya pelayanmu!" jawabnya lembut, sambil membungkukan badannya, begitulah cara pelayan itu menghormati Miranda. "Aah tidak! sebentar! aku tak punya pelayan! katakan siapa kau sebenarnya? mama! dimana mama Anita dan Barak
"Dimana perempuan itu? Kenapa dia selalu saja membuat aku susah! Bukankah tadi aku melihatnya disini?" gumam Barak, sambil mengacak rambutnya frustasi. Ia duduk sejenak, mencoba mengingat Miranda. Sebuah tangan tiba-tiba mendarat di bahu Barak. Tangan halus yang dulu selalu bisa membuatnya tenang. "Barak! kamu ngapain disini? Tadi kamu ninggalin aku, eh tahunya kamu disini sendirian juga. Sebenarnya kamu kenapa sih?" tanya Tiara, mantan kekasih Barak, yang kini kembali ke kehidupannya. "Aku sedang mencari seseorang," "Siapa?" Barak hanya menatap Tiara. Ia belum bisa berterus terang, kalau sebenarnya Barak sudah menikah. "Kenapa tak menjawab? kau sedang mencari siapa?" tanya Tiara kembali mengulang pertanyaannya. "Dia sedang mencari istrinya!!" suara mama terdengar dari belakang. Mama yang seharusnya berbahagia di acara ulang tahunnya ,kini malah sebaliknya. Dia dibuat stres oleh perempuan yang berstatuskan istriku," batin Barak. "Barak, bukankah mama menyuruhmu untu
Suara dentuman musik di ruangan yang luasanya hampir 10x 12 m itu, terdengar menggema. hiruk pikuk keramian, makanan yang tersaji, menghiasi malam pesta ulang tahun mama. Wanita berkepala 4 lebih itu, kini menginjak usia 45 tahun. Kue ulang tahun sudah terpampang jelas di tengah para tamu. "Mama sedang sibuk dengan banyak tamu nya. Begitu pun Barak. Dia tampak asyik berbicara dengan para kolega bisnisnya, yang turut hadir pula disana. Mata Miranda menyusuri setiap sudut ruangan, mencoba mencari tempat yang agak sepi dari orang, dan mengisolasikan dirinya sendiri. "Andai ini bukan pesta ulang tahun mamaku, aku pasti sudah pergi semenjak tadi dari sini!" batin Miranda yang merasa jengah dan tak betah, berada di tengah keramaian seperti ini. Miranda merasa asing berada diantara irang-orang yang berkerumun disana. Untuk menghilangkan kekakuan padanya, ia mencoba berjalan, untuk mengambil minuman yang berjejer di meja panjang. Namun matanya seketika terdiam pada satu objek. Dima
"Kurasa mama terlalu berlebihan!" decak Barak kesal. "Apanya yang berlebihan? mereka harus tahu kalau kau sudah menikah. Dan tak boleh sembarangan menanyakan suami orang bukan?" tanya mama pada Barak. "Mungkin mereka menanyakanku hanya untuk perihal bisnis saja ma!" jawab Barak enteng. "Mereka teman wanitamu dulu! itulah mengapa mama mau kau umumkan pernikahanmu di acara ulang tahun mama nanti!" imbuh mama lagi, sambil membetulkan dandanannya, dan menatapnya di dalam cermin. "Kau harus memperlakukan istrimu dengan baik, sebelum seseorang yang menginginkannya, mengambilnya darimu!" ucap mama sembari sedikit memukul punggung anaknya, yang tengah fokus pada setirnya. Barak hanya menelan salivanya, mendengar perkataan mama. "Apa maksudnya mama bicara seperti itu? apa mama tahu, kalau ada lelaki lain yang selalu mengganggu Miranda?" tanya Barak pada dirinya sendiri. Barak hanya mengerdikan bahunya. Berpura-pura tak peduli dengan apa yang mama katakan. Walau dalam ha